Abigail merasa dirinya sudah tidak waras. Biasanya ia tak pernah begitu tersipu akan perhatian pria mana pun, tetapi dengan Ashton, rasanya sungguh berbeda.
Ia bisa menjadi pribadi yang berbeda ketika bersama pria itu, dibanding saat sendiri atau dengan orang lain. Kecuali keluarganya, tentu saja. Dan Ashton sudah mendapat keistimewaan yang sama seperti yang ia berikan pada paman dan bibinya.
Seperti hari ini, Abigail sudah duduk berhadapan dengan Ashton, menikmati makan malam romantis di restoran favorit Abigail.
Wajah keduanya tak henti mengulas senyum, terlihat sesekali Abigail melempar tatapan penuh kerinduan, begitu pula Ashton. Keduanya terlihat dimabuk asmara.
"Jadi ... kapan aku bisa bertemu Paman dan Bibimu?" tanya Ashton, hampir membuat Abigail tersedak.
Ia tidak menya
"Mengapa sikapmu tiba-tiba manis padaku saat di depan mereka?" tanya Ashton, saat ia dan Abigail sudah berada di dalam mobil, meluncur meninggalkan L'Restaurante untuk menuju ke tempat lain. Ashton bersikeras mengajak gadis itu untuk pergi ke tempat lain, meski sebenarnya Abigail sangat enggan. Pembicaraan dengan Ashton membuat suasana hati gadis itu berubah tiba-tiba. "Aku hanya melakukan yang seharusnya. Gadis itu selalu mencurigai aku memiliki hubungan khusus dengan kekasihnya, sementara pria itu ...." Abigail tidak meneruskan kalimatnya. Ia enggan membahas tentang Zachary, karena setiap kali bicara dengan Ashton, ia tak akan bisa mengendalikan berapa banyak kalimat yang akan keluar. Ia tak ingin Ashton mengetahui tujuan utamanya terhadap Zachary. "Ada apa dengan pria itu? Apa ia mendekatimu? Apakah ia jatuh cinta
Alice mendatangi kantor Abigail setelah sekian lama tak muncul. Ia sudah membaca berita tentang kedatangan seorang pebisnis muda, yang ternyata merupakan kekasih Abigail, Ashton. "Aku tidak menyangka kau sudah memiliki kekasih," komentar Alice, yang membuat Abigail tersipu. "Ingatlah, Alice, semua yang dilakukan oleh seorang pebisnis adalah kembali untuk bisnis," tukas Abigail sembari menuangkan kopi untuk Alice. "Bagaimana kabarmu setelah menghilang sekian lama?" "Oh ... kau pasti bisa melihatnya sendiri. Aku baru saja melakukan misi. Sungguh tak mudah menemukan adikmu. Setiap kali mendapat informasi keberadaannya, ia menghilang begitu aku tiba. Sangat aneh mengingat tak ada seorang pun yang mengenalinya." Abigail tertegun mendengar cerita Alice, tangannya yang sedari tadi menuangkan kopi hanya diam di tempat, me
Setelah kegagalan misi menemukan Gin, Alice membuat rencana lain, tentu saja untuk tujuan yang sama. Ia berharap taktik ke sekian kali ini akan membuahkan hasil. Namun, sebelum menjalankan rencana, ada hal yang ingin ia lakukan. Sama seperti Abigail, ia pun penasaran mengenai Dokter gregory. Bagaimana pria itu bisa mengetahui identitas asli Abigail? Alice bahkan ingat betul, dirinya sama sekali tidak mengungkit tentang Abigail, hanya bertanya tentang Gin, yang saat itu masih sangat kecil. Bodohnya, ia tidak menaruh curiga pada dokter berwajah tampan itu. Karenanya, hari ini ia memutuskan untuk kembali ke panti rehabilitasi dan bertemu dengen Dokter Gregory. Ia tak mampu lagi menahan, terlebih Abigail merasa dirinya terancam ketika mengetahui bahwa dokter itu seolah tahu banyak tentang keluarga Anderson. Alice sudah bersiap, mengenakan pakaian terbai
Abigail tepekur sendiri, memikirkan apa yang dikatakan Alice tentang adiknya. Sebegitu sulitkah untuk menemukan pemuda itu? Haruskah dirinya sendiri yang turun tangan dan mencari? Sungguh, dirinya tengan dihajar habis-habisan oleh ujian yang tak kunjung henti. Ia kuat, masih sama seperti sebelumnya. Hanya, kuat saja rasanya tak cukup untuk bisa melalui segalanya. Ia membutuhkan teman yang dapat diandalkan untuk berbagi. Alice, tentu saja. Namun, Abigail tak bisa selalu mengharap Alice untuk datang menemui. Gadis itu harus menjalankan misi yang tidak main-main, mencari keberadaan Gin, yang untuk menemukan keberadaannya sungguh sangat menguras emosi. Ia licin, dan sulit untuk dibekuk. Lalu, bagaimana dengan Ashton? Pria itu memang sahabat sekaligus kekasihnya di masa lalu, hadir kembali dan memberi harapan baru bagi
Zachary dan Sidney telah bersiap. Ayah, ibu, dan adik Zachary akan datang untuk makan malam. Bukan perayaan besar, hanya membahaa tentang kerjasama Zachary dan Abigail. Sekaligus sedikit wawancara antara ayah dan anak-seperti biasa, menjawab rasa penasaran ayahnya, bagaimana hingga ia bisa menjalin hubungan bisnis dengan perusahaan Abigail. Karena yang Garry ketahui, gadis itu sangat sulit untuk diajak berkompromi. Tak sedikit dari pemilik perusahaan yang harus kembali dengan tangan kosong ketika bernegosiasi dengan bos wanita salah satu perusahaan multinasional itu. Zachary sendiri, antara bangga karena telah sukses secara karir dan pencapaian, tetapi hampa karena makin lama tujuan mendekati Abigail bukanlah lagi perkara bisnis, melainkan cinta. Dan ia sudah menelan kekecewaan atas itu. "Aku sangat bangga padamu,
Abigail dan Ashton menginjakkan kaki di apartemen Zachary. Pria itu dan kekasihnya menyambut Abigail juga Ashton dengan ramah. Terlebih Sidney. Baginya ini merupakan kesempatan yang baik untuk mendekat pada Ashton sekaligus membuat Zachary cemburu. Namun sayang, Ashton tak melepaskan genggaman tangan dari Abigail, meski hanya sekejap. Apa yang dilakukan Ashton tentu saja membuat Sidney kesal, sekaligus heran. Mengapa Ashton, bahkan Zachary begitu terpikat pada Abigail yang terlihat biasa saja di matanya. Tidak. Sesungguhnya ia mengakui kalau gadis itu memang mempunyai pesona yang luar biasa. Sesuatu yang tak mungkin ia miliki meski jika dihitung, dana yang ia keluarkan untuk perawatan tubuh pastilah lebih banyak dibanding Abigail. Namun, gadis itu memiliki hal yang tidak bisa di
Setelah jamuan makan malam yang diadakan Zachary, Abigail semakin tak habis pikir dengan kehidupannya. Termasuk kehidupan percintaannya. Mengapa saat itu ia tak mampu menolak Zachary? Apakah ini bagian dari rencana juga? Ataukah ada sesuatu yang mengambil alih kendali yang selama ini ada di tangannya? Ia sungguh tak mampu terpejam malam ini. Bahkan segala pikiran tentang Ashton ikut mengganggu dan mengusik hari-harinya. Ashton adalah pria yang cukup keras kepala. Ia tak akan pernah berhenti sampai mendapat apa yang ia inginkan. Meski telah mengatakan bahwa ia punya waktu satu bulan untuk membujuk Abigail agar menerima lamarannya, tetapi jika pada akhirnya Abigail menolak, gadis itu yakin bahwa Ashton bisa saja menambah batas waktu menjadi beberapa bulan atau bahkan tahun sampai Abigail mengatakan 'ya'. Tentu
Abigail memutuskan untuk mengambil beberapa hari untuk libur. Ia memilih untuk pulang ke Eastern Shore menemui paman dan bibinya, sekaligus menghabiskan waktu bersama mereka. Abigail merasa harus mulai melakukan itu, hanya berjaga-jaga andaikan usianya tak lagi panjang, ia setidaknya sudah memberi kenangan indah untuk kedua orang tua angkatnya. Kebersamaan. Gadis itu memilih untuk mengemudikan mobil sendiri, padahal beberapa sopir dan asisten menawarkan untuk mengantar dan menjemput. Bukan apa-apa, ia hanya ingin menikmati perjalanan seorang diri. Sudah lama sekali ia tidak merasakan kesunyian yang damai seperti ini. Kehadiran Zachaey, disusul Alice, lalu Sidney, dan terakhir Ashton-sudah terlalu meramaikan kehidupannya yang sebelumnya hanya ada dirinya seorang. Introvert sepertinya sweringkali merasa terganggu dan lelah jika harus berinteraksi dengan
Belum pukul lima bahkan, tetapi Zachary sudah berada di ruangan Abigail sekarang. Duduk dengan manis memerhatikan gadis yang akan segera menjadi kekasihnya itu kini tengah bergulat dengan setumpuk berkas. Belum lagi beberapa map yang dibawa oleh Zachary sore ini.“Seriously, you gonna be killing me, Zac! Berkas ini … file bulan lalu, kan? Mengapa baru diserahkan hari ini?” tanya Abigail, sembari menatap pria di hadapannya dengan sorot tajam.“Sidney yang menyimpannya. Kupikir ia telah menyerahkan padamu. Sepertinya ia memang tak ingin jika aku bertemu denganmu, karena itu ia menyembunyikan file itu,” terang pria itu, berharap mendapat pemakluman dari gadis di hadapannya“Hmm … gadis itu cukup berbahaya, rupanya. Aku jadi takut.”Zachary bangkit dari tempatnya, menuju ke tempat di mana Abigail duduk, ia kemudian berjongkok dan meraih jemari gadis itu untuk diremasnya lembut.“Sekarang ia tak akan ada di sekeliling kita lagi, Abby. Sekarang hanya ada aku dan kau.”“Ke mana lainnya?” tan
Abigail duduk di depan meja kerjanya, menghadap pada tumpukan berkas dan laptop yang masih menyala. Kemarin ia tak langsung datang pada Zachary meski demi mengabarkan tentang berakhirnya hubungan dirinya dan Ashton. Seperti yang selalu ia katakan, ia hanya ingin melampiaskan dendnya pada keluarga Emerson, jadi apa pun yang terjadi pada Zachary, tak akan pernah penting bagi gadis itu. Satu pria yang dicintai Abigail, hanyalah Ashton. Ia tak pernah memikirkan pria lain. Meski terkadang ada desir aneh muncul di hatinya setiap memikirkan Zachary, dengan cepat ia singkirkan semua itu. Zachary hanyalah sarana. Meski mungkinnia tak bersalah, tetapi tetap saja salah ketika ia terlahir dari keluarga Emerson. Terlebih ia merupakan putra dari Garry Emerson, pria yang telah menghancurkan keluarganya juga kebahagiaannya. Pria yang telah membuat dirinya dan Gin menjadi yatim piatu, memisahkan dirinya dan Gin sekian lama. Ia tak mungkin bisa memaafkan sikap pria itu dan apa yang telah ia lakuka
Abigail berlari sekuat yang ia mampu demi mengejar Ashton yang mungkin saja sudah naik ke pesawat. Ia masih berharap pria itu sedang menanti di lounge, menunggu kedatangannya setidaknya untuk sekedar ciuman selamat tinggal. Namun, ketika tiba di bandara, ia hanya mendulang kekecewaan lantaran tak menemukan Ashton di mana pun. Ia nyaris meninggalkan bandara saat kemudian peia itu berdiri tepat di hadapannya. "Abby-bear ... apa yang kau lakukan di sini?a apakah kau ingin ikut—" Abigail menggeleng cepat. "Uhm ... tidak. Ya, sebenarnya aku sangat ingin ikut bersamamu, Ash. Namun, kau tahu, kan kalau aku masih memiliki tanggung jawab atas apa yang telah kumulai?" "Kau benar." Ashton mengangguk sembari mengulas senyum pedih. Ini sungguh perpisahan terpahit yang pernah ia rasakan. Ia tak menyangka jika dirinya harus berakhir sendiri lagi, meninggalkan Abigail dengan mimpi yang tak pernah terwujud. Mimpinya untuk menikahi satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini setelah ibunya. Ki
Abigail tengah menikmati sarapan bersama Gin, saat terdengar suara bel. Salah seorang asisten rumah tangga tergopoh membuka pintu dan disusul suara langkah kaki mendekat, serta kehadiran seorang pria berambut sewarna tembaga. Sorot matanya tampak cerah dan bersinar seketika tatkala menemukan gadis tercintanya yang tengah meneguk jus di tangannya. "Hey, Zac. Kemarilah, bergabung bersama kami." Abigail membuka piring di atas meja tepat di sampingnya, kemudian salah seorang pelayan menuangkan jus ke dalam gelasnya, lalu menyajikan sepiesi pancake. "Apa hang membawamu kemari sepagi ini?" tanya Abigail, setelah Zachary mulai menikmati sarapannya. "Oh, maaf ... habiskan dulu sarapanmu, kita bicara nanti." Abigail mengulas senyum, yang sesungguhnya tak ingin ia sunggingkan. Bagaimana tidak, dirinya tengah patah hati karena kepergian Ashton, dan sekarang harus beramah tamah dengan pria yang merupakan sasaran dari misinya, sungguh itu membuatnya hak bers
Ashton terenyak kala mendengar apa yang baru saja diucapkan kekasihnya. Ia beringsut bangkit dan duduk menghadap pada Abigail yang duduk bersandar pada tepian ranjang. "Kau tidak serius mengatakan itu, kan, Abby?" tanya pria itu lagi, berusaha meyakinkan diri bahwa Abigail saat ini mungkin tengah mengerjainya, seperti apa yang biasa dilakukan gadis itu. Namun, tak ada jawaban dari Abigail, ia tetap bergeming dengan ekspresi penuh kesedihan. "Maafkan aku, Ash. Aku tak ingin kita mengakhiri hubungan ini. Kau tahu, aku hanya ... maukah kau mendengarkanku dulu?" Abigail membenarkan selimut yang menutupi dadanya, kemudian meraih jemari kekasihnya, kemudian mengecupnya. "Masih ada beberapa hal yang harus kulakukan, Ash. Demi kedua orang tuaku dan adikku." Ashton mengerutkan dahinya kala mendengar perkataan Abigail. "Apa itu? Mungkin aku bisa membantumu, agar segalanya bisa lebih cepat selesai, dan kita bisa segera menikah." Gadis itu menggeleng.
Sidney membelalakkan maniknya kala mendengar kalimat yang dengan ringannya diloloskan oleh Zachary. Ia tak menyangka bahwa kisah cintanya harus berakhir begitu menyedihkan. Sbeelumnya, belum pernah ada yang mencampakkannya seperti ini. Ia termasuk wanita paling didambakan oleh beberapa pria di kampus bahkan di dunia bisnis. Mungkin. Sampai akhirnya Zachary, dan beberapa pria mengetahui kualitas Abigail yang jelas tak hanya mengandalkan kecantikan luar saja, melainkan juga kecerdasan yang berhasil membuat pria sekelas Zachary dan Ashton bisa begitu bertekuk lutut. Itu salah satunya yang membuat Sidney sangat tidak menyukai gadis itu. Ia hampir saja mengetahui banyak hal mengenai kisah hidup Abigail, jika tidak dihalangi oleh seorang pria dan wanita misterius yang ia tidak ketahui. Tepat saat dirinya datang berkunjung ke unit rehabilitasi kejiwaan di mana Selena dirawat. Salah seorang perawat bersedia memberi keterangan mengenai Abigail, tetapi seorang pria yang tidak ia kenali memin
Zachary tak mampu menahan reaksinya akan perkataan Abigail. Mengapa ia harus kaget? Bukankah sejak awal hal itu yang menjadi permasalahan antara dirinya dan Zachary? Bahwa Abigail merasa menjadi wanita murahan karena ia bersedia saja tidur dengan pria itu sementara pria itu jelas sudah memiliki kekasih. Zachary yang selalu datang pada Abigail dan berakhir dengan hubungan panas, pada akhirnya akan selalu kembali lagi pada Sidney dan mungkin akan mengulang apa yang dilakukannya dengan Abigail. Sungguh sangat tak adil bagi Abigail, bukan? Wajar, jika lantas ia meminta apa yang seharusnya menjadi haknya. Zachary mengangguk paham. Ia kemudian membiarkan salah satu jemarinya membelai lembut wajah mulus Abigail, yang berhasil membuat gadis itu kesulitan untuk bernapas. Karena hanya dengan seperti itu saja mampu menyentuh sisi hati yang terdalam dari gadis itu. "Bagaimana dengan calon tunanganmu? juga rencana pertunangan yang hanya tinggal menghitung waktu .
"Jadi begitu? Kau melupakanku dan tidak mengundangku?" tanya seorang gadis yang jelas kedatangannya selalu membuat suasana Abigail memburuk seketika. Untuk apa ia datang jika dirinya tidak diundang? Tentu saja, untuk menyusul kekasihnya. Abigail menghentikan apa yang sedang ia lakukan. "Sedang apa kau di sini, Sidney? Kau tidak diundang." Gadis itu berbalik demi menghadapi gadis cantik yang sejak tadi berada di balik punggungnya. "Oh, begitu, ya? Lalu, mengapa kau mengundang Zachary? Bukankah ia adalah rival bisnismu? Atau ... jangan-jangan kalian ada hubungan di balik puinggungku." "Mengapa pikiranmu selalu mengarah ke sana? Apakah kau punya bukti?" Sungguh, andai ia tidak sedang mengatur taktik lain, saat ini juga ia akan mengiyakan tudingan Sidney itu. Bukankah ia dan Zachary memang ada hubungan? Bahkan hubungan terlarang. Hmm ... bagaimana sebutan yang sesuai untuk hubungan mereka? Karena keduanya bahkan tidak berteman. "Aku akan buktikan it
"Aku menginginkan hatimu, Abby ... aku ingin tempat di sana, yang tidak terjamah oleh siapa pun, dan hanya untukku saja." Zachary mengulang kalimatnya yang tentu saja membuat Abigail terdiam sekarang. Apa yang harus ia katakan, jika apa yang diminta Zachary adalah hal yang jelas sulit untuk ia kabulkan. Menang. Ia menang, kan, sekarang? Ia sudah berhasil membuat Zachary begitu mendambakannya. Begitu menginginkannya, bahkan rela melakukan apa pun. Begitu yang pria itu katakan tadi, kan? Lalu apa lagi? Bukankah ini saatnya menjadikan Zachary hancur berkeping-keping untuk menghancurkan Emerson? Tidak. Bagi Abigail, ini belum saatnya. Membuat Zachary begitu gila, ternyata bukan akhir dari semuanya. Dendam ini membuat Abigail lebih gila lagi. Ia menginginkan lebih. Ia mau yang lain lagi. Ia ingin membuat luka lain yang lebih lebar menganga di hati Zachary, membuatnya gila, hancur, tak berdaya, agar ia lebih puas. Dendam ini membuat Abigail menggila. Membuatnya kecanduan ketika seg