Aku terduduk lemas di lantai teras, tak menyangka Bapak setega itu. Dulu sebelum aku bekerja, Bapak sering memarahiku tanpa alasan yang jelas. Setiap hari aku dipaksa mengalah dengan Ela, seolah dia tak sayang padaku. Setelah aku bekerja dan rutin mengirim uang, Bapak menjadi baik. Dia sangat perhatian padaku bahkan sering sekali menelepon sekedar menanyakan kabar. Semula aku pikir Bapak sudah berubah, tapi nyatanya dia hanya butuh uangku saja!“Kamu kenapa, Ve? Kok lesu begitu?” tanya Ibu yang entah sejak kapan berdiri tak jauh dariku. Lesu, aku menengadahkan wajah, menatap perempuan yang telah melahirkanku. “Motorku dijual Bapak, Bu!” “Kamu serius?” Ibu menatap penuh selidik seolah meragukan omonganku.“Tanya saja sama Bapak,” jawabku. Ibu berbalik masuk ke rumah sementara aku mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang terselempang di pundak. Mencari kontak dengan nama Linda lalu segera menghubungi dan memintanya menjemputku ke rumah. Tak berselang lama, Ibu kembali datang, lalu i
“Kita ke mana, Ve?” tanya Farhan saat kami sedang di perjalanan. “Ke rumah kamu saja, Mas! Aku mau ketemu sama Linda,” jawabku. “Linda lagi pergi, Ve,” terang Farhan. “Ya sudah terserah Mas saja, yang penting pergi dari rumah,” jawabku. Aku memejam sejenak sambil memijit pelipis. Kepala rasanya mau pecah memikirkan keluargaku yang kacau. Setiap orang yang waras pasti ingin keluarganya damai tidak terkecuali dengan aku. “Kamu kok kayak stres gitu, Ve? Apa Bapakmu minta uang lagi?” tanya Mas Farhan. “Mending kalau minta, aku masih bisa menolak. Ini motorku yang dijual buat resepsi Ela. Apa enggak kebangetan?” keluhku. Sebenarnya tak enak hati menceritakan aib keluarga pada Mas Farhan, tapi mau bagaimana lagi? Sekarang aku butuh teman curhat untuk mengurangi beban pikiran. “Ambil hikmah saja, Ve!” ujar Mas Farhan. Aku mengalihkan pandangan, menatap sekilas pada Farhan lalu kembali menatap lurus ke depan. “Hikmah apa, Mas? Yang ada aku yang harus mengalah terus!” “Semua yang ter
Belum satu menit meluruskan punggung, Ibu sudah berteriak memanggil sembari menggedor-gedor pintu kamar. “Iya, Bu!” sahutku dari dalam kamar. “Keluar sebentar, Bapak mau bicara,” pekik Ibu. “Nanti saja, Bu! Capek!” tolakku. Seharian habis jalan sama Farhan, penat tak lagi terelakkan. Lagian, bentar lagi juga mau magrib. Kan bisa bicaranya nanti saja. “Bapak minta sekarang, penting katanya!” ucap Ibu. “Iya,” jawabku menahan kesal. Sepenting apa sih sampai senja begini Bapak mau bicara? Dengan malas aku bangkit, berdiri lalu beranjak membuka pintu. Ibu masih berdiri mematung menungguku. “Ada apa sih, Bu?” gerutuku. “Duduk dulu, Bapak mau bicara,” ucap Ibu. Aku menurut. Berjalan ke arah Bapak yang tengah duduk di lantai ruang keluarga lalu meletakkan bobot berhadapan dengannya. Pun dengan Ibu, dia duduk di sebelah Bapak. “Bicara penting apa sih, Pak?” tanyaku memasang wajah masam. Kejadian tadi pagi masih membuatku dongkol, sekarang rasanya malas jika bicara dengannya. “Begi
Farhan menghentikan mobilnya di depan rumah. Turun, lalu mengajakku masuk ke dalam. Mempersilakan aku duduk di ruang tamu. “Tunggu sebentar, Ve! Aku panggil Ibu dulu,” pamit Farhan lalu beranjak pergi. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Mencoba menata hati yang berdebar tak karuan. Tak berselang lama, Farhan datang bersama Ibunya. Perempuan paruh baya itu melempar senyum ke arahku lalu mengulurkan tangan. Gegas aku menyambut dengan mencium takdim punggung tangannya. “Apa kabar kamu, Ve?” tanya Ibu setelah dia dan Farhan duduk. “Baik, Bu,” jawabku gugup. “Begini, Ve..., Ibu mengundangmu ke sini karena ada yang ingin Ibu bicarakan sama kamu,” ucap Ibu dengan nada suara terdengar serius. “Tentang apa, Bu?” tanyaku penasaran. “Tentang kalian berdua,” jawab Ibu. Bingung, aku mengalihkan pandangan menatap Mas Farhan dan dibalas senyum olehnya. “Kemarin Farhan cerita kalau kalian sudah sangat dekat. Farhan minta Ibu melamar kamu. Apa kamu sudah siap?” tanya I
Pagi. Aku telah berdandan seadanya, menunggu kedatangan Mas Farhan dengan hati gelisah. Khawatir kalau orang tuanya berubah pikiran setelah tahu permintaan Bapak yang keterlaluan. Terdengar suara pintu di ketuk. Ibu berteriak memintaku membukanya. “Masuk saja, Bu! Enggak dikunci,” sahutku tanpa beranjak dari depan meja rias.Pintu terbuka. Ibu masuk lalu menutupnya kembali. Dia berjalan mendekat lalu memegang pundakku. Dari pantulan cermin, kulihat ibu gelisah. Entah apa yang ada di pikirannya.“Ve,” ucap Ibu. “Iya,” sahutku tanpa menoleh. Aku terlalu sibuk memikirkan kemungkinan jika Mas Farhan tak datang. Sepertinya aku takut kehilangan.“Ada yang ingin Ibu bicarakan. Kamu harus tahu ini!” ujarnya lagi. “Tahu apa, Bu?” Aku menyipitkan mata, menatap Ibu dari kaca cermin. “Tapi kamu janji enggak akan membenci Ibu,” mohonnya. Aneh! Enggak biasanya Ibu memintaku berjanji. Kalau mau bicara ya tinggal bicara langsung. Tidak bertele-tele begini. “Kamu janji kan?” ulangnya. “Iya,”
Aku masih terdiam di teras rumah setelah mobil mereka tak terlihat. Menatap lurus ke depan, tersenyum miris melihat takdir mempermainkan hidup.“Ve,” gumam Ibu lirih. Kurasakan tangan perempuan yang telah melahirkanku melingkar di pundak seperti sedang berusaha menguatkanku. “Maafkan Ibu, Nak!” Ibu terisak. Penyesalan. Mungkin itu yang dirasakan Ibu saat ini. Dosa masa lalunya kini berimbas padaku yang tak tahu apa-apa. “Di mana Bapak kandungku sekarang, Bu? Siapa dia?” Aku memandang wajah ibu dengan tatapan sendu. Tak ada yang kuinginkan saat ini selain mencari tahu tentang siapa Bapakku sebenarnya. Meski aku sadar nasabku tak tersambung padanya, Aku tetap bertekad mencarinya. Ibu menggeleng lemah. “Enggak tahu, kami tak pernah ketemu lagi sejak dia menolak bertanggung jawab.”“Apa Ibu tak ingat di mana dia tinggal dulu?” cecarku. “Enggak,” sahut Ibu tertunduk.Aku menyipitkan mata, menatap heran pada Ibu. Bagaimana dia bisa tak tahu alamat rumah kekasihnya dulu. Apa ini tidak
Malam ini aku dan Mas Farhan berangkat. Semula kami ingin berangkat siang, tapi karena khawatir sampai sana malam, akhirnya kami memutuskan berangkat malam ini juga. “Hati-hati di jalan ya..., kalau ada apa-apa cepat kabari Ibu,” pesan Ibunya Mas Farhan. “Iya, Bu,” jawabku lalu menutup kaca jendela. Perlahan, Mas Farhan mulai melajukan mobil membelah jalanan yang masih ramai akan hilir mudiknya kendaraan. Aku menatap keluar jendela menikmati keindahan cahaya lampu warna-warni sambil sesekali melirik pada Mas Farhan yang berkonsentrasi menyetir. Aku merasa beruntung bisa mengenal lelaki sebaik dia. Selalu ada i sampingku di saat aku rapuh. Menguatkan, membantuku agar tetap berdiri tegak.“Kamu tidur saja, Ve! nanti kalau sudah dekat aku bangunkan,” perintah Mas Farhan. Mengandalkan GPS, Mas Farhan terlihat tenang menyetir. “Enggak ah! Kasihan kamu kalau enggak ada yang nemenin, nanti malah ikutan ngantuk, tolakku. “Tenang saja! Kalau ngantuk ya berhenti dulu,” sahutnya. Akhirny
Pagi ini Pak Herman datang lagi ke rumah nenek. Dia mengajak kami untuk ke rumahnya barang sebentar. Sebenarnya aku sungkan, tapi karena dia terus memaksa, akhirnya aku mengalah. Kami berhenti di depan rumah berpagar tembok yang menjulang. Seorang satpam membuka gerbang lalu menutupnya kembali setelah mobil kami masuk. Aku turun dari mobil diikuti Mas Farhan, sedangkan pak Herman sudah lebih dulu turun dari mobilnya. Aku menatap kagum pada bangunan yang berdiri kokoh di hadapanku. Sebuah rumah berukuran sangat besar meski tidak bertingkat. “Ayo, Ve, Han,” ajak Pak Herman. Kami menurut, mengekori langkahnya yang lebih dulu naik teras. Aku kembali terkagum melihat pintu rumah yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran menyerupai batik. Benar-benar seni yang luar biasa. Seorang perempuan paruh baya menyembul dari balik pintu. Melempar senyum ke arah kami lalu mempersilakan masuk. “Ini yang namanya Vera.” Pak Herman memperkenalkan aku pada perempuan tadi setelah kami duduk di sofa ru
****Menjelang siang aku dan Mas Farhan bertandang ke rumah Ibu.Sekalian saja menemui Ela sebab beberapa hari ini kami tak bertemu.Kami menghentikan mobil di halaman yang lumayan luas. Rumahdi hadapanku penampakannya masih sama persis dengan saat pertama kali datang.Di sinilah aku mulai tahu sejatinya diriku.Melangkah mendekati pintu, aku berteriak mengucap salam lalumemanggil Ela-adikku. Tak lama, sosok yang kusebut namanya menyembul dari balikpintu, memamerkan senyum khasnya.“Kamu sudah sehat, Mbak? Maaf belum sempat menjenguk,”ucapnya lalu mengajak kami masuk.Enggak apa-apa! Lagian aku juga sudah sehat kok! Buktinyasampai di sini.” Aku membalas dengan senyuman, lalu mengekori langkahnya dankami bertiga duduk di kursi tamu.“Ibu mana, La? Aku ingin ketemu,” tanyaku sesaat kemudian.“Bentar, Mbak!”Perempuan yang perutnya mulai buncit itu melangkah masuk danlekas kembali bersama Ibu. Aku langsung bangkit meraih tangan Ibu dan menciumtakdim.Meski selama ini Ibu sering berlaku tak
“Ve, kita balik ke rumah saja yuk! Aku enggak nyaman tinggalserumah sama Hana. Takut kalau dia menghasut lagi,” ajak Mas Farhan saat kamisedang berdua.“Iya juga sih, tapi bagaimana dengan tanggung jawab kitapada Bu Lili? Kalau dia yang ngurus semua usaha, takutnya malah sakit lagi.Kasihan,” sahutku penuh kekhawatiran.“Kita bayar orang saja. Kita hanya sesekali saja mengontrol.Sebulan sekali misal, kita bisa ke sini sekalian jenguk keluarga,” usulnyakemudian.Diam, aku mencoba menimbang usulan Mas Farhan. Sepertinyaini ide bagus. Kami bebas ke mana pun, sedangkan usaha tetap jalan.“Tapi siapa, Mas? Jaman sekarang susah cari orang yangbenar-benar bisa dipercaya,”Kami berdua saling tatap, bingung menentukan siapa yang kamipercaya. Hana jelas tidak mungkin. Meski dia keponakan Tante Lili, tetap sajaaku tak percaya, apalagi Hana sempat ingin menguasai harta Bu Lili.Rizal, lelaki itu juga enggak mungkin. Bisa-bisa tokobangkrut lantaran jarang buka. Lagian, dia selama ini dia juga jaran
Selagi kami makan, terdengar bunyi pintu yang diketuk diiringi salam, suara lelaki yang sangat kukenal. “Itu suara Mas Farhan, Bu!” ucapku girang. “Kayaknya iya. Coba kamu lihat!” Tanpa menunggu lama, aku bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju depan. Gegas kuputar anak kunci dan membuka pintu. Benar. Mas Farhan berdiri mematung persis di depanku. Aku menatap rindu pada lelaki yang sudah tiga hari tak menemani tidurku. “Kamu pucat, Ve ...” Lelaki itu menyentuh pipi lalu berpindah di kening, seolah begitu mengkhawatirkan keadaanku. “Iya!” sahutku lirih. Sebenarnya aku ingin memeluk menuntaskan rindu, tapi terbentur ego yang mendalam. Kecurigaannya yang berlebihan kembali terngiang di kepala. Beberapa saat kami terpaku dalam kebisuan. Sampai akhirnya Mas Farhan meraih jemari lalu bersimpuh di depanku. “Kamu mau maafin aku kan, Ve?” ucapnya penuh harap. Binar ketulusan terlihat jelas dari sorot mata sendunya, hingga mampu meluluhkan hati membunuh ego. “Iya, Mas! Aku sudah
Tiga hari setelah kembali dari rumah sakit, aku lebih sering menyendiri di kamar ketimbang berkumpul bersama Bu Lili dan Pak Herman. Banyak kuhabiskan waktu untuk merenung, menoleh pada setiap bait kenangan yang tercipta. Dalam sebuah rumah tangga, rasa saling menjadi suatu keharusan. Cemburu dan curiga itu wajar, tapi jika berlebihan, niscaya akan menghancurkan , menghempaskan mimpi yang tengah dibangun. Sampai detik ini Mas Farhan belum juga kembali, padahal aku butuh dia untuk bersandar. Benar, memang aku yang memintanya pergi, tapi hanya sekedar meluapkan emosi agar dia lekas menyadari kesalahan. Bukan untuk selamanya. Lamunan buyar tatkala terdengar derit pintu yang terbuka. Seorang perempuan paruh baya menyembul, lalu berjalan mendekat dam duduk di sebelahku. “Sampai kapan kamu mau seperti ini, Sayang?” Bu Lili melempar senyum, merapikan rambutku yang berantakan. “Entahlah, Bu! Aku benar-benar tak mnduga akan kehilangan bayiku,” sahutku perih. Dia tersenyum. Kembali dibela
*** Tak butuh waktu lama, kami telah sampai di rumah. Pak Herman lebih dulu turun lalu membuka pintu samping, membantuku keluar dari mobil. Sepasang suami istri itu mengapit di kanan dan kiriku. Mungkin mereka khawatir aku masih lemas. Langkahku terhenti saat pandanganku menangkap dua sosok makhluk yang berdiri menyambut kami. Keduanya melempar senyum, tapi berupa senyum mengejek. Ya. Hana dan Ibunya berdiri di ambang pintu. Mungkin mereka mendengar deru mesin mobil sampai mereka ke luar. “Maaf, Bu! Aku pilang ke rumah nenek saja!” ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari Hana dan ibunya. “Loh ... kenapa?” Bu Lili mengernyit heran. “Aku tak mau serumah dengan iblis seperti mereka!” ucapku sembari mengacungkan jemari telunjuk lurus ke depan. Bu Lili mengarahkan pandangan mengikuti arah jari telunjukku. Barangkali mereka mendengar ucapanku, makanya mereka menghampiri. “Kalau mau ke rumah nenekmu, kenapa harus ke sini dulu? Apa sudah lupa jalan ke sana? Perlu aku antar?” Hana te
Berkali-kali aku mengerjapkan mata berusaha mengumpulkan kesadaran. Lalu, kuedarkan pandangan ke sekeliling sebab merasa di tempat asing. Semuanya bernuansa putih bersih, jauh berbeda dengan kamarku yang didominasi warna pink. Diam, aku berusaha menajamkan ingatan kenapa sampai ada di sini. Terakhir kuingat pertengkaran dengan Mas Farhan, lalu aku terjatuh bersimbah darah. “Astaga! Bayiku!” Aku menjerit histeris. Belum sempat kukabarkan kehamilan, tapi semua telah terenggut. Padahal, aku ingin memberi kejutan untuk Mas Farhan. “Tenang, Ve!” Kurasakan kedua pundak ada yang memegangi. Pun suara Mas Farhan yang mencoba menenangkan. “Bayiku!” Aku semakin histeris sambil berusaha berontak. Namun, Mas Farhan mendekapku erat sampai aku kesulitan bernafas. Akhirnya kutumpahkan semua air mata di dada bidangnya. “Maafkan aku, Ve!” ucap Mas Farhan setengah berbisik.Suaranya terdengar parau. Seperti sedang merasakan sesal di dalam hati. Diam, aku tak mencoba menyahut kalimat Mas Farhan.
Mas Farhan kembali menolak, tapi aku terus memaksa. Bahkan, aku sendiri yang menghidupkan mesin mobil meski pada akhirnya Mas Farhan yang mengemudi. Tak butuh waktu lama kami telah sampai di halaman rumah Ibu. Gegas aku turun lalu berteriak menyebut nama adik iparku. “Rizal! Keluar kau!” teriakku kencang. Sudah tidak terkontrol lagi emosi di kepala. Gara-gara Rizal yang merayu, rumah tanggaku terancam hancur. Tanpa permisi aku langsung membuka pintu. Rupanya Ela sudah ada di depan pintu. “Astaghfirulloh, Mbak! Bikin kaget saja. Ada apa?” tanya Ela. “Mana suamimu?” “Enggak tahu, Mbak, memang kenapa?” tanya Ela dengan wajah heran. “Gara-gara dia Mas Farhan jadi marah denganku,” ucapku sembari menoleh pada suami yang telah berdiri di sebelahku. “Ngomong yang jelas dong, Mbak! Kita bicara sambil duduk,” ajaknya. Tepat saat hendak berpindah ke kursi ruang tamu, dari arah dalam Ibu datang mendekat. Dia tampak bingung melihatku yang tanpa senyum. “Ada apa, Ve? Kamu kenapa?” tanya
“Tak ada salahnya mereka ikut bicara, Ve! Toh maksudnya baik,” ucap Mas Farhan dengan nada suara terkesan menyudutkan. Aku terperangah mendengar kalimat suamiku. Sama sekali tak menduga dia akan termakan omong kosong itu. Sementara Hana dan ibunya tersenyum penuh kemenangan. Seharusnya Mas Farhan lebih mempercayaiku yang notabene istrinya, tapi kenapa malah lebih mendengar bualan Hana? “Baik dari mananya, Mas? Yang mereka katakan itu fitnah! Mereka ingin menghancurkan kita!” elakku sembari mengacungkan telunjuk ke arah mereka berdua. Di sini aku mulai yakin Hana dan ibunya sengaja menghasut Mas Farhan. Mungkin karena sakit hati tak mendapat warisan dari Bu Lili. “Fitnah bagaimana? Bukankah kamu mengakui Rizal kemari dan kalian saling berpegangan tangan?” cecar Mas Farhan. “Iya! Tapi dia yang meraih tanganku dan kutepis. Bukan berpegangan mesra seperti yang mereka katakan!” Sudahlah, Ve! Aku capek!” ketus Mas Farhan. Lalu, dia bangkit berdiri dan beranjak masuk. Aku benar-bena
*** Aku membuka mata saat sayup terdengar deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Rupanya tadi aku ketiduran. Buru-buru aku bangkit berdiri lalu beranjak ke luar. Benar dugaanku. Ternyata Bapak dan Mas Farhan telah kembali. Mereka berjalan beriringan sambil mengobrol. Keduanya mendekat ke arahku. Lalu, aku menyambut dengan mencium takdim punggung tangan mereka. Ini salah satu caraku menunjukkan bakti, baik pada orang tua ataupun suami. “Mau aku bikinkan kopi, Mas?” tawarku. “Boleh.” Mas Farhan melempar senyum. “Bapak mau juga?” “Enggak usah. Bapak mau istirahat dulu,” Kemudian, kami sama-sama masuk ke dalam rumah. Mas Farhan duduk di sofa ruang tamu, Bapak langsung beranjak ke kamar, sedangkan aku ke dapur. Tak lama, aku telah kembali dengan secangkir kopi di tangan. Kuletakkan di meja depan Mas Farhan lalu aku duduk di sebelahnya. “Ini, Mas!” ucapku.Sementara Mas Farhan menyeruput kopi, aku sibuk memandangi wajahnya. Bulir keringat yang masih menempel di pelipis membuat