Zyan diangkat oleh Prabu, dokter, dan perawat ke ranjang pasien. Wajahnya kembali terlihat pucat membuatnya semakin terlihat mengenaskan karena ada lebam di pipi dan darah di sudut bibir. Saat diperiksa, tekanan darahnya juga rendah.Suami Zahra itu kembali diinfus di tangan yang berbeda dari sebelumnya. Wajahnya yang lebam dan luka di bibir juga diobati oleh perawat. Oleh dokter, Zyan sengaja diberi obat penenang agar bisa beristirahat.“Apa yang terjadi dengan Zyan, Dok?” tanya Prabu setelah dokter selesai menangani putra sulungnya.“Pak Zyan yang jelas syok dan banyak pikiran. Apalagi kondisinya sebenarnya belum pulih karena couvide syndrome,” jawab dokter.“Berarti Zyan masih harus opname ya?” Giliran Rania yang bertanya.Dokter mengangguk. “Kita observasi dalam 1 x 24 jam, kalau kondisinya sudah stabil dan tidak lemas lagi, boleh pulang. Diusahakan ada yang dimakan oleh Pak Zyan biar sedikit agar nanti setelah pulang sudah bisa makan. Kalau di sini diinfus jadi ada nutrisi yang m
Mila tampak salah tingkah. Dia menghindar bertatap mata dengan Rini. “Apa kamu juga meragukan aku?” kilahnya. “Kamu juga tahu ‘kan siapa saja pria yang pernah dekat denganku? Dan Zyan itu pria terakhir yang dekat sama aku,” imbuhnya.“Aku ‘kan hanya memastikan karena Zyan tadi ngotot kalau itu bukan anaknya,” timpal sang asisten pribadi.“Mungkin dia takut mengakui karena ada istrinya.” Mila beralasan.Rini mengangguk karena alasan Mila memang masuk akal. “Aku percaya sama kamu. Aku harap kamu tidak membohongiku,” ucapnya.“Selama kerja denganku, apa aku pernah bohongi kamu?” Mila balik bertanya pada sang asisten pribadi yang ditanggapi dengan gelengan kepala.“Ya sudah. Kamu percaya saja sama aku.” Mila merebahkan diri di sofa karena kepalanya kembali terasa pusing. Dia lalu memejamkan mata.“Kamu kenapa, Mil?” tanya Rini dengan khawatir.“Kepalaku pusing lagi. Moga-moga ga pake mual sama muntah,” jawab Mila tanpa membuka mata.“Kamu mau makan apa nanti?” Asisten pribadi Mila itu kem
“Mama, pulang saja. Biar nanti aku ditemani Faisal,” ucap Zyan yang tidak tega melihat sang mama menungguinya di sana.“Kamu ngusir mama?” seloroh Rania seraya menatap sang putra tercinta.“Jangan suuzan, Ma. Aku cuma ga ingin Mama capek nungguin aku di sini. Insya Allah besok aku sudah pulang,” timpal Zyan.“Kondisimu itu masih lemah, Zy. Mana mungkin mama tega ninggalin kamu.” Rania memegang tangan Zyan. “Sudah, jangan pikirkan mama. Fokus saja sama kesehatanmu,” imbuhnya.“Ma,” panggil Zyan beberapa saat kemudian.“Ya,” sahut Rania. “Kamu mau apa? Minum?” tanyanya.Zyan menggeleng. “Apa Mama percaya kalau aku menghamili Mila?” Dia menatap lekat wanita yang sudah melahirkannya itu.Rania terkejut mendengar pertanyaan putra sulungnya itu. Namun dia lekas menguasai diri. “Mama jawab jujur atau enggak nih?” Wanita paruh baya itu sengaja menggoda“Ya jujurlah, Ma, masa bohong,” tukas Zyan.“Mama sebenarnya tidak mau percaya. Tapi mengingat lingkungan pergaulanmu dan kamu yang hobi gonta
Faisal mengangguk. “Baik, Pak. Secepatnya saya akan mencari informasi yang Pak Zyan inginkan.” “Aku tunggu informasinya besok,” tukas Zyan.“Siap, Pak.” Meskipun terkejut, Faisal sudah terbiasa mendapat tugas mendadak dengan waktu yang terbatas untuk mendapatkan informasi penting. Sebagai tangan kanan Zyan, dia punya banyak relasi yang bisa memberinya berbagai informasi yang cepat dan akurat. Faisal juga kadang bekerja sama dengan asisten pribadi Prabu dan Rania.“Kalau kamu mau pergi, pergi saja. Aku tidak apa-apa ditinggal sendiri,” ucap Zyan.“Bu Rania menitipkan Pak Zyan pada saya. Tidak mungkin saya meninggalkan Pak Zyan begitu saja,” timpal Faisal.“Aku baik-baik saja, Fai. Aku bisa panggil perawat kalau butuh sesuatu,” cakap sang CEO.“Saya akan keluar sebentar untuk mengecek sesuatu. Saya akan minta perawat menemani Pak Zyan di sini,” lontar Faisal.“Tidak perlu, Fai. Perawat di sini wanita semua, aku tidak mau ada berita aneh-aneh lagi karena ada yang melihat aku hanya berdu
Faisal kembali ke ruang rawat inap Zyan usai berbicara dengan direktur rumah sakit dan dokter kandungan. Dia memberi tahu atasannya itu hasil pembicaraan dengan mereka. Semuanya diceritakan tanpa ada yang terlewat sedikit pun.“Dasar licik, Mila sudah memfitnahku. Saat proses pembuahan itu, dia tidak ada di Jakarta karena sedang syuting film di daerah. Waktu itu aku juga sedang bulan madu dengan Zahra. Jadi jelas tidak mungkin itu anakku,” ucap Zyan dengan geram. Faisal mengangguk. Membenarkan apa yang Zyan katakan.“Secepatnya kamu datangi Mila dan ambil sampel darahnya! Aku tidak bisa lama-lama berpisah dengan Zahra,” titah Zyan.“Baik, Pak. Nanti saya koordinasikan dengan direktur rumah sakit ini,” sahut Faisal.“Lakukan malam ini. Bawa beberapa bodyguard untuk mengawal kalian!” perintah Zyan lagi.Asisten pribadi Zyan itu kembali mengangguk. “Ya, Pak. Nanti saya juga akan tempatkan bodyguard di sini untuk berjaga-jaga,” timpalnya.“Terserah kamu! Yang penting aku bisa secepatnya
“Kenapa makannya tidak semangat gitu? Tidak enak ya masakan ibu?” tanya Maryam kala melihat putri bungsunya baru makan beberapa suap dan malah berulang kali mencampur nasi dan sayur di piring. Sementara dia, Umar, dan Amir sudah selesai makan.Zahra biasanya makan dengan penuh semangat bila dimasakkan makanan kesukaannya, kadang malah tambah. Namun hari ini sangat berbeda. Dia terlihat malas dan wajahnya juga tidak terlihat ceria.“Enak kaya biasanya kok, Bu,” sahut Zahra sambil memandang ibunya.“Kalau enak, kenapa tidak segera dihabiskan?” Maryam kembali bertanya.“Maaf, Bu. Aku sedang tidak berselera,” timpal wanita yang sedang hamil muda itu.“Kamu ingin makan apa, Ra? Biar aku belikan.” Amir ikut menimpali. Tak tega juga melihat adiknya tidak bersemangat makan padahal dia juga butuh nutrisi untuk janin di kandungannya. Tidak hanya untuk diri sendiri.Zahra menggeleng. “Aku lagi ga ingin apa-apa, Mas. Aku cuma ingin tidur,” jawabnya.“Kalau gitu habiskan dulu makanannya baru tidur
“Rara, sadar, Nak.” Maryam menepuk pipi putri bungsunya sambil membaui hidung Zahra dengan minyak angin. Sementara Amir memijat kaki sang adik yang kini terbaring di atas tempat tidur. Tadi dia langsung membawa Zahra ke kamar begitu istri Zyan itu pingsan dan membaringkan di atas kasur.Bola mata Zahra tampak bergerak. Kelopak matanya pun perlahan-lahan terbuka. “Alhamdulillah.” Maryam mengucap syukur begitu melihat sang putri tercinta sadar dari pingsannya."Bu, aku di mana?" Zahra terlihat kebingungan."Kamu di rumah. Di kamarmu," sahut Maryam dengan lembut.Zahra hendak bangun, tapi tiba-tiba memegang kepalanya dan kembali berbaring."Kamu kenapa, Ra?" tanya Maryam yang tak dapat menyembunyikan rasa khawatirnya."Pusing, Bu," jawab Zahra dengan lemah."Kalau begitu berbaring saja, tidak usah bangun. Kamu mau apa? Bilang sama ibu," tukas Maryam."Aku haus, mau minum, Bu," jawab Zahra."Mau minum air putih apa teh manis?" tanya Amir."Apa saja, Mas," sahut Zahra."Tunggu sebentar, a
“Apa? Tes DNA?” Netra Mila membola mendengar ucapan asisten pribadi Zyan.Faisal mengangguk. “Iya. Tes DNA janin yang ada di kandunganmu yang kamu bilang anak Pak Zyan.”“Aku tidak mau!” teriak Mila. Wajahnya terlihat cemas. Tak dipungkiri kalau dia takut kebohongannya terbongkar.“Aku tidak peduli. Kami akan tetap melakukannya,” tukas Faisal.“Pergi dari sini atau aku panggil keamanan untuk mengusir kalian!” Mila coba mengancam tamu-tamu yang tidak diundang itu. Meskipun dia tahu ancamannya tak akan berguna. Mereka bisa masuk ke unitnya pasti sudah atas sepengetahuan pengelola apartemen, karena tidak sembarang orang yang boleh bertamu sampai ke unit tanpa izin dari penghuni apartemen yang didatangi. Pengamanan di apartemen tersebut memang cukup ketat.Faisal tersenyum menyeringai. “Coba saja kalau bisa!” Dia lantas memberi kode pada bodyguard untuk memegangi sang artis agar petugas lab bisa mengambil sampel darahnya. Dengan sigap, seorang pria bertubuh besar dan tegap membungkam mulu
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama