Tiga tahun pernikahan, salah satu hal yang sangat Rima tutupi adalah Alan yang selalu mengatakan untuk menunda memiliki anak, ia beralasan bila belum siap secara mental, ia memberi pengertian pada Rima yang membuat istrinya itu selalu menerima setiap keputusan Alan. Di depan banyak orang, di depan orang tuanya di depan keluarganya, Rima selalu menutupi perkara momongan dengan kata belum dipercaya.Jarak Alan semakin dekat, mungkin wajah mereka kini hanya terhalang satu jengkal, Rima membuang wajah dan menangis."Aku bukan seseorang yang akan merenggut kehormatanmu, Rima! Aku suamimu."Rima masih membuang muka dan mulai sesenggukan, Alan semakin membawa diri lebih dekat, satu tangannya terangkat hendak menyentuh istrinya, tapi ia dengan cepat membawa surat nikah yang ada di tangan istrinya."Apa maumu sebenarnya?" ucap Rima lirih, seolah pasrah pada keadaan.
"Dapat gombalan dari mana? Internet, ya. Kuno banget," ucap Rima ketika Alan mendekati mejanya."Aku hanya berusaha.""Yang kreatif dikit!""Aku gak pintar menggombal, gak pandai berkata-kata juga.""Tak perlu memaksakan, aku juga tidak butuh kata-kata seperti itu," ucap Rima seraya berlalu meninggalkan meja Alan, membuat suaminya itu gemas.Rima keluar dan memberikan berkas pada Gayatri. "Aku rasa kamu membuat laporan sedang mengantuk, banyak data yang salah, perbaiki semuanya. Saya tunggu hari ini juga!"Gayatri hanya mengangguk, ia sama sekali tak menjawab. Jujur saja Rima kesal melihat sikap Gayatri yang justru malah diam, sama sekali tak menggubrisnya."Kamu dengar gak ucapan saya?""Iya, Bu!" jawanya pelan sambil mengangguk. 
Alan mengerjap ketika Rima belum sempat mengambil ponsel milik suaminya untuk sekadar melihat pesan yang Gayatri kirimkan."Jam berapa ini? Aku harus ke kantor," ucap Alan."Tak perlu ke kantor, istirahat saja di rumah.""Banyak pekerjaan.""Memangnya pekerjaanmu tidak bisa dikerjakan orang lain, Mas?"Alan diam, dalam lubuk hatinya begitu senang mendapat perhatian dari Rima, sejenak berpikir untuk sakit lebih lama saja, agar istrinya itu tidak beranjak."Aku buatkan sarapan dulu, kalau siang ini belum membaik, kita pergi ke dokter.""Tidak ... aku tidak mau ke dokter!""kenapa?""Dirawat kamu saja aku akan sembuh.""Jangan aneh-aneh," jawab Rima kemudian memilih pergi ke dapur sekadar membuatnya
"Apa dalam benakmu yang pernah terjadi di masa lalu adalah karena aku mencintaimu?" Galih nampak datar melihat ke arah Gayatri."Lalu apa lagi?""Kamu terlalu percaya diri!" jawab Galih yang kemudian berlalu. Gayatri masih mematung di sana menatap Galih yang pergi.Rima yakin pasti ada sesuatu yang membuat kakak beradik itu begitu mengagumi sosok Gayatri. Secara fisik, ia memang sempurna, Rima mengakui itu. Tanpa polesan skincare mahal, wajahnya begitu mulus, tubuhnya tinggi semampai, memakai apa pun selalu terlihat menarik."Berkasmu tertinggal." Suara Rima mengagetkannya. Ia pun membalikkan badan."Oh, iya. Maaf saya teledor," jawabnya seraya mengambil berkas itu."Aku tahu, Gayatri. Kedatanganmu ke sini untuk memastikan kondisi Alan bukan?"Gayatri menata
Galih melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang di tengah riuhnya jalanan ibu kota. Titik air pada lampu yang temaram begitu indah menghiasi taman.Gayatri memang benar, ia mencintai Rima sejak pertemuan pertama mereka ketika sekolah dulu. Gadis manis yang imut dan sangat manja dan juga baik hati begitu memesonanya. Hanya saja, ia berkali-kali kehilangan kesempatan.Hingga ... Galih berasa pada satu fase mendoakannya, mendoakan Rima untuk tidak lagi di dekatkan, tidak lagi dieratkan, melainkan untuk dicukupkan segala perasaan, diusaikan segala pengharapan, dan ia ingin, hidupnya berjalan tidak lagi tentang Rima.[Makasih, vitaminnya sudah sampai di rumah.] Pesan dari Rima membuyarkan lamunannya.[Sama-sama kakak ipar, makan teratur sampai habis.][Aneh dipanggil kakak ipar. Biasanya juga, heh, Rima, hey!"
"Pertanyaan macam apa itu?" tanya Rima masih menatap wajah suaminya."Sekali lagi jangan salah paham, aku hanya bertanya," ucap Alan tak ingin semuanya menjadi tak nyaman."Tapi pertanyaanmu itu sangat konyol, Mas!""Iya maaf ... kalau kamu gak berkenan tak perlu menjawabnya."Rima membuang muka, ia benar-benar marah pada Alan. Tak habis pikir bila pertanyaan itu akan ia lontarkan. Ia pun langsung beranjak, tapi Alan segera menahan dengan memegang tangannya."Jangan marah, sekali lagi maafkan aku." Alan merajuk, ia benar-benar tak ingin Rima marah.Istrinya itu menghela napas panjang, kemudian melihat ke arah Alan dengan tatapan tak bisa dijelaskan. "Sudahlah, Mas! Tak perlu dibahas lagi. Juga jangan pernah berbicara tentang perasaanku, perasaanmu, perasaan kita. Biar saja itu menjadi bagian dari hati ki
Suara alat-alat terdengar di ruangan ini, Gayatri masih tak sadarkan diri. Sebelum dilarikan ke rumah sakit, ia ditemukan oleh seorang petugas keamanan di sana, tetangga di sampingnya merasa tidak nyaman atas gaduh yang Gayatri ciptakan, pintu yang tak terkunci, akhirnya menemukan dirinya dalam keadaan tak sadarkan diri dengan bersimbah darah.Rima dan Alan duduk di sebuah ruang tunggu dengan hening, keduanya sama sekali tak ada yang mengeluarkan suara. Diam dengan perasaan masing-masing, kemudian berlabu pada kecewa yang dalam di hati Rima.Siang tadi, sesuatu tertinggal di ruangannya, sampai akhirnya Rima mendengar semua percakapan dari awal sampai akhir."Kita harus bicara, Rima? Tolong dengarkan penjelasanku dulu."Rima mendongak, melihat ke arah suaminya dengan mata sendu. "Bahkan dalam situasi seperti ini kamu mementingkan egomu sendiri?"
"Bilang pada ibu, kamu sedang bercanda kan?"Rima menghela napas panjang, terasa berat ketika akhirnya harus mengatakan semua ini. "Rima tidak bercanda, Bu. Maaf," ucapnya lirih.Ibu kini benar-benar diam, ia menangis tertahan, kemudian menutup teleponnya, sebetulnya banyak yang ingin ditanyakan, kenapa tiba-tiba perceraian ini terjadi.Jalanan masih terasa begitu padat, sementara matahari terasa begitu terik. Atas segala yang ia punya, Rima tak pernah merasa hidupnya begitu sempurna, ia hanya bersyukur banyak orang yang menyayanginya, hingga pada akhirnya asumsi itu salah, terlalu banyak orang munafik di sekitarnya.[Kamu dimana?]Sebuah pesan dari Galih datang, tapi kali ini ia tidak membalasnya.Sementara Alan nampak tak karuan di kamarnya, ia begitu berantakan dan duduk di sisi ranjang dengan mata ya
Galih menemani setiap masa tersulit Rima, begitu juga dengan Rima. Pernikahan mereka saat ini sudah memasuki usia sepuluh tahun, tidak terasa. Banyak hal yang sudah dilewati dengan baik."Selamat hari pernikahan yang ke sepuluh!" Rima memeluk Galih dari belakang, suaminya itu sedang bersiap menuju rumah sakit. Galih membalikkan badan, ia kecup kening Rima dengan penuh cinta, semuanya masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah. "Semoga kita bisa lebih panjang lagi menikmati waktu berdua!""Tidak hanya berdua, aku ingin bertiga atau berempat," ucap Rima.Galih terdiam, ia tahu maksud istrinya, tapi kemudian dipatahkan oleh kenyataan pahit sebuah takdir yang tidak bisa diubah."Aku tetap bisa menjadi ibu meski tidak melahirkan, iya kan?" ucap Rima.Suaminya itu mengangguk pelan. "Kamu mau kita mengadopsi anak?""Iya! Kamu gimana?" tanya Rima."Aku ikut semua hal yang membuat kamu bahagia!""Tapi kamu happy?""Tentu."Rima tersenyum, ia sudah menimang semuanya beberapa waktu ini, tida
"Ayo, Dok! Satu suap saja!" ujar dokter muda bernama Hani."Tidak, biar saya makan sendiri saja!" jawab Galih."Ayolah, Dok! Semua sudah, tinggal dokter saja, nih!" ucap Hani mendekatkan tangan yang sedang memegang sepotong kue ke mulut Galih."Saya menganggap semua yang ada di sini itu keluarga, apalagi aku hidup sendirian semenjak kecil, jadi momen ini aku ingin merasakan kehangatan keluarga, aku suapi, ya!" ucap Hani. Sosoknya memang ceria dan dekat dengan siapapun, ia mudah bergaul dan mengambil hati banyak orang, termasuk semua yang saat ini ada di sini, hanya Galih yang bersikap biasa saja, ia memang dikenal sedikit tertutup dan membatasi diri."Sekali saja ya, dok!" Hani merajuk, merasa tidak enak dan tidak tega, Galih pun akhirnya menerima suapan itu dengan perasaan berdosa pada Rima. Hingga akhirnya, pintu terbuka tepat ketika Hani menyuapinya.Seketika ruangan hening melihat kedatangan Rima, begitu juga Galih yang langsung salah tingkah, ia takut bila istrinya akan berpikir
Selepas berdoa, Rima dan Galih beranjak dari tempat peristirahatan terakhir Gayatri. Keduanya memutuskan untuk singgah sejenak di kota ini dan menyewa sebuah penginapan sambil menikmati indahnya kebun teh di akhir pekan."Syahra memberi kabar padamu?" tanya Galih ketika keduanya berapa dalam perjalanan menuju hotel.Rima menganggukkan kepalanya dan melihat ke arah Galih. "Memangnya ada apa?""Tidak! Kemarin aku melihat statusnya hitam gitu, ku pikir sedang ada masalah dan siapa tahu kalian saling bertukar kabar.""Syahra tidak pernah bercerita apa pun, dia itu orang yang paling menutupi semua bentuk masalah. Sholehah banget sih, sebagaimana kekurangan suami, dia gak akan mengumbar apa pun itu yang sifatnya buruk."Galih mengangguk setuju dengan yang diucapkan Rima. Kenyataannya Syahra memang seperti itu. Sepanjang perjalanan menuju penginapan disuguhi pemandangan indah, hamparan luas kebun teh yang hijau, sejauh mata memandang membuat kesejukan yang tidak terkira, menyusup sampai ke
Galih memegang tangan sang istri. "Kalau memang kita ditakdirkan untuk tidak memiliki keturunan di dunia, pasti Allah menjanjikan nikmat di surga. Pernikahan kita untuk berjalan ke sana buka? Jangan khawatir tentang semua yang sifatnya sudah menjadi hal preogratif Allah. Kita bisa menjadi orang tua untuk seribu anak.Rima terdiam, ia menghela napas panjang. Matanya kini mulai menghangat, tentang anak ini memang seringkali membuatnya khawatir dan cemas, terkadang ia takut bila akan tua sendirian, ia takut pada hal yang sebetulnya belum terjadi."Aku merasa tidak berguna, beberapa waktu ini pikiranku kacau, semua ini sangat sulit.""Kita bisa melewati ini, Rima. Kita akan tetap bahagia. Jadikan Allah sebagai pusat bertumpu dalam segala hal, maka lambat laun semua kecemasan akan hilang."Rima menundukkan wajah, tangannya berpegang erat pada Galih. Satu tetes air mata turun."Dengan segala ujian ini, kamu adalah makhluk spesial yang dipilihNya," ucap Galih lagi.Istrinya itu mengangguk pe
Rima terdiam dan menatap Galih dengan nanar. Sejenak hening mengisi ruangan inI. Jantung Rima berdegup kencang dengan irama yang tidak menentu, ia seperti bisa membaca situasi yang terjadi. Disingkap pakaian yang ia kenakan, kemudian ia lihat bekas luka jahitan yang terlihat mengering."Apa sudah tidak ada rahimku di sana?" ucap Rima menunjuk perutnya.Galih membuang napas kasar, ia membawa langkahnya mendekat pada sang istri. Meski pijakan kakinya seperti sedang tak menapak."Jawab Galih!" Teriak Rima ketika suaminya hendak meraih tangannya. Tak terasa derai tangis turun. "Kita akan bahagia tanpa anak, Rima!"Tersentak Rima, ini adalah kehancuran kesekian kali yang akhirnya harus ia dengar dan ia rasakan. Bahkan selama 31 tahun hidupnya, ia sama sekali belum pernah merasakan kehamilan, tapi ternyata takdir berkehendak bila bagian penting bagi seorang wanita harus terangkat.Setelah itu ia jatuh terkulai, menangis sejadi-jadinya. Menerima takdir adalah hal yang tak mudah.Galih memel
"Aku harus mendapat tindakan, ya?" tanya Rima ketika menerima hasil yang Galih bawa."Hanya tindakan kecil, setelah itu gak apa-apa, kita bisa mulai programa hamil. Kita akan berbulan madu ke tempat yang kamu inginkan," ucap Galih."Kata orang, kalau punya kista suka susah hamil.""Kamu kan punya dua tangan untuk menutup telingamu, jadi dengarkan aku saja, jangan yang lain."Rima mengerucutkan bibir sambil memegang kertas, ada sejumput rasa khawatir, mengingat usianya pun tak lagi muda, sudah 30 tahun lebih. Galih mendekat, merasakan ketidaksenangan istrinya, ia peluk Rima dengan hangat dan membesarkan hatinya."Jangan takut dan khawatir, percayalah semua akan baik-baik saja."Rima membalas pelukannya, setelah berkali-kali mereka batal untuk menikmati waktu berduaan, dua hari ke depan Galih mengambil cuti. Mereka memilih untuk menghabiskan waktu berdua di rumah."Mau tidur di hotel?""Tidak usah, di rumah saja. Aku tidak ada mood pergi kemana-mana, di sini saja sudah nyaman."Galih me
Galih ikuti langkah istrinya yang kini duduk di ranjang. Ia pegang pundak Rima lembut dan duduk di sampingnya."Jangan ngambek!"Rima membalikkan tubuhnya, melihat Galih sesaat, kemudian tersenyum. "Aku tidak marah, aku hanya sedang menggodamu saja!"Galih membuang napas kasar. "Aku tidak suka kamu menggodanya seperti itu.""Iya, maaf pak dokter!""Ya sudah, ayo! Sekarang saja."Rima diam, ia sedikit mengigit bibir bawahnya. "Barusan aku cek dan sedang haid."Galih menelan ludah tanda kecewa. "Aku puasa satu Minggu?"Rima mengangguk pelan.Helaan napas dari Galih kembali terdengar. "Oke, baiklah! Aku akan menahan diri sampai satu minggu ke depan, sekarang habiskan dulu makananmu, aku tidak ingin kamu sakit!""Yuk!" Rima mengulurkan tangannya dan mereka berdua kembali menikmati makanannya.Hari setelah hari ini tidak menjanjikan sesuatu berjalan dengan baik-baik saja. Banyak hal yang akan berganti, bahagia tidak akan selamanya, begitu juga sakit. ****..Dua bulan pertama pernikahan
Saat-saat perjalanan Gayatri menuju dikebumikan adalah proses dimana Rima merasa bahwa ia harus mendampingi semuanya sampai akhir. Tak peduli apa yang terjadi, ia akan mengingat Gayatri sebagai teman paling baik yang ada di dalam hidupnya.Alan pun turun membantu semua prosesi ini sampai akhir, gerimis tipis-tipis seolah memberikan semilir surga yang terasa sejuk.Ketika semua selesai, satu persatu yang datang pun turut pulang. Alan masih mengadahkan tangannya memanjat doa. Kesedihan nampak jelas di wajahnya. Setelah beranjak pergi, terkadang baru disadari bila orang itu cukup berharga. Manusia lainnya yang luar biasa adalah Syahra, ia nampak sabar dan tegar."Kita pulang, Mas!" Syahra mendekat dan memayunginya. Alan mengangguk. Kemudian beranjak dari, ia ambil payung itu dan membawa Syahra lebih dekat dengan dirinya. Mereka pun berlalu, diiringi Galih dan Rima di belakangnya, juga dalam satu payung yang sama.Sesampainya di mobil, Syahra lebih banyak diam. Melihat sikap Alan tak mun
Galih dan Rima akan menggelar akad yang sederhana, kebaya putih dengan desain terbaiknya dipilih untuk prosesi akad nikah. Pakaian yang mereka kenakan, nampak indah membalut mereka. Sederhana dan elegan."Tak sabar hari itu tiba!" ucap Galih yang kini berdampingan dengan Rima. Keduanya berdiri di depan sebuah kaca yang besar. Menatap diri masing-masing.. Sebuah pesan dari "Hanya sebulan lagi," jawab Rima dengan senyumnya yang manis."Kamu sudah sepenuhnya yakin padaku, Rima?""Kalau tidak yakin, aku tidak akan membuat keputusan di awal."Galih mengalihkan pandangannya pada Rima, ia tatap wanita yang sudah ia kenal sejak masih duduk di bangku sekolah itu, yang berubah hanya satu, ia jauh lebih baik dan cantik dengan hijab yang dipakainya."Jangan lama-lama natapnya! Nanti jatuh cinta," ucap Rima yang tersipu."Sudah sejak lama!" jawab Galih semakin membuat jantung Rima berdegup kencang. Setelah itu mereka pulang ke rumah, Galih tidak memilikinya banyak waktu saat ini, seiring padatn