Jangan lupa mampir ke MENIKAH DENGAN TETANGGA JUTEK untuk tahu kisah Gilang dan Sekar
“Lang, ini Nadia!” Hari sudah larut malam. Gilang memang selalu bangun usai menidurkan dua jagoannya. Dia harus pindah ke kamar utama. Namun, bunyi ponsel yang meraung-raung, membuatnya meraih benda pipih itu. “Hai, Nad. Gimana-gimana?” Gilang urung masuk kamar. Dia lalu duduk di sofa ruang tamu. “Kamu udah ketemu Rizal?” tanya Nadia. “Halah, anak itu, kalau nggak minta sarapan, minta makan malam. Taulah, duda nggak ada yang ngurus. Napa?” Gilang balik bertanya. “Anak itu tadi siang nyariin gue. Beberapa hari sebelumnya padahal udah ketemu sama gue.” Nadia mulai bercerita. Dia menghubungi Gilang karena ingat Dewi pernah menyarankannya untuk menanyakan tentang Rizal ke Gilang. Saat SMA keduanya pernah dekat karena pernah sama-sama jadi pengurus OSIS. “Trus?” Gilang mencoba memancing arah pembicaraan teman SMAnya itu. Saat Reuni mereka sempat kasak-kusuk punya rencana yang sama, setelah tahu status Rizal. “Lang, kamu tahu nggak sih, cerita kenapa dia pisah sama istrinya? Aku butuh
“Sudahlah, Nad. Nggak usah dibahas lagi,” ucap Ratih. “Kalau kamu tetap membahasnya, lebih baik, kamu nggak usah menemuiku lagi.” Nadia sengaja mendatangi Ratih. Ternyata dugaan Rizal tak meleset. Meski dia sudah janji pada Rizal tak akan membantunya menghubungkan dengan Ratih. Nyatanya dia penasaran dan malah menemuinya. Nadia segera meraih tangan Ratih. “Jangan begitu, Tih. Aku bicara padamu, karena aku peduli.” Kaca-kaca mulai terbit di mata Ratih. “Peduli tapi nggak harus kan dengan cara seperti ini?” Luka itu nyatanya tak cukup mudah untuk sembuh. Setiap ada yang mulai membahasnya, nyatanya dia akan basah dan terasa perih lagi. Itulah mengapa Ratih memilih menarik diri dari pembahasan itu. Berteman dengan mereka yang tak menanyakan hal pribadinya jauh lebih aman buatnya, karena tak akan menimbulkan luka. Lambat laun, orang mulai paham siapa dirinya, dan berhenti bertanya. Itu harapannya. “Maafin aku, Tih.” Nadia serba salah. Namun, dia tak dapat menyalahkan Ratih juga. Dia m
“Oh, Iya, Dini. Masih di Jakarta?” Seingat Rizal, adiknya Ratih kerja di luar kota. “Eh, iya, Mas. Kebetulan diperpanjang urusannya. Sekalian ditugasi kantor mengurus sesuatu,” ucap Dini. “Boleh duduk, Mas?” tanyanya. “Oh, iya, silahkan.” Rizal sedikit gagap. Dia masih menerka-nerka, apakah Dini melihat tingkah bodohnya, atau tidak. “Nginep dimana?” Rizal berusaha mencairkan suasana. Dia menutupi diri seolah sama sekali tak tahu kalau di ujung sana ada Ratih. Dalam hati dia menimbang, haruskan berpura-pura, atau malah sekalian berbasa-basi saja. “Kemarin sih di Mas Gilang. Tapi, entar malam mau pulang.” “Ke Yogya?” “Solo, Mas.” Rizal mengerutkan keningnya. “Aku kerja di Solo. Kalau akhir pekan, atau dua minggu sekali klo sibuk, baru pulang ke Yogya.” “Oh…” “Sudah, Mas, makannya?” tanya Dini. Dia tak melihat piring makanan di depan Rizal. Hanya ada minuman, itu pun air mineral. Rizal tergagap. Tadi, dia sengaja nggak pesen makanan, karena pujasera yang ramai. Khawatir tempat
“Eh, Nadia. Kalian belum saling kenal ya?” tanya Rizal sambil menatap Dini dan Nadia bergantian. Dari tatapan Nadia, Rizal sudah dapat menebak, ada kecurigaan tersimpan di sana. “Kenalin, Nad. Ini Dini, adiknya Ratih,” jelas Rizal. Dini melebarkan matanya. Dia ingat, Sekar dan Gilang saat dia menginap, sempat menyebut nama Nadia, meski saat itu dia tak terlalu nyambung. Karena memang saat SMA sepertinya wanita bernama Nadia ini jarang diceritakan oleh Ratih. Beda dengan Dewi atau Sekar yang kerap diceritakan. “Oh, ini Mbak Nadia?” Dini spontan menyodorkan tangannya untuk berkenalan. “Serius adiknya Ratih?” Nadia menatap tak percaya. Beberapa menit lalu, dia baru saja ketemu dengan Ratih. Masak iya, ada adiknya, mereka nggak makan bareng. Minimal janjian. Justru malah Ratih janjian dengannya dan adiknya janjian sama Rizal. Nggak masuk akal! “Nad, kamu tuh sama aku, nggak ada percaya-percayanya sih? Duduk dulu.” Rizal menyodorkan kursi. Dini serasa de javu dengan ucapan Rizal. Ya,
“Jadi, gimana, Nad?” Rizal kembali dari salah satu stand pujasera. Dia mengambil air mineral dingin untuk Nadia. Berharap, kepalanya juga segera mendingin usai meminumnya. Rizal sengaja menaik turunkan alisnya. “Apanya?” Nadia pura-pura tak mengerti. Tangannya sibuk membuka tutup botol air mineral itu. “Proyek kita.” Bibir Nadia mencebik. Kepalanya manggut-manggut. “Jadi, kamu ke sini, membuntuti Ratih?” “Membuntuti Mbak Ratih?” Kini gantian Dini yang keheranan. “Memangnya tadi ada Mbak Ratih?” Dini pikir, Nadia yang mengatakan baru bertemu Ratih bukan di tempat itu. Mata Dini memindai sekitar. Lalu, tatapannya terhenti pada Rizal yang malah tertawa renyah, tanpa merasa bersalah. “Ini namanya takdir, Nad. Kayak kita bertemu bertiga. Nggak janjian, tapi dipertemukan di sini. Mana tahu, ada takdir-takdir baik lain yang segera akan menghampiri.” Ucapan Rizal yang sok bijak, membuat Nadia jengah. “Termasuk, kamu akhirnya menyerah, kan? Kamu lebih suka membangun istana di surga, ka
Sedetik, mata Nadia melebar saat menyadari kaca-kaca yang mulai terbentuk di mata Rizal. Wajah teman SMAnya itu sudah nyaris memerah. Nyata terlihat tersimpan sesuatu yang melankolis di sana. Padahal, sebelumnya, Rizal sering terlihat tak berperasaan jika membahas soal Ratih. Nadanya selalu sengak dan tak menyenangkan.Namun, dibalik itu, Nadia sedikit tak percaya. Rizal sekarang, beda dengan Rizal yang dulu. Penampilannya saja sudah 180 derajat berbeda. Bagaimana bisa istrinya mencintai pria lain?Apa kurangnya dari seorang Rizal? Pebisnis sukses. Fisik juga lumayan. Kepribadian juga lumayan, meski sering bertingkah menyebalkan sebagai seorang teman.“Aku tak pernah menyangka, mamanya anakku masih menunggu mantan pacarnya. Bahkan aku tak pernah tahu,” sesal Rizal.Dulu, dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dulu dia menyangka semua wanita yang telah menikah, akan menutup rapat semua masa lalunya dan tak memberi ruang untuk cinta yang lain. Namun, nyatanya dia salah besar.“Tapi, aku
Rizal baru saja memasuki kantornya saat pandangannya tertuju pada seseorang yang sedang duduk di sofa di dalam ruangannya. “Buat apa kamu ke sini, Des? Kita sudah nggak punya hubungan kan?” Desti tersenyum miring. “Bahkan, semua asset perusahaan ini masih milik keluargaku. Kamu bilang kita nggak punya hubungan?” tantang Desti. Darah Rizal serasa naik ke ubun-ubun mendengar ucapan mantan istrinya itu. “Des, dulu kamu aku minta urus perusahaan ini kamu menolak. Bahkan, kamu lebih memilih bekerja di tempat lain yang akhirnya menjerumuskanmu. Kini, kamu bangga dengan asset perusahaan ini. Jangan bilang kamu sedang merencanakan sesuatu ya?” Rizal menatap tajam. Dulu dia sangat memuja wanita di hadapannya itu. Namun, benar kata orang, cinta dan benci itu sekatnya sangat tipis. Tak ada cinta tersisa. Bahkan, hanya kebencian. “Aku sudah berubah, Mas.” Intonasi suara Desti berubah lembut. Namun itu tak pengubah apapun di telinga Rizal. Desti berdiri menghampiri Rizal. Namun, pria itu me
Aroma sup menguar hingga ke teras rumah Gilang, membuat perut Rizal meronta-ronta. “Jam segini, belum ada komando makan, Lang?” tanya Rizal sambil mengintip putaran jarum di arlojinya. “Gara-gara ada kamu, jadwal makan malam kita terhambat,” gerutu Gilang. Biasanya, Sekar dan Gilang berbagi tugas. Gara-gara ada duda tak diundang, Sekar harus rela menghandel beberapa tugas agar suaminya bisa segera menemui sahabatnya itu. Belum hitungan sepuluh, kepala Sekar sudah menyembul di pintu. “Panjang umur….” Tanpa dipersilahkan Rizal sudah bangkit dari duduknya. “Kamu bisa lapar juga, Mas?” Sindir Sekar. “Emang kamu pikir, perutku terbuat dari apa?” Tanpa petunjuk, Rizal sudah tahu arah ruang makan. Bukan sekali dua kali dia mampir dan ikut makan di rumah sahabatnya itu. Meski Sekar sering terlihat manyun, Rizal tak peduli. Dia sudah menganggap rumah sahabatnya itu rumah sendiri. Sekar tak memedulikan pertanyaan Rizal. Dia langsung mengambilkan Gilang nasi dan lauknya dan meletakkan pir
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp