"Rin, gimana? Hasilnya sudah ada?" Mila bertanya dengan penuh antusias.Kedua bahu Rini meluruh. "Asisten pribadi Zyan tidak mau membantu, Mil. Dia bilang kita harus menghubungi lab sendiri," jawabnya."Ya sudah, kalau begitu kamu hubungi labnya sendiri, bisa 'kan?" Mila memandang asisten pribadinya itu.Rini mengangguk. "Bisa. Masalahnya aku ga punya nomor labnya," ungkapnya."Ya Tuhan. Jadi kemarin kamu diam saja waktu petugas lab ambil darahku dan sampel dari Gala?" Mila menatap Rini tak percaya."Aku pikir karena dibantu asisten Zyan, semua akan di-handle sama dia sampai selesai. Ternyata dia tidak mau ikut campur lagi," aku Rini.Mila menghela napas panjang setelah mendengar pengakuan asisten pribadinya. "Tumben sekali kamu tidak bisa diandalkan kali ini, Rin," keluhnya."Maaf, Mil. Ini 'kan juga di luar prediksiku." Rini tampak sangat menyesal."Ya sudah, mau bagaimana lagi. Aku coba kirim pesan sama Faisal saja." Mila kemudian mengambil gawai dan mengirim pesan pada asisten pri
Rini dan Mila menyambut dengan ramah kedatangan para wartawan di aula rumah makan yang mereka sewa untuk konferensi pers. Para pencari warta itu langsung diminta menikmati hidangan yang disajikan begitu tiba di aula. Mereka mengikuti cara Zyan dalam menjamu para wartawan walaupun hidangannya lebih sederhana.Setelah banyak wartawan yang datang, acara konferensi pers dimulai. Siang itu, Mila mengenakan gaun hitam lengan pendek dengan panjang selutut. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Dia merias wajah dengan warna natural agar tidak terlalu mencolok. Untuk alas kaki, artis itu memakai flat shoes yang senada dengan warna gaunnya.Rini membuka konferensi pers. Di depan wartawan, selain ditemani sang asisten, Mila juga ditemani oleh seorang pria yang berprofesi sebagai pengacara, seorang kenalan yang semalam dia hubungi. Pengacara itu di sana hanya mendampingi, bukan sebagai kuasa hukum Mila. Dan juga sebagai teman yang bisa memberi nasihat dan menengahi bila ada masalah.“Selamat
Mila terhenyak mendengar pertanyaan tersebut dan tak langsung menjawab. Dia malah berbisik pada Hasan, pengacara yang duduk di sampingnya. “Bagaimana ini? Apa aku harus bicara jujur?”“Kalau mau aman, jawab saja mereka nanti juga akan tahu kalau sudah saatnya,” jawab sang pengacara juga dengan berbisik.Mila mengangguk kemudian kembali menghadap para wartawan. “Mohon maaf, Teman-teman, untuk sekarang saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Saya akan memberi tahu bila sudah saatnya,” ucapnya.“Saya rasa sudah cukup pertanyaannya. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas kedatangan Teman-teman wartawan. Mohon maaf bila dalam pelaksanaan konferensi pers siang ini ada salah, khilaf, dan banyak kekurangan. Semoga Teman-teman lancar pekerjaannya dan pulang dalam keadaan sehat dan selamat. Selamat siang.” Mila memutuskan menutup konferensi pers siang itu. Dia sudah cukup pusing menerima berbagai pertanyaan kritis dari para wartawan.Meskipun merasa kecewa karena konferensi pers sudah
“Tolong ajukan laporan ke polisi hari ini juga,” pinta Zyan pada pengacara yang datang ke kantornya.“Apa tidak sebaiknya kita somasi terlebih dahulu, Pak? Kalau mereka tidak memberi tanggapan baru lapor ke polisi,” ujar sang pengacara.Zyan menggeleng. “Tidak perlu somasi, hanya buang-buang waktu. Kemarin aku sudah memberi dia waktu untuk melakukan klarifikasi lewat konferensi pers, nyatanya apa? Tetap sampah yang dia bicarakan. Kalau perlu, keluarkan bukti persekongkolan mereka,” ucapnya dengan geram.“Sabar, Bang. Istighfar.” Zahra mengelus tangan Zyan yang menggenggam tangannya.“Astaghfirullah.” CEO itu pun mengucap istighfar beberapa kali setelah diingatkan sang istri. Menjadi suami Zahra membuatnya jadi lebih bisa mengendalikan diri karena istrinya itu selalu membuatnya ingat pada Tuhan. “Kalau keinginan Pak Zyan seperti itu, kami akan langsung ke kantor polisi untuk mengajukan laporan,” ucap pengacara itu setelah Zyan terlihat lebih tenang.Zyan mengangguk. “Terima kasih. Sek
“Mil, bangun! Kita dapat masalah.” Rini membangunkan Mila yang sedang tidur di kamarnya. Mila menggeliat sebelum pelan-pelan membuka mata. “Masalah apa sih, Rin?” tanyanya dengan suara serak. “Zyan melaporkan kita ke polisi,” jawab Rini sambil menatap sang artis. “Apa?” Mila seketika bangun, lantas duduk di atas tempat tidur. “Apa kamu bilang tadi? Kita dilaporkan polisi?” Rini mengangguk. “Iya. Bang Herman, pengacaranya Zyan yang melaporkan,” jelasnya. “Astaga! Kok bisa? Kita ‘kan sudah menuruti keinginannya untuk melakukan klarifikasi,” tukas Mila. “Zyan tidak terima yang kamu bilang kita hanya bercanda di rumah sakit,” sahut Rini. “Ya, ampun. Kenapa jadi begini.” Mila terlihat gelisah. “Kamu kenapa harus bohong soal itu sih, Mil? Masalahnya jadi makin besar ini karena aku juga ikut dilaporkan, tidak hanya kamu,” lontar Rini. “Rin, kamu ingat ‘kan yang dibilang sama Hasan. Kita tidak usah saling menyalahkan karena kita sama-sama salah.” Mila menatap Rini dengan kesal. Selal
"Terima kasih, Bang. Semoga laporannya segera diproses. Ya, tolong kabari setiap perkembangannya." Zyan berbicara pada orang yang menghubunginya. Setelah panggilan itu berakhir, tak lama kemudian dia menghampiri sang istri yang duduk di depan meja rias dan sedang melepas hijab serta aksesori yang dipakainya."Alhamdulillah, Bang Herman sudah membuat laporan ke polisi, Ra." Zyan memberi tahu Zahra seraya memandang sang istri melalui pantulan bayangan di cermin."Alhamdulillah. Cepat sekali ya kerjanya," sahut Zahra."Ya, begitulah Bang Herman. Makanya kami selalu menggunakan jasanya sebagai pengacara keluarga," ucap Zyan."Bang, siapa yang mandi duluan. Aku atau Abang?" tanya Zahra sambil membersihkan riasan di wajahnya."Abang maunya mandi berdua, Ra. Biar selesainya bisa barengan. Jadi ga saling nunggu," jawab Zyan sambil menaikturunkan kedua alis tebalnya.Zahra mencibir. "Itu sih modusnya Abang."Pria bercambang tipis itu tertawa kecil. "Halal 'kan modusin istri sendiri," timpalnya.
“Rin, coba kamu hubungi lab, sudah keluar apa belum hasil tesnya?” pinta Mila pada asisten pribadinya.“Oke.” Rini yang sedang memegang gawai lantas mencari kontak laboratorium kemudian melakukan panggilan. Setelah selesai berbicara dengan petugas laboratorium, dia memberi tahu Mila. “Katanya besok jadi. Tapi waktunya belum tahu jam berapa. Mereka akan kirim hasilnya lewat email kalau sudah jadi.”Mila menyengguk. “Semoga saja tidak sampai malam jadinya. Aku ingin segera bertemu Gala dan membicarakan bagaimana selanjutnya.”“Terus bagaimana dengan laporan Zyan, Mil? Apa Hasan sudah menghubungi kamu?” Berganti Rini yang kini tampak khawatir.Sang artis menggeleng. “Belum. Mungkin dia sedang diskusi sama atasan dan timnya. Kita tunggu saja sampai jam pulang kantor, Rin.”Asisten pribadi Mila itu menghela napas panjang. “Semoga saja mereka mau bantu kita ya, Mil.”“Semoga saja,” sahut Mila yang juga sangat mengharapkan bantuan Hasan.“Seandainya Hasan tidak bisa, apa kamu punya gambaran
“Menurut hasil tes DNA yang dikirimkan oleh laboratorium, Gala memang ayah biologis dari janin yang dikandung Mila, Pak.” Faisal akhirnya memberi tahu Zyan dan juga Zahra.“Nah, dari tadi bilang begitu ‘kan langsung jelas. Tidak perlu bertele-tele dulu,” tukas Zyan.“Maaf, Pak.” Faisal sedikit membungkukkan badan sebagai tanda permintaan maafnya.“Apa Mila sudah memberi tahu Gala soal itu?” tanya Zyan kemudian.“Sepertinya belum. Dari pantauan terakhir, mereka sedang bingung mencari pengacara, Pak,” jawab Faisal.Zyan mengernyit. “Memangnya mereka tidak kuat bayar pengacara?”“Mila inginnya mereka saling menguntungkan, Pak. Dia ingin bayar mahal pengacara karena nanti pengacara itu pasti juga akan dapat nama kalau mau jadi kuasa hukumnya,” jelas Faisal.Zyan yang masih berbaring di sofa, tertawa kecil usai mendengar penjelasan sang asisten pribadi. “Otak bisnisnya ternyata jalan juga,” gumamnya. “Mila ‘kan sekarang tidak punya pekerjaan, Pak. Saya rasa dia ingin menghemat uangnya,” c
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama