43Aku bersembunyi di balik dinding ruang tamu dengan jantung yang bertalu cepat. Bagaimana Prisa bisa bersama Aldo? Bagaimana bisa mereka saling mengenal, sementara Aldo baru saja kembali dari Kalimantan setelah belasan tahun? Ada hubungan apa di antara mereka?"Pris, dari mana saja kamu?" Terdengar suara Mas Pandu menggelegar.Aku di sini bersandar di dinding mendengarkan mereka. Aku takut akan bertambah runyam bila ikut keluar. Takut Aldo akan berbuat ulah di sini."Selamat sore, Pak. Tidak menyangka kita bertemu lagi di sini, ya." Terdengar Aldo menyapa Mas Pandu."Bagaimana kamu bisa bersama anak saya?" tanya suamiku menekan amarahnya."Oh, jadi Prisa anak Anda, Pak? Ternyata Anda sudah tua, ya?" Aldo terkekeh.Aku memang tidak melihat reaksi Mas Pandu. Namun, aku yakin dia sangat tersinggung dengan ucapan Ald
44Entah jam berapa aku merasakan tubuh seperti melayang. Namun, karena ngantuk yang mendera, aku malas membuka mata, mungkin hanya mimpi terbang saja. Kemudian tertidur lagi. Hingga tubuh ini terasa digerayangi dengan intens.Sentuhan panas bertubi-tubi mendarat di bagian-bagian tubuhku yang sensitif. Bahkan aku mulai merasakan impitan.Siapa lagi pelakunya kalau bukan suamiku? Aku bahkan tidak tahu kami berada di mana. Aku malas membuka mata. Lebih baik pura-pura tidur saja. Yang penting dia puas.Sampai Subuh menjelang, aku baru membuka mata. Mengedarkan pandangan, ternyata aku ada di kamar kami. Sepertinya dia sudah menculikku dari kamar Prisa dan membawa ke mari.Mas Pandu terlihat masih pulas dengan wajah lelahnya, tetapi seulas senyum tersungging di sana. Aku menatapnya dan tiba-tiba saja jiwa nakal mulai meronta. Kudekatkan bibir ke arah bibirnya.
45"Oh, aku ingat, kamu tidak punya ibu. Kamu tidak akan tahu manisnya pengorbanan seorang ibu. Dan gadis seperti kamu, tidak pantas mendapatkan kasih sayang seorang ibu sampai kapan pun!” teriakku lagi masih menuding wajahnya walaupun jarak kami cukup jauh. Wajah Prisa semakin pucat dengan masih memegangi pipinya. Dia tampak mengerjapkan matanya yang terlihat merah. "Sayang, tenang. Sudah, ya, bukankah Mas sudah membelikan gantinya yang lebih–"Aku berbalik ke arah suamiku, lalu menatapnya nyalang. Kata-katanya semakin memantik amarahku. "Aku tidak pernah minta dibelikan barang apa pun. Apalagi hanya akan membuat anakmu semakin membenciku. Aku tidak pernah mengincar hartamu seperti yang dia tuduhkan. Aku sudah hidup bahagia dengan kedua orang tua dalam kesederhanaan jauh sebelum mengenal kalian. Lalu, kenapa kalian tiba-tiba datang memaksaku menjadi bagian keluarga ini dan menuduhku seolah-olah haus harta?" Dengan berderai air mata, aku berteriak kalap bagai kesurupan, menumpahkan
46 "Al, mungkin sekarang lu belum maafin gue, eh, aku. Mudah-mudahan seiring berjalan waktu lu, eh, kamu bisa maafin aku," ucap Prisa lagi mulai membiasakan aku-kamu walaupun masih sering lupa. Membuatku akhirnya tersenyum geli. "Nah, gitu, dong. Wanita-wanita Papa yang cantik-cantik, saling mengalah, ya. Bila salah satu sedang marah, yang lainnya mengalah. Itu kebahagiaan Papa." Aku masih diam dalam pelukan suamiku. Dan Prisa mulai melepaskan tanganku dengan tulus, walaupun kecewa masih tergambar di wajahnya karena penolakanmu. "Ya sudah, kalian bersiap, ya. Hari ini istirahat saja, besok kita berangkat." Mas Pandu bicara lagi walaupun kami tetap tak ada yang bersuara. "Anggap saja ini bulan madu season dua," bisiknya di telingaku. Dasar mesum! Yang ada di pikirannya hanya bulan madu saja. Menyebalkan! Padahal baru libur satu malam. "Maaf, Mbak Prisa, ada tamu yang mencari." Tiba-tiba si Mpok masuk sesaat setelah terdengar bunyi deru mesin motor berhenti di halaman depan.
47Suasana mendadak canggung. Nafsu makan yang tadi menggebu mendadak sirna karena kehadiran Aldo. Tiba-tiba saja aku terbatuk entah kenapa. Dan dalam waktu hanya beberapa detik saja dua tangan menyodorkan gelas berisi air. Tangan suamiku juga tangan Aldo. Suasana semakin canggung, mata Prisa terbelalak melihat sikap Aldo. Aku langsung mengendalikan keadaan dengan menerima gelas dari suamiku. Tersenyum semanis mungkin padanya sambil mengucapkan terima kasih. Tak peduli reaksi Aldo, aku bahkan tak meliriknya sama sekali. "Sayang, makananmu masih banyak. Ayo habiskan. Calon ibu harus makan yang banyak, biar bayinya sehat." Tiba-tiba Mas Pandu melontarkan kalimat itu di tengah kecanggungan ini. Kami semua terbelalak. Apalagi Prisa dan Aldo."Apa? Jadi Alvina hamil? Aku mau punya adek?" pekik Prisa setengah tak percaya, tetapi kemudian berjingkrak bahagia.Aku melotot, sedang Mas Pandu tersenyum penuh arti. "Tapi, Pa. Kalian, kan, baru nikah sebulan yang lalu. Apa mungkin langsung jad
48Tangan Aldo terulur hendak membetulkannya dengan mata masih lekat menatap. Aku terpaku beberapa saat. Hingga saat tangannya sedikit lagi menyentuh rambut, aku tersentak, lalu dengan cepat memundurkan kepala dan menepis tangannya. "Lancang kamu, Do!" teriakku dengan napas tersengal. Dadaku turun naik dengan cepat karena kaget. Perlahan aku mundur, untuk kemudian berlari ke arah hotel.Aku terus berlari hingga masuk lift. Bahkan lupa tidak mengabari Mas Pandu kalau akan kembali ke kamar. Semua gara-gara Aldo. Kenapa, sih, dia terus saja menggangguku? Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Sedikit pun rasa itu sudah tidak ada untuknya. Di hatiku hanya ada nama Mas Pandu. Titik. Dia yang sudah membuatku klepek-klepek. Sampai di kamar, aku langsung menuju ponsel yang tergeletak di nakas. Tujuanku menghubungi Mas Pandu, takut ia khawatir mencariku. Tiba-tiba ponsel berdering sebelum kuraih. Namun, bukan nomor suami yang memanggil. Melainkan nomor baru yang tidak ada dalam list kontak.
49Mas Pandu mendekat, lalu bersimpuh di depanku. Dia seperti hendak menyampaikan sesuatu, tetapi aku sudah mendahuluinya. "Sudah, Mas. Aku lelah, izinkan aku istirahat sebentar. Kamu bersenang-senanglah," tutupku pelan, sebelum merebahkan diri dengan tubuh masih berbalut handuk kimono.Aku meringkuk dengan membelakanginya. Sungguh lelah jiwa raga ini. Baru saja menghabiskan tenaga untuk bercinta. Bahkan lututku masih lemas. Namun, dengan tega dia menuduhku.Hening. Tak terdengar kata-katanya lagi. Bahkan aku tidak mendengar ada gerakan dari belakang tubuh. Aku mencoba memejamkan mata. Berharap rasa pusing ini hilang saat terbangun nanti. Sampai kudengar suara dering ponselku terdengar lagi, terdengar langkah kaki menjauhiku bersamaan dering yang menghilang. "Assalamualaikum, Bu." Samar-samar kudengar Mas Pandu bicara. Mungkin dia menjawab teleponku."Oh, iya, Bu, kami masih di sini. Alvina terlihat sangat bahagia dengan liburan ini. Jangan khawatir. Sekarang dia sedang tidur, kele
50 Aroma minyak kayu putih terasa menusuk penciuman. Kepala masih terasa pusing, tetapi kupaksakan membuka mata. Mas Pandu langsung berbinar saat melihatku sadar. "Kamu sudah sadar, Sayang?" Tangannya yang semula memijat kakiku, kini beralih menggenggam telapak tangan. Aku memaksakan tersenyum walau masih lemas. Mas Pandu menyodorkan air dalam botol dengan sedotan, agar aku mudah meneguknya. "Maaf, membuatmu khawatir," ucapku parau. Mas Pandu menggeleng. "Mas yang minta maaf, membuatmu sakit," balasnya sambil membelai pipiku. Aku mengerjap, mengingat kejadian sebelum pingsan. Dimas memang tidak sopan. Untuk apa dia menanyakan hal pribadi seperti itu pada wanita di depan suaminya sendiri. Pantaslah suamiku marah. Lagi pula kenapa harus bertemu dia lagi, sih? Dalam kondisiku yang sedang tidak sehat pula. Kenapa hidupku jadi rumit begini gara-gara bertemu orang-orang absurd dari masa lalu? "Sayang, kita ke dokter, ya. Mas khawatir kamu kenapa-napa. Dokter, kan, bisa diagnos
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok