104Begitulah hari-hari Nino disibukkan mengurusi Darren, sebelum dan sepulang kerja. Hampir tidak punya waktu lagi untukku. Dia baru menyambangiku setelah dini hari, saat aku sudah tidak berselera untuk bercinta. Itu pun tak lama, karena biasanya Darren akan menangis bila tak mendapati Nino di sisinya.Lama-lama aku bosan menjalani pernikahan seperti ini. Untunglah minggu depan sudah mulai aktif kuliah. Aku akan menyibukkan diri di kampus saja, untuk membunuh kebosanan ini. "Mas, aku izin ke rumah Papa," pamitku pagi ini sebelum Nino berangkat kerja membawa Darren serta. "Ada apa?" tanyanya heran. "Senin depan aku sudah mulai masuk kuliah. Buku-bukuku semua di sana.""Oh, kapan?""Nanti siang," jawabku singkat. Nino nampak terdiam cukup lama. "Apa tidak sebaiknya nunggu aku pulang saja? Nanti kita ke sana sama-sama," ucapnya pelan dengan sorot mata nampak keberatan. "Tidak usah, Mas, kamu pasti capek. Aku berangkat sendiri saja naik ojek," jawabku cepat. Dia menatapku sejenak.
105POV AlvinaAku gemas dengan tingkah Prisa yang sangat kekanak-kanakan. Terhitung sudah satu minggu dia tinggal lagi di sini. Padahal Nino sudah beberapa kali menjemputnya.Aku dan Mas Pandu sudah sangat sering mengingatkannya jika tempat seorang istri di rumah suaminya. Namun, begitulah Prisa, dia malah menuduh kami ingin mengusirnya. Sebenarnya bukan tidak boleh menginap, silakan saja toh ini rumah papanya. Hanya saja, setelah seminggu dia nenginap dan tak ada tanda-tanda akan pulang, apa itu pantas? Aku mengerti dia sangat terpukul mengetahui kalau suaminya ternyata punya anak dari pernikahan sebelumnya. Namun, bukankah itu di luar kendali Nino? Dia juga tidak tahu kalau mantan istrinya hamil saat diceraikan.Menjadi seorang ibu sambung itu, bukanlah sebuah aib. Aku juga seorang ibu sambung dari anak yang walaupun sudah berusia dewasa, tetapi sikapnya masih kekanakan. Aku juga sudah harus menyiapkan stok sabar extra menghadapinya sejak awal menikah dengan papanya. Bahkan beber
106Kami langsung masuk ke parkiran sesaat setelah turun dari taxi. Namun, langkah kami terhenti karena melihat seseorang yang baru keluar dari sana dengan wajah angkuhnya melewati kami. Dia berjalan dengan santainya menelusup jarak diantara aku dan Prisa, seolah tidak ada jalan lain yang bisa dilewati. Aku terpaku beberapa saat, tetapi kemudian terbelalak saat tangan Prisa dengan cepat meraih rambut panjang wanita yang barusan menerobos kami. Terdengar jeritan kesakitan dari pemilik rambut yang Prisa jambak itu. "Lu, punya mata nggak sih? Atau memang nggak punya sopan santun? Ada banyak jalan yang bisa dilewati kenapa harus menerobos kami?" sentak Prisa seraya menarik rambut itu dan melepaskan setelahnya. Aku masih terpaku dengan perbuatan tak disangka anak sambungku. Ya, aku juga setuju wanita ini tidak sopan, tetapi kenapa Prisa seextrim itu? Keherananku sirna saat aku yakin siapa wanita itu. Dia, wanita yang kulihat di mall dan menuduh kami sindikat penculik anak. Dan itu arti
107 Untunglah di kehamilan kedua ini, aku tidak mengalami morning sickness yang parah seperti dulu. Jadi bisa tetap beraktivitas seperti biasa. Kuoleskan liptin tipis agar bibirku lembab dan segar. Pintu terbuka, suamiku langsung muncul di sana. Senyumku langsung mengembang walaupun kulihat wajahnya sedikit muram. Aku melangkah menyambutnya. Dan langsung mengalungkan kedua tangan di lehernya. Dia mengangkat tubuhku ke atas meja, mendudukkanku di sana agar sejajar dengan tubuhnya. Tubuhku memang terlalu mungil, hingga harus tengadah saat ingin melihat wajahnya. "Dari kampus?" "Iya, aku susah payah membujuk Prisa agar mau ke sini dan bicara dengan Nino. Tapi lihat hasilnya?" "Mas juga sudah memperingatkan Nino sebelumnya. Tapi mantan istrinya sepertinya yang sengaja mencari masalah. Tadi dia yang sengaja mencari Nino ke belakang." Diakhiri embusan napas kasar suamiku bicara. "Aku sudah menyuruh Nino menemui Prisa nanti sore. Semoga masalah mereka cepat selesai." "Iya, dia ur
108PoV PrisaHatiku berbunga-bunga, hari ini aku akan menemui Nino. Alvina benar, kami harus bicara sebelum semuanya bertlarut-larut. Bagaimanapun aku masih mencintainya. Aku mau pernikahanku berjalan harmonis seperti Papa dan Alvina. Mungkin ke depannya aku juga akan berusaha menerima anak itu sebagai bagian dari kami, walaupun berat. Aku yakin Nino masih sangat mencintaiku. Dan dia bisa membagi waktu juga perhatiannya untuk kami. Seperti Papa, cinta dan sayangnya untukku tidak berkurang walaupun sudah punya istri lagi. Nino pun pasti bisa menempatkan dirinya dengan baik. Aku hanya perlu mengalah sedikit, menekan egoku, pasti semua berjalan baik. Dengan hati berbunga, aku menuju ke sana sepulang dari kampus. Aku akan memberi Nino sedikit kejutan dengan tiba-tiba datang tanpa memberitahunya dulu. Siapa sangka, malah aku yang dikejutkan. Saat hendak masuk, kami berpapasan dengan perempuan itu, dia baru saja dari sana. Dan aku yakin mereka sudah bertemu. Buktinya Nino juga tidak me
109Entah jam berapa ini. Kurasakan kerongkongan yang sangat kering juga cacing di perut yang berdangdut ria. Kami memang melewatkan makan malam. Kukirik Nino di sebelah masih pulas dengan wajah lelahnya. Entah jam berapa dia selesai. Pelan kusingkirkan tangannya yang melingkari perutku. Aku beranjak keluar kamar bermaksud mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut. Aku berjalan dengan tertatih. Sungguh semua persendianku terasa lemas sisa pertempuran semalam. Aku tidak menyadari ruang makan dengan lampu menyala. Kupikir memang sengaja lampu tidak dimatikan. Ternyata di sana sudah ada Papa yang sedang menemani Alvina menyantap rujak. What? Rujak? Pagi buta begini? Apa sampai sebegitu anehnya orang ngidam? Mereka berdua menoleh saat menyadari kehadiranku. "Ciee … yang udah buka puasa, ampe gemeter begitu lututnya. Uhuk ... uhuk...." Diakhiri batuk karena tersedak, Alvina menggodaku. Papa dengan cepat, mengambilkan air dan menyodorkan ke mulutnya. "Hati-hati sayang, kan lagi maka
110Aku segera berlari ke depan, aku yakin dia ke sana. Dan benar saja, dia berjalan tergesa di parkiran. Kukejar dia, dan setelah jarak cukup dekat aku mendahuluinya, menghadang langkahnya. Kudorong bahunya hingga dia terjejer. "Dasar perempuan bar-bar, kamu mau apa, hah?" Pekiknya sambil melotot. "Harusnya gue yang nanya, lu mau apa datang ke sini terus?" sergahku keras. "Ini tempat umum. Siapa saja boleh makan di sini, kan?""Ya, itu benar. Siapa saja boleh makan di sini. Tapi lu datang bukan buat makan!" hardikku lagi."Kenapa? Kamu takut aku merebut Nino lagi?" tanyanya lagi sinis. Lalu dia melipat tangannya di dada. "Kasian sekali mantan suamiku itu, gadis yang dipuja-pujanya sejak lama, hanyalah perempuan seperti ini."Hatiku panas seketika. Apalagi wanita itu mengatakannya dengan bibir mencibir. "Maksud lu apa?" Aku merangsek dan hendak meraih kerah bajunya, tetapi dia menepis tanganku. "Kamu tenang saja, aku tidak akan merebut suamimu!" ucapnya cepat setelah menepis tang
111"Tapi apakah kamu yakin, sayang? Barangkali itu hanya asumsimu saja, karena kamu terlalu membenci....""Sudahlah, susah bicara sama kamu! Kamu pasti akan selalu membela mantan istrimu itu. Padahal kamu yang paling tahu, bagaimana wataknya. Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang pasti aku bilang sama kamu ya, Mas. Aku akan melindungi pernikahan papaku dan istrinya dari gangguan wanita seperti dia. Dan sekarang, aku memutuskan akan pulang lagi ke rumah Papa."Aku kesal. Kesal sekali dengan Nino. Dia masih saja membela mantan istrinya, padahal tahu pasti wanita macam apa Regina. Sudahlah, aku pulang saja. Tidak akan baik juga aku terus di sini. Suasana hatiku sangat buruk. Padahal semalam kami baru saja berbaikan. Dan rencana sore ini pulang ke rumah Nino, tetapi sikapnya malah membuatku kesal. Andai dia tahu, apa yang diucapkan wanita itu tentang dirinya. Regina hanya menyebutnya barang bekas. Nino mengejarku, dia memintaku tetap menunggunya. Atau pulang ke rumahnya saja. Namu
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok