enjoy reading .... selamat sahur...
"Ehm ... bukan siapa-siapa, Pak," ucapku dengan berusaha setenang mungkin. Aku kembali memasukkan ponsel itu lalu menyodorkan kado yang Den Mas Lubis berikan untuk Pak Akhtara. "Ini, Pak. Dari Den Mas Lubis. Saya ke kamar mandi dulu." Aku beranjak ke kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur dengan membawa clutch bag. Tapi ketika akan mencapai pintu kamar, suara Pak Akhtara menginterupsi. "Jihan, kamu yakin mau ke kamar mandi bawa tas?" Aduh! Manusia satu ini bagaimana bisa begitu detail dengan setiap apapun yang dilihat? "Eh ... tas saya mau saya taruh di kamar, Pak." Pak Akhtara meletakkan kado dari Den Mas Lubis lalu berdiri seraya berjalan ke arahku. Mau apalagi suami kontrakku ini? Reflek aku memundurkan tubuh selangkah dengan wajah waspada. "Kenapa kamu kayak takut gini? Siapa yang nelfon?" Kepalaku menggeleng tegas lalu masuk ke dalam kamar begitu saja. "Jihan!" Tanpa memperdulikan panggilan Pak Akhtara aku segera memasuki kamar mandi dengan membawa clutch b
"Jihan! Buruan! Mau sampai kapan kamu berendam di kamar mandi?!" Itu suara Pak Akhtara. Si suami kontrakku yang menyebalkan tujuh atap tujuh langit dan semoga saja tidak tujuh turunan! "Ya, Pak! Masih luluran!" Karena ancamannya tadi, aku berbalik badan ke kamar mandi lalu berendam air hangat di bath up yang tersedia. Menuangkan aromatherapy lavender sedikit lebih banyak dan merenungi banyak hal selama aku sendirian di sini. Hasilnya .... ah, lumayan untuk menghibur diri sendiri. Bahwa aku perlu waktu untuk berpikir jernih setelah pertengkaranku dengan Pak Akhtara. Aku mengalah dan sadar bila beliau berhak atas diriku sepenuhnya. Selain kami terikat pernikahan yang sah, beliau juga sudah menunaikan kewajibannya dengan memberiku sejumlah uang selama menjadi istri kontraknya. "Jihan! Kenapa kamu masih belum keluar juga! Keluarga saya udah nunggu di luar!" Aku menghela nafas panjang lalu mematikan vape. Sigaret jaman sekarang yang menggunakan liquid. Kebetulan ada di dalam cluth
Usai melepas kaosnya yang basah kuyup di tengah gelapnya ruang tamu dan hujan deras di luar yang masih mengguyur, Pak Akhtara menjawab ... "Lepas baju lah, Han. Kalau saya pakai baju basah, malah masuk angin." Oh .... syukurlah. Aku kira Pak Akhtara akan melepas bajunya lalu mendekapku untuk memberi kehangatan. Selayaknya dalam film-film romantis. Tapi beliau tidak melakukan itu. Kukira beliau akan mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk bisa memelukku di situasi yang mendukung seperti ini. Kuakui, Pak Akhtara benar-benar seorang manajer sekaligus lelaki yang teguh pada prinsip. Pantas saja mantan tunangannya dulu bersedia melakukan apa saja demi mendapatkan hati Pak Akhtara lagi. "Kamu berani di sini sendiri kan, Han?" Masih dengan mendekap selimut yang membungkus tubuh dan pakaianku yang basah kuyup disertai menahan nyeri di kaki yang terkilir. "Emangnya Bapak mau kemana?" Sekilas cahaya petir yang menyala dan menembus jendela kaca villa ini, membuatku bisa melihat da
"Berisik!" Pak Akhtara lalu menggendongku di tengah keremangan malam villa yang kami huni berdua saja. Dengan kami sama-sama memakai bathrobe. Kedua tanganku ada di pangkuan lalu beliau menggendongku begitu saja. Kedua tangannya terasa erat memegangi tubuhku dalam dekapannya. Nyatanya digendong Pak Akhtara seperti ini juga bisa membuatku malu-malu kucing. Tubuh tegapnya seakan tidak merasa berat sama sekali saat mengangkatku. Kuakui postur tubuh Pak Akhtara itu jauh lebih tinggi dan gagah dari Mas Hadza. Tapi tetap saja, rasa cintaku ini hanya untuk Mas Hadza. Kemudian beliau mendudukkanku perlahan di tepi ranjang. Tapi rasa nyeri dan nyut-nyutan di kaki itu kembali mendera. "Aduh .... " Keluhku dengan menyentuh kaki kiri yang menapak di lantai. Sedang senter ponselku tetap menyala di sampingku. "Sakit banget, Han?" "Iya, Pak. Nyut-nyut banget." "Kamu itu jalan gimana sih?!" Lha ... kenapa aku justru diomeli? "Namanya juga licin, Pak. Hujannya mendadak." Aku meringis
Bukan tanpa alasan, aku benar-benar tidak mau disentuh atau berhubungan dengan Pak Akhtara selayaknya suami istri. Kami hanya menikah kontrak dan aku tidak jatuh cinta padanya. Aku menjadi istrinya murni karena profesionalisme semata. Dan yang lebih membuatku marah adalah karena dibalik bathrobe ini tidak ada kain apapun lagi yang menutupi tubuhku. Karena semuanya masih basah. Aku benar-benar jijik, kesal, sekaligus marah andai Pak Akhtara semalam benar-benar menyentuh bagian tubuhku saat aku terlelap. Itu sama saja dengan menodaiku! "Harusnya Bapak bangunin saya meski saya masih tidur! Saya jijik sama apa yang terjadi semalam, Pak!" Pak Akhtara menatapku sungguh-sungguh tanpa senyum sama sekali seperti tadi. "Kita nggak melakukan apapun, Han." "Tapi saya nggak mau!" ucapku keras. Lalu air mataku memenuhi kelopak mata. Menunjukkan betapa sedih dan merasa hinanya aku merapat ke arah Pak Akhtara secara tidak sengaja untuk mencari kehangatan semalam. Siapa yang salah? Kami b
"Saya dan Rani mau izin pulang kampung, Mbak Jihan." Jika Bik Wati dan Rani pulang kampung, lalu siapa yang akan mengurus rumah ini? "Berapa lama, Bik?" Bik Wati tidak segera menjawab, melainkan berpikir sejenak dengan melipat kedua bibirnya ke dalam. "Kira-kira satu sampai dua bulanan, Mbak Jihan." Aku menaikkan kedua alis mendengar ucapannya. Bukankah itu artinya aku dan Pak Akhtara akan berada di rumah ini berdua saja selama itu? Membayangkan satu atap berdua dengan Pak Akhtara mendadak bayanganku persis dengan apa yang kami alami kemarin di Puncak. Tapi .... Ah .... aku terlalu buruk menilai Pak Akhtara yang buktinya kini merasa terhina dengan dugaannku yang tak terbukti. Seharusnya aku tidak perlu takut bersama beliau karena ia bukan lelaki penggoda. "Kok lama, Bik?" "Emaknya Bibik sakit keras, Mbak. Saudara-saudara Bibik yang lain udah pada angkat tangan. Jadi Bibik harus pulang. Dan Rani pengen ikut pulang sekalian." Kepalaku hanya mengangguk pelan. "Rencananya pul
Usai menyantap makan siang dengan keheningan bersama Pak Akhtara, kami semua yang ada di rumah ini berkumpul. Pak Akhtara, aku, Bik Wati, dan Rani tengah duduk bersama di ruang makan. Tujuannya adalah untuk mendengar alasan Bik Wati yang mendadak ingin pulang kampung. Alasannya sama dengan yang Bik Wati katakan padaku tadi. Bahwa Emaknya sedang sakit keras di kampung halaman dan tidak ada saudara yang bisa merawat. Tidak hanya itu, Bik Wati juga berniat meminjam sejumlah uang pada Pak Akhtara untuk bekal hidup di kampung. Barangkali tabungannya tidak cukup. "Saya kasih lima belas juta, Bik. Nggak usah dikembalikan. Anggap sebagai ucapan terima kasih saya karena selama ini Bibik dan Rani udah kerja dengan baik." Bik Wati menerima uang itu dengan senyum tulus yang bahagia. "Terima kasih banyak, Pak Akhtara. Terima kasih. Semoga Bapak sehat, bahagia, dan langgeng selalu dengan Mbak Jihan. Rumah tangganya selalu dilimpahi keberkahan." Lha? Mengapa doanya menjadi mengikutsertakan
"Ayo, Han. Saya bantu berdiri. Kakimu pasti nyeri dipakai berdiri setelah dipakai duduk." Wow ... sebaik inikah Pak Akhtara? Setelah aku menapakkan kedua kaki ke aspal, kedua tangan Pak Akhtara mengamit lenganku. Benar saja, ketika aku baru saja berdiri, kaki kiriku tetiba saja terasa begitu nyeri. Aku sedikit meringis karena kaki kiriku terasa nyut-nyut. Kemudian Pak Akhtara menuntunku menuju ojek online yang sudah terparkir di depan mobilnya dengan tertatih-tatih. "Nanti mau dipijat lagi?" "Iya, Pak. Maaf ngrepotin Bapak.""Nanti kita mampir ke rumah ahli pijat setelah pulang kerja."Aku pun mengangguk sebagai jawaban.Setelah aku menaiki boncengan ojek dengan benar, Pak Akhtara berucap pada pengemudinya. "Hati-hati ya, Pak. Saya ikuti dari belakang. Nanti kalau sudah sampai kantor, tolong turunkan penumpangnya di depan lobby. Jangan di tepi jalan." Kepala pengemudi ojek itu mengangguk paham. Lalu Pak Akhtara menatapku sekilas kemudian berjalan cepat menuju kursi kemudi mobiln
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m