“Tuan? Tuan? Apa Anda di dalam?” Gagang pintu bergerak-gerak, Damien akhirnya menoleh seraya mengumpat, “Sial!” Rambut pria itu acak-acakan dan matanya nanar. Bibirnya basah dan sedikit memerah. Kancing kemejanya hampir terbuka seluruhnya, menampakkan dadanya yang bidang dan otot perut sixpacknya yang menawan. Damien tampak begitu seksi dan juga nakal dengan penampilannya yang berantakan seperti ini. “Tuan? Tuan? Bila Anda tidak menjawab, kami akan mendobrak pintunya.” Gagang pintu ruangan arsip itu kembali bergerak-gerak. Damien berteriak. “Diamlah kalian, aku aman!” Detik itu juga suara gaduh gagang pintu dan ribut-ribut para bodyguard seketika redam. Damien tersenyum usil melihat bagaimana tangan Alessandra gemetaran saat mengancingkan blusnya. Sepasang payudaranya yang menggemaskan tampak membusung dari balik bra berenda. “Perlu bantuanku, Alessa?” Wajah Alessandra memerah, dan dia berusaha mengalihkan pandangan. “Damien, ayo cepat keluar dari sini. Sebentar lagi kau kan h
Para penumpang yang kebanyakan orang kantoran saling berdesakan di dalam bus. Keringat dingin mengucur di kening Lisa, meskipun bus transjakarta yang ditumpanginya menghembuskan hawa dingin dari AC. Lisa berpegangan erat pada gantungan tangan di atasnya, seakan itu adalah nyawanya. Lisa memaksakan diri tetap masuk kerja meskipun lambungnya masih terasa nyeri. Dia tahu tak boleh cengeng dengan keadaan. Bagaimanapun dia harus mengandalkan dirinya sendiri. Dia tak punya siapa-siapa untuk mengurus dirinya kalau sampai jatuh sakit. Bus transjakarta telah meninggalkannya di salah satu halte terdekat gedung Menara Sutomo Group, dan tantangan selanjutnya adalah menavigasi kerumunan orang menuju kantornya. Di tengah kepadatan manusia, Lisa berusaha mempertahankan langkahnya, tak ingin tertinggal di antara mereka. Ketika kakinya berhasil menapak lantai lobi gedung Menara 2 Sutomo Group, Lisa tak langsung menuju lift. Dia berjalan ke arah sofa tamu yang terletak di sudut lobi dan menghempaska
“Lisa. Kamu sakit?” Lisa mendongak pada pria bersetelan jas hitam rapi yang tinggi menjulang di hadapannya. Kening Lisa mengerut melihat sosok mantan suaminya tiba-tiba bersikap sepeduli ini padanya. “Lambung kamu sakit?” Ardi duduk di sebelah Lisa. Lisa segera menggeser bokongnya menjauh. Dia tak nyaman dekat-dekat dengan pria yang pernah menjadi suaminya ini. Lagipula aneh baginya melihat Ardi tiba-tiba berubah baik padanya, padahal selama 2 tahun pernikahan mereka, pria itu malah mengabaikannya. “Aku nggak apa-apa.” Lisa menyahut dengan nada acuh tak acuh. “Tapi kamu pucat.” Pria itu memandangi Lisa lekat-lekat. “Kenapa tiba-tiba kamu peduli?” Ardi menghela napas, mengumpulkan kesabarannya. Dia merasa maklum bila Lisa menunjukkan sikap antipati seperti ini, setelah apa yang terjadi selama 2 tahun pernikahan mereka yang berjalan dingin. “Lisa. Bagaimanapun, aku sudah janji pada mendiang mamamu, bahwa aku—” “Nggak perlu.” Lisa menyahut sebelum Ardi sempat menyelesaikan ucap
Lisa yang tengah menahan nyeri di lambungnya tak mengindahkan ucapan si petugas, bahkan telinganya berdengung saat ini. Lisa menggigit bibir menahan sakit. “Ehm, kamu baik-baik saja?” Suara bariton di belakang Lisa membuatnya menoleh, dan jantungnya menyentak kaget begitu melihat Vincent berdiri begitu dekat di belakangnya. Tiba-tiba lututnya terasa goyah, tubuhnya melemah, pandangannya mengabur, dan iapun pingsan. Dengan refleks yang bagus, Vincent gesit menangkap tubuh Lisa sebelum jatuh ke lantai. Dengan hati-hati, ia mengatur tubuh Lisa dalam dekapannya. Sementara itu, para petugas keamanan yang ingin membantu segera mendekat, “Maaf, Pak, biar kami saja,” tetapi Vincent menggeleng. "Biar saya saja, nggak apa-apa," tegasnya kepada mereka. Dengan sedikit canggung, Vincent membopong tubuh Lisa. “Tolong buka liftnya, ke lantai 2.” Vincent berkata seraya melangkah menuju lift. Petugas membuka lift VIP dan menekan tombol nomor 2, lantai di mana klinik kesehatan perusahaan berada.
Ardi melangkah cepat meninggalkan klinik. Dia sudah mencoba membantu Lisa dengan tulus, namun penolakan mentah-mentah dari Lisa membuatnya jengkel. Ardi menuruni tangga, menuju mobilnya yang diparkir di basement. Sesampainya di mobil, Ardi duduk terdiam, mencoba menyelami kompleksitas hubungannya dengan Lisa di masa lalu. Meskipun sering kesal dengan sikap Lisa, Ardi tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Lisa pernah menjadi bagian hidupnya. Tangannya menggosok pelipisnya pelan. "Tidak akan ada habisnya dengan Lisa ini," gumam Ardi sambil menarik napas dalam-dalam. Dalam pandangannya, Lisa sumber masalah dalam hidupnya. Dia menganggap permusuhan di antara mereka selama ini akibat sikap keras kepala Lisa."Dalam keadaan seperti ini pun dia masih bersikeras menolak bantuanku.” Meskipun Ardi telah bersiap dengan kemungkinan penolakan Lisa, tapi tetap saja hatinya kesal.Ardi merenung tentang bagaimana sikapnya sendiri mungkin turut berperan dalam membuat hubungan mereka yang semakin rumit.
Lisa terbaring di ranjang rumah sakit, menatap langit-langit di atasnya dan dinding putih di sekelilingnya. Suara alat-alat medis yang bekerja menjadi melodi yang menghiasi kesendirian di ruangan itu. Suasana tenang terasa kontras dengan gejolak emosinya. Meskipun ruang rawat inap ini penuh dengan pasien, Lisa merasa sendirian. Tak ada sosok yang menemani di sampingnya. “Lebih baik sendirian daripada harus ditemani Ardi,” gumamnya sambil menggigit bibir ketika kegetiran di hatinya kembali muncul. Pikiran membawa Lisa kembali ke saat-saat sulit, di mana Ardi, orang yang dulu ia kira akan menjadi tempat berlindung dan kebahagiaannya, malah menjadi sumber luka yang tak tersembuhkan. Lisa memejam, air matanya menetes ketika ingatannya kembali membawanya melayang ke satu masa yang telah menggoreskan luka yang mendalam. Sore itu, Lisa terpaku di tempatnya dengan wajah merah padam. Dia berkedip-kedip kaget. Lewat celah jendela dapur, matanya melihat hal yang tak sepatutnya dia lihat.
Lisa terisak, dia membenamkan wajahnya di atas bantal, dengan harapan bisa meredam suara tangisannya di tengah kesunyian. “Mama, Lisa kangen,” desahnya di sela-sela tangis. Ya, dia betul-betul merindukan sang ibu yang tak pernah bosan membelainya dengan kasih sayang, tak peduli seperti apapun keadaan Lisa. “Cuma Mama yang sayang Lisa,” gumamnya di antara isak tangis. Saat dulu mendengar bahwa mamanya menderita kanker, Lisa sadar dia tak punya banyak waktu untuk membahagiakan sang ibu. Karena itulah Lisa rela bertahan dalam neraka rumah tangganya bersama Ardi, sesuai keinginan mamanya. Apalagi dia juga butuh bantuan Ardi untuk merawat mamanya yang sakit, terutama bantuan keuangan. “Lisa. Kamu sudah dengar kan, berapa biaya yang dibutuhkan mamamu buat operasi dan terapi? Sayangnya itu semua nggak dicover asuransi dan aku juga nggak ada duit sebanyak itu.” Ardi seperti angkat tangan karena biaya pengobatan Nilam semakin membengkak parah. Lisa memutar otaknya dengan keras, seumur
“Lisa, kamu dipanggil Bu Nata. Ada dokumen penting yang harus kamu kirim ke lantai 21.” Gerakan tangan Lisa yang sedang sibuk menginput data aliran dokumen terhenti sejenak saat mendengar Hanum menyebut lantai 21. Biasanya dia merasa senang setiap kali ditugaskan mengantar dokumen ke sana. Tapi kali ini tidak, entah kemana perginya antusiasmenya. Mungkin karena, selama dia dirawat, tak sekalipun Vincent menjenguknya di rumah sakit? Dalam hati Lisa bergumam, “Dia kan CEO yang punya segudang kesibukan. Sedangkan apalah aku? Sudah bagus dia mau nolong dengan tangannya sendiri pas aku pingsan.” “Bu Nata nungguin, cepatlah ke sana.” Suara Hanum mengeluarkan Lisa dari gelembung lamunannya. Mau tak mau Lisa mengangkat bokongnya dari kursi. Tanpa banyak bicara lagi dengan Hanum, dia segera menuju ruangan manager. “Lisa. Mungkin selama ini kamu bertanya-tanya tapi sungkan mau ngomong sendiri sama saya. Kenapa saya sering suruh kamu antar dokumen ke departemen lain, bukannya nyuruh OB?” uj
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga