Cukup sabar Julian menghadapi tatapan hina sopir taksi tersebut, dengan tenang dia mengeluarkan beberapa lembar uang, dia rasa uang itu cukup untuknya pulang ke kota Redapple.Julian menghela napas panjang, untung saja selama pengalamannya hidup di luaran dan jauh dari keluarganya, dia telah belajar sabar yang cukup banyak.“Ini, bukankah ini lima ratus dolar?” tanya Julian sambil menunjukkan uangnya.“Hump! cih!” decih sang sopir seakan masih belum puas mengejek Julian.“Apa kau mencurinya?” lanjutnya.“ … “Julian hanya terdiam dengan banyak pemikiran di dalam kepalanya, bagaimana mungkin ada manusia seperti sopir ini? dia bahkan sudah sabar menghadapi hinaannya, dia minta diperlihatkan uang, sudah Julian keluarkan uangnya, tapi apa yang terjadi? sopir itu masih belum puas terhadapnya, bukankah cukup sudah urusannya mengantar dia ke tempat yang mau ditujunya? tanpa harus banyak bertanya dia dapat u
“Bangun, ayo cepat.” Katanya lagi dan kali ini wanita itulah yang meraih tangan Julian dan menarik tubuh pria itu agar kembali berdiri tegak.“Apa kau mencariku? ada apa?” tanya wanita itu terdengar manis bahkan dia tak malu menepuk-nepuk baju Julian yang terkena kotor serta merapikannya.“Jemi? apa Kamu kerja disini?” tanya Julian karena wanita lemah lembut itu tampak tak asing di matanya.Jemima membalas dengan senyuman dan anggukkan.“Ada apa? kenapa kamu bisa ada di depan Hotel ini?”Julian belum sempat menjawab pertanyaan wanita itu karena seseorang memotong pembicaraan mereka.“Nona Jemima, apa benar ini kenalan Anda?” tanya penjaga Hotel yang menghina dan mengusir Julian tadi.“Ah, iya Pak Hans. Maaf kalau mengganggu ketenangan lingkungan hotel, saya akan segera menyuruhnya pulang.” Jawab Jemima terdengar tak enak hati.“Oh ya? sejak kapan Nona kenal orang begini?” tanya penjaga yang diketahui bernama Hans Johnson itu.Apa katanya? sejak kapan Hotel ini merekrut orang-orang ber
Jemima mengerutkan dahinya, dari cara Julian membalas semua pernyataannya dia terkesan tahu sesuatu. Tapi rasanya tidak mungkin mengingat latar belakang Julian yang ditemuinya berasal dari jalanan, meskipun Jemima penasaran tentang kehidupan Julian dimasa lalu, tapi wanita itu memilih tak peduli dan menjalani hari-hari dengan tenang bersama pria misterius itu.“Ayo pulanglah, kamu tidak akan mendapat pekerjaan di Hotel ini.” Kata Jemima membuyarkan keheningan.Julian tampak manggut-manggut, raut wajahnya terlihat muram.“Berarti… aku tidak bisa masuk kesini, meskipun hanya melamar sebagai Security atau Housekeeping?”Kedua mata Jemima sampai membelalak saat mendengar pertanyaan dari Julian barusan.“Ayolah, jangan harap. Minimal lulus sarjana dan pernah bekerja minimal satu tahun di Hotel lain.” Jawab wanita itu.Julian tampak kembali manggut-manggut, “sebaiknya kamu pulang dulu.” Sambung Jemima.
“Oh, apa kamu tidak menyukainya? bagaimana dengan presidential suit?”Jemima tampak tak bergeming mendengar pertanyaan konyol itu.“Wah! haha… kalau itu… kita harus menyesuaikan jadwal, apa kau mau di kamar tersebut?”Pertanyaan yang terlontar dari mulut Diego yang tak tahu malu itu membuat Jemima seketika merasa emosi, bagaimana mungkin seorang Asisten Manager berbicara demikian pada pegawai magangnya?“Ayolah… Jemima, jangan sok jual mahal. Kalau kamu mau tidur denganku, mungkin… aku bisa menjadikanmu pegawai tetap.” Kata Diego sambil berbisik di telinga Jemima.“Cukup, Tuan Diego. Seharusnya Anda tidak berbicara begini padaku, atau aku__”“Atau apa, nona Jemima?” potong Diego, menantang.“Melaporkan Ku?”“Kemana dan siapa yang peduli.”Jemima terdiam dengan kedua mata memerah, lagi-lagi dia merasa tak berdaya untuk membalas pria-pria seperti Diego ini.
Jemima berpikir demikian karena ada dalam beberapa artikel yang menceritakan tentang privasi Victor Flaming yang tak pernah berkencan dengan wanita manapun dan selalu terlihat hanya dengan beberapa pria, entah saat berpesta maupun saat liburan, diketahui pria terkenal itu bahkan belum pernah menikah di usianya yang sudah matang. Banyak dugaan-dugaan jika pria tersebut memiliki oriental seksual yang menyimpang, alias tidak menyukai wanita.Tok! tok! suara ketukan di meja, membuyarkan isi lamunan di kepala Jemima.“Hey! Nona?” tanya Victor lagi.“Ah, maaf Tuan.” Balas Jemima sedikit terkesiap.“Sudah lama berteman? dengan orang tadi?” tanya Victor lagi.Jemima tampak menggeleng ragu, “baru beberapa hari.” Jawabnya.“Oh, siapa namanya kalau saya boleh tahu?” tanya Victor tampak tertarik.“Tentu saja, namanya Julian.” Jawab Jemima masih bersikap jujur.Victor tampak manggut-manggut, “Julian.” katanya lirih sambil senyum-senyum membuat Jemima semakin curiga.“Dimana dia tinggal, apa saya b
Jemima masih berusaha mencari celah untuk kabur karena tak mau berurusan dengan Ian lagi, namun tampaknya pria itu sangat teguh serta bersungguh-sungguh.“Tolonglah.”“Hanya kita berdua.” Lanjut Ian memastikan.Terdengar suara klakson mobil lain hingga beberapa kali dan membuat keributan, kelihatannya mereka sangat kesal karena jalannya terhalangi oleh mobil yang Ian kendarai.“Masuklah, cepat!” seru Ian.Jemima akhirnya mengalah setelah dia melihat keadaan sekitar.“Kita bicara di Cafe Vascos.” Jawab Jemima sambil membalikan badannya dan kembali kelingkungan Hotel.“Shit!” seru Ian sambil memukul stir mobilnya, meskipun pada akhirnya pria itu berbelok arah mengikuti kemana Jemima pergi.“Tunggu Jemi.” Panggil Ian setelah dia buru-buru keluar dari mobil, dia bahkan tak peduli saat petugas Hotel menyuruhnya parkir di dalam basement.“Pak, saya ada urusan sebentar. Tolong izinkan mobil ini parkir disini, lima menit.” Pinta Jemima pada petugas Hotel yang memang sudah dikenalnya, petugas
Jemima tampak sedang menunggu jawaban dari Julian dengan tatapan penuh harap.“Mau ya, ikut ke tempat kerjaku?” pinta wanita itu terlihat merajuk.“Apa ada lowongan kerja untukku?” tanya Julian ragu-ragu.“Hump!”Julian menatap curiga.“Ayolah, sungguh, tapi….” Balas Jemima tampak sulit menjelaskannya karena sudah pasti pria itu akan menolaknya.“Tapi? tapi apa?”“ADA SESEORANG YANG MENYUKAIMU, TAMPAKNYA DIA NAKSIR KAMU.” Jawab Jemima sambil menutupi wajahnya setelah selesai bicara dengan cepat, dia sungguh sangat malu.(...)Mata Julian sampai melebar, wanita gila? apa dia mau menjualku? batinnya bertanya.(...)“Baiklah, siapa?” tanya Julian setelah hening beberapa lam dan Jemima sudah kembali mengangkat wajah juga menatapnya.“Victor.”“Hah!”“Apa Kau mengenalnya?” tanya Jemima.Julian buru-buru menggeleng.“Terus kenapa terkejut begitu?” tanya Jemima lagi.“Ah, aku kira nama itu nama seorang pria, bagaimana aku tidak terkejut? haruskah aku bersikap biasa saja?” balas Julian.“Halo
Jemima berekspresi keheranan, tak percaya dengan apa yang didengarnya.“Maaf, Kamu semakin repot.” Kata Julian.“Tidak sama sekali.” Balas Jemima bahkan tak terlihat keberatan.“Ya sudah nanti aku beli, aku keluar sebentar.” Sambungnya sambil bersiap-siap.Julian bingung karena tadinya dia berpikir bahwa mereka sudah menyetujui ide gila tersebut, menyepakatinya bersekongkol, maka semuanya selesai, jadi Jemima tak perlu keluar malam-malam begini lagi.“Sudah malam Jemima, kita makan yang ada di ruangan sempit ini saja.”“Ah, maksudku rumah indah ini.” Ralat Julian setelah tak sengaja keceplosan.“Tidak, aku keluar bukan hanya untuk membeli makan__”“Lalu?” potong Julian.“Cari baju untuk Kamu besok.” Balas Jemima tersipu.Julian mangap, akhirnya dia paham.“Besok saja kita lakukan.” Pintanya.“Aku yakin Victor akan men
Untung saja ada William yang tiba-tiba saja mau bersekutu dengannya, dia yakin kalau Dante dan Jemima akan segera berpisah. Lalu, apakah rencana keduanya akan berhasil? Beberapa minggu berlalu, pasangan Julian dan Jemima tampak semakin romantis. Keduanya sedang dimabuk cinta, dan Julian berpikir jika saatnya dia akan berencana jujur tentang identitasnya pada Jemima. Malam itu Julian berencana makan malam bersama di restoran hotel tempat mereka tinggal selama ini, dia akan membuat Jemima tak bisa melupakan makan malam romantis tersebut. Julian juga berharap kali ini istrinya itu mau mendengarkan penjelasannya tanpa berpikir salah paham, apalagi masih menertawakannya. Siang harinya sebelum rencana makan malam bersama, dia pergi ke butik bersama Victor. Sahabatnya itu sengaja dipaksa agar mau pergi dengannya, meskipun dia tahu sedang rapat penting. “Dante, mereka datang jauh dari luar negeri. Rasanya…”
William mengangguk tegas, “Tentu saja, apa kau mau membantuku?” tantang William. Sepertinya kesempatan ini tak mau dia abaikan begitu saja, balas dendam pada Dante adalah tujuan hidupnya saat ini. Tapi, apakah Sarah mau membantunya?William masih menunggu jawaban dari wanita yang kini duduk di depannya itu, dan baru saja berkenalan secara akrab di hari itu juga.“Tunggu, sebelum aku menjawabnya… lalu status mereka berdua apa sekarang?” tanya Sarah, penasaran.“Suami istri, tapi sepertinya pernikahan mereka hanya pura-pura dan bisa jadi hanya pernikahan kontrak.”“Apa?! Pernikahan kontrak?” tanya Sarah, hampir saja kedua matanya keluar dari rongganya.William mencoba menahan tawa saat melihat ekspresi kaget yang diperlihatkan Sarah padanya, dia menjaga imej agar tetap terlihat tenang, berwibawa dan dewasa.“Kamu yakin mau merebutnya kembali?” tanya Sarah, dan William menjawab dengan anggukan.
Pria itu menyelesaikan dulu transaksinya, sementara Sarah yang tak terima menahan malu segera pergi dari butik itu sampai-sampai pria yang menolongnya harus mengejarnya.“Sarah Anthony?!”“Tunggu!”Sarah menghentikan langkah kakinya, pria yang membayar belanjaannya tadi ternyata mengenal hingga tahu namanya.“I-i-ini barangmu,” kata pria itu dengan nafas sedikit ngos-ngosan.Sarah tampak tak bergeming, dia masih menatap bingung ke arah pria itu.“Ah, ya. Kenalin namaku William Maxim,” sambungnya sambil mengulurkan tangan dengan terlebih dahulu menyimpan barang-barang milik Sarah.Sarah, yang awalnya bingung dan tak mengenali William, terkejut ketika mengetahui identitas pria itu. William, putra keluarga Maxim, adalah sosok yang berpengaruh dan memiliki koneksi luas. Sarah, yang haus balas dendam, melihat peluang dalam pertemuan ini.“Ah, putra keluarga Maxim? Senang bertem
Mobil yang Egan kendarai akhirnya tiba di sebuah klinik praktek dokter pribadi.“Bukannya kita mau ke rumah sakit?” tanya Julian.Egan terbatuk-batuk, dia ingin bicara tapi tidak berani.“Kenapa? Kau sakit juga?” tanya Julian lagi.Egan memandang ke arah Julian, tatapannya seakan menghakimi.“Apa?” tanya Julian malah menantang.“Aduh__” dia mengaduh karena pinggangnya disikut Jemima.“Sakit tau!”Jemima membalas dengan kedua mata yang melebar, nyalinya mendadak ciut sampai-sampai Egan harus menahan tawa karena melihat ekspresi Julian yang lucu. Dia seperti kebanyakan pria lainnya jika sudah ada pawangnya, tak terlintas jika dia adalah seorang Dante Vascos yang terkenal seperti Singa.“Tuan Julian, ayo turun,” ajak Egan dengan gigi gemerutuk menahan kesal. Kesal karena Julian lupa dirinya siapa.“Ayo nona Jemima, kita periksa di dokter Cross.” Jemima mengangguk, lalu turun dan menuruti apa kata Egan. Lagipula dia merasa tidak enak kalau harus merepotkan dan mengambil banyak waktu Egan
“Aw, kenapa?!” seru Julian karena tiba-tiba saja pinggangnya terasa sakit karena dicubit.“Jangan tidak sopan begitu,” jawab Jemima. "Tuan Victor, nona Sarah. Panggil mereka dengan sopan," sambung Jemima.“Owh,” balas Julian sambil mengangguk-angguk.“Eh tunggu,” sambungnya sambil menatap aneh ke arah Jemima.Jemima membalas dengan isyarat kedua mata.“Ya, maksudku wanita itu sudah mempermalukanmu. Untuk apa kita bersikap sopan, apa kau sudah tidak punya harga diri?” tanya Julian, membuat kedua mata Jemima melebar.Jemima menghela napas. “Julian, ini bukan tentang harga diri. Ini tentang sopan santun. Kita tidak bisa bersikap kasar kepada orang lain, bahkan jika mereka bersikap buruk kepada kita.”“Tapi dia sudah bersikap kasar!” protes Julian. “Dia bahkan mengejekmu!”“Aku tahu,” jawab Jemima dengan tenang.“Dia juga menjambak dan membenturkan kepalamu,” tambah Julian lagi.“Ya, aku tahu. Tapi itu bukan alasan untuk membalasnya dengan kasar. Kita harus menunjukkan bahwa kita lebih b
Jemima terus berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Sarah kuat. Dia merasakan darah mengalir di pelipisnya. "Kau ingin melihatku menghancurkan gadis ini?!" Sarah menatap orang-orang di sekitarnya dengan mata menyala. "Sarah, hentikan!" Beberapa orang mulai kembali berteriak, "Kau harus berhenti!" "Tidak, aku tidak akan berhenti sampai dia meminta maaf!" Jemima terus berjuang. "Lepaskan!" Jemima memohon, "Lepaskan rambutku!" "Kau harus diajari!" Sarah berteriak, matanya menatap tajam ke arah Jemima. Tiba-tiba, seorang pria berbadan tegap dengan muncul dan menarik Sarah dari Jemima. Sarah berusaha melawan, namun pria itu terlalu kuat. "Kau tidak boleh melakukan ini," kata pria itu, suaranya tegas. "Pergi, dan urusan kita belum selesa. Ingat itu!”
Jemima semakin bingung. "Saya tidak pernah merusak gaun Anda! Saya bahkan tidak tahu apa yang Anda bicarakan!" “Kejadian semalam adalah murni kecelakaan,” ungkap Jemima. Berusaha membela diri. Sarah mencibir, "Jangan berpura-pura! Aku tahu kau yang melakukannya! Dan aku tidak akan berhenti sebelum kau mengganti gaunku!" Jemima terdiam, jantungnya berdebar kencang. Dia bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Kejadian semalam seharusnya sudah selesai, hanya antara Sarah, keluarga tunangannya, dan Victor. Tapi Sarah bersikeras bahwa Jemima bersalah. Apa yang harus dilakukan Jemima? Saat Jemima larut dalam lamunan, Sarah tiba-tiba merebut tas miliknya dan menghamburkan isinya ke lantai. Jemima berteriak marah, kesabarannya sudah habis. "Apa anda gila?!" teriaknya. "Kembalikan tasku!" Sarah tertawa sinis sambil merebut kembali tas itu. Suasana semakin ramai, orang-orang mengerumuni mereka, dan seseor
Setiap sudut ruangan kamar hotel itu menjadi saksi bisu betapa menggeloranya hasrat sepasang suami istri itu. Bahkan ketika mereka berdua keluar dari kamar mandi, keduanya masih bertingkah manis dengan saling mengeringkan tubuh, mengeringkan rambut, hingga memakaikan pakaian untuk mereka kenakan hari itu. Kedua sejoli itu berdiri berhadap-hadapan. “Sayang, aku akan ke atas untuk menemui Victor,” kata Julian sambil merapikan poni Jemima. Wajah Jemima tampak cemas. Julian bisa menebak isi kepalanya, wanita itu pasti mencemaskan kejadian semalam. Julian meraih tubuh Jemima, lalu memeluknya penuh kasih sambil mengelus-elus rambutnya. "Kau yakin tidak apa-apa, Julian? Aku khawatir Victor akan..." Jemima terdiam, kalimatnya terhenti sebelum selesai. "Khawatir apa, sayang?" tanya Julian, matanya menatap dalam ke mata Jemima. Jemima menggeleng, "Tidak, tidak apa-apa. Cepatlah, aku akan menunggumu di sini." Julian tersenyum, mencium kening Jemima, lalu beranjak pergi. Jemima menatap pu
Jemima terdiam, matanya masih berkaca-kaca. Lagipula apa kata Julian memanglah benar, dalam kesusahan mereka, sempat-sempatnya dia memikirkan seorang anak?Jemima mengusap air matanya, "Aku bahagia, Julian."Keduanya terdiam sejenak, menikmati kehangatan tubuh dan jiwa mereka yang saling bersatu. Malam itu, di tengah keheningan kamar yang kedap suara, cinta mereka bersemi dengan indah, tetapi di balik keindahan itu, tersembunyi sebuah rahasia yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya. ***Keesokan harinya Julian mendapati Jemima sudah tidak ada di sampingnya, dia melihat sekeliling kamar itu, sayup-sayup terdengar percikan air di kamar mandi. Aroma sabun dan tubuh Jemima tercium samar, mengundang hasratnya.Julian segera bangun, dan berjalan menuju kamar mandi. Saat pintu dibuka, terlihat Jemima sedang mandi di dalam sana, dari luar kaca terlihat samar-samar tubuh polos yang sedang berdiri sambil bermain dengan shower air di atasnya. Rambutnya yang basah menempel di pipi