“Pulang?” “Kalau kamu seorang lelaki pulanglah nak, kelak kau akan mengerti sakit hatinya seorang ayah.” Dengan wajah kecewa langkah kaki Hendra perlahan menjauh dari rumah Aisyah. “Bapak!” Aisyah sontak terkejut sungguh tak menyangka ayahnya akan melakukan hal demikian. “Sudahlah, Ya. Bapak ini peduli sama kamu.” “Tapi Pak, nggak gini caranya. Hendra orangnya baik Pak.” “Dulu Bima juga begitu,” ucapnya datar. Mulut Aisyah tak bergeming, karena tertampar dengan realita yang ada. Semenjak kejadian itu hubungan Hendra dan Aisyah sedikit merenggang, wanita malang itu nampak masih mengingat luka masa lalunya dengan Bima dan ditambah ayahnya yang sangat protektif padanya sekarang. “Nak, kamu jangan terlalu memikirkan sikap Bapakmu yang seperti itu, Bapakmu hanya khawatir pada hidupmu ke depannya. Urusan Bapakmu biar menjadi urusan Ibu, lagi pula kamu berhak melanjutkan hidupmu seperti orang di luar sana,” ucapnya berusaha menenangkan Aisyah. “Bu, Yaya tau Bapak khawati
“Maksud kamu?” Hendra melempar senyum tipis, “Saya punya saran, lebih baik kamu membuka usaha dan bisa dikerjakan dari rumah jadi tenaga yang dikeluarkan tidak menyusahkanmu.” “Usaha?” “Iya, menurutmu kamu ahli dalam bidang apa kalau semisal kamu buat usaha?” “Aku? Aku cuma bisa buat makanan,” jawab Aisyah ragu. “Nah, bagus! Kita bisa buka semacam kedai makanan atau jajanan mungkin, bagaimana?” responnya bersemangat. “Kita?” tanyanya sedikit bingung. “E-e iya kita, saya kan sudah bilang saya bisa bantu dan siap membantu … tapi kalau kamu mau,” jawabnya berusaha meyakinkan. “Kamu tidak keberatan Hen?” “Tentu saja tidak, kalau saya keberatan tidak mungkin saya memberikan penawaran ini padamu Aisyah,” tegasnya. “Mungkin saya bisa diskusikam dengan orang tua saya dulu, pendapat mereka juga penting kan.” “Bagus, saya setuju dan alangkah baiknya kamu pikirkan matang-matang juga karena saya tidak mau ada unsur keterpaksaan di sini. Niat saya hanya membantu jika kamu bersedia saya a
“Ini menyinggung masalah masa lalu kamu!” [DEG!] Aisyah mulai kikuk mendengar Hendra melontarkan kalimat seperti itu, napasnya mulai tak beraturan. “Masa lalu sa-ya?” ucapnya terbata. “Maaf Aisyah kalau saya terlalu lancang … tapi jika kamu kurang berkenan tidak apa,” tegasnya. “E … maaf. Saya hanya belum terbiasa saja membicarakan hal itu lagi, tidak apa katakan saja.” “Kamu yakin?” Aisyah memejamkan mata sembari mengangguk petanda setuju. “Baiklah, saya cuma mau tanya. Kamu tidak keberatan kan kalau saya deket sama kamu? Maksud saya … biasanya maaf, jika pernah punya masalah dengan pasangan sebelumnya pasti ada rasa segan atau kurang nyaman berada didekat lawan jenis. Saya sengaja bertanya ini karena saya takut dengan kehadiran saya, kamu merasa tidak nyaman dan saya tidak mau kamu merasa seperti itu,” jelasnya khawatir. Aisyah tersenyum, “Kalau boleh jujur, awalnya memang saya masih merasa kurang nyaman … tapi kata Ibu benar tidak semua laki-laki setelah masalah itu kita me
“Nggak! Kiara nggak mau ke sekolah,” kekehnya. “Ayo lah sayang, sekolah ya. Nanti Mama janji bakalan ajak Kia jalan-jalan,” bujuk Jihan. “Nggak! Pokoknya Kia nggak mau ke sekolah lagi!” Tampaknya bocah itu memendam rasa kecewa yang teramat dalam. “Kok gitu sih sayang, nanti Mama sedih kalau Kia kayak gini terus gimana?” “Kia nggak mau ke sekolah lagi! Nanti Kia diketawain sama temen-temen Kia karena nggak punya Papa lagi.” Jihan sontak terkejut sampai mengelus dadanya, “Gara-gara dia anak gua sampai kek gini,” ketusnya dalam hati. “Kalau Mama mau maksa Kia buat sekolah mending Mama anterin Kia ke rumah Opa sama Oma, aku nggak mau tinggal di sini lagi! Papa sama Nenek jahat!” “Nak. Kia sayang, kamu kan anak pinter jangan gitu ya sayang, Mama sedih lo.” Jihan masih berusaha membujuk Tak sengaja Ajeng-mertuanya, lewat di depan pintu. Jihan menatap Ajeng tanpa melepas pandangannya sedikit pun, “Mama mau ke mana?” “Apa sih kamu! Terserah saya dong mau ke mana, itu bukan
“Kamu kemasi barang-barang kamu dan Kiara sekarang!” “Kita mau ke mana Mas?” “Aku anter kamu ke rumah orang tua kamu, tapi ingat! Ini hanya untuk sementara sampai anak kamu merasa tenang.” “Kamu pikir dengan semua ini kamu bisa memperbaiki semuanya?” “Kamu nggak usah berdebat! Kamu kemasi barang-barang kamu sekarang atau nggak akan pernah aku izinin kamu pergi selangkah pun dari rumah ini!” “Bagus! Udah berani ngancem aku kamu ya!” “Aku harus ingetin kamu atau kamu yang sadar diri sendiri?” Ekspresi wajah Jihan sontak berubah masam. “Inget ya, kamu nikah dengan aku atas persetujuan orang tua kamu dan kamu pasti kenal banget kan sama orang tua kamu, bayangin aja kalau mereka tau anaknya punya masalah dengan aku!” Ada makna tersirat di dalamnya yang membuat Jihan tidak bergeming sedikit pun, mau tidak mau Jihan menuruti apa yang dikatakan suaminya-Bima. Jihan lekas mengemasi barang-barangnya dan juga Kiara. *** “Aku harap kamu inget dengan apa yang aku katakan tadi di rumah!”
“Hendra kamu?” “Saya tau Aisyah kamu pasti mengerti maksud dari perkataan saya, bukan bermaksud lancang tapi saya khawatir wanita sebaik dan secantik kamu pasti orang di luar sana banyak yang tertarik dengan kamu.” “Saya harap kamu hanya bercanda Hen,” tegasnya. “Tidak, saya tidak pernah bercanda tentang perasaan saya, saya takut ada yang mendahului saya jadi lebih cepat lebih baik jika kamu tau perasaan saya yang sebenarnya. Saya suka sama kamu Aisyah.” Penjelasan Hendra membuat Aisyah sontak terkejut, “Kamu jangan bercanda Hen, emang kamu mau sama janda anak satu seperti saya? Kamu siap jadi omongan orang? Kamu itu seorang dokter Hen, kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari saya.” “Nggak Aisyah, perasaan itu tidak bisa dipaksakan. Kalau saya suka sama kamu itu artinya orang lain di luar sana tidak spesial di mata saya, lagi pula apa masalahnya jika kamu janda anak satu toh kamu masih manusia kan! Justru saya senang jika kamu mau menerima saya karena saya bisa langsung punya a
“Kesehatan pak Ahmad berangsur membaik, nanti sore beliau boleh pulang dan bisa istirahat di rumah. Obatnya tetap diminum agar kesehatan beliau tetap stabil, jangan kerja atau beraktivitas yang berat-berat dulu,” terang dokter itu. “Alhamdulilah, terima kasih, dok.” “Syukurlah, Aisyah jadi sedikit lega kalau Bapak sudah bisa dibawa pulang, sehat-sehat ya, Pak.” Hendra memberikan kode pada Aisyah, “Iya kenapa Hen?” “Saya boleh mengantar Bapak pulang nanti? Nanti bisa naik mobil, jadi bisa lebih nyaman di jalan.” “Tapi Hen…” “Kalau kamu keberatan, saya bisa sewakan mobil jadi nanti ada yang sopirin tapi bukan saya, kamu tidak usah sungkan semuanya demi kebaikan kita semua. Kasian bapak,” bujuknya. “Lebih baik kamu saja Hen, kalau sewa mobil lagi malah makin merepotkan. Urusan Bapak nanti saya bisa bicarakan dulu.” “Baik, kalau begitu saya tunggu di luar.” “Terima kasih, Hen.” Perlahan tetapi pasti, setiap keinginan pasti butuh perjuangan. Sang dokter Hendra mulai me
“Anak muda jaman sekarang kalau ada maunya memang kelakuannya aneh-aneh!” “Bapak ini! Orang berbuat baik malah disangka yang enggak-enggak.” “Bapakmu ini dulu pernah muda!” “Hust! Udahlah Pak, kasian Aisyah.” Pak Ahmad tidak mudah untuk digoyahkan tampaknya usaha dokter Hendra harus lebih keras lagi untuk meluluhkan hati lelaki senja yang sedikit keras kepala itu. “Aisyah ke sini sebentar, Nak!” “Iya kenapa, Pak?” “Bapak tidak sedang bercanda! Kamu dengar baik-baik pesan Bapak, sekarang kesehatan Bapak tidak ada yang tau mungkin hari ini Bapakmu ini masih bisa selamat tapi tidak tau hari esok …” “Bapak!” Aisyah merasa sedikit kesal “Dengar dulu! Bapakmu ini sayang sama kamu jadi Bapak nggak mau kamu jatuh kepada lelaki yang salah lagi terlebih sekarang kamu tidak sendiri tapi ada anak yang juga tanggung jawab kami sebagai orang tua kamu … kalau Bapakmu ini boleh berpesan kamu jangan dekat-dekat dengan lelaki dulu, Bapak nggak suka!” jelasnya. “Tapi, Pak. Bapak bar
“Apa dan bagaimana aku memperlakukan anak aku sendiri itu urusan aku! Kamu Cuma perlu nurutin apa yang aku perintahin!” Di tengah perdebatan mereka Kiara datang dan merengek.“Ma-Mama! Kia kapan sekolah? Kia bosen Ma di rumah terus!”“Kamu denger kan Mas? Kalau kamu kayak gini terus, kamu bukan cuma ngerugiin diri sendiri tapi juga aku dan anak aku!”“Alah, gitu aja repot! Kamu tinggal telpon gurunya bilang Kiara sakit kek atau pulang kampung atau apa gitu terserah kamu! Pokoknya Kiara belum boleh sekolah,” tegasnya memberi peringatan.“Mas, enak banget kamu ngomong ya. Ini masalah pendidikan bukan main-main, kalau Kiara ketinggalan pelajaran gimana?”“Ya elah, masih SD juga kan. Pelajarannya kan masih pelajaran dasar jadi masih bisa belajar di rumah, memangnya kamu mau polisi sampai melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa saja yang punya hubungan dengan aku dan tiba-tiba dia ke sekolah Kiara gimana?” Bima berusaha menghasut Jihan.“Lancar ya kamu ngancem aku tiap hari
“Kia, kamu masuk dulu sayang!”“Ternyata kamu belum cukup bisa jadi seorang ibu yang baik!”“Apa Mas bilang? Justru karena aku ibu yang baik makanya aku masih sama kamu sampai sekarang! Terus Mas pikir Mas sudah jadi ayah yang baik buat anak-anak kamu?”“Heh! Nggak ada ibu yang baik tapi tega menghasut anaknya dengan cara kotor seperti itu. Jihan, anak-anak itu masih polos termasuk Kiara kamu pikir dengan berbicara seperti itu sama anak kamu, tiba-tiba anak kamu paham dengan semuanya yang terjadi? Enggak kan!” Jihan menatap Bima tajam.“Terserah deh Mas, capek aku ngomong sama manusia kek kamu nggak ada gunanya!”“Kamu pikir aku suka debat sama kamu hah? Kupingku panas hampir tiap hari denger ocehan kamu itu!”**“Kamu nggak salah denger kan Hen?”“Enggak Ma, Hendra denger jelas banget penjelasan dari pihak kepolisian.”“Tuh kan! Sudah pasti dia pelakunya, kalau bukan dia nggak mungkin tiba-tiba dia hilang dari rumahnya. Ya Allah gimana nasib cucuku Arka.” Bu Asih meraung,
***[Selamat siang! Dengan bapak Hendra?][Iya bapak, dengan saya sendiri.][Baik bapak, kami dari pihak kepolisian ingin menyampaikan informasi yang sangat penting terkait tindak lanjut penyelidikan terhadap saudara tertuduh-Bima. Kami sudah mengikuti intruksi alamat sesuai dengan keterangan yang bapak dan istri bapak berikan, namun saat kami sudah tiba di lokasi, saudara Bima tidak ada di rumah yang beralamat sesuai yang diberikan kemarin. Kami juga sudah berusaha menanyakan keberadaan saudara Bima tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaannya sekarang dan kami kuat menduga bahwa ini telah direncanakan karena menurut informasi dari tetangga sekitar bahwa saudara Bima beserta keluarganya mereka diperkirakan tidak ada di rumah ini sejak semalam.][Te-terima kasih atas informasinya pak!][Sama-sama bapak Hendra, meskipun demikian kami dari pihak kepolisian akan terus memastikan pencarian ini dilakukan sampai saudara Bima bisa kami temukan untuk dimintai keterangan dan memasti
“Kalau soal itu kami kurang tau pak, mungkin anak-anak kami bisa menjelaskannya lebih lanjut ke kantor dan kami akan meneruskan informasi ini kepada mereka,” ucap Yani.“Baik kalau begitu pak bu. Kami tunggu kedatangan orang tua dari saudara Arkanza untuk memberikan laporan atau informasi lebih dalam terkait hal ini!”“Baik pak, terima kasih.” Yani dan suaminya pun gegas kembali ke rumah Hendra.“Semoga anak-anak tidak shock mendengar penjelasan kita ya Pa! Mama takut banget jiwa mereka terguncang terutama yang Mama takutin itu Aisyah, kasian dia sampai sekarang masih susah buat makan,” ucapnya khawatir. Bagaimana tidak pastinya jiwa seorang ibu akan sangat terguncang terlebih ini soal kehilangan seorang anak.“Semoga mereka berdua ditabahkan!”*“Assalamualaikum.”“Anak-anak pada ke mana ya Ma?” Tak lama ada bu Asih muncul dari belakang rumah.“Waalaikumsalam.”“Loh, bu Asih udah dari tadi di sini?”“Lumayan bu, saya dari tadi nyariin mereka berdua. Saya kira
***“Mas gimana ini Mas? Arka di mana? Kasian dia belum aku kasi asi Mas …” tukasnya lirih.“Sabar sayang! Kita cari sama-sama ya, Mas juga udah buat laporan di polisi. Kamu tenangin diri dulu! Kamu makan dulu ya,” ucapnya khawatir.“Nggak bisa Mas, aku nggak nafsu makan!”“Yah kok gitu sih? Kasian Arkanya nanti Aisyah, kita sekarang harus kuat dan harus jaga kesehatan demi Arka kalau semisal kita sakit nanti pencariannya nggak maksimal,” bujuknya. Hendra berusaha merayu Aisyah agar makan setidaknya sesuap saja.“Mas, mau sampai kapan kita diem aja di sini? Aku mau ikut nyariin Arka Mas!”“Iya, Mas tau kamu khawatir dengan keberadaan Arka sekarang tapi kita coba serahin ke kepolisian dulu ya. Sekarang, di sini kita bantu doa lagian udah ada Mama sama Papa aku yang bantuin juga. Aisyah, bukannya Mas ngelarang kamu tapi kamu juga harus mikirin kondisi kamu!” tegasnya. Aisyah terdiam, tak terasa air matanya kembali mengucur membasahi pipinya. Hendra mendekap erat tubuh istrin
“Suara apa itu? Keras banget!” Aisyah yang penasaran pun gegas ke luar rumah. Kepalanya clingak-clinguk mencari sumber suara bising tadi berasal. Wanita itu mencoba menyusuri teras, ia masih terus mencari karena takut ada benda yang runtuh atau menabrak rumah, pasalnya suara itu terdengar sangat keras.“Nggak ada apa-apa! Atau perasaan aku aja ya?” tukasnya kebingungan. Aisyah melangkah dengan ragu. Sejenak suara menjadi hening, namun tiba-tiba tangisan Arkanza terdengar kencang sekali dari dalam rumah. Aisyah pun sontak terkejut dan gegas berlari tunggang langgang mencari anaknya, tetapi semakin Aisyah mendekat semakin suara tangisan Arkanza menghilang.DEG! Perasaan Aisyah kacau tak karuan, matanya terbelalak, keringat mulai membasahi keningnya. Tempat tidur itu sudah kosong, Arkanza tak lagi terbaring di sana. Ke mana hilangnya Arkanza secara tiba-tiba?“Ar-Arka! Nak, kamu di mana?” ucapnya dengan bibir gemetar. Tubuh Aisyah sontak me
***“Hah, setelah sekian lama akhirnya aku bisa menghirup udara Surabaya lagi!” tukasnya lega. Lelaki itu kembali menginjakkan kakinya di tanah Surabaya, tepat di mana mantan istrinya-Aisyah berada. Ia kembali ke Surabaya tentu saja tidak sedang berniat pergi berkunjung secara baik-baik, pasalnya Aisyah dan keluarganya sudah berupaya menolak keras kehadiran Bima kembali ke keluarga mereka terlebih dengan apa yang telah ia perbuat pada Aisyah dan anaknya.“Sekarang gua nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini! Bagaimana pun keadaannya, gua harus bisa merebut anak gua karena gua juga punya hak atas anak itu!” Bima gegas pergi ke rumah Aisyah, lelaki itu sudah tak sabar melancarkan aksi nekatnya.*“Kenapa cuma ada ibu dan Aisyah aja? Azka mana?” Bima kebingungan, pasalnya target yang ia cari tidak ada. Sementara itu Aisyah dan bu Asih tampak bercengkrama di teras.“Bu, Aisyah pamit dulu ya! Nanti Aisyah ke sini lagi,” ucapnya berpamitan.“Iya Nak, ha
*** “Lihat-lihat! Si Ajeng kenapa?” tanya salah seorang tetangga Bima, yang kebetulan melihat ada ambulance datang ke rumah Bima. “Iya tuh kenapa? Kok bu Ajeng sampai diiket-iket gitu?” Ibu-ibu berdaster merah itu bertanya kembali. “Yuk-yuk kita ke sana!” Mereka tampak begitu antusias ingin melihat kondisi Ajeng. “Bima mama kamu kenapa?” Bima yang mendengar pertanyaan yang demikian hanya bisa terdiam, ia masih enggan menjawabnya. “Nggak kenapa-napa!” sahutnya ketus. “Dih sombong banget! Mertua kamu kenapa Jihan?” Ibu itu beralih bertanya pada Jihan, tampaknya ia masih belum puas sebelum mendapatkan informasi yang aktual. “A, eee. Mertuaku lagi sakit! Maaf ya ibu-ibu kita lagi sibuk, pergi dulu ya!” ucap Jihan acuh. Mereka berdua lantas ikut naik ke mobil ambulance. “Ternyata sekeluarga sama saja! Sombong semua,” ucapnya kesal. Jihan dan Bima gegas menuju rumah sakit. “Pasti setelah ini bakalan banyak tetangga yang kepo sama kejadian tadi,
***“Mas!”“Aisyah!” Keduanya saling mengawali pembicaraan secara bersamaan.“Kamu duluan!”“Kamu aja, ladies first!”“Hmm, ya udah. Aku mau ngomong sesuatu Mas!”“Hmm, sama. Mas juga mau ngomong sesuatu ke kamu!”“Jadi gimana? Siapa yang duluan?”“Kamu sayang!”“Oke deh, jadi gini Mas aku … aku mau buat acara berbagi ke sesama yang membutuhkan,” jelasnya. “Menurut Mas gimana?”Hendra sontak tersenyum.“Mas kenapa?”“Mas setuju!” jawabnya tanpa basa-basi.“Alhamdulilah kalau Mas setuju, terus Mas mau ngomong apa tadi?”“Ya seperti yang kamu bilang tadi, itu yang mau Mas bicarakan.”Aisyah tertegun, “Beneran Mas?”“Iya, Mas serius. Mas juga berpikir demikian karena beberapa waktu kebelakang alhamdulilah kan usaha kita semakin berkembang, jadi tidak ada salahnya kalau kita buat acara sedekah untuk itu. Oh iya, sekalian kita buat acara syukuran juga karena ibu udah sembuh, hitung-hitung sekalian berbagi sama tetangga juga. Gimana?”“Iya Mas, aku pasti setuju.”“Alhamdulilah,