Dante berdiri dari duduknya.“Jangan kebanyakan mikir, seharusnya Kamu sudah siap menjadi apapun kalau bekerja denganku?” tanya Dante.Tommy secepatnya mengangguk, “apapun perintah Anda akan saya dengarkan.”“Good!” puji Dante karena dia yakin bahwa Victor tak serta merta memberikan Tommy untuk melayaninya kalau pria itu belum mendapat pelatihan.“Ok, sekarang saya mau menemui Jemima.” Lanjutnya.“Baik, kamar yang Anda pesan sudah saya siapkan.” Jelas Tommy.“Apa Anda akan melihat-lihat?” lanjutnya bertanya.Dante mengangguk dan tampak bersiap pergi, namun langkahnya segera terhenti.“Apa yang Kau lakukan?” tanyanya sambil melirik ke arah Tommy.“Mengikuti Anda.” Jawab pria itu.“Jangan, tunggu saja disini.” Perintah Dante.“Ah, apa Anda tahu dimana tempatnya?” tanya Tommy seolah menantang ingin menunjukkan kemampuannya.“Lagipula saya akan bilang kalau saya sekretaris tuan Victor.” Lanjutnya.“Oh,” Dante kehabisan kata-kata dan hanya bisa menghela napas panjang setelahnya.Keduanya k
Jleb!Jemima merasa lidahnya kelu, mulutnya kaku dan pikirannya tersadarkan akan kalimat terakhir yang baru saja keluar dari bibir pria itu.“Apa Kau marah padaku, Julian?” tanya Jemima, yang ditanya hanya mesem-mesem.“Malu?” tanyanya lagi lirih sambil menunjuk dirinya sendiri.“Aku bahkan tak ingat lagi, kapan terakhir kali aku merasa malu.” Lanjutnya dengan suara serak bahkan air matanya mulai meluncur.“Tapi ya, aku sekarang memang malu.”“Ta-tapi Julian… aku lebih takut dengan Ian juga saudara-saudara tiriku.” Katanya dengan sikap merengek.“Menurutmu, apa aku harus berdiam diri dan pasrah akan kemauan mereka yang semena-mena?” tanyanya.“Atau… mencoba peruntungan darimu dengan menyembunyikan rasa malu ku, tapi aku janji akan membayar setiap sen jika ini menyangkut uang, bahkan aku rela membayarmu dengan nyawaku jika menyangkut nyawa.”“Dan ya, aku memang berhutang nyawa padamu.”“Nyawa? apa tidak kelewatan?” tanya Julian, hanya bergumam tapi cukup terdengar.“Ya, karena Kamu tid
Julian berdiam diri sejenak lalu berjalan-jalan sambil menunggu Tommy, sesekali dia melihat jam di tangannya dan sesekali juga dia melihat keluar. Dari sana terlihat ramai, lampu kerlap kerlip bersamaan orang-orang seperti pasangan yang berjalan anggun di atas karpet merah yang terbentang hingga lift yang akan mereka naiki. Julian menatap hingga memperhatikan orang-orang tersebut, dalam sekali tatap saja dia tahu siapa orang-orang tersebut dan akan pergi kemana. “Minggir! menghalangi jalan saja!” seseorang menghardik hingga menabrak bahu kiri Julian. Julian mengelus bahunya yang sakit, dia pikir hal tersebut akan berakhir disana tapi Julian salah karena tiba-tiba pria tadi menghampirinya dan langsung memarahinya. “Dasar sialan! kenapa Kau berdiri disini dan menghalangi jalanku, hah?!” hardik pria tadi. Wajah Julian terlihat bingung, rasanya aneh karena bu
“Owh! keluarga Franklin?” tanya Julian.“Yeah! sekarang Kau tahu? berurusan dengan siapa?” tanya pria yang mengakui dirinya sebagai Eddie Franklin.Julian hanya mengangguk-anggukan kepalanya, “eh. Tapi kenapa adik dari Peter ada di luar sini? sedangkan kakaknya ada di dalam sana? bukannya kakak Anda yang mengadakan pesta ini?” tanyanya.“Ekhem! ya, nanti juga saya akan ke atas.” Jawab Eddie terdengar mengelak dan ada sesuatu hal yang aneh.“Saya hanya ingin menunggu tuan Dante, katanya dia akan datang ke pesta ini.” Lanjutnya.Julian mengangguk-anggukan kepalanya, sepertinya pria bernama Eddie ini sangat menghargai pria bernama Dante, ironisnya pria itu adalah dirinya sendiri, hanya saja orang-orang tersebut tak mengenali wajah aslinya.“Siapa Dante? apa Kau mengenal wajahnya?” tanya Julian benar-benar iseng.Eddie tampak ragu, dari sikapnya yang mudah berubah itu, Julian bisa menebak k
Mendengar pertanyaan itu, Julian hanya bisa mengedikkan bahunya, lalu melengos pergi untuk mencari tempat duduk. Eddie akan segera mengikuti tapi kedua pegawainya mencegahnya.“Tuan, ada urusan yang lebih penting daripada berurusan dengan orang yang tidak penting.” Kata Si Jenius.“Ya, betul Tuan. Sebaiknya kita menunggu kedatangan tuan Dante dan mencari cara bagaimana supaya bisa masuk ke dalam.” Sahut Si Bodyguard.“Wah! tapi saya benar-benar masih emosi dengan ejekan pria itu.” Balas Eddie sambil mengusap keringat di kening juga di lehernya.“Tahan, Tuan. Ingat, Tuan harus tahu dimana kita berada.” Balas Si Jenius.Eddie menghela napas dan menenangkan pikirannya, dia juga akhirnya sadar kalau perkataan Si Jenius ada benarnya juga.“Ayo Tuan, kita duduk.” Ajak Si Bodyguard.Eddie mencari-cari tempat duduk, hanya kursi di depan pria tadi yang terlihat kosong dan beberapa lagi berada di sudut lobby. Mau bagaimana lagi, tempat itu adalah tempat yang strategis untuk melihat kedatangan o
Mendengar pertanyaan itu, Eddie terduduk lemas sambil mengangguk-anggukan kepalanya.Tommy mengangkat telapak tangannya, “tidak perlu merasa malu.” Katanya.Eddie tak berkutik, bagaimana mungkin dia tidak merasa malu? tentu saja rasanya dia ingin sembunyi saat seseorang seperti Tommy Egan saja mengetahui kelemahannya itu, kelemahan dimana dia telah dibuang oleh kedua saudaranya dan tak pernah dianggap.“Maaf, karena berkeliaran di wilayah Anda tanpa memiliki tujuan.” Kata Eddie disertai mimik kecewa.Tommy tersenyum lembut, lalu mengeluarkan satu tangannya yang dari tadi disembunyikannya di belakang.“Ini.” Katanya sambil menyerahkan sebuah undangan berwarna rose gold.Eddie berdiri karena terkejut, lalu melirik ke arah Si Jenius dan Si Bodyguard.“I-i-ini? untukku?” tanya Eddie gemetaran.Tommy mengangguk, “terimalah, dari tuan kami.”“Tuan kami? siapa?”
Julian tampak pasrah dengan perlakuan tersebut, emosinya stabil meskipun tubuhnya didorong-dorong agar menjauh dari tempat itu bagaikan seonggok sampah.“Pergi Kau manusia hina!”Tiba-tiba seseorang datang berseru dan itu suara Victor Flaming.“Lancang! apa yang kalian lakukan?!”“Singkirkan tangan kotormu itu!” Victor tampak murka.Penjaga yang berbuat kasar barusan terlihat bingung, apalagi saat Victor tiba-tiba saja menjauhkan tangannya dari pria yang membawa undangan berwarna gold tadi.“Apa Kalian sudah gila?!” bentak Victor sambil menunjuk semua penjaga, tak ada satupun dari mereka yang luput dari pandangannya.Sebagian tamu yang belum masuk bahkan para penjaga yang mengetahui dia adalah Victor Flaming sangat terkejut saat melihat pria itu marah besar karena membela seseorang.“Ma-maaf Tuan, kami hanya tidak mengijinkannya masuk.” Elak petugas yang bersikap kasar pada Julian tadi.“Memangnya aku tidak memiliki mata? aku melihat apa yang Kau lakukan.” Bentak Victor.“Tuan, kami t
Mendengar itu, Victor, Tommy bahkan Eddie yang kini sedang melihat kejadian itu ikut memandang ke arah orang-orang yang Julian tunjuk. “Habislah mereka.” Gumam Eddie dan Tommy ikut ngangguk-ngangguk. “Katanya siapapun yang berani menyinggung tuan Dante, keluarganya juga bisa lenyap.” Lanjutnya masih berbisik. “Ya, menurut rumor sih begitu. Tapi aku belum yakin,” balas Tommy. “Hump!” gumam Eddie. “Buktinya, Anda dilepaskan begitu saja.” Sambung Tommy membuat Eddie merasa malu sendiri. Keduanya kembali memperhatikan Victor, terdengar Julian kembali berbicara. “Mereka hanya orang-orang rendahan, Victor. Bekerja menjaga pintu untuk menyambut para tamu saja sudah sangat arogan.” “Ah… tapi entah kenapa aku merasa tak kecewa apalagi sakit hati dengan perlakuan mereka. Karena begitulah sifat manusia, hanya saja… tolong Kau perbaiki a
Untung saja ada William yang tiba-tiba saja mau bersekutu dengannya, dia yakin kalau Dante dan Jemima akan segera berpisah. Lalu, apakah rencana keduanya akan berhasil? Beberapa minggu berlalu, pasangan Julian dan Jemima tampak semakin romantis. Keduanya sedang dimabuk cinta, dan Julian berpikir jika saatnya dia akan berencana jujur tentang identitasnya pada Jemima. Malam itu Julian berencana makan malam bersama di restoran hotel tempat mereka tinggal selama ini, dia akan membuat Jemima tak bisa melupakan makan malam romantis tersebut. Julian juga berharap kali ini istrinya itu mau mendengarkan penjelasannya tanpa berpikir salah paham, apalagi masih menertawakannya. Siang harinya sebelum rencana makan malam bersama, dia pergi ke butik bersama Victor. Sahabatnya itu sengaja dipaksa agar mau pergi dengannya, meskipun dia tahu sedang rapat penting. “Dante, mereka datang jauh dari luar negeri. Rasanya…”
William mengangguk tegas, “Tentu saja, apa kau mau membantuku?” tantang William. Sepertinya kesempatan ini tak mau dia abaikan begitu saja, balas dendam pada Dante adalah tujuan hidupnya saat ini. Tapi, apakah Sarah mau membantunya?William masih menunggu jawaban dari wanita yang kini duduk di depannya itu, dan baru saja berkenalan secara akrab di hari itu juga.“Tunggu, sebelum aku menjawabnya… lalu status mereka berdua apa sekarang?” tanya Sarah, penasaran.“Suami istri, tapi sepertinya pernikahan mereka hanya pura-pura dan bisa jadi hanya pernikahan kontrak.”“Apa?! Pernikahan kontrak?” tanya Sarah, hampir saja kedua matanya keluar dari rongganya.William mencoba menahan tawa saat melihat ekspresi kaget yang diperlihatkan Sarah padanya, dia menjaga imej agar tetap terlihat tenang, berwibawa dan dewasa.“Kamu yakin mau merebutnya kembali?” tanya Sarah, dan William menjawab dengan anggukan.
Pria itu menyelesaikan dulu transaksinya, sementara Sarah yang tak terima menahan malu segera pergi dari butik itu sampai-sampai pria yang menolongnya harus mengejarnya.“Sarah Anthony?!”“Tunggu!”Sarah menghentikan langkah kakinya, pria yang membayar belanjaannya tadi ternyata mengenal hingga tahu namanya.“I-i-ini barangmu,” kata pria itu dengan nafas sedikit ngos-ngosan.Sarah tampak tak bergeming, dia masih menatap bingung ke arah pria itu.“Ah, ya. Kenalin namaku William Maxim,” sambungnya sambil mengulurkan tangan dengan terlebih dahulu menyimpan barang-barang milik Sarah.Sarah, yang awalnya bingung dan tak mengenali William, terkejut ketika mengetahui identitas pria itu. William, putra keluarga Maxim, adalah sosok yang berpengaruh dan memiliki koneksi luas. Sarah, yang haus balas dendam, melihat peluang dalam pertemuan ini.“Ah, putra keluarga Maxim? Senang bertem
Mobil yang Egan kendarai akhirnya tiba di sebuah klinik praktek dokter pribadi.“Bukannya kita mau ke rumah sakit?” tanya Julian.Egan terbatuk-batuk, dia ingin bicara tapi tidak berani.“Kenapa? Kau sakit juga?” tanya Julian lagi.Egan memandang ke arah Julian, tatapannya seakan menghakimi.“Apa?” tanya Julian malah menantang.“Aduh__” dia mengaduh karena pinggangnya disikut Jemima.“Sakit tau!”Jemima membalas dengan kedua mata yang melebar, nyalinya mendadak ciut sampai-sampai Egan harus menahan tawa karena melihat ekspresi Julian yang lucu. Dia seperti kebanyakan pria lainnya jika sudah ada pawangnya, tak terlintas jika dia adalah seorang Dante Vascos yang terkenal seperti Singa.“Tuan Julian, ayo turun,” ajak Egan dengan gigi gemerutuk menahan kesal. Kesal karena Julian lupa dirinya siapa.“Ayo nona Jemima, kita periksa di dokter Cross.” Jemima mengangguk, lalu turun dan menuruti apa kata Egan. Lagipula dia merasa tidak enak kalau harus merepotkan dan mengambil banyak waktu Egan
“Aw, kenapa?!” seru Julian karena tiba-tiba saja pinggangnya terasa sakit karena dicubit.“Jangan tidak sopan begitu,” jawab Jemima. "Tuan Victor, nona Sarah. Panggil mereka dengan sopan," sambung Jemima.“Owh,” balas Julian sambil mengangguk-angguk.“Eh tunggu,” sambungnya sambil menatap aneh ke arah Jemima.Jemima membalas dengan isyarat kedua mata.“Ya, maksudku wanita itu sudah mempermalukanmu. Untuk apa kita bersikap sopan, apa kau sudah tidak punya harga diri?” tanya Julian, membuat kedua mata Jemima melebar.Jemima menghela napas. “Julian, ini bukan tentang harga diri. Ini tentang sopan santun. Kita tidak bisa bersikap kasar kepada orang lain, bahkan jika mereka bersikap buruk kepada kita.”“Tapi dia sudah bersikap kasar!” protes Julian. “Dia bahkan mengejekmu!”“Aku tahu,” jawab Jemima dengan tenang.“Dia juga menjambak dan membenturkan kepalamu,” tambah Julian lagi.“Ya, aku tahu. Tapi itu bukan alasan untuk membalasnya dengan kasar. Kita harus menunjukkan bahwa kita lebih b
Jemima terus berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Sarah kuat. Dia merasakan darah mengalir di pelipisnya. "Kau ingin melihatku menghancurkan gadis ini?!" Sarah menatap orang-orang di sekitarnya dengan mata menyala. "Sarah, hentikan!" Beberapa orang mulai kembali berteriak, "Kau harus berhenti!" "Tidak, aku tidak akan berhenti sampai dia meminta maaf!" Jemima terus berjuang. "Lepaskan!" Jemima memohon, "Lepaskan rambutku!" "Kau harus diajari!" Sarah berteriak, matanya menatap tajam ke arah Jemima. Tiba-tiba, seorang pria berbadan tegap dengan muncul dan menarik Sarah dari Jemima. Sarah berusaha melawan, namun pria itu terlalu kuat. "Kau tidak boleh melakukan ini," kata pria itu, suaranya tegas. "Pergi, dan urusan kita belum selesa. Ingat itu!”
Jemima semakin bingung. "Saya tidak pernah merusak gaun Anda! Saya bahkan tidak tahu apa yang Anda bicarakan!" “Kejadian semalam adalah murni kecelakaan,” ungkap Jemima. Berusaha membela diri. Sarah mencibir, "Jangan berpura-pura! Aku tahu kau yang melakukannya! Dan aku tidak akan berhenti sebelum kau mengganti gaunku!" Jemima terdiam, jantungnya berdebar kencang. Dia bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Kejadian semalam seharusnya sudah selesai, hanya antara Sarah, keluarga tunangannya, dan Victor. Tapi Sarah bersikeras bahwa Jemima bersalah. Apa yang harus dilakukan Jemima? Saat Jemima larut dalam lamunan, Sarah tiba-tiba merebut tas miliknya dan menghamburkan isinya ke lantai. Jemima berteriak marah, kesabarannya sudah habis. "Apa anda gila?!" teriaknya. "Kembalikan tasku!" Sarah tertawa sinis sambil merebut kembali tas itu. Suasana semakin ramai, orang-orang mengerumuni mereka, dan seseor
Setiap sudut ruangan kamar hotel itu menjadi saksi bisu betapa menggeloranya hasrat sepasang suami istri itu. Bahkan ketika mereka berdua keluar dari kamar mandi, keduanya masih bertingkah manis dengan saling mengeringkan tubuh, mengeringkan rambut, hingga memakaikan pakaian untuk mereka kenakan hari itu. Kedua sejoli itu berdiri berhadap-hadapan. “Sayang, aku akan ke atas untuk menemui Victor,” kata Julian sambil merapikan poni Jemima. Wajah Jemima tampak cemas. Julian bisa menebak isi kepalanya, wanita itu pasti mencemaskan kejadian semalam. Julian meraih tubuh Jemima, lalu memeluknya penuh kasih sambil mengelus-elus rambutnya. "Kau yakin tidak apa-apa, Julian? Aku khawatir Victor akan..." Jemima terdiam, kalimatnya terhenti sebelum selesai. "Khawatir apa, sayang?" tanya Julian, matanya menatap dalam ke mata Jemima. Jemima menggeleng, "Tidak, tidak apa-apa. Cepatlah, aku akan menunggumu di sini." Julian tersenyum, mencium kening Jemima, lalu beranjak pergi. Jemima menatap pu
Jemima terdiam, matanya masih berkaca-kaca. Lagipula apa kata Julian memanglah benar, dalam kesusahan mereka, sempat-sempatnya dia memikirkan seorang anak?Jemima mengusap air matanya, "Aku bahagia, Julian."Keduanya terdiam sejenak, menikmati kehangatan tubuh dan jiwa mereka yang saling bersatu. Malam itu, di tengah keheningan kamar yang kedap suara, cinta mereka bersemi dengan indah, tetapi di balik keindahan itu, tersembunyi sebuah rahasia yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya. ***Keesokan harinya Julian mendapati Jemima sudah tidak ada di sampingnya, dia melihat sekeliling kamar itu, sayup-sayup terdengar percikan air di kamar mandi. Aroma sabun dan tubuh Jemima tercium samar, mengundang hasratnya.Julian segera bangun, dan berjalan menuju kamar mandi. Saat pintu dibuka, terlihat Jemima sedang mandi di dalam sana, dari luar kaca terlihat samar-samar tubuh polos yang sedang berdiri sambil bermain dengan shower air di atasnya. Rambutnya yang basah menempel di pipi