Setelah Kaito pergi, Izumi kembali membawa langkahnya menuju tepi pantai. Tanpa diduga ternyata Nana juga berada di sana. Sama seperti dirinya, gadis itu tampaknya masih belum ingin untuk pulang. Izumi melangkah menghampirinya dan ikut duduk di samping gadis itu. Nana sempat terkejut dengan kehadiran Izumi yang tiba-tiba. Namun pada akhirnya gadis itu tersenyum kepadanya.
“Kupikir kau pulang tadi,” ucap Nana.
“Tadinya. Tapi karena sudah lama tak melihat laut, aku berpikir untuk tinggal lebih lama,” ujar Izumi.
“Kurasa kita punya alasan yang sama,” timpal Nana lalu tertawa kecil. Keduanya terdiam sesaat, sama-sama menatap ke arah laut biru. Lalu Nana kembali bersuara. “Lautnya biru sekali, ya.”
“Kau tak ingin mendekat ke sana? Menyentuh air laut dengan kakimu.”
“Boleh,” ujar Nana.
Ia melepas alas kakinya lalu melangkah mendekat menuju bibir pantai bersama Izumi. Air laut yang sejuk dan jernih langsung membasahi kaki-kaki mereka yang tel
Pagi harinya Izumi bangun agak terlambat dari biasanya. Irisnya memicing karena silau oleh cahaya yang masuk melalui jendela yang tak tertutup tirai. Sudah pukul berapa ini? batin Izumi bertanya. Masih dalam kondisi setengah sadar, ia mengambil ponselnya dari atas nakas untuk melihat jam. Yabai–gawat! Sontak Izumi langsung bangkit dari tidurnya menuju kamar mandi tanpa basa-basi. Ia mandi dengan cepat, mungkin tak sampai lima menit lalu mengenakan seragam. Ia memasukkan buku-buku pelajarannya hari itu serta pakaian olahraganya ke dalam tas. Semuanya Izumi lakukan dengan terburu-buru. Bisa-bisanya dia tak mendengar suara alarm yang rutin membangunkannya setiap pagi. Apa itu karena dia tertidur terlalu nyenyak? Entahlah. Apapun alasannya itu tak penting sekarang. Yang jelas dia harus segera berangkat karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh lima menit. Sedangkan jam sekolah dimulai tepat pukul sembilan. Tanpa sempat merapikan kam
“Haah … aku capek. Tiga hari yang lalu kita baru selesai melakukan Sport Day dan sekarang kita harus berolahraga lagi,” keluh Jun selagi mengganti seragam mereka dengan pakaian olahraga di ruang ganti. Mata pelajaran untuk Kelas 3-A pada jam pertama adalah olahraga. Karena itu sesaat setelah bel masuk berbunyi, anak-anak Kelas 3-A langsung keluar kelas menuju ruang ganti, sementara Kouji-Sensei sudah menunggu mereka di lapangan. “Dasar payah! Kalau kau malas olahraga, badanmu akan tetap cebol seperti itu lho,” ejek Shuu di sela-sela kegiatannya berganti pakaian. “Berisik! Tinggiku ini standar tahu! Kau saja yang ketinggian seperti tiang listrik,” protes Jun tak terima dipanggil cebol oleh Shuu. “Standar untuk anak SD sih aku percaya,” balas Shuu tertawa. “Apa kau bilang?!” Jun menyikut pinggang Shuu cukup keras membuat pemuda itu meringis kecil. “Ittai! Pukulanmu sakit, Bodoh!” “Makanya berhenti mengejekku at
Nana yang mendengar ada suara langkah kaki mendekat langsung menoleh, berpikir kalau itu adalah Izumi. Senyum di wajah gadis itu mendadak buyar dan ekspresinya berubah kikuk ketika melihat orang yang berdiri di belakangnya ternyata adalah Ryu dan bukan Izumi. “Ryu, hai! Kau mau ada kelas di sini?” tanya Nana canggung setelah sadar kalau dia salah orang. “Tidak ada, aku ke sini mau mencarikan CD rekaman untuk Asahi-Sensei.” “Aa begitu, mau kubantu mencarinya?” tawar Nana. Ryu menggeleng. “Tidak usah, aku bisa melakukannya sendiri. Nana-chan lebih baik kembali karena kelas selanjutnya akan dimulai sebentar lagi,” balas Ryu menolak tawaran Nana. “Kau benar juga. Kalau begitu aku duluan, ya.” Nana bangkit dari duduknya. “Oh ya, orang yang sebelumnya di sini memintaku untuk memberitahumu kalau hujannya sudah reda.” Nana mengernyitkan alis. Namun sedetik kemudian gadis itu mengangguk mengerti. “Ah, arigatou
Ryu tersentak kaget ketika mendengar seseorang meneriakkan namanya. Pemuda itu menoleh. Perhatiannya kini tak lagi terfokus ke arah Nana dan Izumi. Namun sebelum dia sempat melihat orang yang tadi meneriakkan namanya, Ryu merasakan bola basket itu entah bagaimana tiba-tiba saja sudah menghantam wajahnya dengan keras. Hingga membuatnya jatuh terduduk. Untuk sesaat Ryu merasakan pandangannya tiba-tiba berubah menjadi gelap dan membuatnya harus mengerjapkan mata berulang kali. Mata dan wajahnya yang terkena bola terutama di bagian hidungnya kini terasa panas dan perih. Anak-anak klub basket yang lain sejenak menghentikan latihan mereka dan berlari menghampiri Ryu. Bahkan Nana yang tadinya diam menonton di pinggir lapangan ikut berlari ke arah Ryu ketika pemuda itu terjatuh. Sedangkan Izumi yang belum jauh beranjak dari lapangan basket, hanya melihat dari tempatnya berdiri sambil bertanya-tanya dalam hati apakah pemuda itu baik-baik saja. “Oi, oi, Ryuzaki. Daijoubu ka—k
Di depan gerbang sekolah, Izumi tak sengaja bertemu dengan Yuki yang kebetulan juga akan pulang. Alhasil keduanya pun pulang bersama. Kali ini mereka tak banyak berbincang dan hanya melangkah dalam diam. Hingga akhirnya dering ponsel Yukilah yang memecah keheningan di antara mereka. Gadis itu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas lalu membaca pesan yang baru saja masuk. Alis gadis itu sedikit bertaut. Dia lalu menatap Izumi dengan ragu. “Senpai, apa kau sibuk hari ini?” “Kurasa tidak. Ada sesuatu yang bisa kubantu?” tanya Izumi balik. “Jika tidak keberatan untuk hari ini saja, apa Senpai bisa membantu di toko? Aku baru mendapat kabar kalau pegawai yang punya jadwal hari ini tidak bisa datang karena sakit. Jadi kami kekurangan orang untuk membuat pesanan pelanggan,” terang Yuki. “Jangan khawatir, tugas Senpai tidak sulit kok! Hanya mengemas kue yang sudah jadi ke dalam kotaknya saja,” tambah Yuki. “Baik, aku bisa,” ucap Izumi
Setelah menghabiskan pudingnya, Izumi beranjak dari ruang makan dan kembali ke dalam kamarnya. Awalnya pemuda itu ingin langsung membaringkan diri di atas tempat tidurnya, tetapi urung ketika mengingat ada tugas yang sebelumnya diberikan oleh Miss Aizawa. Dia pun mendudukkan diri pada kursi belajarnya dan mengeluarkan buku Bahasa Inggrisnya. Izumi menyalakan lampu belajar dan mulai mengerjakan tugasnya. Miss Aizawa memberi mereka tugas untuk menerjemahkan cerita dari Bahasa Jepang ke dalam Bahasa Inggris. Tak terlalu sulit bagi Izumi, tetapi yang menjadi masalah adalah cerita yang dia terjemahkan banyak menggunakan huruf kanji yang tak ia mengerti. Akibatnya Izumi harus bolak-balik membuka kamus kanjinya sebelum akhirnya bisa menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris. Ketika sedang mengerjakan terjemahannya, Izumi sesekali tersenyum geli ketika membaca cerita tentang Momotaro. Ia tak bisa membayangkan bagaimana seseorang keluar dari dalam buah bersik. Tapi bukan
Nana terus memperhatikan layar ponselnya tanpa berkedip. Gadis itu membaca notifikasi baru dari akun Stargramnya berulang kali, itsharu menyukai foto Anda—begitu yang tertulis di sana. Ini benar kau, kan Haru-kun. Dengan perasaan gembira yang membuncah, Nana membuka profil yang memiliki username itsharu tersebut. Namun sesaat kemudian rasa gembiranya mendadak lenyap ketika tak menemukan informasi apapun di akun itu. Tak ada foto profil atau postingan sama sekali, bahkan daftar follower dan following akun itu juga masih kosong. Kalau seperti ini bagaimana aku bisa tahu kalau ini kau? batin Nana sendu lalu meletakkan ponselnya dan kembali meneruskan kegiatan belajarnya. ***** Izumi yang sudah s
Sore harinya sepulang sekolah, Izumi memilih berjalan-jalan sebentar melihat sekeliling area sekolah. Terakhir kali dia mengitari area sekolah ini adalah dulu ketika baru tiba di sini. Itu pun karena Nana yang dulu membawanya berkeliling. Sampai saat ini ruang gerak Izumi biasanya hanya terpusat di dalam kelas atau perpustakaan. Kali ini pemuda itu melangkahkan kakinya menuju gedung di sebelah yang digunakan sebagai ruangan klub. Dia sengaja melangkah ke sana karena sedikit penasaran dengan klub apa saja yang ada di sekolah ini. Menyusuri koridor yang disinari oleh sinar keemasan dari matahari sore, Izumi berjalan sendirian. Iris obsidiannya menatap satu persatu papan bertuliskan nama klub yang terpasang di atas pintunya. Basket, Voli, Sepak Bola, Baseball, Renang, Klub Sastra, Klub Drama, Seni Rupa, Paduan Suara, dan terakhir langkah Izumi berhenti di depan pintu bercat coklat yang mempunyai tulisan ‘Klub Kerajinan Tangan’ di atas pintunya. Melalui jendela kaca kec
"Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang
Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul
Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker
“Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un
Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b
Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S
Usai makan siang dan meminum obatnya, Izumi duduk berselonjor pada tempat tidurnya. Irama piano mengalun dengan lembut melalui earphone yang terpasang di telinganya, menemani Izumi yang tengah asyik membaca manga milik Ryu yang baru sekarang sempat dia baca lagi. Lembar demi lembar habis dilahapnya. Semakin jauh halaman yang dia buka, Izumi merasa cerita itu semakin menarik. Penggambaran setiap karakter dalam cerita itu membuat imajinasinya terasa semakin hidup. Habis satu buku itu dibaca, rasa penasaran Izumi semakin menjadi untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Dalam hati dia sedikit menyayangkan mengapa hanya meminjam satu volume saja. Sepertinya aku harus meminjam lanjutannya nanti, batin Izumi. Dia menguap kecil. Rasa kantuk mulai menghampirinya membuat Izumi memilih untuk tertidur sejenak. Izumi menutup kelopak matanya. Earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi terus memutar lagu yang sama. Irama piano itu masih terus mengalun menemaninya hingga ke alam mimpi. [Tadaima,
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi
Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara