Abigail menikmati sarapan ditemani pikiran dan hati yang kalut. Apa yang terjadi di ruang rapat kemarin sesungguhnya sangat di luar dugaan. Namun, dengan cepat ia berhasil menetralisir suasana hati yang mendadak berubah ketika melihat kehadiran Sidney di sana, tak henti bergelayut pada lengan Zachary.
Ia kesal melihat adegan mesra yang baginya justru tampak berlebihan dan menjijikkan. Pasalnya, di ruangan itu tak hanya ada mereka bertiga—jika niat Sidney untuk membuat Abigail cemburu, melainkan ada beberapa lainnya yang pada akhirnya terpaksa ikut menjadi penonton.
Sungguh, perasan itu muncul bukan karena dirinya cemburu. Di mata Abigail, tak ada yang menarik dari Zachary. Memang benar pria itu tampan, dengan rambut sewarna tembaga berpotongan cepak, sepasang manik mata kelabu yang tajam namun hangat, juga suara bariton yang mungkin akan membuat para gadis menahan nafas jika mendengar
Abigail sedang bersama Alice di kantor saat Mr.Thompson datang. Ia telah menemukan siapa saja yang memiliki saham di perusahaan James Anderson. Pria itu meletakkan amplop coklat di atas meja, tepat di hadapan Abigail. "Amplop itu berisi berkas mengenai kepemilikan saham Tuan Anderson di salah satu anak perusahaan yang dibangun olehnya, yang kini telah diakuisisi oleh EmerCorps. Namun, aku tidak menemukan data legal dari tindakan tersebut," tutur Mr. Thompson. Abigail menyeringai, mendengar penjelasan Mr. Thompson telah membuat matanya terbuka. Jelas betapa licik Garry Emerson, juga keluarga dan rekan-rekannya, hingga tega melakukan cara kotor demi mendapat apa yang mereka inginkan. "Tentu saja ... mereka tak memiliki data kuat untuk mengambil hak atas perusahaan James, sehingga menghalalkan segala cara. Aku ingin kau mengusut lainnya yang terlibat a
Zachary dan Sidney, masih dengan topik yang sama, saling melempar argumen satu sama lain. Tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah, atau setuju dengan keinginan lainnya. Abigail bisa memaklumi itu. Andai dirinya menjadi Sidney, ia pun akan melakukan hal yang sama, melindungi kekasih dari wanita lain. Hanya jika wanita itu terlihat mengancam hubungan mereka. Mudah sekali menyimpulkan tujuan dari sikap keras kepala Sidney. Ia masih bersikeras untuk menginvestasikan saham miliknya. Sementara Zachary justru sebaliknya. Abigail menyimak pertengkaran yang semakin rumit. Ia ingin menghentikan tindakan keduanya yang tentu saja mengganggu ketenangan Abigail, tetapi juga penasaran akan berakhir seperti apa pertengkaran mereka. Setelah membiarkan kedua tamunya berdebat, Abigail akhirnya harus mengambil keputusan. "Hent
Abigail terenyak mendengar perkataan Dokter Gregory. Matanya membelalak, tak menyangka dokter yang menangani Selena akan mengenali. Siapa sebenarnya dokter itu? Mengapa ia bisa tahu banyak hal? "Apakah kau terkejut, dan bertanya-tanya mengapa aku bisa mengetahui siapa kau?" Dokter Gregory tersenyum, memutar tubuh ke arah Abigail. "Kau mungkin bisa memakai ribuan topeng untuk bersembunyi dari mereka, siapa pun itu. Namun, kau tidak bisa bersembunyi dariku. Aku dokter yang menangani kejiwaan, Abby, aku dapat membaca ada yang tidak beres. Dan itu terjadi di alam bawah sadarmu." "K-kau tidak bisa seenaknya mengatakan hal tanpa bukti," elak Abigail. Dokter Gregory hanya menyungging senyum tipis. "Sudahlah Abby, aku memang tak punyai bukti, tapi DNA bisa menjadi bukti. Namun, aku tak
Abigail terdiam mendengar suara yang tentu saja tak asing di telinga. Sudah menghabiskan air mata selama seharian, dan kini tampak ada yang mulai menggenang lagi. "Apa yang kau inginkan?" tanya Abigail, sendu. Bukan raut kemarahan yang terulas di wajahnya, melainkan haru, tetapi ada sedikit kesal. Ia mengusap air mata dengan jemarinya. "Abby ... apakah kau menangis? Hey ... kau seharusnya senang mendengar suaraku, bukan malah bersedih ...." Abigail menyembunyikan isaknya. "Aku tidak sudi menangisi pria pengecut sepertimu!" Keduanya terdiam sesaat, merangkai rindu dan memori yang sempat terburai dan tercerai-berai. Kini, segala kenangan tentang kebersamaan singkat mereka, seolah kembali satu per s
Abigail merenung mengingat pertemuan dengan Ashton, lalu kejadian tak terduga di mana Zachary tiba-tiba muncul di kediaman gadis itu. Dan bagaimana pria itu mengungkapkan perasaan dan kekalutannya menjalani hubungan dengan Sidney. Benarkah ia merasa kalut? Atau jangan-jangan itu hanya kepura-puraan saja agar Abigail memberinya kesempatan? Namun, bukankah perkataan orang mabuk adalah bentuk ungkapan hati yang terdalam? Bisa ya, bisa juga tidak. Satu hal yang pasti adalah Abigail tak akan semudah itu memberi hati bagi sembarang pria. Meski Zachary juga bukanlah pria sembarangan, tetapi apa yang telah diperbuat oleh ayahnya tentu saja tak akan pernah termaafkan. Lalu bagaimana dengan Ashton? Haruskah ia memberi kesempatan pada pria itu? Bagaimana jika setelah mendapat kesempatan, pria itu justru pergi lagi? &
Abigail merasa dirinya sudah tidak waras. Biasanya ia tak pernah begitu tersipu akan perhatian pria mana pun, tetapi dengan Ashton, rasanya sungguh berbeda. Ia bisa menjadi pribadi yang berbeda ketika bersama pria itu, dibanding saat sendiri atau dengan orang lain. Kecuali keluarganya, tentu saja. Dan Ashton sudah mendapat keistimewaan yang sama seperti yang ia berikan pada paman dan bibinya. Seperti hari ini, Abigail sudah duduk berhadapan dengan Ashton, menikmati makan malam romantis di restoran favorit Abigail. Wajah keduanya tak henti mengulas senyum, terlihat sesekali Abigail melempar tatapan penuh kerinduan, begitu pula Ashton. Keduanya terlihat dimabuk asmara. "Jadi ... kapan aku bisa bertemu Paman dan Bibimu?" tanya Ashton, hampir membuat Abigail tersedak. Ia tidak menya
"Mengapa sikapmu tiba-tiba manis padaku saat di depan mereka?" tanya Ashton, saat ia dan Abigail sudah berada di dalam mobil, meluncur meninggalkan L'Restaurante untuk menuju ke tempat lain. Ashton bersikeras mengajak gadis itu untuk pergi ke tempat lain, meski sebenarnya Abigail sangat enggan. Pembicaraan dengan Ashton membuat suasana hati gadis itu berubah tiba-tiba. "Aku hanya melakukan yang seharusnya. Gadis itu selalu mencurigai aku memiliki hubungan khusus dengan kekasihnya, sementara pria itu ...." Abigail tidak meneruskan kalimatnya. Ia enggan membahas tentang Zachary, karena setiap kali bicara dengan Ashton, ia tak akan bisa mengendalikan berapa banyak kalimat yang akan keluar. Ia tak ingin Ashton mengetahui tujuan utamanya terhadap Zachary. "Ada apa dengan pria itu? Apa ia mendekatimu? Apakah ia jatuh cinta
Alice mendatangi kantor Abigail setelah sekian lama tak muncul. Ia sudah membaca berita tentang kedatangan seorang pebisnis muda, yang ternyata merupakan kekasih Abigail, Ashton. "Aku tidak menyangka kau sudah memiliki kekasih," komentar Alice, yang membuat Abigail tersipu. "Ingatlah, Alice, semua yang dilakukan oleh seorang pebisnis adalah kembali untuk bisnis," tukas Abigail sembari menuangkan kopi untuk Alice. "Bagaimana kabarmu setelah menghilang sekian lama?" "Oh ... kau pasti bisa melihatnya sendiri. Aku baru saja melakukan misi. Sungguh tak mudah menemukan adikmu. Setiap kali mendapat informasi keberadaannya, ia menghilang begitu aku tiba. Sangat aneh mengingat tak ada seorang pun yang mengenalinya." Abigail tertegun mendengar cerita Alice, tangannya yang sedari tadi menuangkan kopi hanya diam di tempat, me
Belum pukul lima bahkan, tetapi Zachary sudah berada di ruangan Abigail sekarang. Duduk dengan manis memerhatikan gadis yang akan segera menjadi kekasihnya itu kini tengah bergulat dengan setumpuk berkas. Belum lagi beberapa map yang dibawa oleh Zachary sore ini.“Seriously, you gonna be killing me, Zac! Berkas ini … file bulan lalu, kan? Mengapa baru diserahkan hari ini?” tanya Abigail, sembari menatap pria di hadapannya dengan sorot tajam.“Sidney yang menyimpannya. Kupikir ia telah menyerahkan padamu. Sepertinya ia memang tak ingin jika aku bertemu denganmu, karena itu ia menyembunyikan file itu,” terang pria itu, berharap mendapat pemakluman dari gadis di hadapannya“Hmm … gadis itu cukup berbahaya, rupanya. Aku jadi takut.”Zachary bangkit dari tempatnya, menuju ke tempat di mana Abigail duduk, ia kemudian berjongkok dan meraih jemari gadis itu untuk diremasnya lembut.“Sekarang ia tak akan ada di sekeliling kita lagi, Abby. Sekarang hanya ada aku dan kau.”“Ke mana lainnya?” tan
Abigail duduk di depan meja kerjanya, menghadap pada tumpukan berkas dan laptop yang masih menyala. Kemarin ia tak langsung datang pada Zachary meski demi mengabarkan tentang berakhirnya hubungan dirinya dan Ashton. Seperti yang selalu ia katakan, ia hanya ingin melampiaskan dendnya pada keluarga Emerson, jadi apa pun yang terjadi pada Zachary, tak akan pernah penting bagi gadis itu. Satu pria yang dicintai Abigail, hanyalah Ashton. Ia tak pernah memikirkan pria lain. Meski terkadang ada desir aneh muncul di hatinya setiap memikirkan Zachary, dengan cepat ia singkirkan semua itu. Zachary hanyalah sarana. Meski mungkinnia tak bersalah, tetapi tetap saja salah ketika ia terlahir dari keluarga Emerson. Terlebih ia merupakan putra dari Garry Emerson, pria yang telah menghancurkan keluarganya juga kebahagiaannya. Pria yang telah membuat dirinya dan Gin menjadi yatim piatu, memisahkan dirinya dan Gin sekian lama. Ia tak mungkin bisa memaafkan sikap pria itu dan apa yang telah ia lakuka
Abigail berlari sekuat yang ia mampu demi mengejar Ashton yang mungkin saja sudah naik ke pesawat. Ia masih berharap pria itu sedang menanti di lounge, menunggu kedatangannya setidaknya untuk sekedar ciuman selamat tinggal. Namun, ketika tiba di bandara, ia hanya mendulang kekecewaan lantaran tak menemukan Ashton di mana pun. Ia nyaris meninggalkan bandara saat kemudian peia itu berdiri tepat di hadapannya. "Abby-bear ... apa yang kau lakukan di sini?a apakah kau ingin ikut—" Abigail menggeleng cepat. "Uhm ... tidak. Ya, sebenarnya aku sangat ingin ikut bersamamu, Ash. Namun, kau tahu, kan kalau aku masih memiliki tanggung jawab atas apa yang telah kumulai?" "Kau benar." Ashton mengangguk sembari mengulas senyum pedih. Ini sungguh perpisahan terpahit yang pernah ia rasakan. Ia tak menyangka jika dirinya harus berakhir sendiri lagi, meninggalkan Abigail dengan mimpi yang tak pernah terwujud. Mimpinya untuk menikahi satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini setelah ibunya. Ki
Abigail tengah menikmati sarapan bersama Gin, saat terdengar suara bel. Salah seorang asisten rumah tangga tergopoh membuka pintu dan disusul suara langkah kaki mendekat, serta kehadiran seorang pria berambut sewarna tembaga. Sorot matanya tampak cerah dan bersinar seketika tatkala menemukan gadis tercintanya yang tengah meneguk jus di tangannya. "Hey, Zac. Kemarilah, bergabung bersama kami." Abigail membuka piring di atas meja tepat di sampingnya, kemudian salah seorang pelayan menuangkan jus ke dalam gelasnya, lalu menyajikan sepiesi pancake. "Apa hang membawamu kemari sepagi ini?" tanya Abigail, setelah Zachary mulai menikmati sarapannya. "Oh, maaf ... habiskan dulu sarapanmu, kita bicara nanti." Abigail mengulas senyum, yang sesungguhnya tak ingin ia sunggingkan. Bagaimana tidak, dirinya tengah patah hati karena kepergian Ashton, dan sekarang harus beramah tamah dengan pria yang merupakan sasaran dari misinya, sungguh itu membuatnya hak bers
Ashton terenyak kala mendengar apa yang baru saja diucapkan kekasihnya. Ia beringsut bangkit dan duduk menghadap pada Abigail yang duduk bersandar pada tepian ranjang. "Kau tidak serius mengatakan itu, kan, Abby?" tanya pria itu lagi, berusaha meyakinkan diri bahwa Abigail saat ini mungkin tengah mengerjainya, seperti apa yang biasa dilakukan gadis itu. Namun, tak ada jawaban dari Abigail, ia tetap bergeming dengan ekspresi penuh kesedihan. "Maafkan aku, Ash. Aku tak ingin kita mengakhiri hubungan ini. Kau tahu, aku hanya ... maukah kau mendengarkanku dulu?" Abigail membenarkan selimut yang menutupi dadanya, kemudian meraih jemari kekasihnya, kemudian mengecupnya. "Masih ada beberapa hal yang harus kulakukan, Ash. Demi kedua orang tuaku dan adikku." Ashton mengerutkan dahinya kala mendengar perkataan Abigail. "Apa itu? Mungkin aku bisa membantumu, agar segalanya bisa lebih cepat selesai, dan kita bisa segera menikah." Gadis itu menggeleng.
Sidney membelalakkan maniknya kala mendengar kalimat yang dengan ringannya diloloskan oleh Zachary. Ia tak menyangka bahwa kisah cintanya harus berakhir begitu menyedihkan. Sbeelumnya, belum pernah ada yang mencampakkannya seperti ini. Ia termasuk wanita paling didambakan oleh beberapa pria di kampus bahkan di dunia bisnis. Mungkin. Sampai akhirnya Zachary, dan beberapa pria mengetahui kualitas Abigail yang jelas tak hanya mengandalkan kecantikan luar saja, melainkan juga kecerdasan yang berhasil membuat pria sekelas Zachary dan Ashton bisa begitu bertekuk lutut. Itu salah satunya yang membuat Sidney sangat tidak menyukai gadis itu. Ia hampir saja mengetahui banyak hal mengenai kisah hidup Abigail, jika tidak dihalangi oleh seorang pria dan wanita misterius yang ia tidak ketahui. Tepat saat dirinya datang berkunjung ke unit rehabilitasi kejiwaan di mana Selena dirawat. Salah seorang perawat bersedia memberi keterangan mengenai Abigail, tetapi seorang pria yang tidak ia kenali memin
Zachary tak mampu menahan reaksinya akan perkataan Abigail. Mengapa ia harus kaget? Bukankah sejak awal hal itu yang menjadi permasalahan antara dirinya dan Zachary? Bahwa Abigail merasa menjadi wanita murahan karena ia bersedia saja tidur dengan pria itu sementara pria itu jelas sudah memiliki kekasih. Zachary yang selalu datang pada Abigail dan berakhir dengan hubungan panas, pada akhirnya akan selalu kembali lagi pada Sidney dan mungkin akan mengulang apa yang dilakukannya dengan Abigail. Sungguh sangat tak adil bagi Abigail, bukan? Wajar, jika lantas ia meminta apa yang seharusnya menjadi haknya. Zachary mengangguk paham. Ia kemudian membiarkan salah satu jemarinya membelai lembut wajah mulus Abigail, yang berhasil membuat gadis itu kesulitan untuk bernapas. Karena hanya dengan seperti itu saja mampu menyentuh sisi hati yang terdalam dari gadis itu. "Bagaimana dengan calon tunanganmu? juga rencana pertunangan yang hanya tinggal menghitung waktu .
"Jadi begitu? Kau melupakanku dan tidak mengundangku?" tanya seorang gadis yang jelas kedatangannya selalu membuat suasana Abigail memburuk seketika. Untuk apa ia datang jika dirinya tidak diundang? Tentu saja, untuk menyusul kekasihnya. Abigail menghentikan apa yang sedang ia lakukan. "Sedang apa kau di sini, Sidney? Kau tidak diundang." Gadis itu berbalik demi menghadapi gadis cantik yang sejak tadi berada di balik punggungnya. "Oh, begitu, ya? Lalu, mengapa kau mengundang Zachary? Bukankah ia adalah rival bisnismu? Atau ... jangan-jangan kalian ada hubungan di balik puinggungku." "Mengapa pikiranmu selalu mengarah ke sana? Apakah kau punya bukti?" Sungguh, andai ia tidak sedang mengatur taktik lain, saat ini juga ia akan mengiyakan tudingan Sidney itu. Bukankah ia dan Zachary memang ada hubungan? Bahkan hubungan terlarang. Hmm ... bagaimana sebutan yang sesuai untuk hubungan mereka? Karena keduanya bahkan tidak berteman. "Aku akan buktikan it
"Aku menginginkan hatimu, Abby ... aku ingin tempat di sana, yang tidak terjamah oleh siapa pun, dan hanya untukku saja." Zachary mengulang kalimatnya yang tentu saja membuat Abigail terdiam sekarang. Apa yang harus ia katakan, jika apa yang diminta Zachary adalah hal yang jelas sulit untuk ia kabulkan. Menang. Ia menang, kan, sekarang? Ia sudah berhasil membuat Zachary begitu mendambakannya. Begitu menginginkannya, bahkan rela melakukan apa pun. Begitu yang pria itu katakan tadi, kan? Lalu apa lagi? Bukankah ini saatnya menjadikan Zachary hancur berkeping-keping untuk menghancurkan Emerson? Tidak. Bagi Abigail, ini belum saatnya. Membuat Zachary begitu gila, ternyata bukan akhir dari semuanya. Dendam ini membuat Abigail lebih gila lagi. Ia menginginkan lebih. Ia mau yang lain lagi. Ia ingin membuat luka lain yang lebih lebar menganga di hati Zachary, membuatnya gila, hancur, tak berdaya, agar ia lebih puas. Dendam ini membuat Abigail menggila. Membuatnya kecanduan ketika seg