(POV Author)Mika dan Ega hanya menginap satu malam saja di rumah Ibu. Padahal Mika masih betah di sana. Apalagi kondisi Ibu juga belum sepenuhnya pulih. Ditambah besok juga akhir pekan.Namun, Ega memaksa harus pulang hari ini juga. Dia berdalih totalitas profesi. Besok harus benar-benar berangkat kerja. Karena ada pertemuan penting dengan kolega."Sudah ... turuti saja kemauan suamimu!" bujuk Ibu ketika melihat Mika enggan meninggalkan rumah. "Lagian jarak rumah kan dekat. Kapan saja pingin main tinggal mampir," imbuhnya sambil memeluk sang putri sebentar."Ibu kalo kenapa-napa langsung hubungi aku, ya," pinta Mika dengan nada manja usai mengurai pelukan.Walau pun dia jarang bermanja-manja di depan Ega. Namun, jika di hadapan sang ibu Mika akan menjelma menjadi anak mami."Pasti," sahut Ibu disertai senyuman manis. Selanjutnya Ibu menatap menantunya yang sedari tadi bergeming saja. "Tolong jaga Mika ya, Nak Ega," pintanya lembut."Iya, Bu." Ega yang duduk bersisian dengan Andika me
Bian menghela napasnya yang terasa sesak. Dia melangkah menuju lemari kecil dalam kamar tersebut. Diambilnya selembar foto yang ia simpan di lipatan baju. Dalam gambar terlihat seorang wanita muda dan juga anak laki-laki kecil."Ibu ...." Bian bergumam sedih. "Apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkan lelaki itu, jika aku adalah anak kandungnya?" Bibirnya lirih berbicara sendiri. Tanpa sadar setetes embun menitik di pipinya. "Bahkan aku sudah beberapa kali memberinya petunjuk, jika aku adalah anak, Bu. Tapi orang itu sangat tidak peka. Mungkin kah nama Ibu tidak pernah ada di hatinya?"Air mata Bian semakin kuat mengalir. Pemuda itu menghapusnya cepat. Dia sudah lama tidak menangis. Terakhir menangis adalah saat keluarga hilang ditelan gempa. Sudah lama sekali. Dan kini rasa sakit itu kembali menjelmanya."Tunggu pembalasanku!" Tangan Bian mengepal.*Di bawah makan malam berjalan dengan hening. Wajah dingin Bapak Edi membuat semua orang memilih untuk menutup mulut. Terutama Ega.Pa
"Lalu ... kenapa kamu menyembunyikannya dari aku? Apa maksudnya?!" kejar Ega campur aduk. Kesal, takut, sekaligus sedih.Kesal karena selama ini Bian menyimpan hal yang begitu penting seorang diri. Tanpa mau berbagi cerita padanya. Takut jika Bian berbuat buruk pada ayah angkatnya. Mengingat sikap Bapak Edi yang dingin. Bahkan cenderung pedas pada Bian. Ega tahu watak Bian. Pemuda itu bisa melakukan hal apa saja jika merasa tersakiti.Sedih. Ega merasa sedih jika Bapak Edi akan menendangnya begitu tahu kalau Bian adalah darah dagingnya."Aku juga baru tahu jika kamu adalah anak angkatnya ayahku semenjak datang ke mari," jawab Bian sambil menatap angkasa atas. "Aku tidak pernah menyembunyikannya darimu, Ga. Tetapi, lebih memilih menunggu waktu yang tepat," kilahnya kemudian."Lalu ... apa rencanamu selanjutnya?" tanya Ega penasaran."Tentu aku ingin mengungkap jati diriku ada Ayah, tapi menunggu saat yang tepat. Dan secara perlahan aku akan memberikan petunjuk pada ayah jika aku adala
"Kamu gak dengar perintah saya?" tegur Bapak Edi menatap tidak suka pada Bian. Karena pemuda itu cukup lama terbengong."Oh ... iya. Maaf." Bian tergagap. Sembari menahan sesak di dada, dia menarik sebuah koper yang cukup besar. Kepunyaan Bapak Edi dan istrinya."Sini aku bantu."Melihat gelagat sedih pada wajah Bian, Tania merasa iba. Dia menarik koper berisi pakaian Mika dan Ega."Gak usah-usah!" Ega melarang cepat. "Kamu bawa tas kamu sendiri ke kamar. Itu biar aku yang bawa," tutur Ega lembut. Lelaki itu pun tidak tega jika wanita yang tengah mengandung janinnya harus bekerja keras."Mika, Tante, kita ke dapur yuk! Aku bawa banyak ikan segar," ajak istri Galih bersemangat."Ayuk!" Mika dan Ibu Gina semangat menyetujui.*Usai menaruh koper pada kamar utama, Bian menemui tukang kebun. Menanyakan pada pria berpeci hitam itu di mana letak kamarnya. Sang pelayan mengantar Bian pada bilik kecil.Sebuah ruangan berukuran enam kali enam meter. Kamar khas pelayan yang tidak luas. Hanya ad
"Kalian?" Ega menegur kedua sejoli yang tengah saling menguatkan itu.Tania dan Bian tersentak kaget melihat kehadiran tiba-tiba Ega dan Galih. Wanita itu langsung mengendurkan dekapan. Sedangkan Bian segera memasang wajah tenang."Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Ega selidik.Di belakangnya Galih bersorak gembira. Lelaki itu sudah lama curiga jika Bian dan Tania ada affair. Namun, dia tidak punya banyak bukti.Galih berharap agar Ega lekas mendepak pemuda itu secepatnya. Supaya dia bisa memiliki Tania sendiri seutuhnya. Karena bagi Galih menghadapi Ega yang polos, jauh lebih muda dari pada si dingin Bian."Eum ... aku ....""Tania datang bawakan aku makanan." Bian meneruskan perkataan Tania yang menggantung sambil menunjuk piring yang menyisakan beberapa suap nasi. Pemuda itu memang cepat tanggap."Kalo cuma untuk membawakan makanan, kenapa harus saling berpelukan?" Kali ini Galih yang menginterogasi."Memangnya kenapa? Masalah?" Tania menyahut cepat. Galih sendiri terpana meli
Mika dan istrinya Galih belum juga pulang berbelanja. Bapak Edi setia menemani Gavin bermain."Ayo, Kek, berenang sama Gavin," ajak bocah berusia enam tahun itu sambil menarik lengan tua Bapak Edi."Ini sudah lumayan sore, Gavin. Air kolam sudah mulai dingin. Dan kakek gak kuat dengan air dingin," tolak Bapak Edi lembut."Ayolah, Kakek! Gavin ingin berenang. Gavin gak ada teman."Gavin terus mendesak. Bocah itu terus menarik tangan sang kakek. Dia tidak menyadari telah tiba di samping kolam. Nasib buruk menimpa. Kaki Gavin tergelincir. Dia terjatuh ke kolam renang dengan kedalaman dua meter. Sementara tangannya masih berpegang pada Bapak Edi. Otomatis pria itu pun ikut terjebur."Tolonggg!"Bian dan Mang Asep yang tengah sibuk menata peralatan panggangan sontak menoleh."Siapa yang kecebur kolam?!" panik Mang Asep melihat ada empat buah tangan yang menggapai-gapai. Sepasang tangan mungil dan sepasang tangan keriput.Bian sendiri tanggap jika yang jatuh adalah Bapak Edi dan Gavin. Tan
Ega tengah merenung sendiri di ruang tamu. Matanya belum juga bisa terpejam. Padahal udara alam Puncak terasa begitu menggigit tulang. Dia hanya ditemani secangkir teh panas.Pikiran Ega melayang pada kejadian tadi sore. Untuk pertama kalinya dia melihat jika pelukan Tania pada Bian bukan dekapan biasa antara seorang saudara. Ada cinta yang terpancar dari mata Tania untuk Bian.Sebenarnya selama ini Ega juga menaruh kecurigaan pada dua orang sahabatnya itu. Dia juga menyadari jika gerak-gerik Tania pada Bian itu berbeda. Tania yang begitu menurut pada Bian. Sedangkan pian yang begitu menguasai Tania.Ega masih ingat betul, ketika suatu malam ia memergoki Bian mencekik dengan begitu bengis. Namun, waktu itu Tania justru berusaha membela saat dirinya mencecar kenapa Bian melukainya.BRUGH!Ega terperanjat. Di luar sana seperti ada sesuatu benda berat yang jatuh dari atas. Tadinya Ega tidak peduli. Namun, saat mendengar orang mengerang kesakitan, jadinya tergerak untuk melihat.Lelaki it
"Siapa wanita itu, Pa?" Suara dingin dari Ibu Gina membuat Bapak Edi tercekat.Bapak Edi bergeming. Tidak dihiraukan pertanyaan sang istri. Dirinya cukup lama menatap foto usang itu. Perlahan ia menatap Tania. "Dari mana kamu dapatkan foto ini?" cecar Bapak Edi ingin tahu."Foto itu sudah ada pada Bian sejak kami tinggal di panti asuhan," jawab Tania dengan suara sumbang. Pertanda dia habis menangis lama. "Dia bilang jika itu satu-satunya kenangan dari ibunya yang masih ia simpan."Rahang Bapak Edi mengatup. Otot-otot lehernya terlihat. Jelas dia sedang menahan letupan emosi kesedihan."Bian," gumamnya getir.Kini kaki pria itu bergerak cepat menuju ruang ICU. Segera Ibu Gina dan Mika mengikuti. Kedua wanita itu juga ingin melihat kondisi Bian. Ega sendiri memilih duduk kembali bersama Tania di luar.Mata Bapak Edi tertuju pada sebuah brankar tempat berbaring pemuda yang beberapa hari ini selalu ingin dekat dengannya. Mata Bian terpejam. Namun, air mata yang sudah mengering terlihat m
Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet
"Berhenti, Mika!"Suara Galih terdengar mengintimidasi. Aku tidak peduli. Lekas kugapai ponsel ini. Namun, baru satu langkah, sebuah tangan besar menyentuh pundak. Bahkan meremasnya kuat.Ini pasti telapak tangan Galih. Benar. Ketika aku balik badan, pria itu menyeringai dingin. Berbeda dengan Budi yang berdiri di belakangnya dengan menundukkan wajah. Pemuda itu terlihat amat ketakutan."Kamu habis ngapain?" Galih bertanya dengan tatapan tajam."E ... aku--""Kamu menguping pembicaraan kami?" Galih menyambar cepat."Gak--""Kasih hapemu padaku!" pinta Galih masih bernada dingin."Mau buat apa?" tanyaku takut. Ponsel di tangan lekas kusembunyikan di belakang punggung. "Berikan padaku.""Enggak!" Aku menggeleng tegas."Aku bilang BERIKAN!" gertak Galih muntab. Tangannya mencoba merebut gadget kepunyaan."Gak AKAN!" Aku sengaja menaikan volume suara. Agar Ibu Gina dan Winda mendekat."Budi, rebut hape Mika!" Galih berpaling pada Budi. Pemuda itu tampak tertegun mendengar perintah terseb
(POV Mika)"Akan kuselidiki dan pantau Budi juga," tekadku yakin.Galih dan Budi kemudian turun dari mobil. Langkah mereka berpencar. Galih menuju mobil sendiri, sedangkan Budi kembali melangkah ke ruangannya Bian.Aku pun mengikuti pemuda itu. Sekalian menunjukkan hasil pemeriksaan ini pada Bapak Edi. Pasti beliau terkejut senang.Tiba-tiba perutku dilanda lapar. Akhirnya kaki ini kubelokan ke kantin. Nanti saja menunjukkan hasil tesnya. Sekarang isi perut dulu. Karena memang masih belum bisa menguyah nasi, kuputuskan untuk membeli dua bungkus roti dengan rasa abon sapi dan segelas cokelat hangat.Satu roti ukuran sedang ini ternyata tidak mampu aku habiskan. Tak masalah karena perutku sudah tidak terasa perih lagi. Saatnya kembali ke ruangan Bian.Budi sudah duduk manis di bangku tunggu. Namun, Tania dan Bapak Edi tidak terlihat batang hidungnya. Pemuda itu tampak tengah menunduk dengan pandangan kosong.Wajahnya juga terlihat sayu. Seakan ada masalah besar yang sedang menghimpitnya
Perubahan status Ega dari saksi menjadi tersangka sungguh membuat keluarganya terpukul hebat. Tidak hanya Mika sang istri yang merasa sedih. Ibu Gina jauh lebih terguncang jiwanya.Air mata tidak hentinya mengalir dari netra Ibu Gina. Wanita itu sesenggukan pilu membayangkan putra kesayangannya meringkuk dingin dan lama di jeruji besi. Lelah hati dan pikiran membuatnya memutuskan untuk tidak ikut menemani suaminya menjenguk Bian.Mika sendiri memilih turut serta menemani Bapak Edi dan Tania. Selain memang ingin melihat kondisi Bian, dia juga ingin memeriksakan diri. Badannya mudah capek dan yang pasti mual selalu menyerangnya di waktu pagi.Akhirnya, Ibu Gina pulang dengan dijemput oleh Mang Asep. Sementara Bapak Edi, Mika, dan Tania pergi ke rumah sakit diantar oleh Budi. Kamar Bian adalah tujuan utama mereka begitu sampai.Kondisi Bian masih serupa kemarin. Setelah menjalani operasi, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Alat-alat, selang, dan kabel masih membelit tubuhnya. Kenyataa
Pagi hari aku mendapati suara keributan di bawah. Refleks mata ini terbuka. Ternyata aku masih mengenakan mukena. Ketika kutengok waktu pada jam digital di atas nakas, ternyata hari sudah menjelang siang. Untungnya sholat subuh tidak kutinggalkan walau tadi mata teramat kantuk.Masih bermalas-malasan aku menuju kamar mandi. Hari ini aku harus bersiap pulang. Party its over dari dua hari yang lalu. Seharusnya aku sudah ada di Jakarta jika musibah tidak menimpa Bian dan Ega. Andai waktu itu Ega tidak usah membujuk Bapak Edi untuk mengizinkan Bian ikut serta ke pesta malam tahun baru ini, mungkin Bian masih akan baik-baik saja. Dan tentunya Ega juga tidak akan ditahan.Aku menggeleng pelan. Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai. Karena sama saja tidak mempercayai takdir. Aku yakin semua musibah yang terjadi adalah adalah suatu teguran dari-Nya. Agar kami senantiasa mengingat-Nya.Usai mandi kutata semua pakaian ke koper, baik baju sendiri maupun Ega. Mengingat lelaki it
(POV Mika)"Apaaa?!" Ega, aku, dan Winda tersentak kaget bersamaan. Sementara Gavin langsung bersembunyi di belakang tubuh Winda sang mama. Anak itu pastinya ketakutan melihat kedatangan polisi ke rumah."Cepat tangkap!" titah Letnan polisi itu pada kedua anak buahnya."Siap, Ndan!""Tunggu dulu! Maksudnya apaan ini?!" Ega berusaha menghindar. Namun, kedua polisi bertubuh lebih besar darinya mampu membekuknya dengan gampang. "Lepaskan! Salah saya apa, Pak?" kesal Ega setengah berteriak."Dari semua saksi hanya Anda yang berada di tempat pekara pada waktu itu," jawab Letnan polisi tersebut tenang."Saya ada di TKP karena mendengar ada suara benda terjatuh. Secara naluri kita pasti ingin melihatnya," balas Ega mencoba membela diri. Suamiku terus meronta dan mengerang."Silahkan Anda jelaskan semuanya di kantor! Cepat bawa dia ke mobil." Polisi berbalok emas satu itu menyuruh pada anak buahnya."Siap, Ndan!""Ini gak bener! Aku gak bersalah!" Ega terus menolak dan berontak. Namun, ia tet
Semua orang tengah terpekur dalam kesedihan. Hari ini Bian sedang menjalani operasi. Semua berharap pemuda itu bisa tertolong. Tania terus-menerus menangis. Sementara Bapak Edi memilih bermunajat di mushola rumah sakit. Meminta bantuan kepada sang Khalik. Berharap agar putra kandungnya selamat dan kembali menjadi manusia yang sehat.Di sisi lain Mika dan Ibu Gina merasakan perut mereka keroncongan. Karena memang sewaktu berangkat keduanya belum sarapan. Namun, melihat Ega yang terus tertunduk sedih, Mika menahan rasa lapar.Ibu Gina sendiri tidak kuat menahan lapar. Dia ingin mengisi perut. Wanita paruh baya itu menyenggol lengan sang menantu. "Apa?" tanya Mika lirih. Kurang tidur dan tidak enak badan membuatnya malas bicara."Sarapan yuk!" ajak Ibu Gina sambil berbisik."Ayuk!" Gayung bersambut. Mika yang juga merasakan pedih di perut langsung mengiyakan ajakan sang mertua. "Ga, kita mau sarapan, ikut yuk!" Kini Mika mengajak serta suaminya dengan lembut.Ega mendongak memindai wa
"Keadaannya drop." Mika membalas pertanyaan Tania dengan jujur. Tangis Tania kembali bergulir lagi mendapat jawaban dari Mika."Ga, kamu kelihatan pucat dan letih. Apa kamu udah sarapan?" tanya Mika peduli.Sebagai seorang istri dia tentu harus perhatian pada keadaan suaminya. Mika juga agak menyesal karena tadi lupa membawa bekal sarapan untuk Ega karena tergesa-gesa. Walau ia sendiri juga belum makan pagi."Aku gak berselera makan, Mik," sahut Ega lemah. Pria itu kembali menghempaskan tubuhnya di bangku tunggu. "Kamu ajak saja Tania sarapan. Kasihan ... wanita hamil harus banyak makan. Jangan sampai janinnya kekurangan gizi," tutur Ega sembari menasihati Tania."Pikiranku kacau mikirin Bian begini, mana bisa aku menelan makanan, Ga." Tania menolak masih dengan berlinang air mata. Wanita itu juga kembali duduk. Lalu menenggelamkan wajahnya pada dada Ega. "Aku takut Bian kenapa-napa," kalutnya sela isak."Sttt! Berbicaralah yang baik. Karena omongan itu adalah doa," nasihat Ega lembut
"Siapa wanita itu, Pa?" Suara dingin dari Ibu Gina membuat Bapak Edi tercekat.Bapak Edi bergeming. Tidak dihiraukan pertanyaan sang istri. Dirinya cukup lama menatap foto usang itu. Perlahan ia menatap Tania. "Dari mana kamu dapatkan foto ini?" cecar Bapak Edi ingin tahu."Foto itu sudah ada pada Bian sejak kami tinggal di panti asuhan," jawab Tania dengan suara sumbang. Pertanda dia habis menangis lama. "Dia bilang jika itu satu-satunya kenangan dari ibunya yang masih ia simpan."Rahang Bapak Edi mengatup. Otot-otot lehernya terlihat. Jelas dia sedang menahan letupan emosi kesedihan."Bian," gumamnya getir.Kini kaki pria itu bergerak cepat menuju ruang ICU. Segera Ibu Gina dan Mika mengikuti. Kedua wanita itu juga ingin melihat kondisi Bian. Ega sendiri memilih duduk kembali bersama Tania di luar.Mata Bapak Edi tertuju pada sebuah brankar tempat berbaring pemuda yang beberapa hari ini selalu ingin dekat dengannya. Mata Bian terpejam. Namun, air mata yang sudah mengering terlihat m