Setelah pertemuannya dengan Zachary beberapa kali, Abigail mulai menemukan ritme dan siasat untuk menaklukkan pria itu. Terakhir kali mereka bertemu, Abigail sudah bisa melihat ada ketertarikan di mata pria itu.
Kali ini saatnya ia membalas kebaikan Zachary. Ia berencana mengundang pria itu untuk makan malam, ia yang akan menjamu sendiri tamu istimewanya, bahkan mempersiapkan segala bahan yang dibutuhkan. Untuk mendapatkan ikan paus, ia harus menyiapkan jala yang besar. Bahkan bila perlu, ia akan menggunakan peledak untuk menghancurkannya mangsanya. Apa pun akan ia lakukan demi lancarnya misi balas dendam ini. Abigail berjalan santai mendorong keranjang belanjaan dan memilih bahan yang ia butuhkan. Hingga tak sengaja ia berpapasan dengan seseorang. Seolah takdir memiliki kehendak yang sama, Zachary kini berdiri di hadapan Abigail nyaris tertabrak kereta belanja milik gadis itu. “Whoa ... lihat jalan–“ Zachary membulatkan mata saat melihat siapa yang berada di depannya sekarang. “Abby?” Abigail yang menyadari keberadaan Zachary yang terjadi tanpa disengaja, akhirnya membalas sapaan pria itu. Ia mengangkat satu tangannya melambai singkat pada Zachary yang terlihat masih tak percaya dengan kebetulan itu. “Sedang apa kau di sini?” tanya pria itu, yang segera ia sesali karena terdengar konyol. Tentu saja untuk berbelanja, apa lagi? Ia kemudian tertawa menyadari kecanggungannya. “Kau sendiri? Apakah kau mulai belajar memasak untuk menjamuku lagi?” goda Abigail. Pria itu mengangguk, “Itu salah satu alasan dari sekian alasan. Aku sedang menemani ibuku berbelanja.” Abigail celingukan berusaha mencari keberadaan wanita yang disebut oleh Zachary. Lalu tak lama, wanita yang sejak tadi berdiri tak jauh dari tempat mereka berada, memutar tubuh. Abigail terpaku seketika melihat sosok di hadapannya. Ia berusaha keras menelan saliva yang seolah tercekat di tengah batang tenggorokannya. Panik melihat sosok di depannya. Itu dia. Bagaimana mungkin Abigail bisa melupakan sosok itu? Warna rambut yang sama dengan Zachary, dengan manik mata kelabu yang tajam dan licik. Tak ada sedikit pun yang berubah dari penampilan wanita itu sekarang dan belasan tahun yang lalu. “Earth to Abby.” Zachary menjentikkan jari di depan wajah Abigail. “Perkenalkan ini ibuku. Bu, ini Abigail rival bisnisku yang kini menjadi ... teman.” Abigail menjabat tangan Amanda. Wanita itu terlihat memicingkan mata melihat gadis di hadapannya. Abigail beruntung karena tidak melupakan softlens-nya. Dan terima kasih pada pewarna rambut yang berhasil menyembunyikan penampilan asli dirinya yang pasti akan mudah dikenali karena kemiripannya dengan James. “Apakah kita pernah bertemu? Kau kelihatan seperti tak asing ....” Abigail tertawa ringan, “Mungkin kau mengenal seseorang yang mirip denganku.” “Atau Ibu pernah melihatnya di majalah bisnis. Dialah sang singa betina, Bu,” terang Zachary. “Ah ... ya, kau benar. Meski aku tak pernah benar-benar membaca majalah membosankan itu, tapi sepertinya kau benar. Karena ayahmu sangat senang menumpulkan benda-benda itu, aku terpaksa ikut melihat-lihat. Hai, senang berkenalan denganmu, Abigail.” Amanda beralih pada Abigail setelah bicara panjang lebar dengan putranya. “Kalian boleh berjalan bersama dan mengobrol, aku akan kembali berburu barang-barang kebutuhanku.” Amanda meraih keranjang belanja dari tangan Zachary, kemudian melenggang pergi meninggalkan mereka berdua. Beberapa lama mereka terdiam, Kecanggungan yang mulai mengganggu, segera ditepis oleh Zachary. “Kenapa jadi canggung begini?” tawanya. “Bagaimana kalau kita menikmati kopi? Di sebelah sana aku melihat kafe pojok untuk pengunjung. Mungkin kita bisa ....” Abigail mengangguk cepat, kemudian mengekor langkah Zachary yang berjalan lebih dulu. Mereka berhenti di sebuah tempat dengan kursi dan meja berjajar rapi. Tempat yang sepertinya sengaja disediakan untuk pengunjung yang hanya mengantar, agar bisa menunggu dengan nyaman selagi pasangan mereka memilih kebutuhan. Zachary menarik sebuah kursi dan mempersilahkan Abigail untuk duduk. Setelah memesan, mereka berbincang sembari menunggu pesanan mereka datang. “Serius, apakah kau sedang berbelanja? Kupikir ada asisten yang akan membantu menyiapkan segalanya untukmu. Gadis sepertimu ....” “Gadis seperti apa, Zac? Kau hanya tidak tahu, aku menyiapkan segalanya sendiri. Kau akan lihat nanti.” “Wah ... aku tak sabar. Apa lagi yang tidak kuketahui tentangmu, Abby?” Perbincangan mereka terhenti saat dua cangkir americano mendarat di atas meja. Dengan tak sabar Zachary menyeruput isi dalam cangkirnya dan meringis saat cairan itu menyentuh lidahnya. “Kenapa? Apa rasanya tidak enak?” tanya Abigail, setengah berbisik, menebak alasan pria di hadapannya memasang ekspresi seperti itu. Zachary tertawa tertahan, “Cobalah sendiri.” Abigail menghirup minuman yang sama. Mimik yang hampir serupa terulas di wajahnya. Ia tergelak seketika. “Oh, Tuhan ... rasanya sungguh ....” Ia kembali tertawa. “Sepertinya aku harus mengundangmu lagi, sebagai bentuk permintaan maafku karena mengajakmu ke tempat ... ini. Aku bisa buatkan Americano yang lezat untukmu,” tawar Zachary, disela gelak tawa Abigail. Abigail hentikan tawa dan mengubahnya menjadi senyum simpul, yang dengan cepat ia pudarkan sebelum Zachary menyadarinya. “It’s my turn, Zac. Aku ... yang akan mengundangmu untuk makan malam di rumahku. Aku sendiri yang akan memasak.” Zachary mengangkat sebelah alisnya, kemudian setuju datang hari Minggu besok untuk jamuan makan, spesial dari gadis itu. Abigail akan mengambil hati pria itu dengan segala keahliannya. Dimulai dari memanjakan lidah pria itu, lalu mungkin ... jika ia sudah masuk perangkap, Abigail akan menjeratnya dengan hal besar yang membuatnya tak bisa melarikan diri.*** Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba ponsel Zachary berdering. Ia menjauh dari Abigail, dan terlihat menerima panggilan dengan wajah semringah. Beberapa kali terdengar ia memanggil si penelepon dengan panggilan ‘sayang’, dan itu membuat Abigail penasaran. Saat Zachary sudah kembali ke kursinya, Abigail langsung memberondongnya dengan pertanyaan yang sebisa mungkin tidak memperlihatkan rasa ingin tahunya. “Dari kekasihmu?” tembak Abigail, tanpa basa-basi. Zachary tersenyum simpul. “Ya, dia akan datang akhir pekan ini. Ah, gawat ...!” Zachary menepuk keningnya. “Akhir pekan ini kita ada rencana makan malam, bukan?” Abigail mengulas senyum kecewa. Namun, dengan cepat ia pudarkan dan diganti dengan mimik lain, sebelum Zachary menyadarinya. “Tak apa, kita akan mengaturnya kembali nanti,” jawabnya, mengibaskan tangan ke udara, tanda bahwa itu bukan masalah besar untuknya. Meski sesungguhnya ia sangat kecewa. “Benarkah tak apa? Aku merasa tidak enak padamu.” Abigail mengangguk sembari menyeruput americano-ny yang sebenarnya tak enak. Baginya lebih baik menelan minuman itu ketimbang harus mendengar pembatalan seperti ini dari Zachary.Namun, selanjutnya ia memutuskan untuk mengulik kehidupan lain Zachary. Sesuatu yang tak pernah dibahas oleh pria itu setiap mereka bersama. Ia akan mencari tahu tentang kekasih pria itu. Hingga ke hal terkecil sekali pun. Segala tentang gadis itu akan ia selidiki. Dan tentu saja dengan bantuan Mr. Thompson.*** Abigail menggulir laman pencarian di layar laptopnya. Ia sungguh tak ingin melewatkan sedikit saja hal mengenai Sidney Marra-kekasih Zachary. Berusia 28 tahun dengan gelar Master of Business dari universitas terbaik di Saint Orleans kemudian mengembangkan bisnis di bidang kecantikan. Tak heran jika gadis berambut coklat itu memiliki penampilan bak model kelas atas. Rambut yang tergerai indah, sulaman alis tebal yang membingkai mata indah bermanik kelabu, lalu jangan lupakan lekuk tubuh ala gitar Meksiko yang tentu membuat banyak pria meneteskan liur setiap kali gadis itu melintas di hadapan mereka. “Hmm ... Sidney Marra ... kita lihat apa saja keahlianmu yang bisa membuat Zachary bertahan sekian lama.” Ia kembali menggulir layar di hadapannya. Akhirnya ia dapatkan keterangan tentang kehidupan gadis cantik itu. Merupakan putri dari seorang pengusaha multinasional, tak heran jika ia menguasai kemampuan ayahnya di bidang bisnis. Dan ada hal baru yang diketahui Abigail, bahwa ayah Sidney merupakan salah satu rival bisnis James. “Menarik ...,” ucap Abigail, bermonolog. Ia menyandarkan punggung kemudian mengingat ekspresi Zachary saat menerima panggilan dari kekasihnya itu. Entah mengapa ia merasa tak suka. Mendapat saingan yang mungkin akan menjadi penghalang rencananya, membuat Abigail harus kembali mengatur strategi. Hal ini sangat penting baginya. Karena tak boleh ada seorang pun yang menghalangi apa yang menjadi tujuannya. Rencana yang telah ia persiapkan haruslah berjalan tanpa halangan siapa pun. Dan ia akan menyingkirkan siapa pun yang berniat menghalangi jalannya.Mr. Thompson menyodorkan sebuah kartu nama pada Abigail. Dengan cepat gadis itu meraihnya dari meja dan membaca barisan huruf yang tertulis di sana. Alice Denver, merupakan detektif yang direkomendasikan oleh Mr. Thompson untuk menyelidiki dan mencari keberadaan adik Abigail. Beberapa saat Abigail terdiam, menimbang-nimbang keputusan darinya apakah akan menyewa Alice atau tetap menyerahkan semua pada Mr. Thompson. Sejauh ini ia tidak mengalami masalah dengan pria itu. Namun, justru pria itu sendiri yang menyarankan untuk memakai jasa lain agar kasus tidak tercampur. Terlebih, Abigail masih mampu membayar bahkan ratusan detektif sekali pun. Ia hanya mempertimbangkan, dengan adanya pihak lain yang ia gerakkan, itu berarti latar belakang keluarganya akan diketahui lebih banyak orang. Dan ia tak ingin itu terjadi. “Ia sangat kompeten dan bisa dipercaya, jika itu yang menjadi pertimbanganmu, Nona Genovhia.” Mr. Thompson berusaha meyakinkan Abigail untuk segera membuat keputusan. Gad
Hari Minggu terasa lambat berlalu bagi Abigail. Ia merasa bosan hanya berdiam di rumah tanpa kawan. Sejak dulu ia memang menghindari pertemanan dengan siapa pun. Ia tak ingin citra yang telah ia bentuk sejak awal akaan sirna, karena ada orang terdekat yang mengenali dirinya yang sesungguhnya. Itulah sebabnya Abigail lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah atau kampus. hanya sendiri dan tenggelam dalam bacaan di hadapannya. Dan itulah yang dikenal orang darinya, seorang kutu buku yang dingin dan tertutup. Namun, di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, ia mulai merasa hidupnya membosankan. Ia teringat masa kecilnya, memiliki seorang teman pria, satu-satunya yang dapat ia percaya. Sayang, pertemanan mereka hanya sebentar karena berikutnya yang ia tahu, pria itu sudah tidak lagi berada di Estern Shore, kota asal mereka. Ia lalu
Sidney dan Zachary berada dalam mobil setelah acara makan malam mereka. Suasana yang semula mesra dan hangat, berubah seketika tatkala Zachary mendadak terlihat sedang termenung. Matanya menatap lurus ke jalan beraspal di hadapannya, tetapi beberapa kali ia nyaris menyerempat kendaraan lain, bahkan sampai hampir bertabrakan. Sidney sangat mengenal pria itu, ia tak akan hilang fokus seperti sekarang jika tak ada masalah yang mengganggu pikirannya. "Ada apa denganmu, sayang? Sejak tadi kau seperti tidak benar-benar berkonsentrasi pada jalanan di hadapanmu." Sidney membuka obrolan, karena mengerti Zachary tak akan memulai jika ia tidak mengawali. Pria itu pada mulanya menolak unuk menjawab. Ia bergeming, tak mengucap sepatah kata pun. Berpura fokus pada jalanan padat di hadapannya, padahal sesungguhnya pikirannya sudah tak berada di tempat seharusnya.
Abigail menghentikan mobil saat melihat siapa yang duduk di pinggir jalan bersama seorang gadis. Tak salah lagi, itu adalah Zachary dan gadis yang tampak tak asing. Mungkin itu gadis yang bernama Sidney, kekasih Zachary. Ia bergegas keluar dari mobil dan menghampiri keduanya. "Zac? Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Abigail, dan ia tak perlu mengulangi pertanyaan ketika matanya tertuju pada kemerahan yang ada di kening Zachary. Sidney bangkit kemudian mendekat pada Abigail. Keduanya tampak bagaikan sepasang musuh yang hendak menghancurkan satu sama lain. Tatapan tak suka terlihat dari sorot mata Sidney, sementara Abigail yang berdiri di depannya terlihat tenang. "Hai, aku Abigail, rival sekaligus calon rekan bisnis Zachary. Kau pasti ...." Abigaail mengulurkan tangan hendak
Tamara masuk ke ruangan Abigail, saat atasannya itu terlihat sedang merenung. Tamara yang telah bekerja pada Abigail sejak awal sangat memahami bagaimana perangai dan karakter bos-nya. Terlebih jika wajahnya muram seperti hari ini. "Apakah ada yang mengganggu pikiran anda, Nona Genovhia?" tanya gadis yang berusia lebih muda empat tahun darinya. Gadis itu bergeming, menanti jawaban Abigail. Ia tak akan beranjak sebelum memastikan bahwa atasannya baik-baik saja. Abigail menggeleng. "Tamara, katakan padaku, apakah aku terlihat tua?" tanya Abigail, polos. Tamara berusaha untuk tidak tersenyum apalagi tertawa, meski ekspresi wajah polos Abigail membuatnya ingin melakukan itu. Namun, ia tahu bahwa ini bukan perkara main-main. Ini adalah masalah yang cukup serius. Tamara menghormati Abigail. Meski gadis itu seringkali memint
Abigail dan Zachary telah selesai menikmati sajian makan malam mereka. Meski Abigail tidak bisa memahami pertemanan seperti apa yang diharapkan oleh Zachary, tetapi ia yang memanb tidak serius dengan apa yang dilakukan dan dikatakannya pada pria itu, tak ingin ambil pusing. Toh hubungan yang ia bangun dari awal dengan pria itu hanya demi kepentingan bakas dendamnya. Tak ada perasaan apa pun dalam hati Abigail gerhadap pria itu. Sama sekali. Kini mereka telah duduk bersantai menonton tayangan televisi, seperti layaknya sahabat. Tertawa saat melihat adegan yang mengocok perut, beradu argumen saat pemain favorit mereka ternyata merupakan musuh bebuyutan. Bahkan mereka bercanda tanpa batas, kini hampir terlihat seperti sepasang kekasih. "Kau akui saja kalau akhirnya aku yang jadi pemenang, Abby. Kau kalah." Zachary mengamb
"Di sini kau rupanya," ucap Alex, lega melihat Abigail hanya duduk di pesisir pantai sembari memainkan kakinya di pasir. "Memangnya ke mana lagi? Aku tidak punya tempat untuk berlari, bahkan tak memiliki siapa pun yang memahami," jawab Abigail, pahit. Alex menghela nafas mendengar perkataan keponakannya. Ia mengambil tempat di samping Abigail, menghadap pada gadis yang melempar pandangan jauh ke depan, sembari memainkan jemarinya. Alex memahami karakter gadis itu, ia akan memainkan jari jemarinya jika sedang gelisah. "Paman tahu, kau kesal pada kami, tapi cobalah mengerti mengapa kami melakukan itu." Abigail mengambil segenggam pasir, meremasnya hingga habis dari tangannya. Pasir itu sama seperti dirinya, semakin erat digenggam, justru akan semakin habis berserakan keluar dari genggaman. Dulu Alex dan Alona selalu
Alex terduduk lesu mendengar penjelasan dari Alice tentang keberadaan keponakannya yang seorang lagi, yang selama ini terabaikan olehnya karena fokusnya pada Abigail. Abigail tak menyalahkan sikap Alex, tetapi ia berharap setelah mengetahui ini, Alex akan berusaha seperti dirinya. Mencari keberadaan Gin, sampai akhir. Dan memang itu yang akan Alex lakukan. Ia lalu menghubungi beberapa orang kepercayaannya untuk bergerak menyusuri seluruh penjuru kota tak hanya Mount Avery, melainkan Eastern Shore tempat mereka tinggal. Bila perlu, ke seluruh penjuru dunia. Ia tak akan membiarkan anggota keluarganya merasakan kesepian dan terbuang. Alice berpamitan saat selesai menceritakan semua pada Alex. Ia lega ketika mengetahui Alex dan Alona, yang selama ini seolah hilang di telan bumi, justru menjadi orang tua asuh bagi Abigail yang juga lama menghilang.
Belum pukul lima bahkan, tetapi Zachary sudah berada di ruangan Abigail sekarang. Duduk dengan manis memerhatikan gadis yang akan segera menjadi kekasihnya itu kini tengah bergulat dengan setumpuk berkas. Belum lagi beberapa map yang dibawa oleh Zachary sore ini.“Seriously, you gonna be killing me, Zac! Berkas ini … file bulan lalu, kan? Mengapa baru diserahkan hari ini?” tanya Abigail, sembari menatap pria di hadapannya dengan sorot tajam.“Sidney yang menyimpannya. Kupikir ia telah menyerahkan padamu. Sepertinya ia memang tak ingin jika aku bertemu denganmu, karena itu ia menyembunyikan file itu,” terang pria itu, berharap mendapat pemakluman dari gadis di hadapannya“Hmm … gadis itu cukup berbahaya, rupanya. Aku jadi takut.”Zachary bangkit dari tempatnya, menuju ke tempat di mana Abigail duduk, ia kemudian berjongkok dan meraih jemari gadis itu untuk diremasnya lembut.“Sekarang ia tak akan ada di sekeliling kita lagi, Abby. Sekarang hanya ada aku dan kau.”“Ke mana lainnya?” tan
Abigail duduk di depan meja kerjanya, menghadap pada tumpukan berkas dan laptop yang masih menyala. Kemarin ia tak langsung datang pada Zachary meski demi mengabarkan tentang berakhirnya hubungan dirinya dan Ashton. Seperti yang selalu ia katakan, ia hanya ingin melampiaskan dendnya pada keluarga Emerson, jadi apa pun yang terjadi pada Zachary, tak akan pernah penting bagi gadis itu. Satu pria yang dicintai Abigail, hanyalah Ashton. Ia tak pernah memikirkan pria lain. Meski terkadang ada desir aneh muncul di hatinya setiap memikirkan Zachary, dengan cepat ia singkirkan semua itu. Zachary hanyalah sarana. Meski mungkinnia tak bersalah, tetapi tetap saja salah ketika ia terlahir dari keluarga Emerson. Terlebih ia merupakan putra dari Garry Emerson, pria yang telah menghancurkan keluarganya juga kebahagiaannya. Pria yang telah membuat dirinya dan Gin menjadi yatim piatu, memisahkan dirinya dan Gin sekian lama. Ia tak mungkin bisa memaafkan sikap pria itu dan apa yang telah ia lakuka
Abigail berlari sekuat yang ia mampu demi mengejar Ashton yang mungkin saja sudah naik ke pesawat. Ia masih berharap pria itu sedang menanti di lounge, menunggu kedatangannya setidaknya untuk sekedar ciuman selamat tinggal. Namun, ketika tiba di bandara, ia hanya mendulang kekecewaan lantaran tak menemukan Ashton di mana pun. Ia nyaris meninggalkan bandara saat kemudian peia itu berdiri tepat di hadapannya. "Abby-bear ... apa yang kau lakukan di sini?a apakah kau ingin ikut—" Abigail menggeleng cepat. "Uhm ... tidak. Ya, sebenarnya aku sangat ingin ikut bersamamu, Ash. Namun, kau tahu, kan kalau aku masih memiliki tanggung jawab atas apa yang telah kumulai?" "Kau benar." Ashton mengangguk sembari mengulas senyum pedih. Ini sungguh perpisahan terpahit yang pernah ia rasakan. Ia tak menyangka jika dirinya harus berakhir sendiri lagi, meninggalkan Abigail dengan mimpi yang tak pernah terwujud. Mimpinya untuk menikahi satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini setelah ibunya. Ki
Abigail tengah menikmati sarapan bersama Gin, saat terdengar suara bel. Salah seorang asisten rumah tangga tergopoh membuka pintu dan disusul suara langkah kaki mendekat, serta kehadiran seorang pria berambut sewarna tembaga. Sorot matanya tampak cerah dan bersinar seketika tatkala menemukan gadis tercintanya yang tengah meneguk jus di tangannya. "Hey, Zac. Kemarilah, bergabung bersama kami." Abigail membuka piring di atas meja tepat di sampingnya, kemudian salah seorang pelayan menuangkan jus ke dalam gelasnya, lalu menyajikan sepiesi pancake. "Apa hang membawamu kemari sepagi ini?" tanya Abigail, setelah Zachary mulai menikmati sarapannya. "Oh, maaf ... habiskan dulu sarapanmu, kita bicara nanti." Abigail mengulas senyum, yang sesungguhnya tak ingin ia sunggingkan. Bagaimana tidak, dirinya tengah patah hati karena kepergian Ashton, dan sekarang harus beramah tamah dengan pria yang merupakan sasaran dari misinya, sungguh itu membuatnya hak bers
Ashton terenyak kala mendengar apa yang baru saja diucapkan kekasihnya. Ia beringsut bangkit dan duduk menghadap pada Abigail yang duduk bersandar pada tepian ranjang. "Kau tidak serius mengatakan itu, kan, Abby?" tanya pria itu lagi, berusaha meyakinkan diri bahwa Abigail saat ini mungkin tengah mengerjainya, seperti apa yang biasa dilakukan gadis itu. Namun, tak ada jawaban dari Abigail, ia tetap bergeming dengan ekspresi penuh kesedihan. "Maafkan aku, Ash. Aku tak ingin kita mengakhiri hubungan ini. Kau tahu, aku hanya ... maukah kau mendengarkanku dulu?" Abigail membenarkan selimut yang menutupi dadanya, kemudian meraih jemari kekasihnya, kemudian mengecupnya. "Masih ada beberapa hal yang harus kulakukan, Ash. Demi kedua orang tuaku dan adikku." Ashton mengerutkan dahinya kala mendengar perkataan Abigail. "Apa itu? Mungkin aku bisa membantumu, agar segalanya bisa lebih cepat selesai, dan kita bisa segera menikah." Gadis itu menggeleng.
Sidney membelalakkan maniknya kala mendengar kalimat yang dengan ringannya diloloskan oleh Zachary. Ia tak menyangka bahwa kisah cintanya harus berakhir begitu menyedihkan. Sbeelumnya, belum pernah ada yang mencampakkannya seperti ini. Ia termasuk wanita paling didambakan oleh beberapa pria di kampus bahkan di dunia bisnis. Mungkin. Sampai akhirnya Zachary, dan beberapa pria mengetahui kualitas Abigail yang jelas tak hanya mengandalkan kecantikan luar saja, melainkan juga kecerdasan yang berhasil membuat pria sekelas Zachary dan Ashton bisa begitu bertekuk lutut. Itu salah satunya yang membuat Sidney sangat tidak menyukai gadis itu. Ia hampir saja mengetahui banyak hal mengenai kisah hidup Abigail, jika tidak dihalangi oleh seorang pria dan wanita misterius yang ia tidak ketahui. Tepat saat dirinya datang berkunjung ke unit rehabilitasi kejiwaan di mana Selena dirawat. Salah seorang perawat bersedia memberi keterangan mengenai Abigail, tetapi seorang pria yang tidak ia kenali memin
Zachary tak mampu menahan reaksinya akan perkataan Abigail. Mengapa ia harus kaget? Bukankah sejak awal hal itu yang menjadi permasalahan antara dirinya dan Zachary? Bahwa Abigail merasa menjadi wanita murahan karena ia bersedia saja tidur dengan pria itu sementara pria itu jelas sudah memiliki kekasih. Zachary yang selalu datang pada Abigail dan berakhir dengan hubungan panas, pada akhirnya akan selalu kembali lagi pada Sidney dan mungkin akan mengulang apa yang dilakukannya dengan Abigail. Sungguh sangat tak adil bagi Abigail, bukan? Wajar, jika lantas ia meminta apa yang seharusnya menjadi haknya. Zachary mengangguk paham. Ia kemudian membiarkan salah satu jemarinya membelai lembut wajah mulus Abigail, yang berhasil membuat gadis itu kesulitan untuk bernapas. Karena hanya dengan seperti itu saja mampu menyentuh sisi hati yang terdalam dari gadis itu. "Bagaimana dengan calon tunanganmu? juga rencana pertunangan yang hanya tinggal menghitung waktu .
"Jadi begitu? Kau melupakanku dan tidak mengundangku?" tanya seorang gadis yang jelas kedatangannya selalu membuat suasana Abigail memburuk seketika. Untuk apa ia datang jika dirinya tidak diundang? Tentu saja, untuk menyusul kekasihnya. Abigail menghentikan apa yang sedang ia lakukan. "Sedang apa kau di sini, Sidney? Kau tidak diundang." Gadis itu berbalik demi menghadapi gadis cantik yang sejak tadi berada di balik punggungnya. "Oh, begitu, ya? Lalu, mengapa kau mengundang Zachary? Bukankah ia adalah rival bisnismu? Atau ... jangan-jangan kalian ada hubungan di balik puinggungku." "Mengapa pikiranmu selalu mengarah ke sana? Apakah kau punya bukti?" Sungguh, andai ia tidak sedang mengatur taktik lain, saat ini juga ia akan mengiyakan tudingan Sidney itu. Bukankah ia dan Zachary memang ada hubungan? Bahkan hubungan terlarang. Hmm ... bagaimana sebutan yang sesuai untuk hubungan mereka? Karena keduanya bahkan tidak berteman. "Aku akan buktikan it
"Aku menginginkan hatimu, Abby ... aku ingin tempat di sana, yang tidak terjamah oleh siapa pun, dan hanya untukku saja." Zachary mengulang kalimatnya yang tentu saja membuat Abigail terdiam sekarang. Apa yang harus ia katakan, jika apa yang diminta Zachary adalah hal yang jelas sulit untuk ia kabulkan. Menang. Ia menang, kan, sekarang? Ia sudah berhasil membuat Zachary begitu mendambakannya. Begitu menginginkannya, bahkan rela melakukan apa pun. Begitu yang pria itu katakan tadi, kan? Lalu apa lagi? Bukankah ini saatnya menjadikan Zachary hancur berkeping-keping untuk menghancurkan Emerson? Tidak. Bagi Abigail, ini belum saatnya. Membuat Zachary begitu gila, ternyata bukan akhir dari semuanya. Dendam ini membuat Abigail lebih gila lagi. Ia menginginkan lebih. Ia mau yang lain lagi. Ia ingin membuat luka lain yang lebih lebar menganga di hati Zachary, membuatnya gila, hancur, tak berdaya, agar ia lebih puas. Dendam ini membuat Abigail menggila. Membuatnya kecanduan ketika seg