“Meski semewah ini, aku belum pernah berpikir bakal ngelakuin apa di kamar ini, Aya.”Ah, aku lupa. Selain pintar menghipnotisku, Ivan juga sangat ahli membaca isi pikiranku.“Bahkan waktu beli rumah ini, aku selalu bayangin gimana nantinya tinggal di sini sementara hatiku di sana, di rumah kita, bersama seluruh rasa tentangmu.”“Dih! Berlebihan. Kalo waktu itu jadi nikahin Gina terus tinggal di sini mana mungkin masih mikirin aku.”“Iya juga sih. Ngapain mikirin orang yang nggak konsisten. Katanya mau cerai, tapi ternyata balik lagi.”“Ck!”“Haha! Makanya jangan mancing. Aku ngajakin ke sini bukan buat bahas siapa pemilik rumah ini atau siapa yang milih rumah ini. Aku ngajakin ke sini karena aku tau kamar ini juga selera kamu banget, Ay. Malem ini nginep di sini, ya.”“Nggak, ah. Takut.”“Kan ada aku.”“Nggak mau. Kamar ini bukan milikku, dan aku nggak mau ngambil milik orang lain. Begitu pun yang udah jadi milikku, aku nggak mau diambil orang lain.”“Rumah ini aku yang beli, dan ata
“Loh, udah selesai, Sayang?”Ivan tengah asyik dengan ponsel di tangan ketika aku menyusulnya ke ruang tengah. Kami akan memenuhi undangan makan malam Imelda malam ini dan Ivan sedang menungguku selesai berdandan di sofa ruang tengah. Pria dengan setelan pakaian resmi itu segera berdiri begitu melihatku datang menghampiri.“Wow! Cantik. Selalu cantik, Aya.” Dia berbisik di dekat telinga.Dan aku ... momen-momen seperti ini selalu saja membuatku melow. Dalam hidpuku, aku pernah berada dalam situasi yang sebaliknya. Waktu itu, cara Mas Adam menghina setelah menungguku dengan tak sabaran.“Nah, kan! Kamu ini selalu aja gini kalo dipuji. Ck!” Jemari Ivan bergerak menyentuh sudut mataku, kurasa ada tangis yang tak dapat kusembunyikan di sana. “Aku nggak suka ngeliat kamu gini, Aya. Aku tulus muji kamu, bukan untuk bikin kamu ingat hal-hal yang nggak enak, yang bikin kamu nangis.”“Maaf, Pi. Aku Cuma terbawa suasana.”Hal seperti ini memang sudah beberapa kali terulang dalam kebersamaan kam
Hampir sepanjang pesta, Ivan terus saja menggandeng tanganku. Sementara aku tahu persis bahwa Imelda – sang pemilik pesta ini juga terus saja memperhatikan kami. Jangan lupakan tatapan dari sudut lain, Mas Adam yang sepertinya datang dengan rekan kerjanya, karena aku bisa mengenali salah satu dari mereka.Pesta ini rupanya digelar untuk metayakan kembalinya Imelda ke Indonesia setelah lama menetap dan membangun bisnis di luar negeri, itu yang terucap dari ayah Imelda saat bersulang dengan tamu-tamunya. Dan entah hanya perasaanku saja, aku merasa ayah Imelda pun berkali-kali melirik ke arah kami, atau mungkin saja hanya ke arah Ivan.“Udah bilang ke Imel, belum?” tanyaku ketika mulai merasa risih berada di tengah pesta.“Belum. Nggak enak lah ajakin ngobrol pas papinya lagi ngomong tuh.” Ivan menjawab. “Kenapa, Sayang?” tanyanya, kurasa ia melihat kegelisahanku.“Aku nggak nyaman di sini.”Kurasakan pria ini meremas tanganku di bawah meja. “Sebentar aja. Abis ini kita pulang. Kalo ngga
[Ay, ke sini bentar dong. Mau minta pendapat venue buat lauching besok.]Begitu isi pesan yang kuterima dari pria yang sebenarnya hanya berjarak beberapa meter dari tempatku sekarang ini. Aku memang lagi tak sedang berada di kantor, karena menemani Iin memilah-milah gaun yang akan dipajang.[Bentar, Pi. Masih bantuin Iin.]Balasan pesanku yang rupanya tak bisa diterima oleh Ivan, karena setelah itu dia kembali mengirim pesan.[Percuma aja bikinin kantor sebelahan, nggak bisa didatengin juga setiap saat.]Tak dapat kutahan tawaku membaca pesannya. [Kerja, Pak. Kerja!]“Mbak Aya sejak kita di sini bawaannya senyum terus, senang terus. Beda banget dengan Mbak Aya di butik yang dulu, ngelamuuun aja.” Iin yang memang sudah sangat akrab denganku mengimentari. Entah sudah komentar yang kesekian juga dari gadis itu tentang keseharianku sekarang.“Bahagia banget, ya, Mbak,” kata Iin lagi.Aku mengangguk.“Dulu aku nggak kepikiran mau nikah, waktu ngeliat Mbak Aya dulu disia-siakan. Tapi sekara
“Cantik banget kamu, Aya ....” Sebuah lengan kekar memelukku dari belakang setelah gaun yang berwarna hitam yang kupilih untuk kugunakan malam ini melekat di tubuhku. Cermin di depanku memantulkan bayangan Ivan sedang memeluk erat, sementara ujung hidungnya bergerak-gerak mencium bahuku.“Jangan digigit,” keluhku saat merasakan gigitannya di bahu, namun pria yang juga sudah siap dalam penampilan terbaiknya itu justru semakin menjadi hingga ujung hidungnya kini menyentuh leherku.“Aku selalu suka lehermu, Aya.” Ada perasaan basah ketika Ivan justru menyesap lembut di sana.“Jangan!” Aku masih berusaha menghindar. Malam ini kami berdua tentu akan menjadi orang penting di acara launching kantornya, dan pria yang masih memelukku erat ini justru sedang melakukan hal berbahaya seperti ini.“Pii ...,” panggilku memohon. “Jangan ... semua nungguin kita malam ini.” Rasanya aku perlu mengingatkannya agar pria ini tak semakin menjadi.“Panggil apa, Aya?” Dia menggumam di dekat telingaku.“Sayang
Kursi yang kududuki ini sebenarnya kursi yang empuk, tetapi kini terasa tak nyaman sama sekali. Pria dengan pakaian casual yang duduk di depanku adalah penyebab ketidaknyamananku, belum lagi tanganku yang terasa diremas kuat oleh Ivan yang juga duduk di sebelahku.“Ini tamu yang saya bilang tadi, Mbak Aya.”Paling tidak suara Iin mengisi keheningan yang tercipta di tengah keramaian malam ini di Twin House.“Ini Mbak Aya, pemilik butik. Sepertinya Pak Hendra tak salah orang, ya.” Masih suara Iin, karena kurasa ia pun mendengar tadi ketika aku terkejut melihat tamu yang sedang bersamanya.“Iya, Mbak Iin. Saya nggak salah orang ternyata. Tadi cuma dengar namanya, dan ternyata orangnya memang orang yang sama dengan pemilik nama yang saya kenal.” Pria di hadapanku berbicara menjawab pertanyaan Iin, tetapi ia tak lepas menatap padaku.“Hai, Cahaya Kirana. Apa kabarmu?” Pria berkulit putih itu menyapaku, dan aku tak mungkin berkelit untuk tak mengenalinya.“Hai, Hendra. Ehm ... aku baik. Dan
“Aku balik ke dalam dulu, Ay.” Ivan kembali berpamitan padaku sepeninggal Tari dan Wira.Dari sisi lain, aku bisa merasakan bahwa ibuku sejak tadi tak lepas menatap ke arah kami. Kurasa ibu memperhatikan semua interaksi kami malam ini, sebab saat kembali bergabung, dengan lembut ibu menepuk pundakku.“Aya hebat, Nak. Pandai menempatkan diri. Kita memang tak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa memperbaiki masa depan dengan belajar pada kesalahan di masa lalu.”Sebuah nasihat yang memang sangat pas untuk kehidupanku dan Ivan sekarang. Kami berdua sama-sama memiliki masa lalu yang di dalamnya banyak sekali pembelajaran hidup.***[Ke sini bentar.]Sebuah pesan dengan foto ruangan yang tentunya kukenali masuk di ponselku. Itu foto ruang pribadi Ivan di Twin House. Ruangan kita, begitu ia menyebutnya belakangan ini.Gegas kulangkahkan kaki ke sana. Seperti gaya khas Ivan saat menungguku, pria itu segera menarik tanganku setelah aku membuka pintu. Ivan mendorongkui ke dinding, menatapku
“Rumah itu kemarin ditawar temannya Bang Malik, Dek. Tapi belum deal juga, katanya nunggu salah satu rumahnya terjual baru bisa beli.”Pembicaraan kami berlanjut di rumah setelah pulang dari Twin House. Besok pagi Kak Dian dan Malik harus kembali ke Surabaya sehingga keduanya meminta bicara malam ini.“Eh ... jangan ditawarin dulu, Kak.” Ivan menanggapi. “Tadi pas ngobrol dengan Imelda di Twin, dia bilang pengen ngeliat rumah itu. Jadi kalo tertarik nggak usah dijual dan tinggal hitung-hitungan sama ganti rugi yang harus kubayar.”Aku segera melirik pria itu. Tadi ngobrol dengan Imelda katanya? Bukannya selama di Twin House aku terus saja di sampingnya?“Tadi, Ay. Pas kamu lagi nemenin ibu di gazebo. Pas Imel gabung dengan temen-temen basket.”Aku buru-buru melempar pandang ketika Ivan bisa membaca pikiranku dengan sangat tepat.“Siapa yang nanya elu, wei!” Kak Dian mencibir ke adiknya.“Tuh! Aya.”“Emang tadi nanya, Ay?” Kak Dian bertanya padaku kali ini.“Ehm ... iya, Kak. Nanya dal
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber