POV Agus
Apa benar yang dibilang sama Ibu, kalau pengantin wanita make up-nya jelek menandakan jika dia sudah nggak perawan? Atau bahkan kemungkinan dia lagi hamil?
Apa ada penelitiannya? Ataukah hanya pengalaman para orangtua zaman dulu saja?
Ah, entahlah. Tapi … aku yakin tak semata-mata Ibu mengatakan itu jika semua itu tidak ada dasarnya. Tidak mungkin Ibu ingin memfitnah Yasmin tanpa sebab.
Sebenarnya, malam itu aku ingin membuktikannya. Tapi, aku takut jika Yasmin benar-benar sudah tidak lagi perawan atau bahkan lagi hamil. Aku tidak mau itu hanya menjadi akal-akalannya untuk menjebakku.
Dia itu cantik dan banyak yang suka. Bagaimana kalau seandainya di belakangku dia melakukannya dengan orang lain, lalu meminta tanggungjawab padaku. Amit-amit. Secinta-cintanya aku sama dia, tetap saja aku nggak mau kalau harus menanggung perbuatan orang lain.
“Bu, besok Agus balik lagi ke Jakarta.” Aku mendekati wanita yang telah melahirkanku itu di ruang keluarga. Dia sedang menonton sinetron favoritnya.
“Apa? Kamu mau balik lagi ke Jakarta?” Ibu langsung melotot. “Berarti kamu bakalan ketemu lagi sama si Yasmin itu?” cecarnya.
Ada-ada saja ini orangtua. “Ya, pasti ketemu lah, Bu. Orang kita satu gedung—“
“Nggak! Ibu nggak mau kalau kamu sampai ketemu lagi sama si Yasmin itu. Kamu mending cari kerja di deket-deket sini. Cari istri orang sini. Biar bisa tahu bibit, bebet dan bobotnya. Pokoknya, nanti Ibu yang akan cariin calon istri buat kamu. jangan sampe kecolongan lagi kayak si Yasmin itu,” cerocosnya. Halah, bikin kuping rombeng aja.
“Tapi, kan, Bu, aku masih harus nyelesein pekerjaan dulu. Ok, lah, aku mengundurkan diri, tapi aku tetep harus mengundurkan diri secara baik-baik. Lagian kalau di sini aku mau kerja apa?”
Mendengar penjelasanku, Ibu langsung berdiri dengan sangat marah.
“Hei, Agus! Kamu ini sarjana. Paling pinter di seantero kampung Suniagara. Masa iya cari kerja di sini aja nggak becus? Ibu lebih rela kamu nggak punya kerja daripada ketemu lagi sama mantan istri kamu yang kotor itu!” Ibu berteriak.
“Sebelum kamu balik ke Jakarta, kamu harus siapkan dulu surat-surat untuk mengurus perceraian kalian. Kalau tidak, jangan harap kamu bisa melangkahkan kaki keluar dari rumah ini!”
Astagfirullah. Kenapa Ibu jadi begitu benci sama Yasmin? Masa iya cuma gara-gara make up waktu nikahan, bencinya sampai ke ubun-ubun? Pasti ada hal lain yang membuatnya begitu.
Kalau boleh jujur, aku cinta setengah mati sama Yasmin. Walaupun dia anak yatim piatu dan dibesarkan di panti asuhan, tetapi dia sangat pintar juga cantik. Namun, tetap saja ada ganjalan di hatiku soal status kesucian Yasmin itu. Aku tidak mau kalau sampai menanggung perbuatan orang lain.
“Begini saja, Bu. Besok Agus kembali ke Jakarta untuk mengundurkan diri dan membawa semua barang-barang. Setelah itu aku kembali lagi ke sini dan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Lagipula, secara agama Yasmin sudah bukan istriku,” balasku agar Ibu merasa tenang.
“Janji?! Kalau kamu hanya mengundurkan diri sama ambil barang-barang?” Ibu menunjuk-nunjuk mukaku seolah tak percaya.
“Iya, Bu. Agus bersumpah,” jawabku.
“Ya sudahlah. Ibu Cuma takut kalau sampai kamu dipelet lagi sama si Yasmin. Terus mau balikan lagi. Ibu nggak rela,” teriaknya sambil mengentakan kaki seperti anak kecil.
**
Aku pulang ke Jakarta pakai mobil sendiri, berangkat pagi dan sore baru sampai. Di sana aku mengontrak sebuah rumah yang tadinya akan aku tempati dengan Yasmin, dan sekarang semuanya ambyar hanya gara-gara make up yang nggak sesuai.
Bagaimana besok aku ketemu sama Yasmin, ya? apa dia masih mau bertegur sapa? Ah, sebaiknya nggak pura-pura nggak lihat aja, daripada berabe.
Bagaimana caranya dia menghadapi pertanyaan orang-orang soal pernikahan kami yang kandas, ya? Apa dia nggak malu saat ditanya teman-teman yang lain?
Kenapa rasanya kangen sekali dengan dia? Apa aku samperin aja ke tempat kost-nya ya? Ah iya, mungkin rasa rinduku akan sedikit terobati.
**
POV Yasmin
“Maaf sudah merepotkan. Tadi saya repot sekali di rumah sakit, jadi nggak sempat buka HP. Sekali lagi terima kasih,” ucap dr.Radit dengan wajahnya yang terlihat ramah.
“Sama sekali tidak merepotkan, Pak Dokter. Saya ikhlas menolong Bu Wati,” jawabku tulus.
Suasana hening sejenak. Aku bingung mau ngobrolin apa sama dia. Bu Wati malah asik dengan acara di televisi.
“Eh, kalian pasti belum makan. Kita makan di luar?” tawarnya. Aku justru melirik pada Bu Wati yang tidak merespon apa-apa. Sepertinya dr.Radit mengerti dengan yang aku pikirkan. Dia kemudian memanggil ibunya dengan sopan.
“Bu, kita makan di luar, ya?”
Bu Wati menoleh dengan sedikit kaget. “Eh?” wajahnya tampak bingung.
“Kita makan di luar,” ajak dr.Radit lagi. “Ibu mau lihat-lihat kota Jakarta?”
“Ayok!” ucapnya girang. Beliau lalu melirik padaku. “Tapi Neng Yasmin diajak, kan?” tanyanya ragu.
“Emh, sebaiknya saya tidak usah ikut. Biar Pak Dokter sama Ibu bisa leluasa jalan-jalannya.” AKu menolak, agar mereka lebih leluasa. Aku hanya orang luar, sementara mereka ibu dan anak. Mungkin dr.Radit ingin membelikan barang-barang untuk sang ibu, dan dia pasti akan merasa tidak leluasa jika ada aku.
“Eh, ikut saja. Biar kita makan bersama. Neng Yasmin, kan, belum makan,” ajak Bu Wati setengah memaksa. Dokter Radit melirik padaku sambil tersenyum. Duh, bagaimana ini?
“Ini permintaan dari orangtua, tidak baik menolaknya,” ujar dr.Radit. Aku pun mengangguk dan pamit untuk berganti pakaian.
Dr.Radit membawa kami ke sebuah restoran yang cukup bonafid di daerah Jakarta Selatan. Harga makanan di sini cukup mahal untuk ukuran kantongku. Namun, dr.Radit meminta kami memesan apapun yang kami mau.
Bu Wati justru meminta anaknya untuk memilihkan. Katanya takut salah pilih. Bu Wati bilang jika anaknya pasti tahu selera makanan wanita tua itu. Aku pun ikut menu yang dipesan oleh Bu Wati.
“Yakin kamu nggak mau pilih sendiri? nanti nggak suka gimana?” tawar dr.Radit padaku.
“Saya makan nasi goreng pinggir jalan aja bisa Pak Dokter,” jawabku bercanda. Dr.Radit manggut-manggut lalu memanggil pelayan untuk memesan.
Bu Wati tampak senang saat melihat menu yang dipesan oleh putranya.
“Wah, kamu memang tau apa yang Ibu suka, Dit,” ucapnya dengan suara khasnya yang lembut.
“Ayok, Neng Yasmin dimakan. Ibu ambilkan, ya?” tawarnya lagi. Secepat kilat aku menggeleng.
“Ibu duluan saja. Saya nanti saja.”
“Ya sudah kalau begitu, Ibu ambilkan dulu buat Adit,” katanya sambil memotong daging ikan gurame dan menaruhnya ke piring dr.Radit. Lelaki yang terlihat rapi itu mengucapkan terima kasih. Setelahnya Bu Wati pun memotongkan daging ikan itu untukku. Walaupun aku sudah memintanya agar beliau saja dulu yang ambil, tetapi Bu Wati tetap memaksa. Aku pun mengucapkan terima kasih.
Entah karena makanannya yang enak atau memang kami yang lapar, makanan di piring tandas dalam waktu sekejap.
“Enak sekali, Dit. Di kampung mana ada yang seperti ini, ya.” Bu Wati terkekeh. Dr.Radit meminta Bu Wati untuk menambah porsi, tetapi wanita sepuh itu menolak.
“Ibu sudah kenyang sekali. Alhamdulillah,” ucapnya mengusap perut.
“Kalau begitu, tunggu sebentar, Adit mau bayar dulu ya, Bu,” katanya hendak berdiri. Namun, gerakannya terhenti saat dia melihat seorang wanita yang baru datang dan hendak duduk tak jauh dari meja kami.
“Adit?” ucap wanita itu dengan mata melebar. Penampilannya sangat anggun dan elegan. Dia pasti wanita kayadan terpelajar.
“Vira?” Dr.Radit pun tak jauh beda. Dia terlihat kaget.
“Kenapa kamu blokir nomorku? Aku cari ke rumah sakit juga kamu selalu menghindar. Kebetulan sekali kita ketemu di sini,” ucapnya dengan senyuman sinis.
“Kita harus bicara. Jangan biarkan masalah ini berlaut-larut. Kamu sudah salah paham,” cecarnya.
Aku berusaha memalingkan muka agar tidak melihat pertengkaran mereka. Begitu juga dengan Bu Wati. Dia berpura-pura tidak melihat. Namun, justru berbeda dengan wanita yang disebut dr.Radit sebagai Vira, dia melirik ke arahku juga Bu Wati dengan tatapan curiga.
“Sudahlah, Vir. Hubungan kita sudah selesai. Kita bicara lain kali saja, nggak enak,” ucap dr.Radit lagi.
“Ini siapa?” wanita itu masih menatapku bergantian pada Bu Wati.
“Oh, ini ibuku.” Dr.Radit menunjuk Bu Wati dengan sopan. Lalu, dia menunjuk ke arahku dan mengatakan, “dan ini Yasmin, calon istriku.”
Apa? Mataku terbelalak seketika. Jantungku seakan berhenti. Apa maksudnya ini?
“Oh, ini ibuku.” Dr.Radit menunjuk Bu Wati dengan sopan. Lalu, dia menunjuk ke arahku dan mengatakan, “dan ini Yasmin, calon istriku.”Apa? Mataku terbelalak seketika. Jantungku seakan berhenti. Apa maksudnya ini?Aku benar-benar tercengang dengan pengakuan dr.Radit yang bilang jika aku ini calon istrinya. Aku rasa Bu Wati juga merasakan hal yang sama. Apalagi saat wanita itu mendelik. Sepertinya dia marah atau justru benci padaku. Padahal aku nggak tahu apa-apa.“Calon istri kamu?” tanyanya seolah tidak yakin. Dia menilikku dari atas sampai bawah. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang memakai pakaian mahal.“Ini tempat umum, Vir. Aku mohon jangan bikin keributan. Permisi,” ucap dr.Radit meninggalkan tempatnya. Aku lihat dengan ujung mata, wanita itu mendelik sinis lalu pergi tanpa permisi.Dr.Radit mengajak kami pulang karena Bu Wati terlihat kelelahan.“Saya antarkan dulu Ibu ke rumah ya, karena jarak ke rumah saya lebih dekat dibanding ke rumah kamu,” katanya.“Saya naik angkuta
Duh, mesti jawab apa ya?“Emmh, saya nggak marah. Hanya saja saya sedikit kaget.” Akhirnya kalimat itu yang meluncur dari mulutku. “Wajar saja. Maaf jika membuatmu tidak nyaman,” timpalnya.“Saya kaget, Pak Dokter ngakuin saya sebagai calon istri. Memangnya Pak Dokter tidak malu?”Dia mengernyit sejenak. “Malu? Kenapa harus malu?” katanya. “Kamu wanita, seagama. Lalu apa yang bikin malu?”Duh, begini ternyata kalau ngomong sama orang pinter, bikin susah jawabnya.“Saya … hanya orang biasa. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan Pak Dokter,” jawabku seolah dia sedang melamarku. Kegeeran banget ya, aku ini.Dr.Radit tertawa pelan. “Memangnya saya ini siapa? Saya sama dengan kamu. Manusia biasa,” katanya dan membuatku mati kutu.“Saya hanya ingin berterima kasih karena kamu sudah mau menolong ibu saya dan menyelamatkan saya dari Vira, tadi.”Kata ‘menyelamatkan’ membuatku agak sedikit bingung.“Menyelamatkan?” aku hanya membahas kata itu tanpa mengungkit tentang pertolonganku pada Bu Wa
POV YasminAku meminta dr.Radit untuk masuk dulu ke rumah agar aku bisa mengobati luka di pipi juga ujung bibirnya yang pecah. Bersyukur aku bisa mengusir Mas Agus dengan mengguyurnya pakai seember air bekas ngepel tadi pagi. Kebetulan aku belum sempat membuangnya karena lupa.“Dikompres dulu, Pak Dokter.” Aku mengulurkan tangan yang memegang handuk kecil yang telah direndam air es. Dia meringis saat aku mengusap ujung bibirnya dengan handuk dingin.Tatapan dr.Radit terlihat kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Apakah dia memikirkan hal buruk tentangku? Entahlah.“Mas Agus itu suami kamu?” Akhirnya dr.Radit membuka suara. Aku menghentikan mengompres pipinya yang merah bekas tinju Mas Agus.“Lebih tepatnya … mantan,” ucapku lirih. Entah kenapa aku ingin sekali menceritakan tentang apa yang telah terjadi dengan pernikahanku juga Mas Agus. Aku menceritakan secara garis besar saja.“Apa? Hanya karena make up, dia sampai menuduh kamu tidak perawan bahkan menuduh kamu hamil?” dr.
Hingga malam itu ... aku makan malam dengan Ibu dan juga Yasmin. Dia masih secantik dulu, tapi rasa dalam hatiku sudah memudar. “Apa dia wanita yang pernah kamu ceritakan itu, Dit?” pertanyaan Ibu membuyarkanku dari lamunan. Aku menoleh. “Ah, iya,” jawabku singkat. “Sangat cantik,” gumam Ibu dan aku pun setuju dengannya. “Ibu tidak ingin menghancurkan masa depanmu, Dit. Jika kamu memang mencintainya, pergi dan kejarlah. Ibu ini sudah tua, tidak perlu kamu pikirkan. Kamu justru harus memikirkan masa depanmu yang masih panjang. Kamu pasti lebih maju jika di kota,” katanya. Tapi, bagiku itu justru membuatku semakin yakin jika aku harus merawatnya. Umur Ibu entah sampai kapan, dan aku ingin membahagiakan di sisa umurnya. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban kalau aku tidak bisa memutuskan sesuai keinginannya. “Lalu, kenapa kamu justru mengenalkan Yasmin sebagi calon istri?” tanyanya dengan wajah yang serius. Aku tertawa tanpa suara. Mungkin memang ide itu sedikit gila. “Apa kamu m
POV YasminMas Agus pasti masuk kerja hari ini. Aku harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Mungkin dia akan melakukan kekerasan, menghina atau entah apa.Melihat mobilnya saja sudah berasa seekor kelinci melihat elang. Aku mengendap, mudah-mudahan tiak bertemu dengannya di gedung yang tidak begitu besar itu. Apalagi posisiku selalu berada di depan karena menerima tamu dan telepon.“Sstt, Yasmin, sini,” bisik Tina office girl di sini. Aku mendekat.“Pak Agus udah masuk kerja. Tadi udah dateng,” katanya. Tina mungkin mengkhawatirkanku karena aku sudah menceritakan semua padanya juga pada beberapa teman yang heran karena aku pulang sebelum waktu cuti habis, juga pulang tanpa Mas Agus. Mereka saja merasa heran dengan mitos yang terlalu mengada-ada.“Ya sudah, nggak apa-apa. Aku mau pura-pura nggak lihat aja kalau dia lewat,” jawabku. Mau gimana lagi, kami berada di satu gedung yang sama.“Si Dini seneng banget paas tau kamu cerai sama Pak Agus. Kamu tau sendiri, kan, kalau dia
Dia tidak menjawab, malah semakin menarikku dengan semua kekuatannya.“Mas, apa-apaan ini?” ucapku setengah berteriak. Namun, dia menarik tubuh dan membekap mulutku. Kemudian menyeretku masuk ke rumah itu.“Lepaaass,” ucapku tidak jelas karena mulut masih dibekap.“Kau bisa menyerahkan tubuh pada siapapun. Aku juga mau mencicipi tubuhmu,” katanya menjijikan. Aku semakin berontak.“Aku sudah habis uang banyak untuk menikahimu kemarin. Karena itu aku mau menikmati tubuhmu sekarang.”Astagfirulloh. Kerasukan setan apa lelaki ini?Dengan sekuat tenaga aku membuka mulut dan menggigit tangan yang membekapku. Mas Agus mengaduh dan melepaskan tangannya dari mulutku. Aku berusaha lari, namun dia mengejar dan menraik tanganku. Setelah itu mengempaskanku hingga kepalaku terantuk ujung meja. Penglihatanku berkunang-kunang.Kembali kurasakan tangan Mas Agus menarikku agar kembali berdiri. Dia menarik tengkuk dan menciumku dengan brutal. Dengan sisa kesadaran aku menendang selangkangannya dengan lu
POV YasminAku diminta membawa barang-barang yang benar-benar diperlukan saja. Semua perabotan aku tinggalkan atas permintaan dr.Radit. Lagian memang repot juga kalau aku bawa perabotan, walaupun sayang rasanya. Semua aku beli dengan jerih payahku selama bekerja.“Nanti saya ganti yang baru dan lebih bagus,” kata dr.Radit yang sepertinya bisa menebak apa yang aku pikirkan. Aku bisa apa kalau sudah begini?Sekeranjang buah dan makanan yang dibawa dr.Radit akhirnya dibawa lagi. Aku menatap sedih pada rumah kontrakan yang selama beberapa tahun ini menjadi saksi perjuanganku mencari nafkah. Namun, kini aku berpindah ke rumah yang seumur-umur pun tidak pernah aku memimpikan akan menginjakan kaki di rumah sebagus ini. Sangat luas dan bersih. Padahal selama ini katanya dr.Radit hanya tinggal sendiri. Kapan dia membersihkan rumah sebesar ini, jika pagi-pagi sudah berangkat dan sore baru pulang.Dr.Radit menempatkanku di kamar yang bersebelahan dengan kamar yang ditempati Bu Wati. Mataku kemba
Untuk mengajukan resign, mau tak mau aku harus menghadap atasan yang tak lain adalah Mas Agus. Tidak ada pilihan lain aku harus memberikan surat pengunduran itu padanya.Saat melihatku, dia bagai singa yang melihat mangsa. Aku berdiri agak gemetar. Bersiap jika dia melakukan sesuatu yang tidak senonoh seperti kemarin.“Akhirnya kamu datang juga padaku, Yasmin. Apa kamu sudah pikirkan masak-masak, kalau aku lelaki paling baik untukmu?” tanyanya jumawa. Dia berdiri dan mendekat. Rasanya aku mendadak mual ingin memuntahkan isi perut.“Aku mau memberikan surat pengunduran diri,” ucapku menutupi rasa takut sekuat tenaga. Kutaruh amplop berisikan surat itu di atas meja. Dia meliriknya sekilas, lalu kembali menatapku.“Masalah kita belum selesai, Yasmin,” katanya mengulurkan tangan dan menggenggam rahangku kuat. Sakit. Namun aku tahan. Aku menatapnya nyalang.“Kau sudah jatuhkan talak padaku. Itu artinya kita tidak ada hubungan apa-apa selain mantan suami istri,” jawabku sinis.“Kau berhuta
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas