84Sudah tiga hari ini Prisa dirawat. Selama itu pula aku menungguinya. Aku bahkan tak pernah pulang sama sekali. Baju gantiku, Mas Pandu yang bawakan. Dia sesekali mengontrol rumah makannya, atau pulang sebentar. Tapi selebihnya tetap di rumah sakit. Kami ingin menebus dosa pada Prisa. Kami ingin lebih memperhatikan dia lagi. Kami ingin dia tahu kalau kami menyayanginya dan akan selalu ada untuknya. Kami ingin dia tahu ada kami yang selalu mendukungnya. Kondisi Prisa berangsur membaik. Walaupun masih sering berteriak dalam tidurnya. Kejadian pahit itu masih menghantuinya lewat mimpi. Tapi setelah konsul dengan psikiater atas rujukan dokter yang menanganinya, psikisnya juga mulai stabil. Ya, aku mengerti pasti kejadian itu sangat membekas di ingatannya. Sekarang dia sedang duduk di atas tempat tidurnya, aku baru selesai menyuapinya. Wajahnya terlihat lebih berseri, lebam-lebam mulai memudar.Selama tiga hari ini pula Nino selalu berkunjung ke sini sepulang kerja, walaupun sambutan
85"Mas," panggilku dengan suara parau khas bangun tidur. Aku agak memiringkan kepala ke arah belakang. "Hmmm," hanya gumaman yang terdengar dari arah belakang telingaku. Tubuh Mas Pandu memang menempel padaku, seperti yang biasa dilakukannya setiap tidur. Dia akan memelukku dari belakang seperti ini. Dan ini kadang membuatku tidak nyaman. Tubuhnya yang besar terasa berat, membuatku tidak bisa bergerak bebas. Aku mengangkat tangannya yang melingkari perutku. "Mau kemana?" tanyanya serak, seraya mengeratkan pelukan. "Mau lihat Prisa, takut dia bangun, nanti kaget, kita tidak di sana," ucapku seraya berusaha melepaskan lagi tangannya. "Sudahlah, dia sudah sembuh. Mau sampai kapan ditemani tidur terus. Seperti bayi saja. Sekarang giliran bayi yang ini yang diurus, udah lama gak di urusin," jawabnya manja, dengan suara serak. Kepalanya disurukkan di ceruk leherku. Membuatku kegelian. "Mass ... kasian dia kalau bangun nyariin kita. Lepaskan dulu," aku coba lagi melepaskan tangannya.
86 Akhirnya, hari bahagia itu datang. Prisa didandani bagai putri raja di hari bahagianya. Kebaya warna putih tulang dengan ekor panjang menyapu lantai melekat indah di tubuh langsingnya. Make up flawless menutup sempurna wajahnya yang lebih berisi lagi. Prisa sekarang tidak terlalu kurus seperti saat jiwanya terguncang kemarin. Aura kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya. Nino juga terlihat gagah dengan tuxedo warna senada. Senyum bahagia selalu terukir jelas di wajah sepasang pengantin baru itu. Aku, Mas Pandu, dan orang tua Nino memakai pakaian seragam dengan warna senada yang dipakai pengantin. Sungguh pemandangan indah saat kami berfoto keluarga dengan berbagai pose. Ada celetukan lucu saat sesi foto-foto keluarga. Seorang pengarah gaya mengatakan, "Awas pengantin wanitanya tertukar dengan ibunya. Habisnya, ibu pengantin wanita masih muda dan cantik." Semuanya tertawa, kecuali Prisa yang cemberut lucu. Sementara aku tersipu karena semua mata menatapku kagum. "Tidak aka
87Pov Prisa (seasons 2)Akhirnya, setelah perjalanan hidup yang berliku, hari ini aku bisa merasakan kebahagiaan. Ini hari bahagiaku, hari pernikahanku. Ya, aku menikah dengan laki-laki yang awalnya sangat kubenci.Dulu, dia laki-laki tak tahu malu, tidak punya harga diri. Sudah berkali-kali ditolak, tetap saja maju. Tetap saja usaha, tidak pernah menyerah. Sebenarnya sudah lama aku mengenal Nino, dia karyawan Papa paling lama. Karyawan paling rajin dan loyal.Papa pernah bilang, dia pekerja keras. Bahkan dia tak pernah menolak bila di hari offnya harus lembur. Bila kebetulan rumah makan ramai, dan karyawan kurang, Papa akan menelponnya dan ia tidak pernah keberatan. Pantaslah Papa begitu menyayanginya, bahkan sangat mendukung saat Nino begitu gencar mendekatiku. Sikap Papa sangat berbeda kepada Nino dan Aldo. Terhadap Aldo terkesan dingin, bahkan dalam tatapannya aku melihat kebencian yang besar, seolah Aldo musuh bebuyutan. Bahkan aku yakin, kepergian Aldo dari hidupku, salah s
88Sudah sekitar setengah jam aku di sini. Berendam air hangat di bathtub hotel sambil menikmati aroma terapi yang membuatku rileks. Taburan berbagai bunga segar juga menemaniku mandi. Bagaimanapun aku ingin mempersembahkan yang terbaik untuk Nino. Aku ingin melayaninya dengan tubuh segar dan wangi. Makanya aku bela-belain mandi kembang dulu malam-malam, untuk persiapan malam pertama kami. Aku ingin malam ini berkesan, sehingga dia tidak akan melupakannya seumur hidup. Pintu kamar mandi tetiba terbuka, Nino muncul di sana. Dia langsung melangkah menuju ke tempatku. Aku terlonjak, bukan karena kaget, tetapi teringat tidak sengaja menumpahkan sabun di lantai. Dan belum sempat membersihkannya. Aku bangun hendak memberitahu Nino. Namun terlambat, dia sudah kepalang melangkah ke sini dengan wajah semringah dan tidak sabarnya. Aku menjerit seraya menutup telinga, saat tubuh Nino melayang setelah sebelumnya kepeleset lantai kamar mandi yang licin. Kemudian tubuhnya mendarat sukses denga
89Kalau begini, rasa iriku kepasa Alvina jadi terbit lagi. Lagi-lagi dia yang beruntung dan aku tidak.Astagfirullah, padahal aku sudah berjanji sama Papa dan yang terpenting pada diriku sendiri untuk membuang jauh-jauh penyakit hati itu. Bagaimanapun Alvina, dia orang terdekatku saat ini. Dia istri Papa. Dan bukankah dia sahabatku sejak dulu yang aku paksa-paksa agar mau menikahi Papa?
90Pagi ini akhirnya kami pulang. Aku terpaksa masih memapah Nino dibantu papa, karena dia belum lancar berjalan. Masih sering meringis.Dengan mobil apapa kami berempat pulang. Nino terus saja menyandarkan kepalanya di pundakku. Sepertinya sengaja bermanja di depan Papa."Dielus dong yang sakitnya," pintanya manja saat kami perjalanan pulang. Tangannya menarik tanganku lalu ditempelkan di pinggangnya. Semula aku menepis tangannya. Namun dari depan, Papa berdehem keras."Suami sakit harus diurus, Pris," tuh kan, Papa pasti membelanya."Iya!" jawabku ketus. Lalu mengusap pinggang Nino gemas. Namun, dia malah mengaduh lumayan keras. Aku melotot."Jangan begitu, Pris, harus disayang-sayang, dong. Harus lemah lembut sama suami," ujar Papa lagi. Aku masih melototi Nino yang wajahnya mengiba."Kayak Papa kema
91"Aku harus memantaskan diri dong. Masa mau melamar anak bos, aku belum punya apa-apa. Malu sama papamu, takut ditolak juga, sih," ucapnya lagi."Makanya, aku bekerja keras siang malam. Karena aku bertekad setelah punya rumah akan memintamu sama papamu. Aku mau setelah kita menikah langsung membawamu ke rumah kita. Aku tidak mau menitipkan istriku di rumah orang tuanya apalagi di rumah orang tuaku yang sudah sepuh. Karena bagiku, istriku tanggung jawabku sendiri. Aku ingin mempersembahkan yang terbaik sesuai kemampuanku, tapi setelah berusaha maksimal."Tiba-tiba sesuatu yang hangat menyelinap ke dalam hatiku, lalu perlahan menyebar ke seluruh tubuh lewat aliran darah, mendengar penuturan Nino. Sungguh, aku merasa sangat tersanjung dengan semua yang Nino ucapkan. Aku merasa menjadi orang yang penting, yang jadi tujuan hidup seseorang. Aku merasa diprioritaskan.Untuk pertama kali dalam hidup, aku merasa begitu disanjung dan dipentingkan. Dan itu dilakukan oleh seseorang yang sudah b
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok