"Aku nggak punya masalah dengannya, Wi." Egonya terlalu tinggi untuk sekedar mengaku salah.Namun, helaan nafas Dewi yang terdengar dari sambungan telepon, membuat Rizal tak enak.Rizal mengenal baik sifat Dewi. Salah satu yang disukai Rizal dari Dewi adalah tak pernah terlihat kecewa, meski melihat hal yang mengecewakan. --“Dasar ya, kamu, Zal. Sudah jelas-jelas salah. Nggak mau ngaku pula. Fixed. Gue nggak akan mau jodohin kamu sama Ratih!” Nadia yang sengaja ditemui Rizal di kantornya, langsung beranjak. Pria itu mengutarakan niatnya“Nad! Nad, tunggu dulu, dong. Jangan main pergi-pergi," cegah Rizal. Untungnya, mereka bertemu di lobi. Di gedung perkantoran tempat Nadia bekerja cukup luas. Ada banyak set sofa yang disediakan di depan akses masuk ke perkantoran itu. “Zal, aku kasih waktu kamu 2x24 jam. Kalau kamu serius, minta maaf dulu sama Ratih. Buang gengsimu. Kalau kamu nggak berubah, anggap aja, percakapan kita tempo hari nggak pernah ada!” ancam Nadia. Bukannya kaget at
Rizal pulang duluan sebelum jam kantor selesai. Semua tugas sudah dilimpahkan ke orang kepercayaannya. Kini, dia malah asyik menikmati siomay di belakang gerbang salah satu gedung perkantoran di Jakarta pusat itu.Rizal pun baru tahu, kalau setiap jam pulang kerja, ada pintu gerbang yang dibuka. Lalu lalang kendaraan mulai memadat. Rizal pun sembari duduk di salah satu bangku, matanya awas memindai setiap pegawai yang keluar gerbang dengan jalan kaki.Saat seseorang yang dinantinya datang, Rizal buru-buru beranjak.“Ambil kembaliannya, Pak!” ujar Rizal sambil menyerahkan piring bekas siomaynya ke abang penjualnya. Bahkan, masih ada beberapa potong tersisa di sana.“Tapi, Mas. Ini kebanyakan….” ucap penjual itu sambil menatap uang warna merah yang baru saja diserahkan Rizal. Rizal tak menggubris.Entah kekuatan dari mana, bak terhipnotis, Rizal malah mengikuti Ratih yang berjalan seorang diri. Bahkan Rizal meninggalkan mobilnya begitu saja di pinggir jalan dekat tukang siomay. Dia tak
“Hai, Mas. Baru pulang?” Mata Rizal membulat, namun segera ia membuang muka. Bagaimana tidak. Sudah dua tahun dia menduda, kini di depannya ada wanita dengan baju yang baginya terlewat seksi untuk berdiri di hadapannya. Apalagi, aroma parfum yang menguar, membuat konsentrasinya buyar. Bahkan, kali ini dengan berani Desti malah memakai pakaian rumahan, sebagaimana mereka dulu masih pasangan suami istri. Bukannya menjawab, Rizal malah meninggalkannya dan langsung menuju ke dapur. “Kenapa kamu nggak bilang, kalau mamanya Sasti datang, Mbak?” tanya Rizal pada Siti sambil menuangkan air dingin dari kulkas ke gelas. Ia lalu menarik kursi untuk duduk, dan meneguk air itu, hingga tandas. “Bagaimana saya kasih tahu ke kamu, HP saya aja mendadak lenyap,” sahut Siti. Matanya sesekali melirik ke arah ruang depan. Waspada kalau-kalau yang mereka bicarakan terdengar. Rizal menghela nafas. Dia tahu betul karakter mantan istrinya itu. Pasti Desti sengaja mengambil ponsel Siti agar sepupu Rizal
Di rumah Gilang.“Din, kamu udah bilang ke Mbak Ratih kalau mau nginep sini?” tanya Sekar.Gadis berusia dua puluh lima tahun itu tengah membantunya menyiapkan makan malam.“Justru aku yang nanya ke Mbak Sekar, nggak papa kan aku nginep sini? Aku sudah kasih tahu ke Mbak Ratih kok. Soalnya aku ada misi ke sini,” ujar Dini sambil meletakkan piring berisi lauk ke meja makan.“Misi apaan?” sela Gilang yang baru keluar dari kamar. Dia sudah berhasil menidurkan dua jagoannya.Setiap habis maghrib, anak-anak biasa langsung ditidurkan. Kalau tidak, Sekar dan Gilang tak akan sempat menyiapkan makan malam. Untunglah malam itu, Dini yang sedang ada pelatihan di Jakarta mampir ke rumah.“Mbak Ratih kan belum nikah, mana bisa aku nanya tentang tips-tips persiapan menikah. Nah, makanya aku ke sini. Mau magang sama Mbak Sekar, sekaligus menyaksikan langsung keluarga muda. Buat siap-siap,” terangnya.“Heleh, kamu salah alamat, Din. Mbak Sekar mana tau persiapan menikah. Dia aja menikah tahu beres,”
“Din, Din. Sebentar, deh!” panggil Gilang. Sekar dan Dini saling berpandangan. Namun, Sekar langsung teringat, di depan tamunya Gilang. “Mas, mau ngapain?” tanya Sekar saat Dini mencuci tangan dan mengeringkannya dengan lap. “Mau ngenalin Dini sama si Rizal.” “Lhah, buat apa?” “Sudah, tenang aja. Kamu juga ke depan aja. Sekalian kita ngobrol. Ohya, jangan lupa buatin teh manis atau kopi, terserah deh,” titah Gilang. “Kenapa, Mbak? Emang siapa tamunya?” tanya Dini saat menghampiri Sekar. “Mas Rizal. Kamu tahu atau pernah dengar namanya? Temannya Mbak Ratih juga,” sahut Sekar. Sejenak Dini berusaha mengingat-ingat. Jarak umurnya dengan Ratih memang beda empat tahun. Jadi, saat SMP dan SMA dia tak pernah satu sekolah meski bersekolah di tempat yang sama. “Sama sekali nggak tahu?” tanya Sekar. Dini menggeleng. “Mungkin aku lupa, Mbak,” sahut Dini. Dini ke depan bersamaan dengan Sekar yang siap membawa empat buah cangkir berisi teh manis. Sekar sengaja tak membuatkan Gil
“Mbak, kamu kayak dendam banget sih sama Mas Rizal?” tanya Dini saat Rizal sudah pulang. Gilang mengusirnya karena hari telah malam. Padahal, Rizal masih ingin membunuh waktu. Akhirnya terpaksa Rizal harus mencari penginapan. Rizal tahu, meskipun dia bisa memaksa Gilang agar mengizinkan menginap di rumahnya, meski di ruang tamu, sahabatnya itu tak kan pernah mengizinkan. Bukan karena tega, tapi karena selain rumahnya sempit, juga sedang ada tamu. “Serius kamu nggak tahu ceritanya, Din?” tanya Sekar. Dia masih menemani Dini di kamar tamu. Kamar itu biasanya memang disediakan untuk tamu menginap khususnya orang tua dan mertuanya. Dini menggeleng. “Kamu dulu ditolak sama Mas Rizal?” Dini malah menggoda Sekar. “Boro-boro, Din.” “Kayaknya nggak mungkin. Kamu kan dah bawaan orok bucin sama Mas Gilang. Ya, kan Mbak?” Sekar langsung melotot. Enak saja dibilang bucin sama Gilang. Kepikiran saja nggak. Kalau orang bilang, jangan terlalu benci, takutnya gedenya jodoh. Nah, ini terjadi pa
Sementara di rumah Rizal. “Gimana, Des? Ideku mantap nggak?” Suara Prita dari sambungan telepon. “Mantap apanya. Mas Rizalnya saja sudah kabur,” sahut Desti dengan nada kesal. “What? Kabur?” “Iya. Biasalah sok alim," ujar Desti dengan sinis. “Lagian, kamu tuh kalau masih cinta sama Mas Rizal, kenapa pakai minta cerai segala sih?” tanya Prita. Dia menyesalkan keputusan Desti yang meninggalkan Rizal demi Gavin, dan akhirnya pernikahan mereka juga hanya seumur jagung. “Yah, namanya juga nafsu, Prit. Aku kan emang cinta mati sama Gavin.” “Iya, tapi Gavin nggak cinta mati sama kamu!” “Enak aja. Dia tuh juga cinta sama aku. Cuma…” Meski sudah berpisah, Desti tetap tak mau mengakui kalau kandasnya pernikahan keduanya karena memang keduanya tidak cocok. Keduanya hanya mementingkan egonya. Setelah berpisah dari Rizal, Desti baru paham, bahwa pernikahan itu tak hanya soal cinta. Tapi, juga saling memahami. Dan satu-satunya orang yang paling memahami dirinya hanyalah Rizal. Gavin meman
“Tadi ibu ke sini, Pak.” Santi, sekretarisnya melaporkan, saat Rizal baru saja masuk. Rizal yang baru duduk di kursi kerjanya, menoleh ke bawahannya itu. “Ngapain ke sini?” Sudah lama Desti tak pernah peduli dengan pekerjaan kantor miliknya. Bahkan, saat dulu merengek ingin bekerja saja, dia tak tertarik ditawari Rizal untuk bekerja di situ. Meski Rizal dan Desti sudah bercerai, namun, hanya menyebut kata “ibu” Rizal sudah mengerti kalau itu yang dimaksud adalah mantan istrinya. “Maaf, Pak.” Santi, karyawati yang cukup senior, bekerja sejak masih di perusahaan papanya Desti itu menarik kursi. Dia duduk menghadap Rizal. Membuat Rizal curiga. Sepertinya ada yang penting. Padahal, sekretarisnya itu tak pernah diberikan tugas yang kritis. Biasanya hanya urusan administrasi dan jadwal-jadwal meeting saja. “Ada apa, Mbak?” tanya Rizal. Dia meletakkan ponsel yang sejak tadi dipegangnya. Tandanya, dia serius ingin menyimak penjelasan Santi. “Tadi, ibu nanya. Staf perempuan di kantor i
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp