Hai readers >3 Sehat selalu ya, semoga selalu dilancarkan rejekinya :) Jangan lupa untuk vote cerita aku jika berkenan dan tinggalkan jejak di kolom komentar, terima kasih sudah membaca :) Happy reading love >3
“Untunglah jadi kamu bisa bebas dan nggak dipaksa buat punya anak lagi!” “Ma, selama ini aku berusaha untuk sabar ya! Tapi aku masih punya hati buat naruh rasa kasian sama Mama. Kenapa sih nggak bisa berpikir positif sehari aja.” Jihan mulai kesal. “Kamu nggak usah ngajak debat! Kalau udah salah, salah aja nggak usah nyangkal.” “Gila ya nenek tua ini,” gerutunya dalam hati. Jihan yang sudah muak langsung meninggalkan Ajeng sendirian di kamar. *** “Jangan lupa dateng ya ke pernikahan aku,” ucapnya sembari memberi Bima sebuah undangan pernikahan. “Me-menikah?” “Iya, aku udah nemuin orang yang tepat buat jadi pasangan hidup aku.” “Nggak mungkin ada yang mau nerima kamu selain aku!” bantahnya. “Memangnya kenapa? Dia baik dan pastinya dia dan keluarganya peduli sama aku nggak kayak keluarga kamu yang nggak pernah nganggep aku manusia!” “Kamu nggak bisa bahagia secepat ini!” “Kenapa kamu nyesel udah ninggalin aku demi perempuan lain? Sekarang kamu kena karmanya kan! Istri kamu ngg
Jihan mulai meradang, “Keterlaluan kamu Mas! Kenapa kamu tiba-tiba mimpiin mantan istri kamu? Terus kenapa kamu harus mimpiin seorang anak dengan Aisyah!” Cerita Bima membuat Jihan semakin berpikir macam-macam. “Kamu nggak usah curigaan gitu sama suami kalau mau suaminya betah sama istrinya,” cetus Ajeng. Jihan mendengus, “Huh, apa sih Ma!” Mengabaikan Ajeng lantas masuk ke dalam. * “Rasya jangan kenceng-kenceng larinya!” “Kia ayo kejar aku!” Bocah itu berlari kencang dan menaiki perosotan, Kia yang melihat temannya asyik bermain segera menyusul Rasya naik perosotan. “Tunggu aku!” Kiara dengan tergesa menaiki perosotan tanpa memerhatikan keselamatannya akibatnya karena ia terburu-buru kakinya tak sengaja tersangkut di tiang dan tubuhnya tergelincir ke bawah. “Aaaaaaaa, aduh!” teriak Kiara kesakitan. Semua perhatian mengarah ke Kiara, guru-guru yang ada dengan tergesa menghampiri bocah itu yang sudah merintih kesakitan. “Aduh siapa itu?” “Ada yang luka
“Oke, kalau itu mau kamu. Kamu tinggal pilih aja, Mas mau bantuin biaya operasi Kiara atau tidak sama sekali dengan catatan kesepakatan dibatalkan dan tidak ada lagi perjanjian di antara kita dan satu lagi konsekuensi pelanggaran harus ditepati! Pilihan ada di tangan kamu Mas, gimana?” Bima tampak terdiam dalam waktu yang lama, ia berusaha mempertimbangkan keputusannya matang-matang. “O-oke, aku setuju! Kasi aku waktu sampai besok, sekarang kamu urus berkas administrasi yang kurang. Aku mau balik lagi lagi ke kantor karena tadi ada pekerjaan yang harus aku ambil tapi aku tinggal ke sini jadi aku nggak bisa nemenin kamu.” Jihan mengerinyitkan dahinya, “Tega kamu ninggalin aku sendirian jaga Kiara, Mas?” Bima mendengus, “Hah, kamu dalam situasi kayak gini masih mau nuntut aku buat ngelakuin semuanya? Kamu mikir dong, pekerjaan aku banyak dan sekarang harus mikirin biaya operasi anak kamu padahal aku lagi butuh juga! Kamu mikir nggak sampai ke sana gimana stres nya aku sek
Pak Ahmad berbisik pada Hendra, “Maafkan saya nak Hendra, saya salah. Kamu orang baik dan saya harap terus begitu selamanya untuk menjaga anak saya yang sebelumnya pernah menderita. Saya secara pribadi menitip anak saya sama kamu, tolong jaga Aisyah.” Tangan kanan Hendra meraih bahu pak Ahmad, “Saya pasti akan menjaga anak bapak sebaik-baiknya saya menjaga keluarga saya selama ini.” Pada akhirnya sang dokter yang tampan dan baik hati itu berhasil memenangkan hati pak Ahmad yang sebelumnya sangat keras kepala dan menentang hubungan antara Aisyah-anaknya dan dokter Hendra karena pak Ahmad menilai keluarga dokter itu hanya akan menjadikan Aisyah sebagai bahan olokan saja di tengah kondisinya menjadi seorang janda dan mempunyai seorang anak yang masih dalam kandungan dari mantan suaminya. “Gimana perasaan kamu setelah bertemu dengan keluarga saya?” Aisyah tersenyum, “Mereka baik terutama adik kamu sangat welcome dengan saya, saya berasa punya seorang adik peremp
“Kamu tidak usah khawatir soal itu, kamu dan anak kamu ini akan segera menjadi bagian dari keluarga kami yang akan disambut dengan sangat senang hati.” “Hendra … apa kamu yakin mau menerima saya? Ini masalah yang serius dan seumur hidup, apa kamu tidak malu dan takut?” “Malu? Takut? Untuk apa? Saya ini serius dengan kamu apa pun resiko ke depannya saya siap tanggung jawab atas rasa ini padamu, lagian apa yang akan membuat saya takut dan malu tidak ada yang salah dari kamu Aisyah,” tegasnya. “Aku ini seorang janda Hen.” “Kamu kenapa selalu mengatakan itu Aisyah? Saya tekankan sekali lagi sama kamu, tidak ada yang salah dengan status itu, itu bukan tindakan kriminal kan? Bukan juga perbuatan dosa, lantas apa masalahnya?” “Maaf kalau saya lancang dan selalu mengatakan ini tapi saya juga tidak bisa berbohong dengan rasa takut yang selalu saya rasakan Hen. Saya takut kamu dan keluargamu justru akan menemui kesulitan-kesulitan ke depannya karena saya, kamu tau kan masyarakat sekarang se
“Ditunda? Kenapa?” Semua orang terkejut mendengar pernyataan Aisyah. “Sebelumnya jangan salah sangka dulu, Aisyah ingin pernikahan ini ditunda karena Aisyah pikir akan lebih baik kalau pernikahannya ditunda sampai Aisyah melahirkan,” jelasnya ragu. “Aisyah tau lebih cepat akan lebih baik, namun ini hanya sebuah keinginan dan Aisyah tidak akan memaksakan juga jika kalian tidak setuju.” Hendra dan kedua orang tuanya saling beradu pandang. “E-e, kalau masalah itu kita sebagai orang tua tentunya akan mengembalikan keputusan akhir pada anak kami.” Kedua orang tua Hendra berusaha menyikapinya dengan bijaksana. “E kalau dari Hendra tetap mengedepankan kenyamanan bersama dan jika hal tersebut membuat Aisyah lebih nyaman, Hendra juga tidak masalah. Hal tersebut juga tentu akan lebih baik karena mengingat usia kandungan Aisyah yang sudah tidak muda lagi, Hendra juga minta maaf karena hal ini luput dari perhatian Hendra.” “Baiklah kalau begitu sekiranya semua sudah s
“Nggak sopan kamu ya, Bima! Bima! Mau ke mana kamu?” Bima pergi begitu saja setelah mengemasi barang-barang yang perlu dibawanya ke rumah sakit. “Hari ini aku nemenin kamu di sini jaga Kiara.” “Hah!” Jihan terkejut, “Kamu kesambet apa tadi di jalan? Tumben banget sikapnya kayak gini.” “Aku males di rumah, Mama marah-marah ke aku karena biayain operasi Kiara, aku capek kuping aku sumpek makanya aku di sini saja,” keluhnya kelelahan. “Emang Mama nggak pernah mau berusaha baik ya, terus sekarang Mama kamu tinggal sendirian gitu di rumah? Aku sih nggak papa selama aman-aman aja, tapi emang kamu yakin ninggalin Mama di rumah sendirian nggak makin nambah masalah kamu nanti?” “Kamu tenang aja, aku tadi minta tolong ke tante Siwi buat nemenin Mama karena dia emang ada rencana nginep ke rumah jadi ya sekalian aja.” Jihan mengerinyitkan dahinya, “Hah? Tante Siwi? Si tante-tante yang suka ngomentarin orang dengan kata-kata pedesnya itu! Kasian Mama pasti sekarang lagi dengerin
“Oh, bagus deh kalau kamu ngerti sama kondisi suami kamu yang sekarang harus susah payah ngumpulin tabungan lagi, karena tabungannya sekarang udah kosong gara-gara biayain operasinya Kiara anak kamu itu!” “Iya ih, kasian Bima,” timpal Siwi. “Maaf, maksud Mama apa ya ngomong gitu? Kiara kan anak Mas Bima juga jadi wajar dong kalau dia harus tanggung jawab juga,” tegasnya, ia sangat kesal. “Sejak kapan Kiara jadi anaknya Bima, kamu ngarah deh,” celoteh Siwi yang mulai turut campur. Jihan meradang, ia menatap tajam ke arah Bima. “Tante, udah ya! Ini urusan keluarga aku, lagian aku sama Jihan juga udah pulang tante bisa pergi sekarang.” Tangan Bima menunjuk ke arah pintu. Siwi mendengus, “Huh, saya juga sudah mau pulang dari tadi!” Menenteng tasnya dan beranjak pergi dengan rasa kesal. “Berani kamu ngusir teman Mama Bima!” “Ma! Udah ya, tante Siwi itu terlalu jauh ngurusin rumah tangga aku. Bima nggak suka!” “Tapi yang dibilang sama Siwi bener semua, kok!” kekehnya. “
“Apa dan bagaimana aku memperlakukan anak aku sendiri itu urusan aku! Kamu Cuma perlu nurutin apa yang aku perintahin!” Di tengah perdebatan mereka Kiara datang dan merengek.“Ma-Mama! Kia kapan sekolah? Kia bosen Ma di rumah terus!”“Kamu denger kan Mas? Kalau kamu kayak gini terus, kamu bukan cuma ngerugiin diri sendiri tapi juga aku dan anak aku!”“Alah, gitu aja repot! Kamu tinggal telpon gurunya bilang Kiara sakit kek atau pulang kampung atau apa gitu terserah kamu! Pokoknya Kiara belum boleh sekolah,” tegasnya memberi peringatan.“Mas, enak banget kamu ngomong ya. Ini masalah pendidikan bukan main-main, kalau Kiara ketinggalan pelajaran gimana?”“Ya elah, masih SD juga kan. Pelajarannya kan masih pelajaran dasar jadi masih bisa belajar di rumah, memangnya kamu mau polisi sampai melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa saja yang punya hubungan dengan aku dan tiba-tiba dia ke sekolah Kiara gimana?” Bima berusaha menghasut Jihan.“Lancar ya kamu ngancem aku tiap hari
“Kia, kamu masuk dulu sayang!”“Ternyata kamu belum cukup bisa jadi seorang ibu yang baik!”“Apa Mas bilang? Justru karena aku ibu yang baik makanya aku masih sama kamu sampai sekarang! Terus Mas pikir Mas sudah jadi ayah yang baik buat anak-anak kamu?”“Heh! Nggak ada ibu yang baik tapi tega menghasut anaknya dengan cara kotor seperti itu. Jihan, anak-anak itu masih polos termasuk Kiara kamu pikir dengan berbicara seperti itu sama anak kamu, tiba-tiba anak kamu paham dengan semuanya yang terjadi? Enggak kan!” Jihan menatap Bima tajam.“Terserah deh Mas, capek aku ngomong sama manusia kek kamu nggak ada gunanya!”“Kamu pikir aku suka debat sama kamu hah? Kupingku panas hampir tiap hari denger ocehan kamu itu!”**“Kamu nggak salah denger kan Hen?”“Enggak Ma, Hendra denger jelas banget penjelasan dari pihak kepolisian.”“Tuh kan! Sudah pasti dia pelakunya, kalau bukan dia nggak mungkin tiba-tiba dia hilang dari rumahnya. Ya Allah gimana nasib cucuku Arka.” Bu Asih meraung,
***[Selamat siang! Dengan bapak Hendra?][Iya bapak, dengan saya sendiri.][Baik bapak, kami dari pihak kepolisian ingin menyampaikan informasi yang sangat penting terkait tindak lanjut penyelidikan terhadap saudara tertuduh-Bima. Kami sudah mengikuti intruksi alamat sesuai dengan keterangan yang bapak dan istri bapak berikan, namun saat kami sudah tiba di lokasi, saudara Bima tidak ada di rumah yang beralamat sesuai yang diberikan kemarin. Kami juga sudah berusaha menanyakan keberadaan saudara Bima tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaannya sekarang dan kami kuat menduga bahwa ini telah direncanakan karena menurut informasi dari tetangga sekitar bahwa saudara Bima beserta keluarganya mereka diperkirakan tidak ada di rumah ini sejak semalam.][Te-terima kasih atas informasinya pak!][Sama-sama bapak Hendra, meskipun demikian kami dari pihak kepolisian akan terus memastikan pencarian ini dilakukan sampai saudara Bima bisa kami temukan untuk dimintai keterangan dan memasti
“Kalau soal itu kami kurang tau pak, mungkin anak-anak kami bisa menjelaskannya lebih lanjut ke kantor dan kami akan meneruskan informasi ini kepada mereka,” ucap Yani.“Baik kalau begitu pak bu. Kami tunggu kedatangan orang tua dari saudara Arkanza untuk memberikan laporan atau informasi lebih dalam terkait hal ini!”“Baik pak, terima kasih.” Yani dan suaminya pun gegas kembali ke rumah Hendra.“Semoga anak-anak tidak shock mendengar penjelasan kita ya Pa! Mama takut banget jiwa mereka terguncang terutama yang Mama takutin itu Aisyah, kasian dia sampai sekarang masih susah buat makan,” ucapnya khawatir. Bagaimana tidak pastinya jiwa seorang ibu akan sangat terguncang terlebih ini soal kehilangan seorang anak.“Semoga mereka berdua ditabahkan!”*“Assalamualaikum.”“Anak-anak pada ke mana ya Ma?” Tak lama ada bu Asih muncul dari belakang rumah.“Waalaikumsalam.”“Loh, bu Asih udah dari tadi di sini?”“Lumayan bu, saya dari tadi nyariin mereka berdua. Saya kira
***“Mas gimana ini Mas? Arka di mana? Kasian dia belum aku kasi asi Mas …” tukasnya lirih.“Sabar sayang! Kita cari sama-sama ya, Mas juga udah buat laporan di polisi. Kamu tenangin diri dulu! Kamu makan dulu ya,” ucapnya khawatir.“Nggak bisa Mas, aku nggak nafsu makan!”“Yah kok gitu sih? Kasian Arkanya nanti Aisyah, kita sekarang harus kuat dan harus jaga kesehatan demi Arka kalau semisal kita sakit nanti pencariannya nggak maksimal,” bujuknya. Hendra berusaha merayu Aisyah agar makan setidaknya sesuap saja.“Mas, mau sampai kapan kita diem aja di sini? Aku mau ikut nyariin Arka Mas!”“Iya, Mas tau kamu khawatir dengan keberadaan Arka sekarang tapi kita coba serahin ke kepolisian dulu ya. Sekarang, di sini kita bantu doa lagian udah ada Mama sama Papa aku yang bantuin juga. Aisyah, bukannya Mas ngelarang kamu tapi kamu juga harus mikirin kondisi kamu!” tegasnya. Aisyah terdiam, tak terasa air matanya kembali mengucur membasahi pipinya. Hendra mendekap erat tubuh istrin
“Suara apa itu? Keras banget!” Aisyah yang penasaran pun gegas ke luar rumah. Kepalanya clingak-clinguk mencari sumber suara bising tadi berasal. Wanita itu mencoba menyusuri teras, ia masih terus mencari karena takut ada benda yang runtuh atau menabrak rumah, pasalnya suara itu terdengar sangat keras.“Nggak ada apa-apa! Atau perasaan aku aja ya?” tukasnya kebingungan. Aisyah melangkah dengan ragu. Sejenak suara menjadi hening, namun tiba-tiba tangisan Arkanza terdengar kencang sekali dari dalam rumah. Aisyah pun sontak terkejut dan gegas berlari tunggang langgang mencari anaknya, tetapi semakin Aisyah mendekat semakin suara tangisan Arkanza menghilang.DEG! Perasaan Aisyah kacau tak karuan, matanya terbelalak, keringat mulai membasahi keningnya. Tempat tidur itu sudah kosong, Arkanza tak lagi terbaring di sana. Ke mana hilangnya Arkanza secara tiba-tiba?“Ar-Arka! Nak, kamu di mana?” ucapnya dengan bibir gemetar. Tubuh Aisyah sontak me
***“Hah, setelah sekian lama akhirnya aku bisa menghirup udara Surabaya lagi!” tukasnya lega. Lelaki itu kembali menginjakkan kakinya di tanah Surabaya, tepat di mana mantan istrinya-Aisyah berada. Ia kembali ke Surabaya tentu saja tidak sedang berniat pergi berkunjung secara baik-baik, pasalnya Aisyah dan keluarganya sudah berupaya menolak keras kehadiran Bima kembali ke keluarga mereka terlebih dengan apa yang telah ia perbuat pada Aisyah dan anaknya.“Sekarang gua nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini! Bagaimana pun keadaannya, gua harus bisa merebut anak gua karena gua juga punya hak atas anak itu!” Bima gegas pergi ke rumah Aisyah, lelaki itu sudah tak sabar melancarkan aksi nekatnya.*“Kenapa cuma ada ibu dan Aisyah aja? Azka mana?” Bima kebingungan, pasalnya target yang ia cari tidak ada. Sementara itu Aisyah dan bu Asih tampak bercengkrama di teras.“Bu, Aisyah pamit dulu ya! Nanti Aisyah ke sini lagi,” ucapnya berpamitan.“Iya Nak, ha
*** “Lihat-lihat! Si Ajeng kenapa?” tanya salah seorang tetangga Bima, yang kebetulan melihat ada ambulance datang ke rumah Bima. “Iya tuh kenapa? Kok bu Ajeng sampai diiket-iket gitu?” Ibu-ibu berdaster merah itu bertanya kembali. “Yuk-yuk kita ke sana!” Mereka tampak begitu antusias ingin melihat kondisi Ajeng. “Bima mama kamu kenapa?” Bima yang mendengar pertanyaan yang demikian hanya bisa terdiam, ia masih enggan menjawabnya. “Nggak kenapa-napa!” sahutnya ketus. “Dih sombong banget! Mertua kamu kenapa Jihan?” Ibu itu beralih bertanya pada Jihan, tampaknya ia masih belum puas sebelum mendapatkan informasi yang aktual. “A, eee. Mertuaku lagi sakit! Maaf ya ibu-ibu kita lagi sibuk, pergi dulu ya!” ucap Jihan acuh. Mereka berdua lantas ikut naik ke mobil ambulance. “Ternyata sekeluarga sama saja! Sombong semua,” ucapnya kesal. Jihan dan Bima gegas menuju rumah sakit. “Pasti setelah ini bakalan banyak tetangga yang kepo sama kejadian tadi,
***“Mas!”“Aisyah!” Keduanya saling mengawali pembicaraan secara bersamaan.“Kamu duluan!”“Kamu aja, ladies first!”“Hmm, ya udah. Aku mau ngomong sesuatu Mas!”“Hmm, sama. Mas juga mau ngomong sesuatu ke kamu!”“Jadi gimana? Siapa yang duluan?”“Kamu sayang!”“Oke deh, jadi gini Mas aku … aku mau buat acara berbagi ke sesama yang membutuhkan,” jelasnya. “Menurut Mas gimana?”Hendra sontak tersenyum.“Mas kenapa?”“Mas setuju!” jawabnya tanpa basa-basi.“Alhamdulilah kalau Mas setuju, terus Mas mau ngomong apa tadi?”“Ya seperti yang kamu bilang tadi, itu yang mau Mas bicarakan.”Aisyah tertegun, “Beneran Mas?”“Iya, Mas serius. Mas juga berpikir demikian karena beberapa waktu kebelakang alhamdulilah kan usaha kita semakin berkembang, jadi tidak ada salahnya kalau kita buat acara sedekah untuk itu. Oh iya, sekalian kita buat acara syukuran juga karena ibu udah sembuh, hitung-hitung sekalian berbagi sama tetangga juga. Gimana?”“Iya Mas, aku pasti setuju.”“Alhamdulilah,