Kutunggu reaksinya sejenak dengan perasaan was-was. Namun, ternyata dia biasa saja. Ekspresinya tak berubah sama sekali. Malah, dia seolah menunggu ceritaku selanjutnya. “Dia tahu-tahu datang. Bahkan, sampai minta ijin ke Pak Amir, atasanku, kalau dia mau bicara penting sama aku,” lanjutku. "Ke atasanmu?" Senyum miring tercipta di bibir Rizal. "Iya." Aku mengangguk. Tiba-tiba aku merasa penasaran dengan pertanyaan Rizal ini. "Apa kira-kira dia kenal sama Pak Amir?" Rizal mengedikkan bahunya. "Dia memang begitu. Semua orang, kadang dianggapnya remeh, lebih rendah dari dia. Makanya dia merasa tak segan ke atasanmu, kalau kamu nggak menuruti perintahnya." "Oh...." Aku mulai paham sekarang. Betapa beraninya Desti masuk ke ruangan Pak Amir tadi pagi. Padahal, kami yang stafnya aja sungkan. Hanya kalau terpaksa, dipanggil atau harus melapor saja, kamu masuk ke ruangan itu. Lontong pecel pesanan kami pun datang, beserta minuman yang aku pesan tadi. Diam-diam aku mencuri pandang pa
Undangan pernikahan Ratih dan Rizal tinggal menghitung hari. Hari itu, hari terakhir Ratih masuk kantor. Besok dia harus bersiap-siap kembali ke kota kelahirannya. "Lancar semuanya ya, Mbak Ratih," ujar Anggi meski Ratih belum berpamitan. Hari-hari terakhir, banyak teman-teman kantornya menyemangati dan meyakinkan. Yang sudah pengalaman, berbagi nasehat. Yang belum berpengalaman pun ikut nimbrung. "Tunggu kami. Kami pasti datang." Cyntia turut menyahut. Ratih tak perlu mencemaskan banyak hal. Dini, adik perempuannya, sudah menyiapkan semuanya. Meskipun mereka berbeda karakter, Dini sangat mengenal selera kakaknya. Apalagi, Dini sangat ringan tangan dan menyukai mengurus hal-hal semacam pesta pernikahan. Tak hanya kegiatan saat hari H, bahkan sebelum hari H dari menyiapkan seserahan pun adik bungsu Ratih itu yang handel. Keluarga Rizal hanya tinggal menerima jadi, meski beberapa kali Rizal memnghubungi adik Ratih ini, memastikan semuanya berjalan lancar. Dini memang sosok yan
"Hai, Sasti kenapa?" Badan Ratih sedikit menunduk, mensejajarkan kepalanya dengan kepala Sasti yang duduk di sebelah papanya. Pucuk hidung Sasti memerah. Tercetak jelas bekas kesedihan di gadis kecil berkulit bersih, yang menurun dari mamanya itu. Sasti menggeleng. "Tanya dong, Papanya." Ratih mendelik mendengar Rizal justru menyela. Dia sudah berusaha serius, malah diajak bercanda. Padahal, dia berusaha keras agar tidak grogi berada di depan duda itu. “Sasti, Tante punya hadiah untuk Sasti.” Ratih mengulurkan kotak kado yang sudah disiapkannya kepada Sasti. Ratih harus berjongkok agar dia bisa benar-benar dapat melihat wajah putri calon suaminya itu. "Makasih, Tante." Meski menjawab, namun, binar keceriaan di wajah Sasti tak jua muncul. Bahkan, kado itu diletakkan begitu saja di sebelahnya. Ratih sebenarnya ingin mengorek lebih lanjut dan menghiburnya, layaknya ibu-ibu berhati malaikat. Tapi, naluri keibuannya tak kunjung datang. Ratih masih canggung dan berusaha mengolah
"Ayo, naik," titah Rizal saat Ratih mengantar Sasti hingga parkiran. "Nggak usah. Aku naik taksi aja." "Ck, kan sama aja. Nanti aku antar." "Beda arah, Rizal. Kasihan Sasti, sampai rumah kemalaman nanti," tolak Ratih. Padahal, Ratih sungguh hanya ingin menjaga agar detak jantungnya bisa kembali normal. Lama-lama dia bisa jantungan kalau dekat dengan Rizal yang belum halal menjadi pasangannya ini. Apalagi, akhir-akhir ini, Rizal mulai berani meledeknya. "Yaudah. Kalau udah sampai kos, kabari. Sasti, pamit sama Tante," titah Rizal pada putrinya. Ratih masih melambaikan tangannya, dan menunggu sampai mobil Rizal menghilang di area parkir. Dia akan kembali masuk mall dan memesan taksi setelah dia berada lobi gedung nanti. “Ratih!” panggilan namanya, membuat Ratih menghentikan langkah. Ia menoleh ke sumber suara. Matanya memicing menatap wanita muda seusianya yang berdiri tepat di hadapannya. “Ratih, kan? SMA satu, kan?” tanya wanita itu beruntun. Wajahnya sangat ceria. Sementara
Ratih hanya menanggapi dengan senyuman. Bingung dia mau komentar apa. Toh, sejatinya selama ini dia tak pernah memandang hal itu. Dia mau sama Rizal pun atas dorongan Nadia dan Dewi, sahabat yang dia percaya nalar dan hatinya bisa jalan beriringan dibandingkan nafsu duniawi, materi dan fisik semata. Alasan kuat lainnya bagi Ratih adalah karena restu orang tua Rizal dan orang tuanya. Di luar itu semua, hanyalah bonus yang mengikuti. Bisa juga, tampan dan tajir adalah bonus baginya. Bahkan Ratih baru ingat, kalau dia belum pernah bertanya serius tentang aktivitas Rizal. Dia kerja apa, penghasilannya berapa. Baginya, punya pekerjaan mau karyawan kantoran atau bukan, asal berpenghasilan yang cukup buat keluarga, itu sudah cukup. Toh, dia sendiri juga bekerja. Dan selama ini Rizal tak pernah membahasnya, kalau kelak setelah menikah, apakah harus di rumah, atau tetap bekerja. Huff, Ratih teringat pesan Nadia. Dia harus bicara. Berkomunikasi. Itu yang selama ini terlupa. Ratih hanya fokus
Rizal sudah tiba di bandara pukul 6 pagi. Dia mengajak Mbak Siti, ART-nya sekaligus masih saudara sepupunya, untuk mengasuh Sasti selama di Yogya. Rizal mulai gelisah. Berulang dia mengecek waktu di jam tangannya. Pandangannya mengedar ke seluruh area ruang tunggu bandara, gate yang akan membawanya menuju Yogya. Tapi, Ratih sama sekali tak terlihat. Padahal jam boarding sudah sebentar lagi.“Tante ikut kita, Pa?” Sasti dengan polosnya bertanya. Semalam, Rizal sudah memberi tahu putrinya kalau hari itu mereka akan pulang ke rumah kakek dan neneknya. Beberapa hari terakhir, Rizal juga sudah menjelaskan pada putrinya, siapa Ratih dan kenapa dia harus Ratih yang dipilihnya untuk menjadi ibu bagi Sasti. Rizal mengusap kepala Sasti, lalu kembali ia mengedarkan pandangan. Berkali dia mencoba menghubungi Ratih, tapi tak ada respon sama sekali. Pesan pun tak juga dibalasnya. Siti yang duduk di sebelah Sasti hanya bisa menatap kegalauan sepupunya itu. Rizal semakin panik, saat petugas mula
Memang seharusnya Ratih tak perlu membukanya aplikasi itu. Itu hanya melukai hatinya. Itu hanya belenggu syetan yang membuatnya kembali terpuruk di lembah keraguan. Harusnya dia cukup mendengar saja kata-kata Danisa dan tak perlu penasaran. Namun, semua sudah terlanjur. Bagaikan sebuah cermin. Ketika retak, maka pantulannya tak akan sama lagi. hatinya terluka. Ratih masih membenamkan wajahnya dalam bantal saat pintu kamarnya diketuk. Kening Ratih bergerut. Tak mungkin teman kosannya. Hari sudah siang. Mereka semua sudah berangkat kerja. “Mbak Ratih, ada tamu.” Suara ibu kosnya sontak membuat Ratih terpaksa bangun. Tanpa merapikan tempat tidurnya, Ratih segera menyambar jilbabnya. Biasanya Ibu kos datang ke kamarnya kalau ada perlu saja. “Iya, Buk. Makasih,” jawab Ratih sambil memperhatikan wajahnya di cermin sekilas. Memastikan tak ada kotoran di sekitar mata akibat kembali malas-malasan di tempat tidur. "Itu Mbak Ratihnya sudah ada. Saya permisi," pamit Ibu Kos pada Rizal. "Mak
“Ratih … apapun itu, kita tetap menikah besok pagi. Jadi bersiap-siaplah sekarang.” Rizal mengurangi intonasi suaranya. Tak ada lagi yang harus dibahas. Keputusannya sudah bulat. Menikah esok hari. Tak ada alasan lain yang membuatnya mundur. Padahal, Ratih berharap, Rizal tak hanya mengatakan itu padanya. Ratih berharap Rizal membesarkan hatinya. Tapi, ternyata harapannya justru pupus. Rizal bukan tipe seperti itu. "Percayalah padaku, apa yang ada di chat itu, tak seburuk yang kamu bayangkan,"ujar Rizal sambil menatap wajah Ratih. Tidak ada gunanya membahas sesuatu yang telah terjadi. Rizal lebih memilih fokus untuk menatap ke depan. Saat dia memposting undangan pernikahan itu, sebenarnya hanya sebagai pemberitahuan. Agar kelak, tidak timbul fitnah mana kala ada teman alumni SMA yang melihat mereka sedang berdua.Rizal tak mengira jika teman-teman mereka masih mengingat kejadian sepuluh tahun lalu, yang bahkan baginya sudah tak penting dan sudah dilupakan. Tapi dia salah. Kejadian
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp