Pov Merina “Za, kalau garden party kayaknya lebih keren, deh!” Aku menatap laki-laki yang akhirnya berhasil kutaklukkan juga. Ya, walaupun dengan usaha sedikit lebih berat. Aku harus mengorbankan dulu hal yang kupunya. Hal berharga yang oleh Bang Irfan yang sudah pasti akan menikahiku pun, tak kuberikan padanya. Namun, pesona Reza membuatku kalap. Aku tak rela Syfa dapat yang lebih dariku. “Boleh, Mer ….” Reza menatap, tapi seperti tak bersemangat pada semua brosur yang aku dapatkan dari WO. “Kamu itu kenapa sih, Za? Apa-apa ngikut mulu, kasih dong pendapatnya,” tukasku sambil memberengut manja. Yang aku rasakan, Reza berbeda dengan Irfan. Jika Irfan begitu antusias menyambut hari pernikahan kami, tapi Reza seperti ogah-ogahan. “Gak apa. Aku itu males ribet. Asal kamu suka, ya sudah.” Reza membetulkan duduknya dan menurunkan kakinya yang menumpang. Lalu dia menatap ke arahku. “Ya sudah deh, bahasnya nanti lagi!” Aku pun menyimpan brosur-brosur itu. “Kenapa gak pake yang WO kemar
Malam itu, setelah dari klinik, Bang Zayd nganter aku balik. Untungnya Bang Zayd gak ngambek. Walau aku sudah nuduh dia ngapa-ngapain, dia tetap mengantarku pulang.Ya, walaupun awalnya di jalan kami jadi kayak anak kecil sedang musuhan, diem-dieman. Namun hanya sebentar, ketika aku bercerita dia pun mulai kembali cair lagi. Aku ceritakan tentang keinginan Bapak agar aku menikahi Bang Irfan. Pulangnya aku minta diantar pakai sepeda motor. Tak mau Ibu malah jadi kepikiran, kalau sepeda motorku dititip di sini. Akhirnya dia pun mau walau awalnya berdebat dulu. “Oh jadi orang tua kamu memang menginginkan agar kamu nikah sama yang namanya Irfan itu?” tanya Bang Zayd, suaranya rebutan dengan angin malam yang berhembus. Kami sama-sama tak pakaia helm. Ini sudah malam, gak ada polisi lagi yang jaga, jadi aman. Walau kata orang, helm bisa melindungi kepala, tapi ya gimana, ya? Kadang kupakai hanya buat melindungi diri dari Pak Polisi yang jaga. “Ya gitulah … bagi Bapak, nama baik keluarga
Kami pun melaju menuju kediaman Bapak. Meskipun sebetulnya malas bertemu dengan Mbak Merina dan Mamam Renita, tapi ini tetap harus terjadi. Aku harus memperkenalkan Bang Zayd pada Bapak sebagai calon suami, biar Bang Irfan tereliminasi. Bismillah ….Akhirnya kami pun tiba. Hanya saja, kenapa rumah ini terlihat sepi. Pagarnya sajanya g terbuka lebar, tapi tak terlihat ada orang. “Bang, tunggu sini dulu aja, ya! Kok kek gada orang!” “Ok.”Aku pun turun dan berjalan menuju rumah tapak dua lantai yang ukurannya cukup besar itu. Rumah dengan gerbang besi warna hitam ini bisa kumasuki tanpa permisi, tapi kenapa kondisinya terlihat sepi. “Assalamu’alaikum!” Hening, tak ada yang menjawab. “Assalamu’alaikum!” Aku mengulang. “Wa’alaikumsalam!” Samar, suara terdengar dari dalam. Hanya saja sedikit tak jelas juga. Aku kenal siapa pemilik suara itu. Betul saja, tak berapa lama muncul Mama Renita. Wajahnya tampak dipenuhi baluran masker, putih seperti topeng. Pantas saja tadi kudengar suara
Pov MerinaAku sedikit terkejut ketika memasuki pekarangan rumah melihat mobil yang tadi berpapasan. Apalagi aku pun melihat sepeda motor inventaris klinik yang terparkir di depan. Apakah mungkin pemilik mobil mewah itu adalah teman Papa? Hanya saja rasa terkejutku bertambah ketika melihat siapa saja yang ada di teras. Meskipun aku datang dari arah belakangnya. Aku kenal betul, perempuan itu adalah Asyfa. Di sampingnya tampak lali-laki yang kelihatannya masih muda. Gak mungkin kan kalau Asyfa yang datang ke sini naik mobil mahal itu? Ketika Reza menghentikan mobilnya, akhirnya kami turun. Aku melihat Ibu dan Bapak tampak tengah bergantian bicara pada Asyfa. Feelingku adalah gadis absurd itu sedang bikin ulah lagi, entah apa. Bisa jadi tengah menolak dijodohkan dengan Bang Irfan karena harga diri. Aku menggandeng lengan Reza dengan mesra. Berharap Asyfa akan terluka melihat lelaki yang dulu mengejarnya kini takluk dalam pelukanku. “Syfa, Mbak ke rumah kamu tadi sama Reza. Kami mau
Kali ini bukan hanya wajah Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina yang terkejut. Aku juga sama. Apa tadi Reza bilang, Bang Zayd anaknya Pak Lingga Bardion pemilik PMM itu? Apa aku gak salah dengar? Atau ada Lingga Bardion yang lain? Aku masih shock ketika mendengar fakta ini. Tiba-tiba diriku terasa menjadi kerdil. Terbayang juga pertemuan pertama kami yang tak menyenangkan. Lalu pertemuan kedua yang kembali bermasalah. Namun siapa sangka, pada pertemuan-pertemuan selanjutnya justru banyak hal yang tak terduga. Tiba-tiba saja kami terjebak pada situasi seperti saat ini. Sulit dipercaya. Sampai akhir obrolan Bang Zayd dengan Bapak, aku lebih banyak diam. Bahkan sampai Mbak Merina beranjak tanpa permisi, lalu kami pamitan pulang. Ruhku seperti belum kembali pada badan. Kami berjalan meninggalkan teras rumah Bapak. Aku sibuk menepuk-nepuk pipi, lalu mencubitnya. Bang Zayd masih mengobrol dengan Reza. Mereka banyak hal yang dibahas, tapi aku tak fokus. Entah ngobrolin apa. “Awww!” Aku mer
“Syfa, please! Abang akan menjadikan kamu ratu dalam rumah tangga kita nanti.” Dia melipat tangan di depan dada. “Ahm, Irfan! Berhenti menggoda calon istri orang!” Suara itu. Aku bahkan seperti tadi tak fokus jika ada mobil yang berhenti. Bang Zayd sudah berdiri dengan kemeja lengan panjang warna navy, senada dengan yang kukenakan. Lengannya digulung dengan dua kancing atas yang dia biarkan terlepas. Tubuh tegapnya tampak gagah dengan setelan kemeja yang dipadu padankan dengan celana jeans kekinian. Jujur itu sangat membuatnya makin terlihat seksi. Duh, otak! Kenapa malah traveling lagi, sih? “Lo lagi. Kenapa lo selalu mengganggu rencana gue, hah?” Bang Irfan menoleh dan menatap tajam pada Bang Zayd. Aku cukup surprise. Bang Irfan berani banget ngomong lo gue sama Bang Zayd. Apa dia gak tahu kalau Bang Zayd ini pemilik minimarket Mama Mart tempat kami kerja? “Kalem, Pak Irfan. Saya tak suka mencari masalah. Namun, Anda harus hati-hati kalau sudah mulai membuat masalah dengan saya
Pov Ayu (Ibunda Zayd) “Mi, kamu yakin, kali ini Zayd beneran bawa calon mantu kita?”Papi Dion menatapku. “Entahlah … sepulangnya dari Singapura kemarin, belum sekalipun dia mengenalkan sosok perempuan. Tiba-tiba dia mengaku sudah punya calon, sedikit excited sih, Pi.” “Apa dia kembali sama perempuan yang waktu itu, Mi?”“Yang mana?” “Waktu Zayd mau lanjutin S2, mereka kan sempat renggang. Nah kelanjutannya seperti apa?” “Oh Karina? Entah, hanya saja malam itu waktu Mami telepon kalau gadis yang cv taarufnya nyasar itu gak jadi datang, terus ‘kan Mami bilang ke Zayd, kalau Mami akan pilihkan Arlia untuk jadi istrinya. Eh dia langsung bilang katanya, dia sudah ada calon. Aneh, sih. Masa iya bisa mendadak gitu.” “Hmmm … sudah tahu Zayd gak suka Arlia, Mi! Masih saja. Jangan-jangan dia bawa perempuan kali ini gara-gara menghindari paksaan Mami pada Arlia saja. Tahu sendiri ‘kan mereka temenan sejak kecil, mungkin Zayd sudah nganggap saudara. Ya, walaupun Papi tahu, Mami sangat suka
Bu Ayu, Ainina dan Caca melambaikan tangan ketika aku baru saja masuk ke dalam mobil milik Bang Zayd. Tanganku terasa dingin. Di dalam tadi, jujur aku sangat gugup sekali. Untung saja gak pingsan. “Bang, nyari yang anget-anget dulu, ya!” tukasku sambil bersandar pada jok mobil. Pakai baju gamis kayak gini, berasa jadi ustazah.“Apaan?” Pelukan. Ingin kujawab kayak gitu. Namun kuurungkan. Nanti Bang Zayd minta nambah, bahaya. “Bakso, wedangan, mie ayam, soto ….”“Mau dimakan semua itu?” “Ck, milih maksudnya. Satu saja.” “Laper, ya?” “Sedikit, sih. Cuma mau ngangetin ini aja, dingin banget!” Plak!Aku menangkupkan satu tangan ke pipinya. Dia terkejut sampai menjauhkan tubuhnya dan beristighfar. “Abang pikir, aku setan. Sampe diistighfarin!” “Dingin banget, Fa.” “Ya, makanya ngajak nyari yang anget. Untung masih bisa pulang. Coba pas tadi keburu jadi es batu. Abang susah bawa pulangnya.” “Ngarang!” “Emang!” “Yang bayar siapa?” “Dih, cowok kok nanya gitu. Abang lah.” “Oke.”