Zyan memandang Zahra meminta pertimbangan, tapi gadis itu tak memberikan respon dan malah terlihat bingung.
“Bagaimana, Pak Zyan? Apa boleh?” Yudhis kembali bertanya karena belum mendapat jawaban.
Zyan yang merasa kasihan dan tak enak hati akhirnya mengizinkan Yudhis duduk bersamanya dan Zahra.
“Terima kasih atas kebaikan hatinya, Pak Zyan.” Yudhis lalu menarik kursi yang berhadapan dengan Zahra, sementara Zyan sejak awal duduk di samping kanan sekretarisnya.
Yudhis kemudian memanggil salah satu pramusaji dan meminta buku menu. Setelah menyebutkan menu yang diinginkan, dia berpesan agar tagihannya tidak dijadikan satu dengan milik Zyan.
“Zahra, sudah lama bekerja sebagai sekretaris Pak Zyan?” Yudhis bertanya pada gadis berhijab itu untuk memecah kesunyian dan kecanggungan yang terjadi di meja itu.
“Kurang lebih dua tahun, Pak,” jawab Zahra dengan ramah.
“Lumayan juga, tapi kenapa a
Zyan melirik Zahra yang terus diam sejak Yudhis mengungkapkan keinginan hatinya. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu. Apakah dia akan mempertimbangkan Yudhis yang berniat serius menikahinya ataukah mengabaikan begitu saja?“Pak Zyan, apakah ada proyek baru lagi?” tanya Yudhis untuk mencairkan suasana yang terasa canggung. Berbicara tentang bisnis dan proyek pasti lebih santai daripada soal pribadi.“Kalau ada, apa Pak Yudhis berniat untuk investasi?” Zyan malah balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan pria berkacamata itu.Yudhis tertawa kecil. “Wah, Pak Zyan meledek saya ini. Perusahaan saya belum mampu berinvestasi di proyek-proyek besar Pak Zyan. Sementara ini saya masih menawarkan diri sebagai rekanan seperti biasa,” ucapnya dengan jujur. Pria berkacamata itu memang selalu berkata apa adanya. Tidak pernah berpura-pura mampu kalau nyatanya tidak mampu. Karena hal itu, Zyan senang bekerja sama dengan Yudhis yang jujur da
“Pagi ini kita pulang ke rumah dulu, setelah itu baru ke kantor,” ucap Zyan yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk putih yang melilit pinggangnya. Membuat Zahra bisa melihat dengan jelas otot-otot bagian atas tubuh Zyan yang polos. Gadis itu lekas membuang muka agar tidak tergoda.“Mana pakaianku?” tanya Zyan karena tidak melihat ada bajunya di atas tempat tidur.“Maaf, Pak, belum saya siapkan.” Zahra gegas membuka koper milik bos yang juga suaminya itu. Dengan cekatan gadis itu menyiapkan pakaian ganti untuk Zyan. “Di sini tidak ada jas sama dasi, Pak. Pakai kemeja saja tidak apa-apa ‘kan?” tanyanya tanpa melihat pada pria tampan yang belum mengenakan pakaian itu.“Pakai dasi sama jas di rumah saja,” jawab Zyan yang mulai mengenakan pakaian dalamnya. Tepat saat itu Zahra menoleh pada suaminya. Sontak gadis itu mengalihkan pandangan dengan wajah tersipu malu.Daripada jadi canggung
Zyan dan Zahra sontak menoleh ke belakang, ke arah suara. Keduanya terkejut kala melihat Rania berdiri sambil bersedekap dan memberikan tatapan tajam pada mereka. Wanita paruh baya itu masih mengenakan pakaian olahraga karena baru pulang dari joging di sekitar kompleks rumahnya. “Tentu saja kami pulang, Ma.” Zyan akhirnya menjawab pertanyaan sang mama. “Bukannya kalian seharusnya masih menginap di hotel sampai besok?” cecar Rania. “Aku dan Zahra bosan di kamar terus, Ma. Kami ‘kan juga harus bekerja,” sahut Zyan. Rania berdecak. Dia menggeleng berulang kali. “Zyan, kalian itu ‘kan baru menikah. Harusnya sekarang kalian itu sedang manis-manisnya mereguk madu cinta. Maunya berduaan di kamar terus, bukannya malah ingin kerja.” "Kami 'kan masih bisa berduaan nanti malam atau saat istirahat siang, Ma. Iya 'kan, Ra." Zyan memeluk pinggang Zahra untuk meminta dukungan. Zahra tersentak saat pinggangnya tiba-tiba dipeluk. Namun gadis itu lekas menguasai diri. "Iya, Ma. Saat ini kami juga
Hari itu Zyan dan Zahra benar-benar fokus bekerja. Setelah seharian kemarin semua urusan dipegang oleh Faisal, pekerjaan Zyan jadi lebih ringan. Dia tinggal menandatangani berkas-berkas yang butuh persetujuannya karena sang asisten sudah mengecek semuanya. Zyan percaya penuh pada Faisal jadi tak mengecek lagi.“Hari ini aku tidak ada meeting di luar ‘kan?” Zyan bertanya sambil menggoreskan pena hitam di atas kertas.“Ada nanti setelah makan siang, Pak,” jawab Faisal setelah melihat jadwal sang bos di iPad-nya.“Dengan siapa dan membahas apa?” tanya Zyan lagi.Faisal kemudian menyebutkan nama para pengusaha yang akan datang dan hal yang akan mereka bicarakan.“Kamu bisa mewakiliku?” Zyan mendongak, menatap sang asisten pribadi. Dia enggan pergi karena ada nama Aswin di pertemuan nanti.“Maaf, Pak. Sepertinya tidak bisa. Saya harus menggantikan Bapak memimpin rapat dengan tim yang akan menangani proyek baru kita,” jawab Faisal.“Kita bertukar tempat saja, Fai. Aku yang akan rapat dengan
Zahra bergegas pergi ke ruangan Zyan begitu panggilan dari bos yang sekaligus suaminya itu diakhiri secara sepihak. Dia sampai tidak berpamitan pada Faisal yang tadi bicara dengannya agar tidak dimarahi Zyan. Gadis itu mengetuk pintu setelah tiba di depan ruangan Zyan.“Masuk,” jawab Zyan.Zahra membuka pintu lalu masuk ruangan itu. Dia langsung menuju sofa dan meletakkan makanan dan minuman yang tadi dibeli di atas meja. Dengan cekatan gadis itu membuka bungkus makanan lalu meletakkan makanannya di atas piring. Tak lupa sendok dan juga garpu.“Makanannya sudah siap. Pak Zyan mau makan di sini atau di sana?” tanya Zahra sambil menunjuk sofa dan meja kerja Zyan.“Di situ saja.” Zyan bangkit dari duduk lalu beranjak ke sofa. Sesudah pria itu duduk, Zahra meletakkan makanan dan minuman di hadapan Zyan.“Silakan, Pak,” ucap Zahra.“Terima kasih. Kamu juga makan sekalian,” sahut Zyan yang mulai mencampur makanannya.Zahra mengangguk. Dia lalu makan dengan canggung di hadapan Zyan. Baru kal
Sesudah memimpin rapat tim yang akan menangani proyek baru perusahaan, Zyan dan Zahra pergi bersama mereka untuk meninjau lokasi proyek. Zyan mengendarai sendiri mobilnya, mengikuti kendaraan tim yang mengantarnya ke sana. Dia sengaja melakukannya agar bisa langsung pulang setelah meninjau proyek.Untung saja Zahra selalu menyediakan sepatu kets di kantor selain sepatu resmi, jadi bila diajak meninjau proyek dia tidak akan kelabakan. Karena kebanyakan lokasi proyek sangat tidak bersahabat dengan sepatu berhak tinggi yang biasa gadis itu kenakan sehar-hari.Zahra menemani Zyan dan tim berkeliling. Sekali waktu dia mencatat bila ada yang penting di iPad-nya. Ketua tim menjelaskan site plan yang sudah mereka rancang dan menunjukkan letak bangunan-bangunannya.Zyan mendengarkan dengan saksama penjelasan ketua tim. Dia orang yang cukup detail, jadi kalau ada yang kurang jelas langsung ditanyakan. Selain itu juga untuk mengetes tim yang akan menangani apakah
Raut muka Zyan jadi mengeras setelah mendengar pertanyaan kekasihnya. “Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Mil. Nikmati waktumu di sana.” Tanpa menunggu tanggapan dari sang kekasih, pria itu mengakhiri panggilan tersebut. Dia lantas melepas airpods dari telinganya. Setelah itu mengembuskan napas kasar.Zahra yang ada di sebelah Zyan hanya melirik atasannya itu dan tak mengatakan apa pun. Dia masih sangat ingat perjanjian mereka untuk tidak mencampuri urusan masing-masing. Jadi lebih baik dia diam dan tak ikut campur apalagi menanggapi.Ponsel Zyan kembali berdering. Nama pemanggilnya masih tetap sama dengan sebelumnya. Namun pria itu enggan untuk menjawab, dan tetap mengabaikan sampai panggilan tersebut berhenti sendiri. Tak diduga Mila menelepon lagi. Akhirnya Zyan mengambil ponselnya dan memberikan pada Zahra.“Tolong matikan hapeku!” perintahnya.Zahra terkejut saat Zyan memberikan ponsel berlogo apel tergigit itu padanya. “Kenapa dimatikan, Pak?” tanyanya.“Kalau aku bilang
Zyan dan Zahra sontak menoleh ke arah datangnya suara. Seketika wajah pria itu berubah tidak senang kala melihat sosok yang menyapanya. Seorang pria bermata sipit mendekati mereka.“Ternyata kamu sedang bersenang-senang dengan sekretarismu karena itu tidak ikut meeting tadi siang,” lontar Aswin.Zyan mengepalkan tangannya. “Aku tadi meninjau proyek,” ucapnya.Pria bermata sipit itu tersenyum menyeringai. “Meninjau proyek lalu berlanjut ke hotel dan belanja ya,” ucapnya.“Itu bukan urusanmu, Win!” tukas Zyan dengan kedua tangan yang makin mengepal dan wajah memerah.Aswin bukannya takut melihat Zyan yang tampak emosi, dia malah tertawa. “Oke, aku tidak akan mengganggu waktu kalian. Jangan lupa kasih tahu aku kalau kamu sudah bosan dengan sekretarismu itu!” Pria bermata sipit itu mengatakan kalimat terakhir dengan suara pelan.“Jangan pernah bermimpi mendapatkan Zahra! Dia sudah jadi istriku sekarang.” Zyan harus bersikap tegas agar Aswin tidak menggoda Zahra lagi. Dia terpaksa mengakui
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama