49Mas Pandu mendekat, lalu bersimpuh di depanku. Dia seperti hendak menyampaikan sesuatu, tetapi aku sudah mendahuluinya. "Sudah, Mas. Aku lelah, izinkan aku istirahat sebentar. Kamu bersenang-senanglah," tutupku pelan, sebelum merebahkan diri dengan tubuh masih berbalut handuk kimono.Aku meringkuk dengan membelakanginya. Sungguh lelah jiwa raga ini. Baru saja menghabiskan tenaga untuk bercinta. Bahkan lututku masih lemas. Namun, dengan tega dia menuduhku.Hening. Tak terdengar kata-katanya lagi. Bahkan aku tidak mendengar ada gerakan dari belakang tubuh. Aku mencoba memejamkan mata. Berharap rasa pusing ini hilang saat terbangun nanti. Sampai kudengar suara dering ponselku terdengar lagi, terdengar langkah kaki menjauhiku bersamaan dering yang menghilang. "Assalamualaikum, Bu." Samar-samar kudengar Mas Pandu bicara. Mungkin dia menjawab teleponku."Oh, iya, Bu, kami masih di sini. Alvina terlihat sangat bahagia dengan liburan ini. Jangan khawatir. Sekarang dia sedang tidur, kele
50 Aroma minyak kayu putih terasa menusuk penciuman. Kepala masih terasa pusing, tetapi kupaksakan membuka mata. Mas Pandu langsung berbinar saat melihatku sadar. "Kamu sudah sadar, Sayang?" Tangannya yang semula memijat kakiku, kini beralih menggenggam telapak tangan. Aku memaksakan tersenyum walau masih lemas. Mas Pandu menyodorkan air dalam botol dengan sedotan, agar aku mudah meneguknya. "Maaf, membuatmu khawatir," ucapku parau. Mas Pandu menggeleng. "Mas yang minta maaf, membuatmu sakit," balasnya sambil membelai pipiku. Aku mengerjap, mengingat kejadian sebelum pingsan. Dimas memang tidak sopan. Untuk apa dia menanyakan hal pribadi seperti itu pada wanita di depan suaminya sendiri. Pantaslah suamiku marah. Lagi pula kenapa harus bertemu dia lagi, sih? Dalam kondisiku yang sedang tidak sehat pula. Kenapa hidupku jadi rumit begini gara-gara bertemu orang-orang absurd dari masa lalu? "Sayang, kita ke dokter, ya. Mas khawatir kamu kenapa-napa. Dokter, kan, bisa diagnos
51Mas Pandu membantuku berdiri dan kembali duduk di tepi tempat tidur. "Mas, boleh pinjam HP sebentar?" "Untuk?""Mau nelpon Ayah. HP-ku entah di mana, aku lupa nyimpen."Mas Pandu menyodorkan ponselnya yang segera kuambil lalu menghubungi Ayah. Kemudian, ia menghampiri Ibu yang selalu menatapnya sinis. "Ibu, mari kita ngobrolnya sambil minum teh di depan," ajak suamiku sopan sambil mempersilahkan Ibu keluar. Walaupun dengan angkuh, akhirnya ibu keluar. Aku jadi leluasa menelepon Ayah. "Assalamualaikum, Yah, masih kerja?" sapaku begitu ayah mengangkat teleponnya. "Bentar lagi, Sayang, ada apa?" jawab ayah di seberang. "Ayah pulang kerja langsung ke sini, ya, Ibu ada di sini.""Lho, ngapain Ibu kamu? Kok, nggak nunggu Ayah pulang dulu?""Au, tuh. Lagi main drama.""Drama apa?""Drama kolosal, kayaknya kebanyakan nonton sinetron ikan terbang.""Kamu ngomong apa, Al?" tanya ayah heran."Udah, pokoknya pulang kerja Ayah mampir sini, ya. Ibu meresahkan."Aku menutup panggilan setela
52"Andai aku punya ibu, mungkin hidupku tidak akan menyedihkan seperti ini, terutama di saat cinta Papa harus terbagi untuk istri baru Papa. Setidaknya, aku masih punya tempat berbagi. Sebenarnya di mana ibuku, Pa?" Tangis Prisa semakin menyayat hati.Sepertinya Mas Pandu memeluknya dan membenamkan wajah Prisa di dadanya, karena terdengar tangisnya yang agak teredam. Di balik dinding ini, aku tidak bisa menahan air mata. Prisa, sahabatku, ternyata hatimu begitu rapuh. Hidupmu kosong dan keberuntungan belum berpihak padamu. Maaf, kalau kehadiranku dalam hidup kalian malah membuatmu merasa tersisih. Apa aku begitu jahat telah merebut cinta ayahmu? Padahal bukan mauku juga berada di posisi ini. Ya Tuhan, maafkan aku bila sudah menyakiti hati sahabatku. Perlahan aku melangkah menjauh dengan ikut merasakan kesedihan Prisa, sebelum mereka tahu aku menguping. Semoga kamu segera mendapatkan kebahagiaan, Pris. ***Sore ini dengan mengesampingkan rasa pusing dan mual yang masih mendera, aku
53Tubuhku bergetar hebat dengan tulang-tulang yang serasa dilolosi dari persendian. Tangan berkeringat dingin dan pandangan nanar saat berdiri di depan bangunan bercat hijau muda dengan papan besar bertuliskan Klinik Umum dr. Ainun Khairunnisa. Mas Pandu mencoba menguatkan dengan terus menggandengku semenjak turun dari mobil. Kalau kalian bertanya bagaimana bisa aku mau diajak ke sini, itu karena Mas Pandu menipuku.Dia menutup mataku dengan kain hitam dan mengatakan akan membawa ke suatu tempat indah yang akan membuatku merasa lebih baik. Pagi tadi aku diserang mual dan muntah hebat lagi. Kukira benar dia akan membawa ke tempat indah dan romantis seperti di film-film."Ayo, masuk biar tidak terlalu antre," katanya lembut seraya terus menggenggam tanganku. Aku menggeleng. "Perutku mual, Mas," kilahku lemah.Bukan alasan, karena perutku benar-benar mual, membayangkan di dalam sana menyeruak aroma obat-obatan menusuk hidung. Setelah itu, aku benar-benar mengeluarkan semua sarapan yan
54Mas Pandu menjalankan mobil dengan wajah berbinar bahagia. Tangan kirinya selalu menggenggam tanganku, kecuali saat harus mengendalikan kemudi dengan dua tangan. Aku juga bahagia dan bangga akan segera mengabulkan harapan orang-orang tersayang. Aku akan segera memberikan seorang anak, seorang adik, juga seorang cucu yang yakin akan membuat hidup kami lebih lengkap. Tak sabar untuk segera sampai rumah. Ingin mengabarkan pada orang tuaku. Beberapa meter lagi mobil kami akan sampai di rumah, Mas Pandu memelankan laju mobilnya. Kami masih saling lirik dan tersenyum dalam kebahagiaan. Saat mencapai gerbang, senyum di wajah seketika memudar melihat Tante Mira berdiri di depan pagar rumah kami sambil bertolak pinggang. Kami saling pandang, heran. Ada apa gerangan janda gatal itu? Mas Pandu keluar karena Tante Mira berdiri menghalangi jalan. Sementara aku masih di dalam mobil memperhatikan mereka."Maaf, Mir. Ada yang bisa dibantu?" tanya suamiku sopan. "Mana istri tengilmu itu, Mas?"
55Seiring berjalannya waktu, pesona Aldo memudar karena kami tidak pernah bertemu lagi. Semua kenangan bersamanya seakan jadi lembaran usang yang aku lupa menyimpannya di mana. Bahkan wajahnya pun tidak ingat sama sekali. Lalu, sekarang saat dia kembali dan aku sudah tak sendiri, apa itu salahku? Sementara kami tak pernah punya kesepakatan apa pun. Dia bilang tak pernah mengenal gadis lain, karena selalu mengingat Alvina, apa itu salahku? Dia tak pernah mencintai gadis lain, karena masih menyimpan nama Alvina di hatinya, apa itu juga salahku? Bukankah kita semua punya pilihan hidup sendiri-sendiri yang tidak bisa orang lain paksakan? Aku memilih move on dan menjalani hidup dengan normal, hingga menemukan kebahagiaan. Lalu, kenapa dia masih terkungkung dengan masa lalu dan terus saja mengusikku?Tidak, itu bukan salahku. Itu pilihannya sendiri. Aku tak ingin menyalahkan diri sendiri dengan mengasihaninya. Aku sudah punya hidup sendiri dan bahagia dengan hidup yang sekarang. Apalagi
56Aku resah menunggu Mas Pandu yang tidak biasanya pulang telat. Padahal dia sudah mengabari ada sedikit urusan sehingga tidak bisa pulang cepat. Prisa juga sedari tadi tidak mau keluar kamar. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana. Si Mpok seperti biasa sudah pulang sebelum magrib. Karena dia hanya bekerja siang hari. Aku sendirian. Yang kulakukan hanya bolak-balik di ruang tamu sedari tadi menunggu suami pulang. Sesekali melongok keluar dengan menyibak gorden.Tampak di teras rumah Tante Mira ada ramai-ramai. Yang pasti ada banyak sekali orang. Aku tidak berani keluar. Takut ada apa-apa, sedangkan suami tidak ada di rumah. Apalagi semenjak kuceritakan perihal Dimas, Mas Pandu selalu mewanti-wanti, agar aku tak keluar rumah di saat sendiri. Suara deru mesin mobil terdengar memasuki halaman. Mataku berbinar, itu suamiku. Buru-buru aku bangkit menuju pintu dan membukanya."Mas," sapaku dan langsung memeluknya sesaat setelah dia masuk. "Maaf, ya, sedikit telat. Tadi ada urusan d
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok