🏵️🏵️🏵️
Akhirnya, kami pun tiba di desa orang tua Papa. Kakek dan Nenek terlihat bahagia. Aku langsung memeluk laki-laki dan wanita tua tersebut secara bergantian. Mereka tetap tersenyum walaupun telah mengetahui apa yang terjadi terhadapku saat ini.
Papa dan Mama meminta maaf kepada Kakek dan Nenek atas apa yang telah menimpa hidupku. Hatiku kembali sakit karena membuat keluarga turut bersedih atas perbuatan yang kulakukan. Aku hanya bisa diam mendengar pembicaraan mereka.
“Saya titip Nay, Pak, Buk. Saya ingin agar dia tinggal di sini sampai melahirkan.” Papa kembali menyampaikan niatnya kepada Kakek dan Nenek.
“Ibu ngerti, Nak. Sebelum ke sini, kamu sudah menghubungi Ibu dan Bapak untuk hal ini. Kami suka kalau Nay tinggal di sini.” Aku bahagia mendengar jawaban Nenek.
“Terima kasih, Pak, Buk. Kami tidak tahu harus bagaimana lagi kalau Bapak dan Ibu tidak bersedia memberikan izin Nay tinggal di sini.” Mama turut menimpali.
“Tidak perlu berterima kasih, Nak. Kami orang tua Nay juga. Dia cucu Ibu dan Bapak.” Nenek memegang pundak Mama.
Aku tiba-tiba kembali merasa mual. Aku langsung melangkah menuju kamar mandi rumah Kakek dan Nenek. Semenjak aku mengetahui kehamilan ini, rasa mual itu terus muncul dan membuat tubuhku terasa lemas seperti tidak berdaya.
Ternyata Nenek menghampiriku ke kamar mandi. Beliau menyarankan agar aku istirahat di kamar yang telah disiapkan sebelumnya. Orang tua itu memegang tanganku lalu kami melangkah ke ruangan yang berada di samping kamar beliau dan Kakek.
“Kamu istirahat, ya, Nak.” Aku dan Nenek duduk di tempat tidur.
“Iya, Nek. Terima kasih karena Nenek bersedia menerima Nay tinggal di sini.” Aku memegang tangan Nenek.
“Kamu cucu Nenek. Kamu berhak tinggal di rumah ini. Ini rumah Papa kamu.” Nenek membuatku terharu.
“Ampuni Nay, Nek. Nay udah berbuat jahat dan membuat keluarga sedih.”
“Nay nggak boleh ngomong seperti itu. Nay adalah cucu terbaik Nenek dan Kakek. Kami sayang Nay.”
“Terima kasih, Nek.” Aku pun memeluk Nenek.
Aku merasakan pelukan Nenek yang terasa hangat. Aku sangat terharu karena memiliki keluarga yang memiliki kasih sayang luar biasa. Walapun aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar, tetapi Kakek dan Nenek tidak menunjukkan kemarahan sama sekali.
Kami akhirnya melepaskan pelukan. Nenek kembali menemui Kakek, Papa, dan Mama di ruang tamu. Aku berjanji pada diri sendiri akan lebih kuat dan tegar dengan keadaan yang terjadi sekarang. Masih banyak orang-orang tersayang yang berada di dekatku.
Walaupun Mas Yuda dengan tega telah meninggalkan diriku, tetapi aku tidak ingin larut dalam kesedihan. Untuk apa memikirkan seseorang yang tidak peduli sama sekali kepadaku. Perlahan dan pasti, aku pasti bisa melupakan dirinya.
Aku akan menghapus semua kenangan tentang kita, Mas Yuda. Aku yakin kalau suatu saat nanti, kamu akan menyesal karena telah mencampakkan wanita yang telah mengandung darah dagingmu. Kamu bukan ayah yang baik untuk calon anakku.
🏵️🏵️🏵️
Hari sudah gelap, aku memilih istirahat, menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Sementara Papa dan Mama telah kembali ke kota. Mama berpesan agar aku tidak terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting dalam keadaan sedang hamil.
Mama juga menyarankan agar aku segera melupakan Mas Yuda yang tidak bertanggung jawab. Wanita itu juga mengatakan kalau Mas Yuda tidak perlu tahu tentang kehamilanku saat ini. Beliau mengaku yakin kalau aku mampu menjadi perempuan kuat dan sabar dalam menghadapi masalah besar ini.
“Kamu harus tetap semangat. Ingat bayi kamu. Jangan sedih. Mama akan tetap menyayangimu.” Mama selalu mampu membuat hatiku merasa tenang.
“Terima kasih, Mah. Nay benar-benar minta maaf. Nay udah membuat Mama dan Papa sedih. Tapi Mama tetap baik sama Nay.” Aku mencium tangan Mama sebelum mereka meninggalkan desa ini tadi sore.
Aku membuka ponsel dan melihat foto-foto saat bersama dengan Mas Yuda. Saat itu, aku tidak pernah memikirkan hal ini akan terjadi. Aku selalu berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, tenyata harapan itu telah sirna tak tersisa.
Aku masih ingat saat hubungan kami memasuki dua bulan kala itu. Mas Yuda memperkenalkan diriku kepada kedua orang tuanya. Ia dengan bangga dan penuh semangat mengatakan kepada Papi dan maminya bahwa aku adalah wanita satu-satunya yang ia cintai.
Mas Yuda berkata bahwa aku adalah perempuan yang akan melahirkan anaknya. Apa yang ia ucapkan kala itu akhirnya menjadi kenyataan karena sekarang aku sedang mengandung anaknya. Namun, ia telah mencampakkan diriku.
Luka yang Mas Yuda torehkan sungguh sangat perih dan susah untuk disembuhkan. Ia pergi meninggalkan diriku sebelum mengetahui keberadaan anaknya dalam rahimku. Laki-laki itu tidak tahu kalau aku sedang mengandung benihnya.
Tiba-tiba getaran pesan masuk aku rasakan di ponsel yang masih dalam genggaman. Aku pun membukanya dan ternyata terdapat nama Mas Yuda di layar. Aku berusaha untuk tidak membacanya karena hatiku pasti akan makin sakit.
Mungkin karena aku tidak membuka pesan tersebut, Mas Yuda pun menghubungiku melalui telepon. Sebenarnya, aku tidak kuasa menerima panggilan masuk darinya, aku merasa tertekan setiap mendengar suara laki-laki itu.
Akan tetapi, aku akhirnya mencoba bersikap tenang lalu menerima panggilan tersebut. Tujuan utamaku adalah untuk mengingatkan Mas Yuda agar tidak menghubungiku lagi. Jika ia makin berusaha mendekat, hatiku akan susah untuk melupakan dirinya.
“Jangan hubungi aku lagi!” Aku dengan tegas mengatakan hal itu kepada Mas Yuda.
“Itu nggak mungkin, Sayang. Aku mencintaimu. Tunggu aku sekarang. Aku akan membuktikan kalau aku sangat menginginkanmu. Aku akan menceritakan kenapa aku harus pergi di acara pernikahan kita. Itu aku lakukan karena terpaksa.” Aku kembali kesal mendengar alasan dan ungkapan cinta itu.
“Kamu tidak akan menemukanku. Aku juga nggak butuh penjelasan darimu. Jangan pernah memberikan alasan yang tidak ingin aku dengarkan!” Aku menaikkan suara. Entah kenapa, tiba-tiba rasa mual itu kembali muncul.
“Kamu kenapa, Sayang?” Aku mendengar suaranya seperti orang yang sedang panik.
“Apa pedulimu? Jangan hadir lagi dalam hidupku. Aku membencimu!”
“Jangan ngomong seperti itu, Sayang. Kamu harus tahu kalau aku sangat mencintaimu.”
“Aku jijik mendengar ocehanmu. Aku muak mengingat janji palsumu!” Aku kembali mual.
“Sayang, jangan pernah menyembunyikan sesuatu dariku. Kenapa kamu mual? Apakah kamu ….” Sebelum ia melanjutkan pembicaraan, aku langsung mengakhiri telepon.
Mas Yuda kembali menghubungiku, tetapi tidak kuhiraukan. Aku memilih keluar kamar menuju kamar mandi yang ada di ruang belakang. Rumah Kakek dan Nenek tidak memiliki toilet di kamar tidur.
Aku mencoba mengeluarkan apa yang membuat diriku selalu merasa mual. Namun, tidak ada yang keluar dari kerongkongan. Aku pun kembali menuju kamar dan berharap kalau Mas Yuda sudah berhenti menghubungiku.
Aku melihat panggilan tidak terjawab yang tidak sedikit dari Mas Yuda. Aku mencoba membuka pesan yang juga dikirimkan olehnya. Aku sangat terkejut setelah membaca apa yang tertulis di layar ponsel tersebut.
[Kamu hamil, Sayang? Kamu mengandung anakku? Aku sangat ingat, sudah tiga bulan lebih lamanya sejak kita melakukannya. Aku yakin kalau benihku sekarang ada dalam rahimmu. Dia penerusku. Tunggu aku sekarang, aku pasti datang.]
==========
Apakah Nayla akan jujur tentang kehamilannya kepada Yuda?
POV YUDA 🏵️🏵️🏵️ Aku telah melakukan kesalahan yang sangat sulit untuk diterima, meninggalkan wanita yang sangat aku cintai di acara pernikahan kami setelah ijab kabul selesai. Ia tidak percaya kalau semua itu terpaksa aku lakukan. Lima bulan yang lalu, Om Heru—kakak kandung Mami, memintaku bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak kulakukan. Mira—keponakan laki-laki paruh baya tersebut telah hamil tiga bulan dengan pria yang tidak bertanggung jawab. Saat pertama kali bertemu Mira di rumah Om Heru, wanita itu mengaku tertarik kepadaku. Walaupun aku telah mengaku memiliki kekasih dan akan segera menikah, ia tidak peduli. Ia tetap bersikeras agar aku bersedia menjadi orang istimewa dalam hidupnya. Om Heru meminta tolong agar aku bersedia memenuhi permintaan keponakannya. Beliau bercerita bahwa saham terbesar dalam perusahaannya berasal dari orang tua Mira. Melihat sikap Om Heru yang memohon kepadaku, aku pun bersedia berpura-pura menjadi kekasih Mira. Akan tetapi, Mira ternyata b
🏵️🏵️🏵️ “Kamu mencoba untuk mencari alasan?” Papa mertua kembali membuka suara dengan nada tinggi. Aku akhirnya menceritakan apa yang terjadi selama ini. Mulai dari awal pertemuan dengan Mira hingga memaksaku meninggalkan Nayla. Aku berharap setelah kedua mertuaku mendengar penjelasan tersebut, mereka akan memberikan maaf kepadaku. “Kamu pikir saya percaya dengan alasan omong kosongmu?” Aku terkejut mendengar ucapan papa mertua setelah mendengar penjelasanku. “Itu kenyataan yang sebenarnya, Pah. Saya tidak mungkin dengan sengaja meninggalkan wanita yang sangat saya cintai.” Aku kembali meyakinkan kedua orang tua tersebut. “Cukup! Tidak perlu basa-basi lagi. Sekarang juga, kamu angkat kaki dari rumah ini!” Papa mertua berdiri sambil menunjuk ke arahku. “Jangan usir saya, Pah. Saya datang untuk menjemput Nayla. Tadi saya dengar dia mual saat kami berbicara di telepon, saya khawatir sama dia.” Aku tetap bersikeras untuk bertemu dengan wanita yang telah resmi kunikahi. “Nayla ngga
🏵️🏵️🏵️“Aku ke kamar, ya, Pih, Mih.” Aku pun beranjak dari ruang keluarga menuju kamar.Aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur yang telah sebulan aku tinggalkan. Seandainya Mira tidak mengusik kehidupanku kala itu, mungkin saat ini sang pujaan hati pasti berada di kamar ini. Kami akan mengukir sejarah yang mampu menciptakan keindahan.Aku melihat jam dinding telah menunjukkan angka sebelas. Aku meraih ponsel dari saku celana lalu mengetik pesan untuk dikirimkan kepada Nayla. Mungkin saat ini ia sudah tidur. Semoga besok, ia membaca apa yang telah kukirimkan kepadanya.[Aku sudah ke rumah orang tuamu, Sayang. Aku berharap dapat membawa kamu pulang ke rumah orang tuaku. Tapi mereka bilang kamu nggak ada. Aku sedih karena tidak dapat bertemu dengan istriku. Kamu di mana, Sayang?]Setelah mengirimkan pesan kepada Nayla, aku pun meletakkan ponsel di nakas. Aku tetap memikirkan wanita itu hingga mata ini sulit untuk terpejam. Saat lamunan tetap mengarah kepada Nayla, tiba-tiba terdengar
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak berhasil memejamkan mata tadi malam. Hati ini tidak tenang memikirkan Nayla yang belum tahu di mana keberadaannya. Aku segera menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuh. Hari ini, aku akan kembali ke rumah orang tua Nayla untuk mencari informasi. Setelah selesai mandi, aku pun bergegas ke meja makan untuk sarapan. Mami dan Papi telah menunggu kehadiranku. Aku menghempaskan tubuh ke kursi lalu mulai menikmati menu yang dihidangkan oleh asisten rumah tangga di rumah ini. “Apa rencana kamu hari ini, Yud?” Papi membuka pembicaraan. “Aku ingin mencari keberadaan Nayla, Pih.” Aku memberikan jawaban sambil mengunyah makanan. “Wajah kamu, kok, kelihatan nggak bersemangat?” tanya Mami sambil memperhatikan diriku. “Aku belum tidur dari semalam, Mih. Kepikiran Nayla terus. Bagaimana mungkin aku memejamkan mata, sedangkan aku tidak mengetahui di mana keberadaan istriku?” Aku menghentikan makan karena kembali memikirkan Nayla. “Mami ngerti, tapi kamu juga harus jaga keseh
🏵️🏵️🏵️ Waktu menunjukkan pukul 18.15 WIB, saatnya menjalankan kewajiban sebagai umat Islam. Setelah tinggal di rumah ini, aku baru menyadari betapa banyak dosa yang telah tercipta saat menjalin hubungan sebagai kekasih Mas Yuda. Aku terbuai dengan perhatian dan kasih sayang yang Mas Yuda tunjukkan hingga aku khilaf dan bersedia menyerahkan diri kepadanya. Aku dan laki-laki itu akhirnya melakukan hubungan yang belum pantas kami perbuat. Aku beranjak dari tempat tidur lalu membuka pintu dan mendapati Mas Yuda yang sedang duduk di depan pintu. Aku berusaha untuk kembali masuk kamar, tetapi ia meraih tanganku lalu menciumnya. Keadaan ini membuat hatiku sangat bimbang. “Sayang, jangan hindari aku. Aku nggak kuat dengan sikap kamu yang seperti ini. Aku ingin kita kembali bersama lagi.” Mas Yuda masih menggenggam tanganku. “Lepasin, Mas! Aku mau sholat.” Aku berusaha melepaskan diri dari laki-laki itu. “Kita sholat berjamaah, ya, Sayang. Aku imam untukmu dan calon anak kita.” Aku ter
🏵️🏵️🏵️ Aku berusaha kembali melepaskan diri darinya hingga berhasil. “Jangan sok tahu kamu. Aku membencimu!” Aku pun beranjak dari tempat tidur lalu keluar kamar menuju ruang keluarga. Aku mendapati Kakek dan Nenek yang masih menikmati acara televisi. Aku pun menghempaskan tubuh ke sofa cokelat di ruangan itu. Kedua orang tua tersebut secara bersamaan melihat ke arahku. Entah apa yang mereka pikirkan. “Suami kamu mana, Nak?” tanya Nenek kepadaku. “Masih pantaskah dia disebut sebagai suami, Nek?” Aku kesal karena Nenek menyematkan kata suami saat menanyakan Mas Yuda. “Dia tetap suamimu, Nak.” Kakek pun turut membuka suara. “Tapi dia udah meninggalkan Nay saat acara pernikahan kami, Kek.” Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Kakek. “Yuda sudah cerita semuanya pada kami. Dia terpaksa melakukan itu.” Kakek seolah-olah melakukan pembelaan terhadap Mas Yuda. Aku merasa sedih karena orang-orang yang aku sayangi seakan-akan berpihak kepada Mas Yuda. Kakek dan Nenek seharusnya mem
🏵️🏵️🏵️ Pagi kembali menyapa, tetapi aku menyambutnya tidak dengan hati gembira, sebab hati ini sangat sakit mengingat apa yang Papa dan Mama katakan kepadaku melalui telepon tadi malam. Mereka sama sekali tidak merasa kesal atau melarang aku agar tidak kembali lagi menerima Mas Yuda. Kedua orang tua tersebut justru berharap agar aku memberikan maaf kepada Mas Yuda dan menerima dirinya kembali dalam hidupku. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa orang-orang yang aku sayangi berpihak kepada laki-laki itu. Rasa kesal ini belum mampu aku tepiskan hingga tadi malam saat Mas Yuda ingin masuk kamar, aku tidak bersedia membukakan pintu untuknya. Ia pun tidur di sofa ruang keluarga. Aku melewatinya saat hendak menuju dapur, tetapi Nenek dengan lembut membangunkannya. “Nak Yuda, bangun. Kenapa tidur di sini?” Aku mendengar suara Nenek meminta Mas Yuda untuk bangun. “Iya, Nek. Maaf, saya ketiduran di sini.” Aku benci mendengar alasannya yang sok bijak, padahal sudah jelas kalau aku tidak ber
🏵️🏵️🏵️ “Kita cek kandungan kamu.” “Nggak perlu karena aku kemarin baru cek sama Mama.” Aku menolak ajakannya. “Tapi aku juga ingin tahu kondisi anakku.” “Aku lebih berhak tahu tentang dia.” “Tapi dia juga anakku. Dia ada karena aku.” “Seenaknya kamu ngomong seperti itu. Ini akan membuatku semakin membencimu! Dasar nggak punya perasaan!” Aku menaikkan suara, Mas Yuda segera menepi lalu menghentikan mobil. “Aku mohon, Sayang, ampuni aku. Apa aku salah karena ingin mengetahui kondisi anakku?” “Aku bilang, diam!” Aku tidak kuasa menahan amarah, aku pun mendaratkan tamparan di pipinya. Entah kenapa aku sangat kesal, juga marah saat Mas Yuda mengatakan bahwa anak dalam kandunganku ini ada karena dirinya. Tanpa ia memberitahukan kebenaran itu, sudah jelas aku sangat tahu. Ia mengingatkan diriku atas perbuatan tidak pantas yang kami lakukan beberapa bulan lalu. Jika saat itu aku mampu menjaga dan menguasai diri, mungkin perbuatan itu tidak akan terjadi. Namun, nasi sudah menjadi b
🏵️🏵️🏵️ Aku dan mami mertua memapah Bunda untuk kembali duduk. Sementara Mas Yuda dan papinya juga turut menghempaskan tubuh ke sofa. Aku tidak kuasa melihat air mata Bunda yang masih terjun bebas dari tempatnya. Aku sangat tahu bagaimana perasaan wanita yang melahirkanku itu saat ini. Akhirnya, Bunda pun menceritakan tentang laki-laki yang dulu sangat beliau cintai. Aku tidak pernah menyangka bahwa pertemuan mereka menciptakan hubungan terlarang. Awalnya, Bunda tidak tahu kalau Pak Bagas telah memiliki istri dan dua orang anak. Bunda mengaku dengan polosnya memercayai laki-laki yang baru ia kenal kala itu. Mereka pun akhirnya menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih hingga akhirnya Bunda hamil. Pak Bagas dengan semangat mengatakan akan bertanggung jawab dengan menikahi Bunda. Akan tetapi, janji yang laki-laki itu ucapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Beliau dengan tega tidak muncul di hari pernikahan mereka. Hanya penyesalan yang Bunda rasakan saat itu setelah mengetahui stat
🏵️🏵️🏵️ Setelah aku dan Mas Yuda merapikan pakaian dan tempat tidur, kami pun melangkah menuju pintu lalu membukanya. Aku sedikit terkejut melihat wajah mami mertua yang tampak serius. Ada apa dengan wanita itu? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Aku dan Mas Yuda saling berpandangan ketika tatapan mami mertua sedikit berbeda dari biasanya kepadaku. Kenapa beliau bersikap seperti itu? Apakah aku melakukan kesalahan? Apa mungkin sesuatu yang aku sembunyikan telah beliau ketahui? Aku tidak boleh menebak-nebak hingga berpikir seolah-olah memberikan tuduhan. Mungkin saja ada hal penting yang ingin mami tanyakan atau bicarakan denganku dan Mas Yuda. Semoga tidak ada sesuatu yang serius. “Papi minta kalian berdua ke ruang keluarga.” Tumben sikap mami mertua tidak seperti biasanya. “Ada apa, Mih?” tanya Mas Yuda. “Nanti Papi yang jelasin ke kalian.” Mami mertua memberikan balasan dengan nada datar. Aku dan Mas Yuda pun mengikuti langkah wanita itu menuju ruang keluarga. Aku kembali hera
🏵️🏵️🏵️ Aku makin mendekatkan diri kepada wanita itu lalu ia langsung mendekapku. Aku tidak berusaha menolak atau mengelak karena entah kenapa aku merasakan sesuatu dalam pelukannya. Apa mungkin ini yang dinamakan kontak batin antara ibu dan anak? Aku yang awalnya berpikir kalau ia tega meninggalkan darah dagingnya, tiba-tiba sirna seketika. Aku justru bahagia dengan pertemuan ini. Setelah berlalu puluhan tahun, aku baru mengetahui siapa wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. Bu Dewi pun melepaskan pelukan lalu mencium keningku. Ia mengeluarkan air mata. Tanpa diminta, aku dengan sadar dan ikhlas langsung mengusap bening kristal yang kini terjun hingga membasahi pipinya. “Maafin Bunda, Sayang.” Ia memegang kedua pipiku setelah aku menghapus air matanya. “Bunda ….” Sekarang, aku yang tidak mampu menahan air mata agar tidak terjun dari tempatnya. Aku pun memanggilnya dengan sebutan yang biasa ia gunakan saat mengirim pesan. “Anakku sayang.” Ia kembali menumpahkan titik-tit
🏵️🏵️🏵️ Mungkin karena aku tidak memberikan respons, si pengirim pesan menelepon ke ponsel Mas Yuda. Apa benar itu suara Bu Dewi? Beliau wanita yang melahirkanku? Tanpa diminta, air mataku kembali turun membasahi pipi. Aku merasakan sesuatu yang berbeda setelah mendengar suara itu. Apa mungkin karena aku telah mengetahui kebenaran tentang statusku yang bukan anak kandung Papa dan Mama? Apa sebaiknya aku berbincang dengan Bu Dewi? “Maaf, apa benar ini Bu Dewi?” Aku tadi memberikan isyarat kepada Mas Yuda untuk bertanya dan memastikan kebenaran Bu Dewi. “Iya, Nak. Kamu tahu Bunda dari mana?” Bu Dewi bersemangat. Itu bisa aku dengar dari suaranya. “Papa dan Mama udah cerita tentang semuanya.” Aku pun mengeluarkan suara. “Nayla, anak Bunda. Ini benar kamu, Nak?” Bu Dewi tiba-tiba langsung menangis. “Iya. Ini anak yang Anda buang saat masih bayi.” Aku memberikan balasan. “Maafin Bunda, Nak. Bunda terpaksa.” “Kenapa Anda sekarang tiba-tiba muncul? Ke mana aja selama ini? Masih ing
🏵️🏵️🏵️ Wajah Mama menunjukkan perubahan lalu melihat ke arah Papa. Mungkin mereka terkejut mendengar pertanyaanku. Aku sudah tidak sabar ingin mengetahui kebenaran dan tetap berharap kalau aku anak kandung mereka. Reaksi kedua orang tua itu membuat jantungku deg-degan. Apakah mereka akan mengaku kalau aku bukan darah daging mereka? Sudah siapkah aku dengan sebuah kenyataan pahit? Mampukah aku menghadapi perubahan? Tidak! Kenapa aku berpikir seolah-olah benar kalau Papa dan Mama bukan orang tua kandungku? Aku harus segera menepiskan pemikiran menyakitkan itu. Aku harus tetap yakin kalau keajaiban itu pasti ada. “Kenapa Papa dan Mama diam aja?” Aku kembali bertanya. “Pertanyaan apa itu? Mikir, kok, sembarangan.” Akhirnya, Papa memberikan jawaban. “Nay serius, Pah. Nay harus tahu yang sebenarnya.” Aku tetap bersikeras agar Papa atau Mama jujur kepadaku. “Untuk apa kamu melontarkan pertanyaan yang tidak penting?” Papa kembali membuka suara. “Nay hanya butuh jawaban yang pasti, P
🏵️🏵️🏵️ Aku terkejut setelah Mas Yuda membaca pesan masuk tersebut. Apa maksud si pengirim? Kenapa ia mengaku meninggalkan diriku? Ditinggalkan di mana? Kapan? Ini seperti teka-teki yang membingungkan. Aku tidak ingin berlarut-larut berada di dalamnya. Akhirnya, aku pun meraih ponsel itu untuk mencari kontak Nenek. Aku yakin kalau beliau bisa menjelaskan apa yang kurasakan saat ini. Aku segera menekan simbol telepon berwarna hijau dan terdengar nada panggilan tersambung. “Assalamualaikum, Nay.” Aku pun mendengar suara salam dari seberang telepon. “Waalaikumsalam, Nek.” “Cicit Nenek udah bisa apa?” Beliau langsung menanyakan Rizal. “Alhamdulillah udah makin pintar, Nek.” Aku memberikan jawaban. “Maaf, Nay mengganggu Nenek. Tapi ada sesuatu yang ingin Nay tanyakan pada Nenek.” “Ada apa, Nay? Kok, suara kamu terdengar sangat serius? Apa hubungan kamu dan Yuda baik-baik saja?” Sepertinya beliau penasaran dan menyadari suaraku. “Apa Nay anak kandung Papa dan Mama?” Aku pun langsun
🏵️🏵️🏵️Hari ini, Rizal memasuki usia dua bulan. Ia benar-benar sangat menggemaskan. Ia mampu menghilangkan rasa penat Mas Yuda setelah seharian berkutat dengan kegiatan di kantor. Ia juga selalu berhasil membuat wajah kedua mertuaku tampak ceria karena telah memilki cucu.Apalagi aku sebagai mamanya yang selalu menyaksikan tumbuh kembangnya. Anak mungil itu sudah mulai mengerti jika diajak berbicara. Ia akan mengeluarkan suara ketawanya. Sungguh, aku benar-benar sangat bersyukur menjadi wanita yang melahirkannya.Seperti biasa, rutinitas yang aku lakukan setiap pagi setelah memandikan Rizal, aku pun memberikan ASI hingga ia tertidur. Setelah ia pulas, aku memilih mandi lalu membereskan kamar. Namun, saat aku hendak merapikan tempat tidur, terdengar getaran pesan masuk dari ponselku di nakas.Aku pun segera meraih benda itu. Ternyata nomor yang mengirim pesan tidak tersimpan dalam daftar kontak. Walaupun nomor baru, aku tetap membukanya karena ingin tahu isinya. Mungkin saja seseora
🏵️🏵️🏵️ “Aku khilaf, Nay. Saat itu aku bingung harus gimana. Aku hamil, tapi tiba-tiba ditinggal pergi oleh ayah dari anakku.” Ia menatapku dengan sendu. “Terus, kamu nggak mikirin nasibku? Aku juga harus berpisah dengan suamiku saat aku mengandung anaknya.” Mas Yuda menenangkanku. Ia mengajakku duduk. “Kendalikan dirimu, Sayang. Kamu lupa kalau saat ini ada anak kita di dalam?” Ia mengusap perutku. “Aku kesal, Mas.” “Yang lalu biarlah berlalu. Aku sekarang ada di sini untukmu dan anak kita. Cobalah untuk memaafkan kesalahan orang yang dulu menyakitimu. Dia tulus meminta maaf padamu.” Mas Yuda membuatku luluh. Aku pun tidak tega melihat wanita itu beserta anaknya yang datang menemuiku. Aku akhirnya memintanya untuk duduk, ia mengucapkan terima kasih. Aku berusaha membuka hati untuk memberikan maaf kepadanya, sebab yang terpenting saat ini adalah keberadaan Mas Yuda yang makin menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang kepadaku. Kami akhirnya berbincang dan berjanji akan menjadi t
🏵️🏵️🏵️ Kami pun akhirnya tiba di rumah orang tua Mas Yuda. Ia segera menghentikan mobil di depan teras. Ia langsung turun, kemudian memapahku berjalan memasuki istana orang tuanya. “Mami!” Mas Yuda berteriak setelah kami berada di dalam rumah. “Ada apa, Nak?” Maminya Mas Yuda memberikan sahutan. Ternyata beliau sedang duduk di ruang keluarga. Kami pun melangkah menghampiri wanita paruh baya tersebut. “Aku bawa berita gembira, Mih.” Mas Yuda tampak serius. Ia pun memintaku duduk di samping maminya. “Berita apa? Jangan bikin Mami penasaran.” Mas Yuda pun meraih tangan maminya lalu menempelkannya ke perutku. “Ada cucu Mami di dalam.” Mami mertua spontan langsung memelukku. Wanita itu kemudian melepas dekapannya lalu mengusap kedua pipiku. “Kamu hamil, Sayang?” tanya beliau kepadaku. “Iya, Mih.” Aku pun mengembangkan senyuman. “Terima kasih, Sayang. Akhirnya harapan Mami dan Papi akan segera terwujud. Jaga cucu Mami baik-baik, ya, Sayang. Jangan banyak gerak. Mami akan selalu a