Memang seharusnya Ratih tak perlu membukanya aplikasi itu. Itu hanya melukai hatinya. Itu hanya belenggu syetan yang membuatnya kembali terpuruk di lembah keraguan. Harusnya dia cukup mendengar saja kata-kata Danisa dan tak perlu penasaran. Namun, semua sudah terlanjur. Bagaikan sebuah cermin. Ketika retak, maka pantulannya tak akan sama lagi. hatinya terluka. Ratih masih membenamkan wajahnya dalam bantal saat pintu kamarnya diketuk. Kening Ratih bergerut. Tak mungkin teman kosannya. Hari sudah siang. Mereka semua sudah berangkat kerja. “Mbak Ratih, ada tamu.” Suara ibu kosnya sontak membuat Ratih terpaksa bangun. Tanpa merapikan tempat tidurnya, Ratih segera menyambar jilbabnya. Biasanya Ibu kos datang ke kamarnya kalau ada perlu saja. “Iya, Buk. Makasih,” jawab Ratih sambil memperhatikan wajahnya di cermin sekilas. Memastikan tak ada kotoran di sekitar mata akibat kembali malas-malasan di tempat tidur. "Itu Mbak Ratihnya sudah ada. Saya permisi," pamit Ibu Kos pada Rizal. "Mak
“Ratih … apapun itu, kita tetap menikah besok pagi. Jadi bersiap-siaplah sekarang.” Rizal mengurangi intonasi suaranya. Tak ada lagi yang harus dibahas. Keputusannya sudah bulat. Menikah esok hari. Tak ada alasan lain yang membuatnya mundur. Padahal, Ratih berharap, Rizal tak hanya mengatakan itu padanya. Ratih berharap Rizal membesarkan hatinya. Tapi, ternyata harapannya justru pupus. Rizal bukan tipe seperti itu. "Percayalah padaku, apa yang ada di chat itu, tak seburuk yang kamu bayangkan,"ujar Rizal sambil menatap wajah Ratih. Tidak ada gunanya membahas sesuatu yang telah terjadi. Rizal lebih memilih fokus untuk menatap ke depan. Saat dia memposting undangan pernikahan itu, sebenarnya hanya sebagai pemberitahuan. Agar kelak, tidak timbul fitnah mana kala ada teman alumni SMA yang melihat mereka sedang berdua.Rizal tak mengira jika teman-teman mereka masih mengingat kejadian sepuluh tahun lalu, yang bahkan baginya sudah tak penting dan sudah dilupakan. Tapi dia salah. Kejadian
"Saksi, Sah?""Sah""Sah""Sah""Alhamdulillah." Rizal bernafas lega.Begitu juga kedua orang tua Ratih. Nampak jelas berbahagia. Akad nikah dilangsungkan di rumah Ratih. Di halaman depan dipasang tenda. Meski tak menerima tamu, namun sanak saudara dan tetangga banyak yang hadir. Sementara resepsi akan diselenggarakan di balai warga, tak jauh dari kediaman Ratih. Ini dipilih karena menggabungkan resepsi Dini dan Ratih. Tentu saja, tamu yang diundang lebih banyak. Jika diselenggarakan di rumah, akan memakan jalan warga, belum termasuk tempat parkir kendaraannya. Salah satu solusi menggunakan balai warga. "Ini kemauan Mas Rizal, Mbak. Katanya biar tetangga dan saudara yang datang, tidak perlu repot," tukas Dini saat membahas rencana acara. "Lagi pula, juga memanfaatkan fasilitas desa, Mbak," lanjut Dini."Aku ngikut kamu aja, Din. Tahu beres.""Paham, Mbak. Yang penting Mbak Ratih mau nikah aja, kita udah seneng.""Diniiii!" Ratih berteriak geram. Siapa sih yang nggak mau nikah?Tern
"Ayo, Mbak. Mobil pengantinnya sudah nunggu di depan." Suara Hasan terdengar dari dalam kamar Ratih. "Mobil? Kan cuma 500 meter. Kenapa pakai mobil?" tanya Ratih pada ibunya. "Kamu mau jalan kaki pake kain kayak gini? Ibu mah nggak mau," sahut Ibunya datar. Benar juga. Kalau biasanya dia jalan kaki karena memakai baju biasa. Kini, nggak mungkin dia jalan kaki dengan dandanan seperti ini. "Sudah, Mbak Ratih. Sudah siap," ujar Bu Witri setelah berulang kali wanita itu memastikan riasannya sudah pas, begitu juga dengan baju yang dikenakan Ratih. Bu Witri lalu membereskan perlengkapannya. Dia harus membawanya ke lokasi. Meski Ratih tidak ada ganti baju di tengah resepsi, namun, kadang make up perlu di sempurnakan lagi di tengah acara, mengingat di balai warga belum dilengkapi pendingin ruangan. Ratih bergegas keluar kamar. "Mbak, tunggu dulu. Mas Rizal jangan ditinggal!"Langkah kaki Ratih terhenti saat mendengar suara Hasan. Tentu saja, ucapan adiknya itu disambut tawa saudara-sau
"Alhamdulillah, selesai." Acara ditutup dengan foto-foto dengan panitia dan anggota keluarga lainnya. "Langsung terbang ke Bali, Din?" tanya Ratih pada adiknya. Dia harus mencari cara agar terlihat sibuk untuk menutupi kegugupannya. "Iya. Biar nggak ganggu Mbak Ratih," sahut adiknya. "Mbak Ratih nggak diajak kemana, gitu, Mas?" Dini mengalihkan padangan pada Rizal. "Udah tua, Din. Dimana aja, sama aja," jawab Rizal enteng. "Apanya yang sama aja, Mas?" sela Hasan. Dia ikut nimbrung. "Halah, kamu, belum sampai telinga...." sahut Rizal. Dengan bergantian diantar mobil famili, mereka tiba di rumah orang tua Ratih. Dini sudah berkemas. Dia dan suami langsung berangkat ke bandara. Mereka mendapat voucher bulan madu dari kantor suami Dini. Sementara itu, habis isya, pada tetangga yang merangkap panitia sudah pulang. Tenda di halaman rumah juga sudah diturunkan. Rumah Ratih sudah kembali seperti sedia kala. Hanya kerabat dekat yang masih menginap. "Sana, Nak Rizal. Ratih sudah menun
“Makasih, ya, sudah menemaniku buka puasa…” ujar Rizal sambil mengecup puncak kepala Ratih. Rambut yang tak tersentuh creambath perawatan sebelum menikah pun tetap wangi karena tak lupa Ratih keramas sebelum acara akad nikah tadi pagi. “Puasa apaan sih?” Ratih masih keheranan. Dari tadi Rizal membahas mengenai buka puasa. Pria itu menatap Ratih sembari menahan tawa. Dia lupa kalau perempuan polos macam Ratih belum tentu mengerti maksudnya. “Lupakan saja,” ujar Rizal kemudian. Lalu ia merengkuh pinggang Ratih dalam pelukannya. Ada perasaan yang tak dapat terlukiskan, saat posisinya sedekat itu dengan lelaki asing, yang kini menjadi suaminya. Lelaki yang dulu dalam impiannya, meski kadang sangat dibencinya. “Mas!” Ratih mulai belajar membiasakan diri memanggil “Mas”. Ratih tak ingin melewatkan malam pertamanya dengan tidur terlalu cepat. Dia pun ingin bicara panjang lebar tanpa rasa canggung. Ternyata apa yang baru dialaminya, membawa perubahan besar terhadap perasaannya pad
"Ayo kalau sudah siap semua, kita berangkat." Hasan memberi aba-aba. Beberapa mobil sudah parkir di jalan depan rumah. Ceritanya hari ini keluarga besar Ratih akan mengantar Ratih ke keluarga Rizal. Di rumah orang tua Rizal akan diselenggarakan tasyakuran. Meski ini pernikahan kedua, bagi Rizal, tetangga dan saudara harus tahu status barunya, dan siapa yang halal mendampinginya kini, termasuk, ibu sambung bagi putrinya. Ratih dah Rizal naik mobil yang dikemudikan Hasan. Bukan mobil seperti pengantin pada umumnya. Bahkan, dalam mobil nggak hanya mereka berdua, ada bapak dan ibunya juga. Ratih mengenakan kebaya yang dipadu dengan kain batik, namun yang simple model rok. Batik bawahan yang dikenakan Ratih senada dengan batik yang dikenakan Rizal. Karena acara hanya tasyakuran sederhana, Ratih tak perlu menyewa jasa make up. Dia hanya memulas bedak natural saja. Selain mobil yang membawa Ratih dan orang tuanya, ada rombongan saudaranya dan juga rombongan yang membawa oleh-oleh keluarg
Perasaan Ratih tak karuan mendengar ucapan wanita itu. Jelas-jelas dia membandingkan dengan dirinya dan mantannya Rizal. Ratih pun tahu, kalau mamanya Sasti memang cantik. Jauh lebih cantik dari dirinya. “Prita! Stttt!” Budenya Rizal meletakkan telunjuk di depan bibir. Matanya tajam menatap wanita muda yang bernama Prita itu. Prita duduk di sofa berseberangan dengan Ratih. Matanya memindai Ratih dari atas ke bawah dan sebaliknya dengan tatapan remeh. Tatapan itu membuat Ratih menjadi tak enak hati. Beruntung, tak lama Rizal masuk. “Eh, Prita. Baru datang?” sapa Rizal. Terdengar nada akrab membuat Ratih penasaran. Apa hanya sekedar saudara, atau lebih dari itu. “Iya, Mas.” Prita membalas dengan manja. Ekor matanya melirik ke arah Ratih. “Prita ini temennya Desti, Dik.” Rizal menambahkan penjelasannya. Pantas saja dia menyebut nama Desti, gumam Ratih dalam hati. Dan tampak jelas Prita berpihak pada Desti. “Udah kenalan?” tanya Rizal. Pria itu menatap Ratih dan Prita bergantian.