“Oke, Pak! Jam lima sore saja, ya, Pak. Saya kerja pulangnya jam dua. Besok bisa?” Lidah ini mendadak lancar jaya. “Boleh, Mbak. Oke sampai nanti.” Panggilan pun ditutupnya. Ya Tuhaaan … lancarkan perjuanganku membawa duda untuk Ibu. Usai menyelesaikan panggilan dengan Pak Hakim. Aku segera mengirimi pesan pada Rita. [Ta, besok ke PMM, yuk!] PMM itu singkatan Plaza Meridian Mall [Wah traktir?] Balasan Rita membuat aku berpikir beberapa saat. Uangku saja sedang terancam akibat laptop mahal Pak Hakim yang ketumpahan air. [Cilok.] Balasku. Dari pada Rita gak mau. Aku traktir cilok saja ‘kan dapet lima ribu. Cilok yang biasa mangkal di sekolah SD kami dulu. [Dih!] Balasan kuterima dengan gambar mata mendelik.[Ya sudah, gak jadi traktir kalau gak mau.] Aku membalas cepat. [Iya, deh, oke.] Aku tahu, Rita itu tak serius tadi. Bagaimanapun dia adalah sahabat yang paling baik. Aku bergegas pulang setelah memastikan Rita bersedia mengantar. Segera kulajukan sepeda motorku dengan kecep
Oh, jadi dia itu pemilik mall. Serasi sekali kulihat. Meski sudah paruh baya, tapi waktu mudanya pasti ganteng dan cantik. Yang laki-laki itu pasti ganteng kayak … hmmm … Abang Mart, eh Abang Zayd. “Jadi gimana? Mau membicarakan perihal apa ya, Syfa?” Suara Pak Hakim membuyarkan pikiranku. Jujur, aku masih memikirkan dua orang itu. Sebenernya mau membicarakan soal status Bapak, tapi … itu hanya aku bisa ucapkan dalam hati. “I--Itu, Pak. Terkait laptop yang terkena air itu. Saya mohon maaf banget. Saya beneran gak sengaja.” Akhirnya itulah kalimat yang keluar dari mulutku. “Oh itu, iya saya paham, kok. Jangan khawatir.” “Kata Bang Mart, eh Zayd, itu harganya lima belas jutaan ya, Pak? Boleh saya minta keringanan buat mencicilnya?” tanyaku dengan memasang wajah memelas. Bukan pura-pura sedih, tapi memang beneran sedih. “Cicil?” Pak Hakim menautkan alisnya. “Iy--Iya, Pak. Kalau rusak terus seharga segitu, saya tak ada uang, Pak. Saya cuma pegawai minimarket, Pak. Gajinya UMR. Buat
Hari ini putaran jam yang terpampang pada dinding minimarket berjalan lambat. Berulang kali aku meliriknya. Ingin sekali waktu berputar lebih cepat. Namun, tetap saja putarannya tak berkurang. Tetap enam puluh detik dalam satu menit dan enam puluh menit dalam satu jam. “Syfa, Syfa! Kamu pikir itu jam kalau terus-terusan diplototin bisa jadi dollar?” Mario yang sejak tadi ngedumel hanya mendapat lemparan ballpoint dariku. Berisik sekali sejak pagi. Di tengah kerusuhan Mario, tiba-tiba satu buah mobil yang aku kenal berhenti. Aku tahu pemilik mobilnya. Dia pasti Reza. Ah, apakah karena pesannya gak aku balas sejak malam. Tubuh jangkungnya keluar dari mobil. Gaya coolnya masih jadi andalan. Dia memasukkan kedua ujung tangannya pada saku hoodie dan berjalan masuk ke minimarket. “Selamat datang di Mama Mart, Kakak! Silakan belanja!” tukasku sambil tersenyum dan mengangguk. Bersikap professional seperti biasa. “Terima kasih, Adek!” tukas Reza sambil tersenyum mendekat. Aku memutar bola
Aku baru hendak menyahut ketika Bang Zayd sudah ada di hadapan Ibu. Dia pun mencium punggung tangan Ibu dengan khidmat. “Ini anak kamu, Mas?” tanya Ibu pada Pak Hakim. “Ahm … ini ….” Pak Hakim tampak berpikir, tapi Bang Zayd menyahut dengan cepat. “Saya keponakannya, Bu!” tukasnya seraya mengangguk sopan. “Oh, jadi dia keponakannya, ya?” batinku. Aku hanya manggut-manggut saja. Pantas saja sampai-sampai laptop Pak Hakim ada di Bang Zayd. Rupanya mereka sodara. “Wah, ternyata dunia emang sempit, ya, Mas?” Ibu tersenyum dan mempersilakan Pak Hakim dan Bang Zayd masuk. “Iya, Nur. Saya juga gak nyangka bisa bertemu lagi di sini. Ahm, si Pak Dokter marah gak nih saya ke sini?” kekeh Pak Hakim sambil mengikuti Ibu masuk. “Dokter apa lah, Mas? Kami sudah pisah lama.” Ibu bicara sambil mempersilakan Pak Hakim dan Bang Zayd duduk.“Loh, pisah? Sejak kapan?” Pak Hakim tampak terkejut.“Lupa tepatnya kapan, tapi lama banget. Sudahlah, gak usah bahas dia lagi.” Ibu beranjak ke dapur. Aku
“Biarin Ibu berdua dengan Pak Hakim. Jangan ganggu dulu.” Aku bicara padanya dengan ekspresi datar. Tak mau terlihat kalau aku terkesima dengan wajahnya yang hmmm, kuakui memang tampan. Berkali-kali lipat jauh di atas Bang Irfan malah. “Kenapa?” tanyanya dengan kedua alis saling bertaut. Aku mengusap wajah. Namun baru saja hendak menjelaskan, sorot lampu mobil membuat perhatianku teralihkan. Seketika senyum pada bibirku mengembang. Tuhan sedang baik padaku hari ini. Mobil yang sangat kukenal menepi. Tak berapa lama, laki-laki paruh baya yang bergelar dokter itu turun. Kaca matanya yang membuatnya terlihat gagah bertengger pada hidung mancungnya. Tak kupungkiri, Bapak memang tampan. Karena itu juga tak bisa kusalahkan jika Ibu masih saja gagal move on. “Ibu kamu ada, Fa?” tanya Pak Dokter Restu Handika alias Bapak. “Ya, di dalam! Hanya saja sedang ada tamu.” “Tamu? Tumben.” Alis Bapak saling bertaut, keningnya berkerut. Namun, tak banyak tanya lagi. Dia langsung beranjak pergi da
Aku kerja seperti biasa. Rita sudah kuusir pulang. Pagi-pagi malah bawa gosip yang tak penting. Aku duduk di balik meja kasir sambil memainkan kartu ATM. Entah kenapa kok rasanya malah tak menentu. Ada yang hilang dari sudut hati ini, meski tak pasti itu apa. Hanya saja, tak ada alasan lagi untuk aku menunggu kedatangannya, Bang Zayd. Eh, pemikiran apa ini? Wake up, Asyfa!“Selamat datang di Mama Mart, Kakak!” Mario menyenggol lenganku yang bengong. Mario tersenyum sambil mengucap selamat datang. Aku menoleh. Eh, rupanya Pak supervisor lagi visit. Mood yang sedang tak baik, bertambah parah akibat kedatangan dia. Mukanya kusut, sorot matanya terlihat lelah. Apa seperti itu kalau akan jadi calon Bapak rumah tangga? Bukannya bahagia ya nunggu hari H?Aku tak menertawakannya, tapi entah kenapa karma memang bisa datang lebih cepat. Padahal aku tak mendoakan yang jelek untuk mereka. Aku lebih fokus doa yang baik-baik buat diriku sendiri. “Syfa, abang mau bicara!” tukasnya sambil mendekat
Pov MerinaSakit, ketika sering melihat Mama menangis karena pengkhianatan Papa. Kurang apa Mama dan keluarganya selama ini mendukung karir Papa? Kata Mama, dulu waktu Papa ingin membuka klinik di tempat ini, kakek dan nenek yang memang punya usaha toko bahan bangunan ternama itu langsung mendukung Papa. Hanya saja apa yang didapat oleh Mama yang sudah rela ditinggalkan bertahun-tahun lamanya dalam kedok membangun karir dan masa depan? Tak lain, hanyalah sebuah pengkhianatan. Aku waktu itu masih kecil, ketika Mama memutuskan untuk tinggal di kampung ini. Kata Mama usiaku baru dua atau tiga tahunan. Tepat setelah Mama mencium pernikahan siri Papa dengan seorang perempuan. Pelakor itu enak-enak memetik hasil jerih payah Mama dan keluarga. Enak-enak menikmati usaha Papa. Hidup di madu, kata Mama banyak pahitnya. Dia pun tak tega menuntut cerai ketika melihat perempuan itu punya balita. Dia melihatku juga, katanya. Aku dan anak dari perempuan itu hanya berbeda sekitar satu tahunan. Bera
Pov IrfanAsyfa, gadis yang membuatku tertarik pada pertemuan pertama. Kala itu, dia merupakan seorang pramuniaga baru di salah satu minimarket yang berada di bawah pengawasanku. Sebagai supervisor, aku memiliki jadwal visit pada beberapa minimarket Mama Mart. Pada saat itu, aku lihat-lihat dia cukup manis. Kami pun ngobrol dan dia adalah orang yang menyenangkan. Bisa kusebut periang, kadang ceplas-ceplos, tapi selalu nyambung ketika diajak mengobrol. Awalnya hanya sebatas senang. Orang tuaku meminta aku menikah dengan anak dari orang terpandang, sedangkan Asyfa atau yang sering kupanggil Syfa, entahlah … orang tuanya aku tak paham. Mungkin dia dari kalangan biasa. Aku pun tak berniat memacarinya. Namun, perlahan rasa nyaman ini mulai tumbuh dan selalu ingin bertemu dengan dia. Kedekatan kami, tak serta merta membuat aturan keluarga berubah. Dia tetap memintaku mencari kalangan dari keluarga yang berada. Setidaknya, tak mempermalukan keluarga. Ayahku, kebetulan sebagai seorang pejab
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar
“Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s
Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l
“Apa? Zayd mau menikahi Karina?” Kali ini Mami Ayu yang terkejut. “Kalau gak salah dengar sih, iya, Mami. Syfa ke sini mau minta pendapat Mami. Baiknya kami gimana?” Mami Ayu tak menjawab pendapat Asyfa, tapi dia langsung menoleh pada Ainina sambil bicara, “Ai, telepon Abang kamu sekarang! Panggil ke sini! Biar semua masalah bisa jelas ujung pangkalnya!” Ainina sigap mengambil ponsel lalu menelpon Zayd. Sementara itu, Tante Harum dan Azriel berpamitan. “Jangan lupa, ya, datang nanti ke pernikahan Arlia, Syfa!” Tante Harum menepuk pundak Asyfa. Dia dan Azriel sudah berdiri untuk berpamitan. “Inysa Allah, Tante!” Asyfa tersenyum dan mengangguk sopan. Dia bukan tipe pendendam. Yang dulu-dulu dan sudah berlalu, ya, sudahlah. “Semoga segera dapat momongan, ya! Doakan juga Arlia agar bisa memiliki keturunan,” tukasnya dengan senyuman getir. Tiba-tiba ada perasaan aneh di hati Asyfa. Entah kenapa, dia merasa bersalah karena dulu tak berempati ketika mendengar jika Arlia akan sulit men
Pov 3Asyfa menatap kartu debit yang dipegangnya. Reza melarangnya membayar. Lelaki itu sudah beranjak setengah jam yang lalu, tapi dirinya masih duduk termenung di saung lesehan itu. Entah kenapa, tiba-tiba Asyfa merasa malas untuk beranjak. Dunianya terasa asing, sunyi dan senyap. Rasa takut sendirian kembali datang. Memori waktu kecil terasingkan berlarian. Gegas dia beranjak pulang. Rupanya di rumah sudah ada Ainina dan Caca yang menunggunya. Kedua gadis itu tampak sumringah ketika kakak iparnya datang. “Mbak habis dari mana, si?” oceh Ainina sambil memeluk Asyfa singkat. Begitupun dengan Caca. “Habis dari rumah Ibu.” Asyfa menjawab datar lalu mengajak dua adik iparnya masuk. “Bang Zayd panik tahu, Mbak. Dia telepon Ibu, katanya Mbak Syfa sudah pulang, telepon si BIbi, belum sampe. Kamilah jadi diutus kemari.”Aku terkekeh, lalu menyuguhkan minuman dari lemari es untuk dua adik iparku, lalu duduk pada sofa dan mengambil satu biji softdrink. “Tumbenan juga sekhawatir itu.” Aku
Pov 3Reza sedikit panik ketika mendengar kabar kecelakaan itu. Kemarin malam tepatnya, tapi dia sedang di Jakarta, masih ada pemotretan. Akhirnya baru pagi tadi dia sempat menjenguk gadis kecil di ruang ICU itu. Ketika dia berkunjung tadi, tampak kondisi gadis kecil itu sudah membaik. Reza pun tak lama di sana, dia gegas beranjak pergi lagi. Reza belum bisa show up tentang hubungan yang sudah dirancang oleh dua keluarga besarnya dengan perempuan pilihan Mama Pinah itu sekarang. Bagiamanapun, Reza belum resmi bercerai. Dia masih menjadi suami sah dari Merina. Pikiran Reza yang semrawut karena perseteruan Merina dan mamanya yang terjadi hampir di setiap detik, membuatnya enggan pulang. Apalagi ketika tiba di rumah, yang ada hanya rumah semrawut, dan pakaian kotor berserakan. Reza yang lelah butuh ketenangan. Dia pun akhirnya mampir dulu ke sebuah rumah makan. Letaknya yang strategis membuat rumah makan tersebut selalu ramai. Namun, ketika Reza hendak mencari tempat duduk ketika tiba-