Aku mengerjap berulang kali ketika merasakan sesuatu menyilaukan mata ini. Sebelumnya, aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku. Namun, suaranya tidak jelas, seperti jauh.Setelah beberapa menit, akhirnya aku bisa membuka mata meski rasanya berat sekali. Seketika pening kembali menjalari kepala. Tubuhku rasanya juga sakit semua. Mungkin karena hal itu, sekarang aku berada di hotel putih ini."Ayesha ... alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Mas Athaar berkata sambil tersenyum senang. Dialah orang yang pertama kali aku lihat. Apa dia yang sejak tadi memanggilku? "Mas panggilkan dokter, ya?"Aku menggeleng cepat, karena merasa tak perlu diperiksa dokter sekarang. "Mas, kok kamu di sini?" tanyaku sambil melihat sekeliling. Aku tak mendapati Ibu berada di sini."Mas nungguin kamu sadar, Sha. Sudah dua hari kamu pingsan." Mas Athaar berkata dengan suara berat.Dua hari aku pingsan? Pantas saja tubuh ini rasanya kaku semua. Ternyata benturan keras itu membuatku jadi seperti ini. Mengi
"Sha, kok bengong? Kenapa?" Mas Athaar bertanya seperti itu karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya tadi."A-aku, nggak apa-apa, kok," jawabku gugup.Mas Athaar memandangi wajahku dengan sedikit aneh. Pasti sikapku sudah membuatnya semakin curiga. Namun, aku tak tahu bagaimana bersikap biasa-biasa saja di hadapannya."Ayesha, kamu kenapa? Pertanyaan mas nggak sopan, ya? Ya, udah nggak perlu dijawab."Harusnya aku senang mendengar ucapan Mas Athaar. Namun, aku malah gundah karena merasa menyembunyikan sesuatu darinya. Memang tak ada ikatan di antara kami, tapi sebagai orang yang berniat serius padaku, Mas Athaar pasti kecewa jika ada yang diri ini tutupi.Nyatanya, aku kecewa dengan diri sendiri. Aku terlalu takut untuk jujur. Padahal, mungkin lebih baik semuanya diungkap sekarang daripada di kemudian hari. Karena sebaik apa pun aku tutupi, suatu saat pasti akan terbongkar jika Azka masih terus-menerus mendekati diri ini."Emm ... Mas, aku minta maaf sebelumnya. Mungkin kamu akan
"Istighfar, Sha. Sabar," kata Mas Athaar lagi sembari menahan pukulan tangan ini yang hampir saja mengenai wajah Kak Dinda. "Ingat, kondisi kamu belum benar-benar pulih. Kamu mau kembali ke rumah sakit?" Kini, pria itu menatapku dengan tenang.Napasku masih naik turun. Dada ini rasanya seperti terbakar. Beruntung ada Mas Athaar yang bisa mengendalikan emosi ini. Jika tidak, kemungkinan kepala Kak Dinda sudah bocor sekarang.Emosiku pada Kak Dinda memang belum stabil. Melihat wajahnya saja aku malas, apalagi berdebat lagi dengannya. Namun, Kak Dinda seperti sengaja memancing keributan dan ujung-ujungnya drama lagi. Jujur, aku lelah."Yuk, duduk dulu. Mas ambilkan minum sebentar." Mas Athaar bergegas menuju dapur. Aku hanya berterima kasih dalam hati atas kebaikan dan ketulusan Mas Athaar. Jika tak ada dia, mungkin tak ada yang merawat diri ini sekarang.Ibu saat ini tidak ada di rumah. Beliau dibawa menginap di rumah Bu Wening. Kata Ibu, Bu Wening repot jika harus bolak-balik dari ruma
Keringat dingin mulai mengucur membasahi keningku. Aku ketakutan dan merasa sangat yakin jika Mas Athaar benar-benar mau memutuskan mengakhiri perjodohan kami. Bukan tanpa alasan aku berpikir seperti itu. Mas Athaar tampak memasang wajah tegang, tak semanis biasanya."Nduk ... kamu kenapa? Kok, pucet? Kamu sakit lagi, ya?" Ternyata Ibu menangkap wajah ketakutanku. Beliau tampak cemas sekali.Seketika Mas Athaar melihatku. Namun, dengan cepat pria itu mengalihkan pandangan."Ng-nggak apa-apa, Bu," jawabku gugup."Nak Athaar, katanya mau ngomong? Mau ngomong apa?" Kini Ibu bertanya pada Mas Athaar. Hal itu membuatku semakin takut.Aku memberanikan diri melirik wajah Mas Athaar. Dapat aku nilai, pria itu kini tengah gugup. Seperti sedang menimbang-nimbang kalimat yang bagus agar tidak menimbulkan masalah. Namun, entahlah jika diri ini salah.Mas Athaar menghela napas panjang sebelum akhirnya mengutarakan isi hatinya. Kini, detak jantung ini semakin tak menentu. Seperti hendak pingsan saj
Aku memejamkan mata kemudian menggeleng dengan cepat. Helaan napas kasar terdengar dari mulut ini setelahnya. Rasanya ada sedikit kesal dengan pertanyaan Mas Athaar. Namun, tidak pantas jika aku memarahinya lagi."Maaf, kalau mas salah." Mas Athaar sepertinya mulai paham dengan sikapku. Namun, tetap saja aku yang tak enak hati. "Mas akan nunggu sampai kamu siap." Kalimat itu diucapkan Mas Athaar dengan nada pelan. Bahkan hampir tak terdengar."Aku yang harusnya minta maaf, Mas. Ketulusan kamu sering kali aku abaikan dan tidak aku hargai. Aku harap, Mas jangan bahas Azka lagi, ya. Dia bukan alasan aku untuk menunda ini semua Mas. Semoga Allah melindungi niat baik kita sampai waktunya tiba, ya.""Aamiin," sahut Mas Athaar sambil menatap langit tanpa kedip, seolah-olah dia bisa menembus ruang angkasa. "Besok aku ke Surabaya, Sha." Kalimat yang baru saja diucapkan Mas Athaar mampu membuatku penasaran. Apa dia berniat meninggalkan aku?"Mas marah, ya?""Maksudnya?" Mas Athaar mengeryitkan
Kak Dinda tiba-tiba muncul. Sambil melotot, wanita itu berjalan mendekat ke arahku. "Lancang sekali kamu! Kamu tau, nggak dia siapa?!"Aku hanya bergeming. Rasa dilema tiba-tiba menyergap dalam dada. Haruskah aku jujur jika mengenal tamu itu? Atau berpura-pura tak mengenalnya. Namun, bagaimana jika ibunya Azka itu mengaku mengenalku? Ya, tamu itu adalah ibunya Azka, orang yang malas untuk aku bicarakan."Eh, Dinda. Apa-apaan kamu? Jangan kasarlah sama dia." Ibunya Azka bicara sok lembut. Hmm ... menjijikkan."Kenapa Mama malah marahin aku, sih? Harusnya Mama senang aku belain.""Dinda, mama nggak marah. Cuma nggak suka kalau kamu kasar sama orang."Sebenarnya ibunya Azka datang ke sini bersama Kak Dinda atau sendirian, ya? Jika sendirian, apa tujuannya? Apa memang sengaja untuk bertemu aku? Aku sangat curiga karena wanita itu biasanya kasar, tapi kali ini dia lembut sekali.Lantaran malas melihat dua orang yang kini saling beradu kata, aku memilih masuk ke dalam rumah. Namun, baru saja
"Nah, kebetulan kamu datang, Thar." Kak Dinda kembali memulai pembicaraan setelah kami menjawab salam Mas Athaar. "Sha, ayo jelaskan! Mumpung ada calon suami kamu di sini. Biar dia tau, kamu itu perempuan kayak apa!"Entah seperti apa wajahku saat ini. Yang jelas, detak jantungku berpacu kencang sekali. Melihat wajah Mas Athaar yang kini tampak kebingungan, aku merasa semakin berdosa padanya. Selembar foto yang tadi dilempar Kak Dinda ke meja, sudah dilihat oleh pria itu."Kamu yang tenang, Dinda. Biar Athaar nggak kaget." Ibu bertindak sebagai penengah, meski aku tahu beliau juga merasa kecewa padaku."Biar nggak kaget Ibu bilang? Bagaimana dengan aku, Bu? Ibu nggak mikirin aku? Aku sakit hati Bu!""Cukup, Kak! Oke, aku akan jelaskan!" Aku tak tahan melihat Ibu dibentak-bentak oleh Kak Dinda. Ini kesalahan dan Kecerobohanku. Ibu tak pantas menanggung beban apa yang sudah aku lakukan."Ayesha, jadi ini alasan kamu nggak mau nikah sama mas?" Kini Mas Athaar buka suara. Wajah pria itu t
Ditanya seperti itu oleh Kak Dinda, membuatku mendadak lemas. Persendian ini rasanya lunglai. Ucapan Azka waktu itu nyatanya masih diingat oleh Kak Dinda. Aku pikir, masalah ini selesai setelah aku menjelaskan tentang foto itu. Namun, malah seperti ini.Masalah dengan Mas Athaar juga harus secepatnya aku selesaikan. Agar tak menjadi buah pikiran dan kesalahpahaman berlarut-larut. Eh, Kak Dinda malah terus-terusan mengintimidasi. Entah bagaimana membuatnya percaya dan tak lagi curiga."Sayang ... masalah itu, kan karena aku mabuk. Orang mabuk ucapannya ngelantur. Aku sendiri pun bingung kenapa aku bisa ngomong begitu waktu itu." Azka rupanya berada di pihakku kali ini. Mungkin dia sudah menyadari jika menguak rahasia hanya akan menghancurkan segalanya.Kak Dinda diam. Namun, tatapannya penuh selidik. Apa dia sedang membaca mimik wajah Azka? Apa mungkin Kak Dinda tahu jika ucapan suaminya hanya sandiwara belaka?"Dinda, sudahlah. Kenapa kamu mesti cemburu sama adikmu sendiri? Jangan ber
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok