Angin malam berhembus lembut saat Belle keluar dari toko bunga, mengunci pintu dengan satu tangan. Sementara tangannya yang lain sibuk menggenggam tas kecil. Cahaya lampu jalan berpendar temaram di trotoar, membingkai siluet seorang pria yang berdiri bersandar di mobil sport hitam yang diparkir tak jauh darinya.
"Eddie," panggil Belle. Sedikit terkejut melihatnya sudah menunggu di sana.
"Kau lambat sekali," ujar Eddie sambil membuka pintu untuk Belle.
"Aku harus memastikan semuanya beres sebelum pergi," balas Belle sambil masuk ke dalam mobil.
"Baiklah, nona pekerja keras,” tukas Eddie, mencubit lembut hidung Belle. “Kali ini, aku yang akan membuat malammu menyenangkan,"
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, menyu
Belle tengah sibuk merapikan rangkaian bunga mawar putih ketika sinar matahari sore menyelinap melalui jendela besar tokonya. Hari ini toko cukup ramai. Seorang pelanggan baru saja pergi setelah membeli buket besar untuk ulang tahun istrinya. Dan Belle masih harus merangkai beberapa pesanan lainnya untuk dikirim keesokan hari.Tangannya cekatan mengikat pita satin pada buket peony merah muda ketika sesuatu di meja kasir menarik perhatiannya. Sebuah ponsel hitam.Jantungnya berdebar pelan. Itu adalah ponsel yang diberikan Dante. Belle menggigit bibir, jari-jarinya terhenti di atas pita satin yang belum dia ikat.Tanpa sadar, tangannya terulur meraih ponsel itu. Dia menggenggamnya erat, merasakan dinginnya casing metalik di kulitnya. Sebagian kecil dalam dirinya berkata bahwa mungkin Dante mengirim sesuatu
Fabian yang menunggu Dante di dalam mobil hitam mewah yang terparkir tak jauh dari sana, langsung turun dan membuka pintu untuk tuannya. Tanpa sepatah kata, Dante melangkah masuk ke dalam mobil.Fabian masuk ke kursi pengemudi, menatap Dante melalui kaca spion. "Kita kembali ke kantor, Tuan?"Dante menatap lurus ke depan dengan tatapan tajam. “Tidak. Hari ini hari pertemuanku dengannya,”Fabian hanya mengangguk dan menyalakan mesin mobil. Dengan satu gerakan halus, mobil melaju meninggalkan toko bunga itu.Fabian melirik Dante melalui kaca spion dengan ragu. "Tuan, apakah Anda yakin ingin menemui Evelyn Sinclair sekarang?"Dante menyandarkan punggung pada jok mobil, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya masih
Sofia—asisten Evelyn, berdiri dengan ekspresi serius. Di tangannya terdapat sebuah folder hitam tebal berisi informasi yang baru saja dikumpulkan tentang Dante Hudson.“Ini semua tentang Dante Hudson, dan wanita yang Anda tanyakan, Nyonya” ucap Sofia sambil menyerahkan folder itu pada Evelyn.Evelyn menerima folder tersebut dan membukanya dengan penuh rasa ingin tahu. Matanya tajam menelusuri setiap lembar informasi yang telah dikumpulkan Sofia.“Isabella Monaghan … “ Evelyn membaca nama itu dengan nada meremehkan. “Si gadis toko bunga yang berhasil membuat pria seperti Dante Hudson jatuh cinta?”Sofia mengangguk pelan. “Sepertinya Dante Hudson terobsesi padanya. Berdasarkan catatan yang berhasil saya kumpulkan, Dant
Dante melangkah keluar dari Dominion Club, menyusul Eddi yang keluar lebih dulu. Udara malam yang dingin menyambut mereka. Tetapi ketegangan di antara dua pria itu jauh lebih menusuk.Dante berhenti di tangga depan club, menyalakan rokoknya dengan gerakan santai, tetapi matanya tetap tajam seperti biasa."Jadi ... dia benar-benar calon istrimu?" tanya Eddie tanpa basa-basi, matanya menatap lurus ke depan.Dante menghela napas pelan, menghembuskan asap rokoknya ke udara. "Valeria yang mengatur ini. Aku hanya mengikutinya,”Eddie mendengus sinis. “Mengikuti? Sejak kapan kau menuruti ucapan Valeria?” ejeknya.Dante menegang. Mata gelapnya beralih ke Eddie dengan tatapan tajam, tetapi Eddie tidak gentar. M
Eddie bersandar di ambang pintu toko bunga milik Belle, memperhatikan wanita itu yang sibuk merangkai bunga. Jari-jari Belle yang lentik dengan cekatan memilih kelopak demi kelopak, mengatur warna, tekstur, dan aroma dengan keahlian yang membuat Eddie terpesona.Cahaya matahari sore membiaskan sinar keemasan yang membingkai sosok Belle dengan indah. Eddie merasa hatinya menghangat hanya dengan melihat Belle begitu damai di tengah kesibukannya.“Kenapa kau terus menatapku seperti itu?” tanya Belle tanpa menoleh.Eddie tersenyum kecil, lalu mendekat. “Karena aku suka melihatmu bekerja. Kau terlihat... hidup,”Belle terkekeh pelan, tapi wajahnya sedikit memerah. “Aku hanya merangkai bunga, Eddie,”
“Tidak!” Belle berkata dengan suara bergetar. “Kau … kau sudah milik orang lain. Aku tidak mungkin—”"Siapa yang memberitahumu?" sambar Dante, cukup terkejut."Apakah itu penting?" Belle menatapnya penuh luka. "Kau pikir aku ini apa? Tempat pelarian saat kau bosan dengan wanita kaya pilihan keluargamu?"Dante mendekat, tetapi Belle melangkah mundur.“Kau salah paham,” terang Dante."Tidak ada yang perlu dijelaskan," Belle memotong. “Harusnya memang sejak awal aku mengerti, dunia kita terlalu berbeda,”Dante terdiam. Rahangnya mengeras menahan emosi yang bergejolak. Sementara Belle menahan air matanya yang hampir jatuh.
"Belle, kau sakit?" tanya Emily khawatir.“Tidak, Mom... Aku hanya... lelah,” jawab Belle dengan suara parau. Dia tidak ingin bangun. Tidak ingin menghadapi dunia setelah kejadian semalam.Ibunya membuka pintu dan melangkah masuk. Dengan lembut, Emily duduk di tepi ranjang dan mengelus rambut putrinya."Kau tidak perlu memaksakan diri untuk ke toko hari ini," ucap Emily lembut. "Kalau kau butuh waktu untuk sendiri, istirahatlah," Meski tidak terlalu tahu apa yang terjadi, namun Emily bisa menebak jika ini ada hubungannya dengan kisah cinta anaknya.“Terima kasih, Mom,” bisik B
Dante dan Evelyn tiba di pesta eksklusif yang diadakan oleh salah satu anggota The Dominion Club. Di sebuah ballroom mewah dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan malam kota yang berkilauan.Evelyn mengenakan gaun hitam sederhana, tanpa banyak detail berlebihan. Tetapi caranya melangkah dengan penuh percaya diri membuat semua orang di ruangan itu terdiam. Bahkan para wanita sosialita yang selama ini memuja Dante.Evelyn bukan sekadar wanita cantik. Dia berbahaya. Elegan, cerdas, dan tak terjamah.Dante yang berdiri di samping Evelyn dalam setelan jas hitam, terlihat semakin dingin dan tak tersentuh. Namun di balik matanya yang tajam, ada kekacauan berkecamuk di hatinya. Sejak Belle menolaknya, Dante kehilangan arah.Lex dan Jamie yang memperhatikan dari
“Ayo, turun sebentar. Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan padamu,” Dante muncul, mengenakan setelan santai warna gelap.Belle masih duduk di tepi ranjang, mengenakan jubah satin yang baru saja disiapkan oleh Dante. Rambutnya masih sedikit berantakan.Mereka berjalan bersama ke ruang tengah, tempat seorang wanita paruh baya dengan penampilan rapi sudah berdiri menunggu dengan senyum ramah.“Belle, ini adalah Bu Hellen. Dia akan menjadi asisten rumah tangga yang tinggal di sini mulai hari ini,” jelas Dante. “Tugasnya adalah menjaga penthouse tetap rapi dan memenuhi semua kebutuhanmu,”Bu Hellen langsung menundukkan kepala sedikit. “Senang bertemu dengan Anda, Nona Belle. Tuan Dante sudah menjelaskan semuanya. Jika Anda butuh sesuatu, cukup katakan saja,”“T-Terima kasih… “ balas Belle, sedikit kikuk.“Selama aku bekerja, Bu Hellen akan menemanimu di sini,” terang Dante. “Selama keluarga Evelyn masih berkeliaran, aku tidak akan ambil risiko. Jika kau ingin pergi ke suatu tempat, Fab
Setelah keluarganya resmi pindah ke desa dengan pengawalan ketat dari orang-orang Dante, Belle akhirnya membawa barang-barangnya ke penthouse pria itu.Hari itu langit senja membiaskan warna jingga keemasan saat Belle berdiri di depan pintu penthouse Dante dengan koper di tangannya. Pintu terbuka sebelum dia sempat mengetuk. Dante sudah berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung.“Akhirnya kau datang,” katanya, menarik koper dari tangan Belle dan mendorongnya masuk.Belle menghela napas, berusaha menenangkan debaran di dadanya. “Aku tidak punya pilihan lain, kan?” gumamnya.Dante menutup pintu di belakang mereka, lalu berbalik menghadap Belle. “Bukan tidak punya pilihan. Kau hanya akhirnya menerima kenyataan,” tim
Kondisi Patrick mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Setelah melewati masa kritis, dokter akhirnya memberi kabar baik kepada keluarga Belle bahwa operasi berjalan sukses dan tidak ada komplikasi serius. Meskipun masih harus menjalani perawatan intensif, Patrick sudah mulai sadar dan bisa merespons dengan baik.Di kamar rumah sakit, Belle duduk di samping tempat tidur ayahnya. Menggenggam tangan Patrick dengan erat. Emily berdiri di sisi lain tempat tidur, matanya masih sembab karena kurang tidur. Liam berdiri tak jauh dari mereka, berusaha terlihat kuat meskipun jelas-jelas dia juga sangat cemas.“Dad,” suara Belle lirih. Matanya berkaca-kaca saat Patrick akhirnya membuka mata dengan lemah.Patrick tersenyum samar. "Kalian semua… ada di sini…" Suaranya masih serak, tetapi itu sudah cukup untuk membuat Belle merasa lega.Emily menutup mulut, berusaha menahan tangis bahagia.Belle mengusap air matanya. "Dad istirahat saja dulu, jangan khawatirkan yang lain. Yang penting sekarang Dad
Keesokan paginya, dokter keluar dari ruang ICU dengan ekspresi lebih tenang. Belle yang semalaman tidak tidur langsung berdiri. Matanya penuh harap dan ketakutan."Dokter, bagaimana kondisi ayah saya?" tanya Belle, tak sabar.Dokter itu mengangguk kecil. "Syukurlah, beliau berhasil melewati 24 jam krusial. Meski masih harus dalam pengawasan ketat, kondisinya mulai stabil,"Belle langsung menutup mulut dengan tangan, air matanya jatuh begitu saja. Beban yang semalam menyesakkan dada perlahan terasa lebih ringan.Dante yang berdiri di samping Belle langsung meraih bahunya. Menahan agar tetap tegak. "Kau dengar itu? Ayahmu akan baik-baik saja," katanya lembut.Emily langsung memeluk Belle, ikut merasa lega karena Patrick berhasi
Sementara mereka berpelukan dalam diam, suara langkah kaki mendekat. Seorang perawat keluar dari ruang ICU, membawa berkas di tangannya.“Dokter masih memeriksa kondisi ayah Anda,” kata perawat itu dengan suara lembut pada Belle. “Mungkin butuh beberapa menit lagi sebelum Anda bisa masuk,”Belle mengangguk, mencoba melepaskan diri dari Dante. Tetapi pria itu masih enggan melepaskan tangannya. Bahkan ketika Belle akhirnya mundur, Dante tetap menggenggam jemarinya erat. Seolah takut Belle akan runtuh jika dia lepaskan.“Dan … “ gumam Belle. Memberi isyarat pada Dante kalau dia baik-baik saja.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Dan seorang dokter keluar dengan ekspresi serius. Belle langsung menghampiri, begitu juga dengan Dante yan
Di sebuah ruangan eksklusif di salah satu restoran mewah, Evelyn duduk dengan anggun. Jemarinya memainkan gelas anggur merah, sementara tatapan matanya tetap tenang namun tajam. Di hadapannya, Sofia berdiri dengan ekspresi puas. Seolah baru saja menyelesaikan tugas besar yang membanggakan."Sudah selesai Nyonya," ujar Sofia pelan.Evelyn mengangkat alis sedikit, lalu meletakkan gelas anggurnya ke meja. "Kau berhasil?" tanyanya dengan nada santai.Sofia mengangguk kecil. "Tentu saja. Patrick sudah tertembak. Saat ini dia terkapar di rumah sakit, berjuang antara hidup dan mati,"Evelyn menghela napas ringan. "Bagus," katanya pelan. "Isabella akan semakin terpuruk. Dan Dante…" Dia tersenyum tipis, "akan semakin sibuk mengurusnya,"
Ketukan di pintu menggema di seluruh ruangan. Belle yang masih terbaring di ranjang dengan selimut membungkus tubuhnya langsung menegang. Sementara itu Dante hanya menghela napas malas, tampak enggan beranjak dari tempat tidur."Masuk," perintahnya santai.Pintu terbuka dan Fabian melangkah masuk dengan ekspresi datar. Membawa nampan berisi makanan. Namun, begitu matanya menangkap pemandangan di hadapannya—Dante yang duduk dengan rambut berantakan dan tubuh santai bersandar di kepala ranjang, sementara Belle tampak sibuk merapatkan selimut ke tubuhnya dengan pipi memerah, Fabian hanya menghela napas kecil."Saya membawa makanan, Tuan," ujarnya formal. "Anda harus makan sebelum keadaan semakin memburuk,""Bagus," katanya, menaruh nampan di meja kecil di samping ranj
"Kau tidak akan terlambat ke kantor?" tanya Belle, masih di bawah tubuh Dante.Dante hanya tersenyum kecil, matanya berkilat nakal. "Aku cuti hari ini," jawabnya santai.Belle mengerutkan kening. "Kenapa?"Dante mengangkat alis, lalu menunjuk wajahnya sendiri. "Menurutmu? Aku tidak bisa datang ke kantor dengan wajah seperti ini,"Belle baru sadar bahwa meski sebagian luka di wajah Dante mulai mereda, lebam di sudut bibir dan rahangnya masih terlihat jelas. Belle mengulurkan tangan untuk menyentuh luka itu. Tapi sebelum jari-jari Belle menyentuh kulitnya, Dante menangkap pergelangan tangan Belle."Aku lebih memilih menghabiskan hari ini bersamamu," katanya, lalu mengecup punggung tangan Belle dengan lembut.Lalu tanpa peringatan, Dante mendorong tubuh Belle lebih keras, membuatnya tersentak."D-Dante—""Aku masih belum puas," bisik Dante dengan suara yang rendah dan dalam, membuat kulit Belle meremang."Jangan melawan," gumam Dante di sela ciuman mereka. "Karena aku tidak akan berhenti
Tengah malam, Belle memutuskan untuk keluar kamar karena tidak bisa tidur. Memejamkan mata di ruangan sebesar dan semewah itu, membuat tubuh Belle mendadak tidak nyaman.Belle hendak menuju ruang tamu, dan melihat Dante masih di sana. Pria itu menyandarkan punggungnya di sofa.“Kau belum mengobati lukamu, kan?” tegur Belle, perlahan mendekat.Dante membuka mata perlahan, menatap Belle yang berdiri di depannya dengan botol antiseptik di tangan. Dante mengangkat satu alis, tapi tidak berkata apa-apa saat Belle duduk di sampingnya.“Jangan bergerak,” perintah Belle, menuangkan sedikit antiseptik ke kapas sebelum menyentuh luka di pelipis Dante.Pria itu tidak bereaksi saat Belle membersihkan goresan di wa