“Gimana, Zal? Sudah siap, kan?” tanya Bu Ridwan setelah Rizal beristirahat sejenak.
Rizal baru sampai rumah. Sasti sudah langsung main dengan teman sebayanya.
“Insyaalloh, Bu.” Rizal melihat persiapan lamaran.
”Pakde, Bude, Paklik dan Bulik-bulikmu pada nggak bisa datang. Kamu nggak papa, kan?” Pak Ridwan mendekat ke putranya.
”Nggak papa. Namanya juga duda. Bagus malah nggak usah rame-rame. Malu.” Rizal mengulum senyum.
Pak Ridwan mengangguk. Dia urung menjelaskan sesuatu, karena putranya justru menerima dengan legowo. Padahal, ketidakhadiran saudara-saudara bapaknya karena ada sebab.
”Tapi, nanti Bapak pengen tetep rame-rame, Zal. Tasyakuran. Biar tetangga sini juga tahu statusmu. Kalau nggak, nanti malah jadi fitnah.”
”Insyaalloh, Pak. Kalau sudah positif. Kalau sekarang kan masih lamaran. Peluangnya masih
”Sekarang, kok malah bapak yang galau?” Rizal berusaha tertawa, menenangkan ayahnya. ”Bukannya bapak sudah akrab sama bapaknya Ratih?” ”Ya, akrab sih akrab. Tapi, kan ya harus menjaga perasaan. Apalagi kalau nanti dilihat sama besan satunya lagi.” ”Ya, sudah. Seadanya saja.Memang kita cuma berlima, mau gimana lagi.Lagian, Rizal juga dadakan. Yang penting sah aja nanti.” Bu Ridwan berusaha menenangkan. Mobil sudah tiba di depan rumah Ratih. Ada tenda di depan rumah. Sehingga membuat Rizal harus mencari tempat parkir. Sebelah rumah Ratih ada tetangga yang halamannya lumayan luas.Selain itu, ada juga panitia yang memang mengarahkan untuk parkir di situ. Rupanya rombongan calon suami Dini juga sudah datang. Mereka memakai baju yang senada, membuat rombongan keluarga itu lebih mudah dikenali. Sementara, rombongan Rizal sendiri, memakai baju dimana bapak dan ibunya couple-an, sedang Rizal memakai baju batik yang dik
“Pak, emang tadi itu udah sah?” tanya Rizal setelah di mobil.Usai acara resmi lamaran, mereka masih ramah-tamah dengan kerabat Ratih. Namun, Rizal tak berani bertanya mengenai kesimpulan lamaran tadi. Hidupnya yang selalu hitam putih, merasa ragu, apakah dengan Ratih tak menjawab, artinya benar Ratih menerima. Atau justru menolaknya.”Tadi itu bukan akad nikah. Ya belum sah. Cuma udah ditembung. Kalau tata kramanya, kalau sudah ditembung orang, nggak boleh ditembung orang lain, sampai yang udah nembung duluan membatalkan.”Rizal semakin pusing dengan jawaban bapaknya. Ada teori baru yang dia belum paham benar.“Kamu itu kayak pertama kali mau nikah aja, Zal,” seloroh Pak Ridwan.“Dulu, langsung dijawab iya, Pak. Jadi Rizal nggak bingung.”Yang membuat Rizal ragu adalah karena sebelumnya Ratih benar-benar menolaknya. Jangan-jangan benar ucapan Gilang. Rat
Taksi yang mengantarkan Rizal dan Sasti dari bandara telah tiba di halaman rumahnya.Rizal menghela nafas saat melihat sebuah mobil terparkir di depan rumahnya. Rizal kenal betul kepunyaan siapa mobil itu.“Ada Mama, Pa,” ujar Sasti saat hendak turun dari mobil.Rizal tak hendak membuat sekat antara putrinya dan mantan istrinya. Di depan putrinya, dia tak pernah mencela sang mantan.“Iya. Sasti jangan lupa salim, ya.”Sasti tak menjawab. Tapi, gadis kecil itu langsung menghambur masuk ke rumah.“Sasti dari mana?” tanya sang mama.Desti bukan tak tahu dari mana Rizal. Dia sudah mendapat laporan dari Prita, sahabatnya.“Dari rumah Tante, Ma.”Desti mengerutkan keningnya, lalu menatap ke Rizal dengan tatapan tak suka.Rizal malas berdebat. Apalagi di depan Sasti. Dia memilih menghindar dan masuk ke kamar.
“Rizal?”Tak hanya Rizal yang kaget. Ratih pun juga kaget. Keduanya tak menyangka kalau akan bertemu. Namun, Rizal segera dapat mengendalikan diri.Tadinya, Rizal senang karena berhasil memata-matai Ratih. Namun, karena terlanjur kepergok oleh Ratih, dia jadi serba salah. Apalagi, posisinya tengah mengantar mantan istri dan putrinya.Rizal khawatir, jika Ratih sampai bertemu dengan mantan istrinya, kemungkinan penolakan semakin besar.Namun, lagi-lagi, Rizal menemukan celah. Wajah Ratih yang bersemu merah, menandakan hal yang masih sama dengan sepuluh tahun lalu.Hal yang tadinya nyaris tak ada dalam ingatan Rizal, mendadak berkelidan di benaknya.Ratih dengan seragam putih abu-abu, sering tersipu saat bertemu dengannya.Dulu, hal itu sangat menyebalkan baginya. Dia sangat tak suka disukai oleh orang yang tak disukainya.Namun kini, hal itu terlihat menarik baginya. Ya
Rizal jadi take nak karena melihat ekspresi Ratih yang terlihat kaget dengan ucapan Desti. Suasana menjadi canggung. Rizal tahu, jika dia mengklarifikasi, justru akan menjatuhkan harga dirinya, baik di depan Ratih, maupun Desti.“Nanti saja, aku selesaikan urusan dengan Desti,” batin Rizal sedikit geram. Dia tak suka dengan sikap Desti yang sok tahu. Bisa-bisa, itu justru mengintimidasi Ratih.”Maaf, saya harus permisi. Ada perlu,” ucap Desti akhirnya.Rizal bernafas lega dengan keputusan Desti. Memang sebaiknya dia cepat pergi. Menyesal aku mengenalkan dengan Ratih. Awalnya, Rizal ingin menunjukkan pada Ratih mama putrinya. Karena cepat atau lambat, Ratih pun harus mengenalnya. Namun, melihat gesture Desti yang terlihat mendominasi, Rizal jadi menyesal.Dia khawatir Ratih semakin insecure.“Siapa tahu kamu memerlukan.”Rizal terbelalak saat menyadari Desti memberikan kartu nama pada Ratih
Rizal menarik nafas lega saat melihat gorden jendela di ruangan lantai atas kos-kosan Ratih tersingkap. Seseorang dengan jilbab bergo terlihat melongok. Entah sejak kapan, dari kelebatannya saja, kini Rizal sudah yakin kalau itu Ratih.Refleks Rizal melambaikan tangannya. Ia memberi isyarat agar Ratih bersedia turun.“Mencari siapa, Dik?” Seorang wanita paruh baya, dengan jilbab bergo keluar dari pintu lantai bawah, menyapa Rizal.Rizal jadi kikuk. Dia merasa tak sopan karena tidak langsung bertanya ke pemilik rumah.”Maaf, saya temannya Ratih. Mau bertemu Ratih.” Rizal menghampiri lalu berbicara dengan takzim. Padahal sedari tadi, dia hanya menunggu dengan berdiri di seberang jalan.“Ayo masuk. Di tunggu di sini saja,” ujar sang ibu, lalu membuka pintu pagar.Kos-kosan di kawasan perkampungan padat penduduk di belakang area perkantoran umumnya tidak punya halaman. Begitu masuk pagar langsung teras dengan tempat duduk seadanya dan ada tangga menunju kamar-kamar kosan di lantai atas.“
“Aku sudah bilang, jangan diterima kartunama itu.” Rizal membuka kembali percakapannya.“Dia yang menemuiku.” Ratih yang biasanya kalem, terlihat lebih tegas. “Bahkan, saat kita baru saja berpisah di mall tadi,” lanjutnya.Rizal agak kaget dengan jawaban Ratih.Jadi, tadi Desti tak benar-benar pergi? Guman Rizal.Rizal kenal betul mantan istrinya. Sayangnya, memang baru disadari sesaat sebelum memutuskan berpisah. Licik dan menang sendiri.Dulu, saat Rizal masih mencintainya, semua terlihat baik-baik saja. Desti baginya adalah Ratu.Tapi, satu persatu hal-hal yang di luar nalar akhirnya diketahuinya. Dia hanyalah pelarian Desti dari mantan kekasihnya.Rizal menarik nafas.“Dia memang sudah lama ingin rujuk. Tapi, aku menolak.” Rizal berkata dengan intonasi penuh penyesalan.Ratih menunggu penjelasan Rizal. Namun, Rizal tetap terdiam.Mau tidak mau, dia memberanikan d
Usai mengedrop putrinya di sekolah, Rizal bergegas ke kantor.Di perjalanan, tak henti-hentinya dia menyunggingkan senyum. Terbayang di benaknya hari besar yang tak lama lagi akan menjadi nyata. Tak peduli dengan ancaman mantan mertua, atau pun mantan istri sekalipun. Apalagi, teringat ucapan Dini yang telah mengirimkan undangan.Tiba di lampu merah, Rizal mengecek ponselnya. Kadang dia berharap ada chat masuk dari seseorang. Tapi, dia sadar, rasanya itu mustahil. Ratih bukanlah wanita yang mudah mengirimkan chat tanpa kepentingan yang urgen. Apalagi kalau hanya sekedar menyapa dengan lawan jenis. Dan itu pula yang belakangan dikagumi oleh Rizal.Ada terbesit penyesalan, kenapa baru sekarang dia menyadarinya. Kenapa dia baru sadar dengan seseorang yang istimewa di sekitarnya.Suara klakson mengagetkan Rizal. Bahkan dia hampir lupa kalau tengah ada di keramaian pagi. Mobil perlahan meluncur hingga kantor Rizal. Namun, Rizal tak bergegas turun.Ponse
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp