"Jika memang dia bukan Yasa, lalu kenapa dia mengatakan bahwa dia adalah Yasa padaku? Apa kamu yang menyuruhnya Mahes?" Tanya Vanessa dengan segelintir amarah yang tersisa."Ya, aku yang menyuruhnya," jawab Mahessa tegas."Apa alasannya?""Karena aku hanya ingin tahu, apakah seorang Vi, benar-benar masih mengingat kejadian itu, atau tidak,""Brengsek!" Vanessa memaki dan melayangkan satu tamparan kuatnya di pipi Mahessa, sementara Mahessa hanya bergeming. Sama sekali tak berniat untuk melawan. Dan hal ini akan terjadi pada Mahessa jika memang Mahessa merasa dirinya bersalah.Ya, Mahessa sadar bahwa dirinya sudah bersalah dengan membiarkan orang lain menyamar sebagai Yasa hanya demi sebuah pembuktian.Sungguh konyol bukan?"Jadi selama ini kamu telah mempermainkan aku? Mempermainkan perasaanku? Hidupku?" Jerit Vanessa lagi penuh kemurkaan. "Memangnya kamu pikir dirimu itu siapa, hah? Tuhan? Kamu bahkan tidak pantas disebut sebagai lelaki karena kenyataannya kamu hanya seorang pecundang
"Sebenarnya, Vi itu adalah aku, Mahes. Bukan Vanilla!"Seketika wajah datar Mahessa menegang meski hanya sepersekian detik, hingga setelahnya, sebuah senyuman melebar di wajah tampannya. Memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya yang rapi dan bersih, tawa Mahessa yang semula pelan menjadi terdengar lebih keras.Lelaki itu tertawa seolah-olah Vanessa baru saja mengucapkan kalimat yang sangat lucu.Dan hal itu jelas membuat Vanessa bingung.Perilaku Mahessa memang aneh.Terkadang bengis, terkadang dingin, terkadang lembut, sungguh lelaki yang sulit ditebak."Mahessa, aku serius! Aku tidak berbohong kali ini. Vi itu aku, aku lah bocah perempuan yang sudah menolong Yasa di lapas! Aku lah orang yang seringkali membantu Pak Dirham di kantin lapas, bersama Yasa. Dan akulah, bocah perempuan yang sering menemani Yasa bermain kelereng di lapas. Menikmati waktu senja di pekarangan taman lapas dan...""Dan apa? Lanjutkan?" Ucap Mahessa sinis ketika tawanya sudah surut sejak tadi."Dan aku yang su
"Jangan! Jangan bunuh aku! Nessa tolong... Nessa tolong aku... Aku mohon, Mahes jangan bunuh aku!" Gavin terus merintih bahkan lelaki itu kini menangis.Saat itu, Vanessa hanya bergeming.Terdiam dengan pikiran kalut.Hati nuraninya jelas tak menginginkan ini terjadi, hanya saja, dia sudah terlampau muak dengan apa yang sudah Gavin lakukan terhadapnya selama ini.Bahkan bisa-bisanya lelaki itu kini menjadikan nama Aro sebagai ancaman.Dasar lelaki sialan!Maki Vanessa dalam hati."Bunuh saja dia, Mahes!" Ucap Vanessa tanpa disangka-sangka."Nessa! Aku mencintaimu Nessa! Tolong aku Nessa! Bukankah kamu juga mencintaiku Nessa? Kita akan menikah Nessa? Maafkan aku Nessa... Maafkan aku..." Jerit Gavin memohon. Lelaki itu kembali menghentak-hentakkan kursi yang dia duduki. Air matanya bercucuran tanpa henti. Benar-benar takut jika ajal akan menjemputnya hari ini."Kamu tidak pernah mencintaiku! Karena yang kamu inginkan hanya harta ayahmu kan? Harusnya, sejak kamu pergi meninggalkan aku ke
Hari berlalu bagaikan hembusan kapas yang beterbangan.Dunia masih berputar pada porosnya, namun kehidupan Vanessa seakan berhenti di tempat saat hari-hari yang dia lalui terus dibayangi rasa takut akan kehancuran rumah tangga Vanilla saudara kembarnya akibat ulah Mahessa.Vanessa terus berpikir apa yang harus dia lakukan agar Mahessa menghentikan ide gilanya untuk merebut Vanilla dari Wildan, hingga akhirnya, Vanessa pun terpaksa mengatakan hal yang sebenarnya pada saudara kembarnya tersebut, tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara dirinya dengan Mahessa selama ini."Apa? Pernikahan kontrak?" Pekik Vanilla terkejut saat Vanessa baru saja memberitahunya bahwa pernikahan yang terjalin antara dirinya dan Mahessa hanyalah sebuah pernikahan kontrak yang akan berakhir jika Mahessa sudah berhasil mendapatkan apa yang dia mau.Itulah sebabnya, hidup Vanessa sekarang benar-benar bergantung pada Vanilla. Vanessa tak mungkin berdiam diri saja menjalani kehidupannya yang suram di masa depan
"Nggak! Sekali nggak ya tetap nggak!" Tegas Wildan untuk ke sekian kali ketika Vanilla terus memepetnya untuk mau ikut serta dalam rencana konyol Vanilla dalam menjebak Mahessa."Tapi Vanessa butuh bantuan kita, Wil! Kamu nggak kasihan sama dia? Dia itu tertekan menikah dengan Mahessa!""Ya kalau memang dia tertekan, ngapain sejak awal dia menerima lamaran Mahessa?" Bantah Wildan yang masih kekeuh dengan pendiriannya.Vanilla yang kesal menarik tangan suaminya, lalu menggigitnya sampai Wildan berteriak kesakitan dan terpaksa berbalik ke arah Vanilla di tempat tidur."Kamu gila ya? Sejak kapan jadi zombie? Sakit tau!" Maki Wildan sambil meringis meraba tangannya yang memerah."Kamu yang gila! Jelas-jelas aku lagi ngomong malah di kasih pantat!" Balas Vanilla kesal."Ya habis omongan kamu malam ini tuh nggak bermutu! Males aku dengernya!""Nggak bermutu gimana? Kamu aja yang daritadi nggak mau dengerin! Lepasin dulu headsetnya!" Vanilla menarik headset yang masih menyumpal telinga sang
Hari pertama di Swiss, dua pasangan muda Mahessa-Vanessa dan Wildan-Vanilla, menghabiskan malam untuk beristirahat sejenak setelah melalui perjalanan yang cukup panjang seharian ini.Mereka memutuskan untuk menginap di salah satu Hotel mewah yang letaknya tidak terlalu jauh dari Bandara International Swiss, untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Villa Pribadi Mahessa yang kebetulan letaknya memang masih cukup jauh dari Bandara.Sesampainya di hotel, Vanilla bergantian dengan Wildan membersihkan tubuh mereka dan berganti pakaian untuk lekas tidur. Berbeda halnya dengan Mahessa yang langsung menyibukkan diri dengan laptop, bahkan saat Vanessa sudah selesai bersih-bersih, Mahessa masih saja fokus menatap layar laptopnya.Setelah Vanilla memberitahu apa yang diucapkan Wildan pada sang saudara kembarnya itu tentang sosok Mahessa, rasa penasaran Vanessa tentang latar belakang asli Mahessa yang sebenarnya pun semakin menjadi-jadi, hanya saja, Vanessa tak tahu bagaimana cara untuk mengo
"Kamu tau Nessa? Apa alasan utamaku mengajakmu dan Vanilla ke Switzerland?" ucap Mahessa kemudian.Vanessa tak menjawab karena masih terlalu sesak dengan tangisannya."Karena aku ingin menyelamatkan kalian dari Aro!" lanjut Mahessa lagi, memberitahu.Vanessa menyeka air matanya, menatap Mahessa bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya tak mengerti.Mahessa menghela napas berat seraya menyandarkan kepalanya ke sofa. Memejamkan mata seolah dirinya hendak melepas penat.Hal itu dia lakukan dalam beberapa menit sebelum akhirnya sepasang mata hitam itu kembali terbuka dan menatap ke arah Vanessa yang masih menunggu jawaban atas pertanyaannya."Saat ini, Aro dan komplotannya sedang berada di Indonesia--""APA?" pekik Vanessa dengan wajah yang teramat sangat terkejut. Bahkan belum sempat Mahessa menyelesaikan ucapannya, Vanessa sudah lebih dulu memotongnya.Menatap lekat sosok Vanessa, sebuah senyum miring terbit di wajah Mahessa. "Apa kamu takut?" tanya lelaki itu kemudian.Perasaan was-was kian m
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi lalu check out dari hotel tempat mereka singgah, sebuah Limousine mewah sudah menunggu kedatangan dua pasang pengantin baru itu di depan lobi hotel.Tak perlu ditanya lagi siapa pemilik mobil super mewah itu, karena Wildan dan yang lain sudah bisa menebak bahwa Mahessa lah orangnya.Ya, siapa lagi?Toh setelah ini pun mereka akan pergi ke mansion mewah milik Mahessa yang berada tepat di tepi Danau Geneva.Memasuki kendaraan mewah itu, manik hitam Vanilla seolah tak mampu berkedip, saking terkesima dengan apa yang dia lihat di bagian dalam mobil tersebut."Bagus banget mobilnya, Wil!" seru Vanilla berbisik di telinga sang suami. Namun, akibat keheningan di dalam mobil, jadilah bisikan tersebut mampu tertangkap oleh yang lain. Dan hal tersebut sukses membuat Wildan merasa malu."Kamu kan udah sering naik mobil bagus di Jakarta, jangan norak deh!" balas Wildan yang juga jadi berbisik sambil sesekali melempar senyum ke arah Mahessa dan Vanessa di had