"Bang, lu kenapa? Pulang takziah malah ngeringkuk bae di balik selimut? Gak jadi gajian ya? Ck, harusnya bos Satria titipin dulu gaji karyawannya baru meninggal. Jadi, udah gak ada sangkutan lagi di dunia. Kalau begini gue yang repot'kan? Cicilan daster sama bank keliling udah nunggak seminggu, Bang," oceh seorang wanita yang tidak lain adalah istri dari Murtadi.
Pria berusia tiga puluh lima tahun itu masih saja gemetar dari balik selimutnya dengan suhu tubuh yang tinggi.
"Nih, minum dulu obatnya! Obat juga saya boleh ngutang di warung sebelah. Awas aja kalau gak sembuh!" ancam wanita itu lagi pada suaminya.
"D-dikantong celana, ada amplop, Mah, Bos Satria yang bagiin tadi," balas Murtado dengan suara gemetar.
"A-apa? Yakin lu, Bang? B-bukannya bos lu udah meninggal? K-kenapa bisa bagiin gajian?" wanita itu bertanya dengan nada panik. Ia khawatir suaminya terkena sawan orang meninggal, karena begitu pulang langsung meriang.
Lagi-lagi orang yang dikunjungi olehnya pingsan. Baik ibunya Salsa dan kini istri dari karyawannya. Sungguh hari yang sangat melelahkan. Karen tak kunjung sadar, istri dari Murtadi sampai dilarikan ke rumah sakit dan dirinya yang harus membayar biaya pengobatannya. Setelah semua urusan beres, Satria pun pamit pulang, sedangkan Muryadi masih menunggui istrinya yang lemas di IGD.Satria pulang ke rumah dengan perasaan kacau dan tubuh sangat lelah. Sebelum benar-benar masuk ke pekarangan rumahnya, Satria terlebih dahulu mengintip, apakah ada Mak Piah di teras rumah? Syukurlah, nenek itu sudah tidak ada di rumahnya.Satria memasukkan motor ke dalam rumah, lalu mengunci pintu rumah. Lampu kamar ibunya sudah padam, itu menandakan ibunya sudah tidur. Satria baru sadar ini sudah pukul dua belas malam.Ia pun bergegas mandi dan berganti pakaian sebelum tidur. Diperhatikannya langit-langit kamar yang sepi. Seperti suasana hatinya. Tinggal berdua saja dengan ibunya s
Pukul sembilan pagi, Fajar menjemput Salsa di rumahnya. Dosen muda itu memulai acara pendekatan pada Salsa dan juga orang tuanya. Lontong sayur Padang dan juga aneka gorengan dibawa oleh Fajar sebagai buah tangan.Juwi menerima kehadiran Fajar dengan penuh suka cita. Apalagi barang yang dibawa Fajar cukup banyak. Devit sudah berangkat lebih pagi karena ada seminar beberapa hari di daerah Bogor, sehingga hanya ada Salsa, Juwi, pembantu rumah tangganya, serta dua anak Juwi yang baru saja berangkat kuliah."Ya ampun, Nak Fajar, jadi ngerepotin gini. Tahu aja saya suka lontong Padang. Apalagi dikasih keripik pedas, duh ... seger banget," ujar Juwi dengan antusias. Fajar hanya tersenyum sambil memberikan aneka bungkusan makanan ke tangan Juwi."Mari, silakan duduk! Salsa sedang mandi. Nak Fajar sambil koreksi soal mahasiswa aja biar gak bosan. Salsa kalau mandi suka lama. Soalnya sambil baca koran," bisik Juwi sambil terkekeh. Fajar pun ikut terseny
Sebagai seorang lelaki, pantang bagi Satria untuk ditunggu. Lebih baik ia menunggu sehingga ia bisa mengontrol hatinya agar tidak terkejut dengan segala kemungkinan yang ada bila ia terlambat.Ia sudah berada di restoran baso tempat ia pernah bertemu dengan Salsa. Bangku yang saat ini ia duduki pun adalah tempat yang sama. Di sampingnya sudah ada Ramlan yang tengah mengisap rokok dengan ditemani secangkir kopi, sedangkan Satria lebih memilih menikmati segelas jus jeruk. Ia tidak mau kesan pertama dengan Haya jelek hanya karena bau mulut."Mbak Haya sudah di jalan?" tanya Satria pada Ramlan."Sudah di taksi online, Bos. Sebentar lagi sampai," jawab Ramlan."Matikan rokok lu! Dia bawa anaknya'kan? Asap rokok gak bagus untuk anak kecil. Gue aja udah niat nih, Ram, kalau gue nikah dan punya anak, gue mau berhenti merokok, paling Vape aja.""Ha ha ha ... sebelas dua belas, Bos," balas Ramlan menertawakan Satria."Biar istri dan
Saya janji, di part ini kalian akan meneteskan air mata. Siapkan tisu."Permisi, Mas, ada yang bisa kami bantu? Lagi ada promo cash back tiga ratus ribu khusus untuk pembelian hari ini," sapa SPG motor pada Ramlan."Sore, Mbak, saya mau lihat motor Honda Biit yang tahun 2021 ya. Yang paling bagus ada?" tanya Ramlan dengan penuh percaya diri."Oh, tentu saja ada, Mas. Mari, silakan duduk. Ini brosurnya. Harga Honda Biit seri CBS 16,66 juta, kalau seri CBS-ISS 17,36 juta saja. Jika Mas beli hari ini, atau mengajukan kredit pada hari ini, maka akan dapat cashback tiga ratus ribu dan voucher Chatimi sebesar lima puluh ribu, bagaimana?""Saya mau ambil yang paling mahal, Mbak. Promonya gak ada lagi nih. Saya mau beli cash soalnya," kata Ramlan lagi dengan penuh rasa bangga. SPG cantik itu memperhatikan wajah Ramlan yang tidak terlihat seperti seorang pria yang akan membeli motor dengan cara cash. Tidak juga terlihat seperti seorang lelaki yang teng
Salsa menumpang solat magrib di rumah Nek Piah. Ya, setelah berbincang cukup lama, akhirnya Salsa mengetahui bahwa nama wanita tua tetangga Satria adalah Piah. Asalnya Sofiah Hasna, dipanggil Piah. Nama yang bagus, tetapi menjadi sedikit aneh dengan panggilannya.Aroma melati pada mukena, sekaligus kapur Barus membuat Salsa seperti tengah melayat. Jujur ia takut, tetapi Nek Piah ikut solat juga bersamanya, itu yang membuatnya tidak terlalu mengkhawatirkan aroma yang ada pada mukena dan juga ruangan rumah Nek Piah."Maman mau mesana?" tanya Mak Piah pada Salsa."Hah? Maman, Nek? Maman siapa?""Oh iya, wupa saya, didinya belom dipasang." Mak Piah menunjuk mulutnya yang tidak ada gigi. Salsa tertawa sambil melepas mukenanya, lalu merapikannya kembali."Yakin mau ke sana sekarang? Tamu Satria belum pulang loh," kata Mak Piah setelah selesai memasang giginya."Justru saya mau kenalan sama wanita itu, Nek. Doaka
Satria menatap Salsa dan Haya bergantian. Dua wanita berbeda genre, seperti novel. Satu wanita genre rumah tangga, satunya lagi genre fantasi. Cara makannya saja berbeda, jika Salsa makan dengan lahap, berbeda dengan Haya yang makan perlahan dan sama sekali tidak terdengar denting sendok yang beradu. Yah, karena Haya makan menggunakan tangan.Bu Mae menyenggol sedikit lengan Satria, lalu menunjuk Salsa dan Haya dengan dagunya. Satria menyeringai, lalu mengangkat bahunya tidak paham. Lalu di mana Samudra? Bayi montok itu sedang tidur di kasur lipat depan TV, sehingga Haya bisa makan dengan tenang."Mbak Salsa nanti pulang naik apa?" tanya Satria. Wanita itu menoleh pada Haya dan tidak mungkin ia minta diantar oleh Satria. Pasti janda inilah yang diantar pulang oleh Satria. Batin Salsa."Naik taksi online saja, Bang," jawab Salsa sambil tersenyum."Ya sudah kalau begitu, saya bisa mengantar Mbak Haya pulang," jawab Satria lagi."Kasian ka
Salsa pulang ke rumah dengan wajah cemberut dan tidak bersemangat. Setelah mengucapkan salam, ia berjalan begitu saja dengan tubuh kaku masuk ke dalam kamarnya bagaikan robot."Sa, kenapa kemaleman?" tegur Juwi saat melihat putrinya berjalan melewatinya dan suaminya yang duduk di ruang televisi."Iya kemaleman, Bun, masa iya kepagian," sambar Devit sambil menyeringai pada istrinya. Juwi memutar bola mata malasnya sambil mencebik."Maaf, Bun, Salsa lagi ada urusan tadi," jawab Salsa lemah."Salsa masuk dulu ya, Bun, Pa," ujar Salsa lagi sambil menarik garis bibirnya dengan terpaksa.Salsa menutup pintu kamar, lalu menguncinya. Gadis itu bersandar pada pintu, lalu menangis. Entah apa yang membuat air matanya tumpah, yang jelas hatinya saat ini terasa begitu sakit. Satria, lelaki yang begitu banyak misteri dan sudah pernah ia tolak lamarannya, kini berjalan dengan wanita lain yang mungkin sebentar lagi akan menjadi istrinya.&nb
"Jadi beneran mau ngelamar Haya, Bos?" pekik Ramlan kegirangan."Iya, ada tapinya ... mm ... gue harus obrolin dulu yang soal tujuh kali itu. Siapatahu Haya keberatan," kata Satria sambil mengembuskan asap rokok terakhirnya ke udara. Lalu ia menekan kuat sisa rokok di atas asbak."Kalau feeling gue, Bos, Haya pasti bisa. Dengar-dengar, almarhum suaminya juga pejantan tangguh. Gak pernah pakai obat apapun, bisa tahan berjam-jam," bisik Ramlan."Lu tahu darimana?" Satria menatap aneh Ramlan."Tembok, Bos, masa iya kontrakan kedap suara. Jadi kedengaran kalau Haya nangis, tetangga kirain digebukin lakinya, pas digedor warga lakinya keluar pake sarung doang. Mana dadanya pada biru. Rupanya yang nangis lakinya, Bos, ha ha ha ....""Tunggu! Suami Haya lelaki'kan?" Satria bertanya dengan serius.Ha ha ha ..."Iyalah, masa alemong! Dah, gue yakin Haya kuat menandingi lu, Bos. Tepat sudah lu sama Haya. Selain dapat paha
Bep! Bep!Suara dering ponsel membuat konsentrasi Satria terpecah. Ia mencoba abaikan, tetapi dering itu tak juga berhenti hingga memekakkan telinga."Angkat dulu saja, Bang," kata Salsa pada suaminya."Ya udah deh!" Satria turun dari tubuh Salsa, lalu tangannya memanjang untuk meraih ponsel."Ibu Suri," kata Satria pada Salsa."Halo, assalamualaikum, Bu, ada apa telepon?""Eh, songong lu! Emangnya gue gak boleh telepon? Lu ada di sana juga kalau bukan gue ngeden banget, gak bakalan lu keluar, Satria. Jadi yang sopan sama orang tua."Ha ha ha ha ... Salsa tertawa mendengar ocehan ibu mertua pada suaminya. Ia bisa mendengarnya dengan jelas karena Satria menyalakan loudspeaker."Iya, Bu, maksudnya ada apa? Apa Ibu sakit?""Bukan gue yang sakit, tapi Bagus lu! Gimana dia kabarnya? Udah mendingan belum?""Ini baru mau dijajal lagi, Bu.""Oh, berarti udah lu obatin?""Udah, Bu.""Begini, kata
Salsa berhasil mengeluarkan biji durian yang tersangkut di tenggorokan Satria, walau dengan penuh perjuangan. Segelas teh hangat ia buatkan dengan penuh cinta kasih untuk suami tercinta, agar rasa pedih di tenggorokannya hilang."Abang tahu gak, kalau yang Abang lakukan tadi berisiko membuat saya menjadi janda untuk kedua kalinya?" Salsa menatap suaminya dengan wajah iba. Satria membuang pandangannya, tak sanggup untuk membalas tatapan Salsa. Ia sangat malu dengan kekuatan serta perbuatannya yang konyol."Jangan diulangi ya, Bang. Cukup Abang berolah raga rutin dan jangan stres. Tiket yang waktu itu saya berikan sebagai kado ulang tahun Abang dan Mbak Haya sudah diberikan Ibu pada saya. Karen jangka waktu berlakunya untuk satu tahun, maka kita bisa menggunakannya untuk kita berbulan madu.Salsa tahu Abang pasti stres berat. Ingin memberikan yang terbaik untuk Salsa, malah keadaan sebaliknya yang terjadi. Jadi, besok sore kita berangkat ya? Sekarang S
Satria merasa sangat menderita dengan kekuatannya yang menghilang. Ia bahkan sangat malu pada istrinya karena hal memalukan ini."Bang, sudah, jangan dipikirkan, apa Abang mau ke dokter? Kita periksa ke dokter, gimana?" tanya Salsa sambil menyandarkan kepalanya di lengan suaminya. Satria hanya bisa mendesah penuh penderitaan."Ayo, kita ke dokter, konsultasi, siapatahu dokter ada solusi untuk kita," bujuk Salsa lagi dengan lemah lembut."Melamun seperti ini tidak akan memberikan solusi. Kalau Abang sayang sama Salsa, berarti Abang harus ikut saran Salsa." Kali ini suara istrinya terdengar serius."Ya sudah, ayo, kita ke dokter." Salsa tersenyum senang, lalu melayangkan satu ciuman di pipi kekasih halalnya.Keduanya berangkat ke rumah sakit dengan menaiki motor besar Salsa yang memang berada di lobi parkir hotel."Ya ampun, motor ini berat banget, Sa. Kamu kuat sekali bisa wara-wiri dengan kendaraan seperti ini,"
"Ya sudah, Bang, jangan sedih gitu! Gak papa kok cuma sebentar. Salsa maklum." Salsa mengusap rambut suaminya dengan penuh sayang."Abangnya yang gak terima, Sa. Masa sebentar banget? Belum juga keringetan, belum sesak napas, baru tiga kali tarik ulur napas, masa udahan sih? Duh, gimana ini?" Satria meremas rambutnya dengan kesal. Ia terduduk sambil bersandar di punggung ranjang. Sangat malu untuk menatap wajah Salsa yang sebenarnya tidak terlihat menderita."Nanti dia coba lagi, Bang. Kata Ibu waktu itu, Abang bisa tujuh kali dalam sehari, kalau memang Abang sudah sembuh Alhamdulillah, paling tidak bisa berkurang sedikit. Salsa juga masih sakit ininya, pedih," kata Salsa lagi dengan wajah malu-malu."Maafin Abang ya, Sa. Kita mandi lagi yuk, setelah itu sarapan. Oh, iya, siapatahu di kamar mandi nanti Bagus bisa satu kali lagi." Satria tersenyum sangat lebar. Ia teringat pernah habis-habisan melakukannya dengan Haya waktu itu karena kamar mand
"Mae, kemalin acala Satlia untung gak hujan ya? Emangnya lu jadi lempalin sempak ke genteng hotel?" komentar Mak Piah yang menghampiri Bu Mae di tukang sayur keliling.Si Abang tukang sayur dan beberapa ibu-ibu yang ada di sana tertawa mendengar pertanyaan Mak Piah."Ha ha ha ... Mak, nama saya Maesaroh, bukan Spidermae, ha ha ha ... Gimana caranya saya lemparin sempak bekas pakai ke genteng hotel? Naiknya gimana? Ha ha ha ....""Gue kilain jadi, Mae, soalnya gak hujan," timpal Mak Piah."Harusnya lempal sempak gue ya, bial panas sehalian. Semalam jam sebelas malah hujan, jadinya becek deh ini," kata Mak Piah lagi."Kalau sempak Emak yang dilempari, hujan kagak, longsor ia, ha ha ha ... Dah, ah, saya mau rebahan dulu, cape semaleman ngitungin amplop dari ibu-ibu. Soalnya isinya dua ribuan semua. Satria, walau udah nikah, tetap aja nyusahin gue.""Bener, Bu, saya ampe nukerin uang dua ribuan ke pom bensin unt
"Eh, Abang kenapa bangun? Sudah pagi ya?" Salsa menggosok kedua matanya dengan kuat sambil menoleh ke kanan untuk melihat jam dinding. Keningnya mengerut dalam saat melihat jarum pendek masih ada di angka tiga. "Masih subuh, Bang, tidur lagi aja," kata Salsa malah berbalik memunggungi Satria. Istrinya nampak sangat mengantuk, hingga suara dengkurannya kembali terdengar jelas. Satria mendekat untuk mengecup kepala Salsa, lalu ia membetulkan letak selimut istrinya."Bagus, nasib kamu sedang kurang bagus malam ini. Kita tidur lagi saja ya, besok sehabis salat subuh kit aja Puspa main petak umpet," bisik Satria pada media tempurnya.Satria kembali memeluk Salsa dari belakang dan ikut memejamkan mata. Rasanya sangat nyaman bisa tidur memeluk kekasih halalnya.Sementara itu, wanita single parent yang bernama Haya, tidak bisa tidur sepanjang malam. Hari ini adalah hari pernikahan Satria dan ia tahu itu dari Wahyu. Walau sudah tinggal ber
Seorang dokter yang dipanggil Salsa ke kamar, tengah memeriksa kedua kaki Satria. Dokter menyarankan Satria untuk beristirahat malam ini tanpa ada aktifitas yang menguras tenaga. Dokter juga memberikan vitamin yang bisa langsung diminum Satria agar esok hari kakinya bisa sembuh dan tenaganya kembali pulih."Terima kasih atas bantuannya, Dok," kata Salsa saat mengantar dokter wanita itu keluar dari kamarnya."Sama-sama, Mbak, semoga suaminya lekas sembuh ya," jawab dokter itu sambil tersenyum.Salsa kembali masuk ke dalam kamar pengantin yang sudah dihias sangat sempurna dan terkesan begitu gagah, karena ada banyak barbel di setiap sudut ruangan. Barbel warna-warni miliknya yang sengaja dicat agar tidak terlalu kelihatan seperti barbel.Taburan kelopak mawar merah dan putih di sepanjang karpet beludru hingga sampai di atas ranjangnya, menambah kesan romantis di dalam kamar."Sa, maafkan Abang ya, gara-gara kaki laknat ini gak
"Mae, lu punya nomol HP penghulu yang tadi nikahin Satlia gak?" tanya Mak Piah saat keduanya duduk bersampingan tengah menikmati puding."Kagaklah, adanya nomor HP Malaikat Izrail? Mau?" Bu Mae terkikik geli mendengar jawabannya untuk Mak Piah."Lu mah, gue nanya benelan juga. Kalau ada, gue mau, Mae. Siapatahu aja penghulunya duda, ya kali gue bisa daftar, he he he ....""Jadi apanya, Mak?""Jadi istelinya dong, masa jadi penunggu pohon, ha ha ha ...." Bu Mae terus saja tertawa saat berbincang dengan Mak Piah. Sikap suudzonnya terhadap Mak Piah sudah benar-benar pergi setelah kebenaran yang dikatakan oleh Mak Piah.Sebuah kejutan yang belum sempat ia katakan secara detail pada Satria. Ia ingin membuktikan bahwa ucapan Mak Piah itu benar, sehingga ia tidak mau memberitahukan pada Satria terlebih dahulu."Bu Mae, selamat ya," ucap para tamu undangan yang datang menghampirinya yang tengah asik berbincang dengan Mak Piah. 
"Satria ... Lu mau bangun kagak?" bisik Bu Mae gemas sambil mencubit pinggang anaknya. Namun Satria tak gentar, ia masih terus menunduk tidur."Maaf ya, Pak, tadi saat didandani, Satria minum antimo, udah gitu semalam dia jaga lilin, gak tidur, jadinya anak saya ngantuk berat," kata Bu Mae tak enak hati pada dua petugas KUA yang sedang menahan tawa memperhatikan Satria."Oh, pantes aja, Bu. Harusnya diminumin vitamin, madu, atau jamu, biar kuat saat resepsi dan malam pengantin. Jangan antimo, Bu," sahut salah satu petugas sambil tertawa. Bu Mae hanya bisa tersenyum tipis; karena merasa tidak enak hati dengan semua mata yang menatap ke arahnya.Sebuah ide muncul di kepalanya, jika dengan mantra ini anaknya tidak bangun juga, terpaksa ia akan melakukan hal yang lebih nekat."Satria, kalau lu gak mau bangun, pengantin lu gue tuker Mak Piah ya?"KrekSontak Satria terbangun dengan mata segarisnya. Ia menoleh ke kanan dan