Mila menelan saliva. Apa yang dikatakan oleh asisten pribadinya itu ada benarnya. Bahkan bisa dibilang benar semua. Memang secepatnya dia harus bertemu dengan Gala dan mencari solusi bersama. Bagaimanapun mereka harus bertanggung jawab atas janin yang tumbuh di rahimnya. Mila tidak mau menanggungnya sendiri karena mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Mila ingin status yang jelas untuk anak yang dikandungnya.“Mil, kenapa malah diam?” tegur Rini karena artisnya itu hanya diam. “Kamu masih ingin jadi artis atau setidaknya jadi selebgram atau tidak?” Dia mengulang lagi pertanyaannya tadi.Mila mengangguk pelan. “Tentu saja masih ingin. Aku tidak tahu harus kerja apa kalau tidak jadi artis,” akunya.“Kalau begitu lakukan apa yang aku katakan tadi. Sebelum keluarga Zyan bertindak lebih jauh. Bisa jadi tak lama lagi kamu akan diusir dari sini,” tukas Rini.“Zyan, tidak akan mengusirku. Dia sudah menyewakan unit ini untukku selama setahun. Dia bukan tipe orang yang suka mengambil a
Zyan menatap tajam asistennya. “Aku tidak peduli pria itu mau bertanggung jawab atau tidak. Aku cuma ingin tahu orangnya. Secara tidak langsung, dia ikut andil dalam permasalahan ini. Dia yang berbuat dengan Mila, tapi malah aku yang kena imbasnya. Setidaknya dia juga harus merasakan apa yang kurasakan sekarang,” tegasnya.“Baik, Pak. Tadi saya sudah menempatkan orang untuk mengawasi Mila dan memasang penyadap di unitnya. Semoga saja secepatnya ada titik terang,” sahut Faisal.Zyan mengangguk menanggapi asisten pribadinya itu. “Fai, apa kamu tahu nomor ponsel ayah dan ibu mertuaku?” tanyanya kemudian dengan nada suara dan ekspresi wajah yang lebih tenang.“Tahu. Apa Pak Zyan membutuhkannya? Nomor ponsel Amir juga ada kalau Pak Zyan juga mau,” jawab Faisal.“Kirim ke aku semua nomor mereka!” perintah Zyan.“Siap, Pak.” Asisten pribadi Zyan itu kemudian mengambil gawai dari saku celana lantas mengirimkan nomor ponsel Umar, Maryam, dan Amir pada Zyan. “Sudah, Pak. Silakan dicek,” ucapnya
“Memangnya bisa tes DNA sekarang? Anaknya ‘kan belum lahir?” Gala berkilah seraya mencari-cari alasan.Mala tersentak mendengar ucapan Gala, tapi dengan cepat artis itu menguasai diri. Meskipun belum tahu bagaimana mekanismenya, dia harus bisa meyakinkan Gala. Kalau Zyan bisa melakukan tes DNA pada janinnya, pasti yang lain juga bisa.“Sekarang ini teknologi sudah sangat maju. Tentu saja tes DNA bisa dilakukan meskipun bayi masih di dalam kandungan,” ujar Mila. Dia lantas menatap lekat sang aktor. “Bagaimana? Kamu mau ‘kan?”Gala pun menatap tajam Mila. “Kalau aku tidak mau, kamu pasti akan tetap memaksaku dengan berbagai cara ‘kan?”Mila mengangguk. Mengakui apa yang dikatakan oleh Gala. Dia memang akan menghalalkan bermacam cara agar pria itu mau melakukan tes DNA. “Tentu saja. Sebagai orang yang sudah dewasa, kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan. Bukan lari dari tanggung jawab.”Gala mengembuskan napas kasar. “Aku akan melakukannya, tapi aku tidak mau terendus ol
“Aku baru mau tidur. Ada apa malam-malam kamu mencariku, Fai?” Zyan menimpali asisten pribadinya setelah tadi hanya diam saat mendengar ada yang masuk ke ruang rawat inapnya.“Ada berita penting yang mungkin akan membuat Pak Zyan lebih tenang tidurnya,” sahut Faisal yang sukses membuat sang atasan merasa penasaran.“Apa itu? Cepat katakan!” perintah Zyan dengan tak sabar.“Mila mengakui kalau Pak Zyan bukan ayah biologis anak yang sedang dia kandung. Dia juga minta tolong melakukan tes DNA dengan pria yang sudah menghamilinya.” Jelas Faisal.Zyan sontak memandang pria yang berdiri di sisi ranjang pasien itu. “Kamu tidak bercanda ‘kan?” tanyanya memastikan.Faisal menggeleng. “Saya rasa Pak Zyan tahu kalau saya tidak suka bercanda. Apalagi untuk hal penting seperti ini,” tegasnya.“Apa informasi itu valid?” Zyan masih belum sepenuhnya percaya pada sang asisten pribadi.“Sangat valid, Pak. Asisten Mila sendiri yang tadi menghubungi saya,” terang Faisal.“Sudah kamu pastikan kebenarannya
Pukul 6.00 pagi, Rania datang ke rumah sakit bersama asisten pribadinya. Dia menyuruh Faisal pulang setelah semalaman menjaga dan mengurus segala kebutuhan Zyan. Asisten pribadi putranya itu pun menurut. Setidaknya Faisal bisa beristirahat sebentar di apartemennya sebelum pergi ke kantor.Rania menyiapkan dan membantu Zyan mengenakan pakaian usai putra sulungnya itu mandi. Satu tangan Zyan masih diinfus, jadi dia butuh bantuan orang lain untuk memakai atasan. Setelah itu Rania dibantu asisten pribadinya membereskan pakaian Zyan yang berencana pulang hari ini.Wanita paruh baya itu kemudian mengompres lebam di wajah Zyan dengan air hangat untuk meningkatkan aliran darah di area yang memar dan mempercepat pemulihan. Dia merasa miris melihat wajah putranya yang mulai berwarna ungu karena pukulan Amir tempo hari.“Apa ini sakit?” tanyanya seraya menatap sang putra dengan iba.Zyan mengangguk. “Tapi ga sesakit waktu ditolak sama Zahra, Ma,” akunya sambil meringis kala Rania mengompres sisi
Umar memandang istrinya sebelum memberi tanggapan pada Zyan. Kedua orang itu seolah berbicara lewat tatapan mata dan hanya mereka yang tahu. “Nak Zyan, bukan ayah tidak mengizinkan, tapi semua tergantung sama Zahra. Ibu akan coba membujuk Zahra agar mau bertemu Nak Zyan. Tapi kami tidak bisa janji,” ucapnya.Zyan mengangguk. “Iya, Yah. Semoga saja Zahra mau menemui saya,” timpalnya penuh harap.“Ibu masuk dulu mau bicara dengan Zahra. Oh ya, Nak Zyan mau minum apa?” tanya Maryam sebelum beranjak dari duduknya.“Terima kasih tawarannya, Bu, tapi tidak usah. Saya masih kenyang,” jawab Zyan.Maryam lantas meninggalkan suami dan menantunya di ruang tamu. Dia lalu pergi ke kamar putri bungsunya. “Rara,” panggilnya sesudah mengetuk pintu.“Ya,” sahut Zahra dari dalam kamar. Tak lama kemudian pintu kamar itu dibuka dari dalam lalu muncul sosok wanita yang mengenakan setelan piyama dengan wajah lesu dan rambut agak acak-acakan. “Ada apa, Bu?” tanyanya.“Kamu baru bangun, Ra?” Maryam mengamati
Maryam sontak pergi ke belakang begitu mendengar suara berdebum. "Ya Allah, Nak Zyan," pekiknya begitu melihat menantunya tergeletak di depan kamar mandi."Bang Zyan kenapa, Bu?" tanya Zahra yang menyusul ke belakang."Pingsan. Cepat panggil Ayah ke sini, Ra," perintah Maryam setelah menjawab pertanyaan putrinya.Zahra pun gegas pergi ke ruang tamu. "Yah, Bang Zyan pingsan di depan kamar mandi," ucapnya.Umar tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya kala mendengar laporan putrinya. "Kamu siapkan kamarmu. Ayah panggil bantuan dulu," titah Umar sebelum keluar rumah untuk meminta bantuan bodyguard yang berjaga di rumahnya. Raina memang menugaskan beberapa bodyguard di sana untuk mengantisipasi bila ada wartawan yang datang menyambangi rumah sang besan. Zahra gegas pergi ke kamar. Dia merapikan tempat tidurnya yang tadi sedikit berantakan dan menyiapkan tempat untuk tempat suaminya nanti berbaring. Tak lupa ibu hamil itu mengenakan jilbab instan untuk menutupi kepalanya. Para bodyguard y
Kening Zyan mengerut mendengar jawaban istrinya. “Kenapa harus nanti? Kenapa tidak sekarang saja?”“Bang Zyan, ‘kan baru sadar dari pingsan. Biar nyawanya terkumpul dulu dengan sempurna,” seloroh Zahra sambil tersenyum.Tangan kanan Zyan meraih wajah istrinya. Dengan jempol, dia menyeka air mata yang menetes di pipi Zahra. “Kamu lebih cantik kalau tersenyum, Ra. Jangan menangis lagi ya. Abang baik-baik saja kok,” ucapnya yang dibalas Zahra dengan anggukan.“Terima kasih sudah memaafkan abang,” imbuhnya.Belum sempat Zahra membalas ucapan suaminya, Maryam masuk ke kamar dengan membawa secangkir teh manis panas. “Nak Zyan, ibu buatkan teh jahe biar mualnya berkurang,” ucapnya sambil memandang sang menantu.Zyan seketika menoleh pada ibu mertuanya. “Terima kasih, Bu. Maaf selalu merepotkan,” lontarnya dengan tak enak hati.“Ibu tidak merasa repot kok,” timpal Maryam. Dia lantas beralih pada putri bungsunya. “Ra, bantu suamimu minum,” titahnya.“Bang Zyan, kuat duduk atau tidak?” tanya Za
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama