Jangan lupa klik vote buat Lisa ya :(
Lisa terisak, dia membenamkan wajahnya di atas bantal, dengan harapan bisa meredam suara tangisannya di tengah kesunyian. “Mama, Lisa kangen,” desahnya di sela-sela tangis. Ya, dia betul-betul merindukan sang ibu yang tak pernah bosan membelainya dengan kasih sayang, tak peduli seperti apapun keadaan Lisa. “Cuma Mama yang sayang Lisa,” gumamnya di antara isak tangis. Saat dulu mendengar bahwa mamanya menderita kanker, Lisa sadar dia tak punya banyak waktu untuk membahagiakan sang ibu. Karena itulah Lisa rela bertahan dalam neraka rumah tangganya bersama Ardi, sesuai keinginan mamanya. Apalagi dia juga butuh bantuan Ardi untuk merawat mamanya yang sakit, terutama bantuan keuangan. “Lisa. Kamu sudah dengar kan, berapa biaya yang dibutuhkan mamamu buat operasi dan terapi? Sayangnya itu semua nggak dicover asuransi dan aku juga nggak ada duit sebanyak itu.” Ardi seperti angkat tangan karena biaya pengobatan Nilam semakin membengkak parah. Lisa memutar otaknya dengan keras, seumur
“Lisa, kamu dipanggil Bu Nata. Ada dokumen penting yang harus kamu kirim ke lantai 21.” Gerakan tangan Lisa yang sedang sibuk menginput data aliran dokumen terhenti sejenak saat mendengar Hanum menyebut lantai 21. Biasanya dia merasa senang setiap kali ditugaskan mengantar dokumen ke sana. Tapi kali ini tidak, entah kemana perginya antusiasmenya. Mungkin karena, selama dia dirawat, tak sekalipun Vincent menjenguknya di rumah sakit? Dalam hati Lisa bergumam, “Dia kan CEO yang punya segudang kesibukan. Sedangkan apalah aku? Sudah bagus dia mau nolong dengan tangannya sendiri pas aku pingsan.” “Bu Nata nungguin, cepatlah ke sana.” Suara Hanum mengeluarkan Lisa dari gelembung lamunannya. Mau tak mau Lisa mengangkat bokongnya dari kursi. Tanpa banyak bicara lagi dengan Hanum, dia segera menuju ruangan manager. “Lisa. Mungkin selama ini kamu bertanya-tanya tapi sungkan mau ngomong sendiri sama saya. Kenapa saya sering suruh kamu antar dokumen ke departemen lain, bukannya nyuruh OB?” uj
“Ini dokumennya, Pak.” Lisa meletakkannya di atas meja sang CEO dengan gestur hati-hati. Dia bersikap formal dan menunjukkan rasa hormat, selayaknya pegawai kepada atasan. “Hmm. Saya akan periksa dan tanda tangani dulu. Habis itu langsung kamu bawa lagi ke Bu Nata. Tunggu saja di sini dulu.” Vincent berkata tanpa menyentuh dokumen tersebut, tangannya tetap sibuk menulis beberapa note untuk Rini. Lisa salah tingkah di tempatnya, dia bingung harus bagaimana. Tapi tak ada yang bisa dia lakukan selain diam, menunggu instruksi sang CEO selanjutnya. Di tengah keheningan ruangan, tiba-tiba dering ponsel milik Vincent berbunyi. Vincent menerima teleponnya dengan senyum hangat setelah membaca sejenak nama penelepon yang tertera di layar ponselnya. Dia berbicara dalam bahasa Italia yang fasih. "Ciao, Papa! Come stai?” (Halo, Papa! Bagaimana kabarmu?) Wajahnya begitu berseri-seri, ketampanannya pun kian terpampang nyata. Membuat Lisa menelan ludah dan berkedip-kedip takjub. Sementara itu Vi
Setelah menyerahkan dokumen kepada Natalia, Lisa melangkah ringan menuju meja resepsionis. Di sana, Hanum tengah sibuk menerima dua tamu pria yang sedang berbicara dengan aksen British yang begitu kental, membuat beberapa kata terdengar samar bagi Hanum. “Excuse me?” Hanum beberapa kali meminta si tamu mengulang kembali pertanyaannya, hingga si tamu kelihatan mulai kesal. Dalam bahasa Inggris, si tamu mulai mengomel, “Apa tidak ada yang bisa fasih berbahasa Inggris di sini?” Lisa berdeham, dan berkata pelan pada Hanum. “Dia tadi tanya, bisa tidak kalau jadwal pertemuannya dengan Direktur HRD kita dimajukan, karena dia sudah ada di sini. Dia sudah telepon langsung ke direktur kita, tapi tidak diangkat.” “Dih. Salah sendiri datangnya terlalu cepat, janjiannya masih jam berapa malah datangnya jam segini. Terus malah marah-marah. Dasar bule.” Hanum menggerutu pelan, tetapi tetap tersenyum ramah ke arah tamu. Sambil tersenyum manis, Hanum menjelaskan kepada tamu bahwa dia akan segera
Lisa tenggelam dalam alam kata-kata, sebuah dunia di mana cerita-cerita tercipta dan karakter hidup begitu riil dalam imajinasinya. Jarum jam terus berdetak tanpa disadari, hingga suara lembut seorang pelayan mengusik konsentrasinya. "Maaf, Mbak. Kami sudah tutup." Ucapan pelayan memotong aliran kata-kata yang tengah mengalir dari setiap ketukan di keyboard ujung jari Lisa. Lisa tersentak, matanya melebar kaget. Dia melirik jam di laptopnya. “Astaga, sudah lewat jam 10 malam ya?” Tampaknya, keasyikan menulis membuatnya kehilangan orientasi terhadap waktu. "Ah. Sudah mau tutup ya?" "Bukan mau tutup, Mbak, tapi sudah tutup. Ini sudah lewat dari jam operasional kami." “Oh. Maaf-maaf.” Lisa mengangguk, merasa bersalah karena tak menyadari waktu berlalu begitu cepat. Dia melihat sekeliling, dan tertegun begitu menemukan keberadaan Vincent di sebuah meja di sudut sana. Mata mereka bertemu dan menciptakan efek kejut yang mencapai jantung Lisa. “Hanya kita yang tersisa.” Vincent berk
Lisa tertawa ringan mendengar pertanyaan Vincent, matanya berbinar menyenangkan. “Nggak juga. Saya membaca buku-buku Harlequin bukannya karena suka, tapi editor saya yang meminta saya membacanya buat belajar.” Vincent mengerutkan kening. “Belajar apa?” Lisa tersenyum penuh arti. “Belajar menulis romance dewasalah, apa lagi?” cengirnya. Iapun menambahkan, “Kata editor saya, format cerita-cerita Harlequin itu cocok buat dipelajari penulis romance dewasa pemula seperti saya.” Dia membuang napas sejenak, sambil merebahkan kepalanya ke sandaran jok mobil mewah yang berbahan kulit yang amat halus dan lembut itu. Kemudian Lisa menoleh pada Vincent yang tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Lisa sepanjang Lisa berbicara. “Jujur saja,” lanjut Lisa, “saya baru belajar menulis romance dewasa. Biasanya saya lebih suka menulis teenlit,” ujarnya sambil mengedipkan mata, menciptakan sentuhan humor dalam suasana yang akrab. Melihat ketertarikan Vincent, Lisa kian semangat bercerita. "Edito
"Sudah plong?” goda Lisa saat melihat Vincent keluar dari kamar mandi. Vincent pun tertawa kecil dan berterima kasih. “Maaf, beginilah kondisi kosan saya.” Lisa mengedikkan bahunya saat menyadari tatapan Vincent yang tampak bersimpati kepadanya, tapi Lisa tak ingin dikasihani hanya karena kondisinya ini. Vincent tetap menunjukkan senyuman, meskipun hatinya merasa miris ketika menatap kasur berukuran kecil tanpa dipan, yang langsung bersentuhan dengan lantai. “Ck. Buat apa minta maaf? Kayak kamu ada salah aja.” Vincent ingin menjaga harga diri dan perasaan Lisa, yang mungkin tidak nyaman dengan kunjungan ‘darurat’-nya ini, meskipun wanita itu menunjukkan sikap baik-baik saja. Tatapan mereka saling bertemu untuk sejenak, menciptakan atmosfer yang penuh kegugupan di hati mereka. Gelak tawa lirih keduanya terdengar mengisi udara kamar, lumayan meredakan ketegangan yang tak terungkap dalam hati mereka. Ekspresi ceria di wajah Lisa tiba-tiba berubah menjadi tegang saat melihat seekor
Vincent terbaring di atas ranjangnya yang besar. Lampu meja yang terletak di kedua sisi tempat tidur memberikan cahaya lembut, menciptakan suasana yang cocok untuk bersantai melepas lelah seharian. Namun, dia sama sekali tak merasa santai malam ini. “Semoga tak ada lagi kecoa yang masuk ke kamarnya, biar dia bisa tidur nyenyak malam ini,” gumamnya sambil tertawa pelan. Pikirannya melayang kembali ke dalam kamar Lisa yang kondisinya berbanding terbalik dengan kamar mewah milik Vincent yang menyerupai kamar hotel bintang lima. Berbeda jauh dengan kondisi kamar kos Lisa, kamar Vincent terlalu luas untuk ditempati sendirian. Di sudut kamarnya, terdapat kursi malas yang dilengkapi selimut lembut dan bantal bulu angsa yang empuk, menjadi tempat yang sempurna untuk membaca atau sekadar bersantai. Karpet tebal dengan motif geometris menutupi lantai kayu yang cemerlang, memberikan kehangatan pada setiap langkah. Pintu geser kaca yang menghadap ke balkon memberikan akses ke pemandangan luar
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga