“Diba malu, Abi. Diba malu ...,” rengek Adiba dengan menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Padahal sebagian sudah tertutup cadar.Bagi gadis lain, wajah memang bukan aurat yang wajib ditutup. Karena cadar memang bukan budaya warga Indonesia, melainkan budaya bangsa Arab. Namun, untuk Adiba yang sudah istikamah memakai cadar sejak memutuskan kuliah di Inggris saat menempuh S1, membuka cadar di hadapan orang lain yang bukan mahram terasa sangat malu sekali.“Menurut Abi enggak pa-pa, sih, Dek. Namanya juga enggak sengaja,” sahut Daud menanggapi.Diba masih menutup wajahnya dengan siku bertumpu pada kedua paha.“Katamu Wildan juga udah minta maaf, kan?”Adiba mengangguk.“Terus masalahnya apa, Sayang?”Telapak tangannya dibuka. Ia menatap aneh pada ayahnya. Bukannya marah, malah bertanya masalahnya apa. Adiba ingin sekali menjawab dengan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu.“Apa Abi harus meminta pertanggung jawaban pada Wildan karena dia sudah menikmati kecantikan wajah anak Abi
“Jadi ... benar kalau anak itu pernah diasuh di panti ini, Bu?”Farhah dan Bu Tari beradu tatap, lalu mengangguk.“Alhamdulillahirobbil’alamin ... matur nuwun, Gusti ...,” ungkap Suyoto penuh rasa syukur dengan kedua telapak tangan meraup wajahnya.Walau bukan anaknya sendiri, tetapi Suyoto dan keluarga juga ikut bingung mencari keberadaan putra dari konglomerat itu. Suyoto kala itu merasa iba, melihat istri dari sang konglomerat meraung-raung dan menjerit di tepi hutan. Anak pertama mereka tak juga ditemukan hingga pencarian dihentikan.Opini masyarakat tentang hewan buas yang mungkin memangsa anak balita, sampai kemungkinan dibawa jin ke alam lain membuat pasangan suami istri itu semakin frustrasi. Jejak si balita bermata bulat dan tampan itu benar-benar lenyap. Tak ada petunjuk apa pun.Hingga Suyoto bersedia membantu mereka. Akan memberikan kabar sekecil apa pun jika memang ada. Bertahun-tahun Suyoto mencoba mencari info, tetapi nihil, tak ada hasil.“Mohon maaf sebelumnya, Pak Su
“Mama?”Sarah menoleh ke samping, Kiya memanggilnya.“Iya, Sayang?”Suara itu? Wildan memejam. Memorinya seakan-akan berputar. Ia merasa pernah mendengar suara itu dalam puzzle-puzzle flashback. Acak, tetapi terlihat seperti saling berhubungan.“Ini Mas Wildan, Ma. Yang di video waktu itu.”Wildan membuka mata. “Video?”Tanpa menutup-nutupi, Kiya pun menceritakan apa yang pernah ia lakukan diam-diam. Merekam kegiatan mereka saat mengaji di gazebo dekat kolam renang rumah Daud bersama Adiba.“Sebenarnya mamaku yang ingin Mas Wildan diundang ke sini. Ngajarin aku ngaji.”Wildan mengalihkan pandangan dari Kiya ke wanita paruh baya yang Kiya panggil mama. Ternyata sedari tadi Sarah lekat memandangnya.“Assalamualaikum, Bu. Saya Wildan,” ucapnya dengan menangkupkan kedua tangan di dada.Sarah tak merespons. Ia seolah-olah damai menatap wajah pria muda di depannya. Ibrahim pun mendekat dan ikut duduk lesehan di atas permadani tebal yang dilengkapi bantal-bantal. “Ma?” panggilnya lembut den
Daud sedikit menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Ia menoleh karena mendengar getar ponsel, dan tentu itu bukan benda pintar miliknya ataupun tablet yang sedang dipegangnya.“Getar ponsel kamu, Dan?”“Eh. Iya, Pak.”“Enggak mau diangkat dulu? Kayaknya getarnya lebih dari sekali. Takutnya penting.”“Enggak pa-pa, Pak. Nanti bisa saya telepon balik.”Tentu Wildan tak mau mendahulukan kepentingan pribadinya, ia sedang menjalankan tugas. Sedangkan Daud hanya mengangguk menanggapi. Perjalanan masih cukup jauh. Dalam hati Wildan bertanya-tanya, tumben sekali Bu Farhah meneleponnya lebih dari satu kali?“Rabbani Corp itu didirikan oleh Ibrahim setahun setelah putranya tak juga ditemukan.”Daud membuka sebuah cerita tanpa Wildan minta. Dan tentu hal itu membuat sang sopir kian penasaran dengan alasan di balik tersematnya nama Rabbani pada perusahaan Ibrahim Madava. Kenapa tak diberi nama Madava Corp saja? Begitu pertanyaan yang sempat terbesit di hati seorang Wildan.“Rabbani Asraf Mad
Jantung gadis bercadar itu mulai bertalu. Apa ayahnya sudah mengatakan sesuatu pada sang istri yang tak lain adalah ibunya? Adiba merapatkan kedua bibir untuk menahan senyum. Dia sudah berspekulasi sendiri. Sementara itu di belakang kursi Adiba dan Wildan, Fatimah justru menautkan alis. Wildan yang ditanya, kenapa putrinya yang seperti salah tingkah?“Diba sayang, kamu kenapa, Nak?”“Oh, eh, enggak pa-pa, Ummi. Agak serak dikit. Ehem, ehem!” jawabnya berbohong.Fatimah pun mengangguk.“Maaf, ya, Dan, kalau mungkin pertanyaan saya terlalu mencampuri urusan hati kamu,” lanjut Fatimah akan pertanyaan yang sempat terjeda tadi.Wildan hanya mengulas senyum. “Oh, enggak apa-apa, kok, Bu.”“Kenapa saya tanya begitu, karena ada teman saya yang ingin anaknya dicarikan jodoh. Siapa tahu kamu sudah bisa buka hati kembali. Enggak ada salahnya kenalan dulu. Iya, kan, Dan?”Loh? Eh? Adiba menajamkan pendengaran.“Anak teman saya ini usianya sudah cukup matang, Dan. Tapi enggak tua-tua banget, kok. B
Gemuruh dalam dada Wildan kian hebat. Jika ia tak pernah bermimpi untuk bisa mempersunting seorang tuan putri, maka kali ini Wildan pun merasa benar-benar sedang bermimpi dilamar sang raja sendiri. Berkali-kali bibirnya mengucap istigfar dengan lirih. Berharap mimpinya segera berakhir dan ia segera terbangun. Namun, hal itu tak kunjung terjadi. Saat Wildan mendongak, tatapannya bertemu dengan manik teduh milik sang majikan. “Wildan?”“I-iya, Pak?”“Apa kamu menyukai putriku? Maksudku ... apa kamu ada rasa cinta walau hanya secuil pada Adiba?”“P-pak Daud, tolong bangunkan saya. Saya yakin saya masih berada di alam mimpi,” ucap Wildan dengan nada bicara cukup bergetar. Daud pun tersenyum. “Tidak, Wildan. Kamu tidak sedang bermimpi. Aku benar-benar memintamu untuk menjadi menantuku. Apa kamu bersedia?”Mata Wildan mulai panas. Sungguh, ia merasa hadiah Tuhan amat sangat agung. Ia bahagia dan takut dalam waktu yang hampir bersamaan. Merasa kerdil dan tak pantas. Siapa dia dan siapa Ad
“Oma Tari?”Mentari merentangkan kedua tangan begitu Wildan menyadari keberadaannya. Pria tampan yang kulitnya semakin bersih itu agak sanksi melihat perlakuan sosok orang tua sepuh yang lain dari biasanya. Namun, tak ayal Wildan pun mendekap Mentari. Ia benar-benar merasa begitu dirindukan.“Oma di sini? Kapan sampai?”Bukannya menjawab, air mata Mentari malah jatuh di bahu Wildan, cukup deras. Begitu pun dengan dekapan wanita yang Wildan panggil oma itu, cukup erat memeluknya. Daud tak kalah penasaran, ada apa ini sebenarnya?“Nak, berbahagialah. Kamu akan segera kembali pada keluargamu.”Ucapan Mentari membuat Wildan mengendurkan pelukan. “Maksud Oma?”“Inah dan Lukman bukan ibu dan bapak kan
Bani duduk dengan gelisah di depan sebuah laboratorium rumah sakit ternama. Ia dan Ibrahim mendatangi seorang dokter ahli teman baik sang ayah. Ibrahim memunggungi sang putra dan berbincang serius dengan seseorang di seberang sana lewat ponsel. Bani memejam dengan menengadah dan kepala belakang menyandar ke tembok. Memorinya menyeret ia dalam kisah flashback. ‘Kamu tadi juga tanya, kan, Mas. Apa nafkah batin darimu kurang? Aku jawab, k-u-r-a-n-g. Amat sangat kurang. Kamu kurang p3rk4sa. Tiga tahun kita menikah, kenapa tak kunjung juga kita mendapat keturunan? Ha?!’‘Kamu kira aku enggak kesepian sendirian di rumah saat kamu ngojek? Aku butuh hiburan, Mas! Aku pingin punya anak!’‘Tapi, Paklik, aku dan Mas Wildan sudah lama tak berhubungan suami istri. Hampir empat bulan. Jadi ... apa tak sebaiknya aku dan Dito segera menikah saja? Toh, kalau aku hamil, sudah jelas ini anakku dan Dito.’‘Kamu mandul, Mas!’‘Kamu kurang per*asa!’‘Kamu tak bisa memberiku seorang anak!’Bani membuka ma
Rabbani menepuk-nepuk pipi istrinya, tetapi Adiba tak merespons. Bani langsung keluar dari kamarnya dan memberitahu papa mamanya. Sarah langsung datang ke kamar Bani dan mengecek kondisi menantunya, sementara Ibrahim langsung mengeluarkan mobil untuk membawa Adiba ke rumah sakit. “Ada apa, Bani? Istrimu kenapa?” Sarah pun tak kalah panik. “Enggak tahu, Ma. Tiba-tiba aja Diba menggigil. Bani minta tolong bawakan ponsel dan dompet Bani, ya, Ma.” Bani langsung membopong Adiba ke mobil. Kondisi istrinya benar-benar mendadak. Membuat Bani benar-benar diserang panik dan mulai tak tenang. Begitu sampai di rumah sakit, Adiba langsung dilarikan ke ruang IGD untuk dilakukan pemeriksaan awal. Kebetulan di koridor depan bertemu dengan istri dari dokter Malik, dokter senior yang merupakan teman baik Ibrahim. “Loh? Pak Ibra? Bu Sarah? Siapa yang sakit?" "Menantu saya, Dok?" "Adiba? Sakit apa?” “Entah, Dok. Tiba-tiba badannya panas dingin dan menggigil.” Dokter dengan name tag Khadijah i
Kumandang azan Subuh terdengar samar-samar hingga akhirnya jelas menyapa telinga. Adiba menggeliat, lalu sedikit terkejut melihat seorang pria di sebelahnya. Namun, beberapa detik senyumnya terbit. Ia kembali menenggelamkan kepalanya di balik selimut putih tebal. Aksi semalam kembali terbayang. Membuat Adiba malu sekaligus bahagia. Ia tak menyangka bahwa malam pertamanya benar-benar dilakukan di hari yang sama lepas akad dan resepsi dilaksanakan. Adiba yang sudah sangat menginginkan atau Bani yang memang tak sabaran? Ah, sepertinya sama saja. Rasa ingin sudah menjadi pahala yang sangat besar nilainya. Bahkan Bani tak henti membuat istrinya berteriak menyebut namanya saat pelepasan. Benar-benar malam yang sangat dahsyat. Kepala Adiba menyembul dari selimut. Ia tersenyum. Rasanya seperti mimpi bisa bersama dan menyatukan cinta dengan orang yang kita pinta dalam doa. “Kenapa senyum-senyum?”“Eh?”Adiba terkejut melihat wajah bantal Bani yang tetap terlihat tampan dan akan selalu tamp
“Saya terima nikah dan kawinnya Adiba Khumairo binti Daud Abdullah dengan mas kawin tersebut, tunai!”“Bagaimana para saksi?”“Sah!”Rabbani memejam dengan lirih bibirnya mengucap hamdalah. Diusapkannya kedua telapak tangan ke wajah dan ia pun sibuk mengamini doa barakah yang dibacakan seorang penghulu. Tak hanya Bani, para undangan yang ikut menjadi saksi pernikahan sepasang anak Adam dan Hawa itu pun juga ikut melangitkan pinta atas doa yang dipimpin. Di ruangan lain, Adiba menahan air mata harunya. Pernikahan yang ia impikan telah terhelat dengan cukup sempurna. Pria yang diinginkan, kini telah sah berstatus suami. Hatinya sedikit gerimis mengingat Salman. Namun, jodoh dan maut memang rahasia Sang Pemilik Kehidupan. Doa selesai.Sarah tak bisa membendung air mata bahagianya. Ia memeluk sang menantu tanpa mengucap sepatah kata pun. Air matanya cukup mewakili bahasa bahagia yang membuncah hingga kata-kata lenyap dengan sendirinya. “Ayo, Nak. Kita ke depan,” ucap Fatimah.Dua wanit
Rizal baru saja keluar dari rumahnya dan hendak pergi ke balai desa karena suatu urusan. Namun, langkahnya terhenti kala sebuah bunyi notif pesan masuk ke ponselnya. “Pak, Ibu sekalian antar ke pasar, ya. Berangkatnya aja, nanti pulangnya Ibu bisa pakai ojek pangkalan.” Suara Murti yang dibawa dari belakang hingga ke depan teras hanya samar-samar di telinga Rizal. Ketua RW tersebut kaget dan juga mengucapkan hamdalah dengan lirih. “Pak, lihat apa, to? Ucapan Ibu malah gak ditanggepin?” gerutu Murti sambil mengunci pintu rumah. Rizal menoleh pada istrinya. “Bu, Ratih ketemu.” Murti langsung membalik badan. “Subhanallah, yang bener, Pak?” Rizal menyodorkan ponselnya kepada Murti. Seketika wajah Murti langsung berubah sendu, bibirnya bergetar, dan air matanya mulai berjatuhan. “W-Wildan yang ngabarin Bapak? Dia yang nemuin Ratih, Pak?” Pria berkemeja lengan pendek itu mengangguk. “Iya, Bu. Itu pesan dari Wildan. Ternyata Ratih ke Jakarta.” “Ya Allah ....” Murti terduduk
Dito menarik kembali kepalanya. Kini, Bani bisa kembali menatap wajah Dito yang terlihat sangat serius, sementara Bani sendiri masih berusaha biasa saja. Tak terlalu terkejut walau ada sedikit guratan tanda tanya di antara kedua alisnya. “Apa kali ini ucapanmu bisa aku percaya?”Lagi-lagi Dito mengembuskan napas panjangnya. Ia lebih dulu menatap sekeliling. Memastikan jika posisinya dan Bani cukup jauh dari beberapa orang. “Aku tak akan meminta maaf atas apa yang sudah aku perbuat padamu dan juga Ratih di masa lalu. Bukan aku sombong dan tak tahu diri. Aku hanya merasa ... tak pantas untuk mendapat maaf darimu, Bani. Kamu juga tak perlu memaafkanku. Dosaku sudah sangat besar dan banyak hingga membuat kalian bercerai.”Hening. Jika seorang sahabat berbuat jahat itu membahayakan, maka seorang rival yang berbuat baik itu cukup mencurigakan. Namun ... apa iya seorang Dito masih merencanakan kejahatan part dua pada Bani? “Katakan saja!” pinta Bani dengan nada datar. Kali ini Dito benar
“Pa?”Ibrahim menoleh. “Ya?”“Bani masih belum terlalu paham dengan perusahaan. Papa yakin mau resmiin Bani buat jadi pimpinan?”Sang ayah mengulas senyum. Tak lain halnya Sarah sang istri yang semakin hari semakin semangat menjalani hari, pun dengan Ibrahim yang semakin terlihat berwibawa dengan ketegasan yang ia miliki. Kehadiran Rabbani mampu mengembalikan cahaya dalam keluarga sang presdir. “Apa Papa akan setega itu melepasmu terjun sendiri tanpa bimbingan, Nak? Om Felix dan Papa sendiri yang akan mendampingimu mengelola kerajaan bisnismu sendiri. Rabbani Corp itu amanah untukmu. Kamu hanya perlu meyakinkan kami, bahwa seorang penerus tak akan mengecewakan para pendahulunya.”Rabbani mengangguk samar. Beberapa hari belajar tentang perusahaan milik keluarganya, Bani baru tahu jika Madava Grup dan Rabbani Corp bukan perusahaan kecil. Ada ribuan karyawan di beberapa perusahaan cabang yang menggantungkan harapan pada perusahaan milik keluarganya. “Jangan risau. Kamu tetap bisa belaj
“Kay, kenapa harus ke sini, sih?”Kayla hanya tersenyum dengan tangan hendak membuka pintu mobil. Namun, satu tangannya lagi berhasil Dito genggam. “Mas Dito, bukannya kamu yang maksa buat ngantar aku dan mau ikut apa pun kegiatan aku?”“Iya, tapi ... mana aku tahu kalau kamu mau ke tempat beginian?”“Mas Dito nyesel? Mau balik? It's oke. Nanti aku bisa pulang pakai GoCar.”Kayla pun langsung turun tanpa memedulikan Dito yang tengah mengembuskan napas kasar. Akhir-akhir ini mood-nya sedang tidak baik. Tepatnya, setelah tahu jika mantan suami dari mantan kekasihnya, orang yang dia hina sedemikian rupa, pria yang ia pandang sebelah mata karena berprofesi sebagai sopir, ternyata dia adalah putra seorang presdir. Apalagi tak lama setelah ini ia dan keluarga besarnya mendapat undangan resmi dari sang presdir Madava Grup. Undangan pesta tasyakuran dan juga peresmian pengangkatan Rabbani Asraf Madava sebagai CEO Rabbani Corp. Tentu tak hanya keluarga Dandi, tetapi juga keluarga Daud dan be
Kabar soal menghilangnya Ratih yang sempat disembunyikan dari Marni sampai juga di telinga wanita itu. Sebagai seorang ibu, tentu saja Marni ikut panik walau ia tak bisa berbuat apa-apa. Ke mana putri semata sayangnya itu pergi? “Ibuk kenapa sampai kecolongan, sih, Buk?” Rizal terlihat frustrasi. “Maafin Ibuk, Pak. Ibuk panik saat dengar suara benda pecah. Ibuk masuk buat memastikan. Ternyata benar Mbak Marni butuh bantuan.”Sampai jam dua belas malam, beberapa warga yang ikut mencari keberadaan Ratih juga tak menemukan tanda-tanda. “Ibuk juga enggak tahu kalau gembok pasungnya Ratih lepas, Pak. Makanya Ibuk enggak khawatir waktu ninggalin pintu dalam keadaan sudah terbuka.”“Sudah, Pak Rizal. Jangan salahkan Bu Murti. Dia bukan lalai, hanya saja situasi dan kondisinya tidak pas. Benar kata Pak Rizal, kita kecolongan,” sela Pak RT menengahi. Rizal menghela napas panjang dan meminta maaf kepada sang istri. “Apa perlu lapor polisi?” usul salah satu warga. “Tidak bisa, Pak. Seseora
Kali ini Rabbani benar-benar merasa terkepung rasa bahagia. Diantar oleh kedua orang tua kandungnya untuk meminta sang belahan jiwa. Bidadari bermata bening yang sudah pernah ia lihat, kini akan kembali memperlihatkan keindahan parasnya sebelum berlanjut ke meja akad. Heuh? Akad? Bani tersenyum saat pikirannya sudah berkelana ke pelaminan. Senyum itu pun kian merekah saat raut hangat Daud, Fatimah, dan Adnan menyambut di dalam ruang keluarga. Sementara Adiba masih ada di kamarnya bersama Aisyah, sang kakak ipar. “Selamat datang, Kawan!” Daud memeluk erat Ibrahim. Ibrahim pun menyambut. “Semoga sebentar lagi kita akan resmi menjadi besan,” sambut Ibrahim dengan berbisik. Daud hanya tersenyum sembari menepuk-nepuk bahu teman karibnya itu. Tak lain halnya dengan Fatimah dan Sarah. Kiya juga disambut dengan sangat hangat. Begitu tiba giliran Bani, pria tampan itu pun sedikit kikuk saat bersalaman dengan Daud. “Om?” Daud tersenyum dan mendekap Bani. Ada rasa haru yang menyeruak.