Haidar mengamati sekeliling. Ada hamparan sawah yang menguning sejauh mata memandang. Kemudian ada juga kios kecil di sisi kiri jalan yang relative sepi di sana.
Lokasi ini terletak di dekat Bandara Blang Bintang, kabupaten Aceh Besar. Jauh dari keramaian. Hanya beberapa pengunjung di sana. Konon di lokasi inilah para sahabat dari almarhum ayahnya ingin bertemu.
Saat Haidar memasuki warung, dua pria berdiri sambil tersenyum. Satu bertubuh kekar dan satu lagi kurus dengan kaki kiri pincang. Haidar yakin jika kedua pria inilah yang menghubunginya beberapa waktu lalu.
“Saya Aneuk Meuruwa, dan ini Lemha. Kami pernah bersama ayahnya selama hidup. Terimakasih telah datang,” ujar pria bertubuh kekar.
Haidar mengangguk.
Pria itu kemudian bergantian memeluknya. Haidar membalas pelukan kedua pria tadi dengan hangat. Ia menghargai kedua pria itu karena mereka mengaku mengenal ayahnya semasa hidup. Setidaknya, itu kata mereka melalui handphone kepa
“Di Malaya, ada banyak anak Soegi sepertimu yang berkumpul di sana.”“Di sana, kita atur ulang perjuangan nanggroe yang telah dijual para pemimpin di Aceh ini. Aku harap kamu bisa ikut kami ke sana,” kata Lemha.Haidar terdiam. Ia yakin jika kedua pria di depannya itu sedang berkata jujur terkait perjuangan Aceh saat ini. Namun perjuangan bersenjata bukanlah pilihan terbaik dalam kondisi Aceh hari ini.Ia tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Haidar juga masih mengingat wasiet dari ayahnya semasa hidup.“Jangan pernah kau mengikuti langkah ayahmu ini untuk memegang senjata, nak. Aku tak mau kau mewariskan dendam ini. Biar dendam ini terputus pada ayahmu ini. Tugasmu adalah sekolah yang tinggi.”Kalimat itu masih terdengar jelas di telinga Haidar meski bertahun-tahun telah berlaku.“Saya hargai maksud teungku-teungku mengajak saya ke Malaya. Jujur, dulu saya sempat berpikir yang sama usai ayah syahid dal
“Bang ke kantin yuk. Sefti traktir. Ada hal yang mau Sefti diskusikan,” ujar Sefti.Haidar tahu jika apa yang disampaikan Sefti tadi adalah alasan agar mereka bisa ngobrol. Namun ia nyaman bercerita dengan gadis itu. Bukan karena gadis itu cantik, tapi ia cukup santun dan menghargai lawan bicaranya.Sementara jadwal kuliah masih akan berlangsung sekitar satu jam lagi. Masih terlalu lama untuk menunggu di ruang.Ruang kuliah di depannya itu masih kosong. Hanya beberapa mahasiswa yang terihat duduk di sana. Itu pun mayoritas perempuan.“Baiklah. Di kantin samping biro aja ya. Di sana lebih nyaman,” ujar Sefti.Sefti mengangguk. Ia tak sengaja melambai ke arah ruang kuliahnya. Di dalam sana, teman seangkatannya membalas sambil tersenyum. Kini Haidar paham mengapa Sefti tahu betul jadwal kuliahnya. Maka keberadaan Sefti yang selalu berpaspasan dengannya selama ini tentu bukan kebetulan belaka.Haidar mempercepat langkahny
BAGI Haidar, obat mujarab bagi Aceh saat ini adalah keikhlasan. Perang hanya melahirkan luka dan dendam tak berujung.Ia tak menyalahkan orang-orang seperti sahabat ayahnya tersebut yang masih terluka. Karena pemerintah di tanah Jawa sendiri masih memainkan politik tarik ulur dengan Aceh.Dari sejarah yang dipelajarinya, masa damai di Aceh itu hanya bertahan sekitar 20 tahun. Kemudian konflik kembali berulang.Penyebabnya cuma satu. Pemerintah di tanah Jawa tak benar-benar tulus dalam merealisasi apa yang dijanjikan dengan pejuang Aceh. Dari masa Daud Beureueh hingga Hasan Tiro.Padahal, penduduk negeri ini telah memberikan apapun untuk negara ini sejak lepas dari Belanda dan Jepang. Bahkan bisa dibilang, Aceh adalah ibu dari Indonesia. Dari daerah ini, Indonesia kemudian ada. Saat tanah Jawa bermesra-mesraan dengan para kompeni, pejuang Aceh justru mengangkat rencong.Bahkan, demi Indonesia, perang saudara terbesar terjadi di Aceh. Perang cumbok a
Haidar membantu Seti memungut pecahan gelas yang berada di dekat meja mereka. Si Abang kantin datang dan kemudian mengambil alih.“Tidak apa-apa. Biar saya bersihkan. Kalian lanjut saja,” kata pelayan muda itu.Sementara Sefti sendiri terlihat masih shock dengan pengakuan Haidar soal tentara. Jika lelaki di depannya itu menolak Rina karena memiliki ayah yang berstatus tentara, maka nasib yang sama akan dideritanya jika lelaki itu mengetahui bahwa ayahnya juga seorang tentara republik.Sefti terdiam. Sementara Haidar juga tak banyak berkata-kata.“Kenapa bang Haidar benci dengan tentara?” ujar Sefti kemudian. Kalimat itu terdengar datar. Tak lagi seantusias tadi.Haidar terdiam. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diungkapkan.“Aku mencoba berdamai dengan masalalu-ku sejak umur 10 tahun. Namun hingga kini semua ingatan di masa lalu masih membekas. Untuk itu, aku tak bisa pura-pura,” ujar Haidar k
“Tapi Rina bukan tentara. Hanya ayahnya yang tentara. Apakah itu tidak terlalu kejam baginya,” ujar Sefti tiba-tiba menimpali.Sefti berharap persepsi Haidar soal traumanya di masa lalunya itu tak mendalam. Itu membuka peluang baginya untuk mendapatkan hati lelaki di depannya itu. Status Rina sama seperti dirinya. Jika Haidar menjauhi Rina karena ayahnya yang tentara, maka hal yang sama juga berlaku baginya.Di sisi lain, ia juga berharap Haidar tak benar-benar menyukai Rina.“Ya, mungkin ini terlalu kejam baginya. Aku menyukainya sebagai teman. Tak lebih. Kemudian traumaku muncul ketika mengetahui ayahnya seorang tentara. Aku hanya sedikit menjauh dari posisi teman menjadi kenalan,” ujar Haidar kemudian.Penjelasan Haidar ini benar-benar membuat Sefti serba salah. Ia kini tahu bahwa Rina pernah menyatakan cinta pada pria di depannya itu. Meski Sefti kini mengetahui bahwa Haidar cuma menganggap Rina teman. Kini, seperti kata Haidar
Sefti benar-benar tak dapat tidur ketika malam hari tiba. Berkali-kali ia mencoba memejamkan mata, tapi tak juga tertidur. Curhatan hati Haidar membuatnya gelisah. Ia sadar peluangnya untuk bisa bersama pria Aceh itu kian tipis. Sefti tak mungkin menghindari ayah kandungnya sendiri. Hubungan ayah dan anak akan abadi. Ia bahkan rela meninggalkan seribu lelaki demi ayahnya itu. Konon lagi, ayahnya adalah satu-satunya orangtua yang kini ia dimiliki. Ayahnya-lah yang menjaganya ketika ibunya meninggal dunia usai melahirkan. Ia dirawat dengan penuh kasih sayang meskipun untuk melahirkannya, nyawa sang ibu melayang. “Haruskah aku berbohong hanya untuk memikat hati pria itu? Atau lebih baik aku menjauhi-nya sebelum rasa ini bertambah. Aku tak ingin ia terluka ketika mengetahui ayahku juga seorang tentara,” gumam Sefti dalam hati. Namun hatinya benar-benar sakit. Ia sangat kecewa. Ia juga tak bisa menyalahkan Ibnu atas masalalunya yang kelam s
Nicah Awe, Maret 1997JALAN Medan-Banda Aceh relative sepi dari biasanya. Perang besar baru saja reda di Julok. Sejumlah angkutan umum serta angkutan antar kota tertahan di Idi dan Lhoknibong. Beberapa yang nekat menerobos kini tinggal rangka.Angkutan itu dibakar. Para wartawan menyebutnya dengan istilah oknum.Kini jalanan sepi seperti kota mati. Hanya suara mobil reo yang meraung di jalan raya itu. Mereka hilir mudik seolah sedang mencari lawan guna membalas dendam atas tragedy di Julok, sekitar 3 jam lalu.Kejadian itu diamati diam-diam oleh sekelompok pria di balik kebun sawit. Mereka berjumlah 12 orang. Mereka bersenjata. Enam memegang senjata AK buatan Rusia. Selebihnya bersenjata rakitan.Seorang pria paruh baya bangkit dari tempatnya duduk. Tanpa aba-aba, ia langsung menampar satu persatu para anggotanya itu.“Tap, tup.”Tak hanya cukup menampar, ia juga berkali-kali menendang para anggotanya itu.
USAI salat, Mustafa mencoba mendekati pria tua yang sedang berzikir di posisi imam. Mustafa ingin memastikan jika sosok itu tak lagi marah kepadanya. Selain itu, ia juga memperoleh informasi dari penghubung bahwa anak tertua dari pimpinannya itu sedang berada di kawasan Nicah Awe. Anak tertua dari pimpinannya itu hampir seumurannya dengannya. Dia juga Tentara Nanggroe tapi berada dalam kelompok gerilya yang terpisah. “Teungku,” sapanya pelan. Namun pria tua di depannya tak merespon. “Teungku Fiah,” katanya lagi. Kali ini pria itu menoleh ke arahnya. “Maaf menganggu zikir, teungku. Penghubung tadi menyampaikan jika anakmu, Rahman, ada di Nicah Awe,” kata Mustafa lagi dengan hati-hati. Pria tua itu tertegur. Namun dia kemudian justru menutup mata. Ia melanjutkan zikirnya. Mustafa sendiri merasa serba salah. Dia hendak turun dari balai agar tak kembali jadi sasaran kemarahan pimpinannya itu. Namun baru hendak bergerak, pimpinannya itu justru mena
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp