Di sebuah rumah mewah di kawasan Alam Sutera, Harvey berdiri di depan lemari besar di kamarnya, sibuk memilih setelan jas yang akan dipakai olehnya hari ini. Sesekali, dia merapikan dasinya, memastikan semuanya tampak sempurna. Hari ini, sang pria tampan akan menjemput kekasihnya, Josie, yang akan menghadapi sidang skripsi. Harvey ingin tampil sebaik mungkin sebagai bentuk dukungannya kepada sang pacar.“Harvey, apakah kamu sudah siap?” Suara lembut ibunya, Nyonya Arlyn, terdengar dari balik pintu kamar. Sang ibu lalu masuk dan tersenyum melihat putranya yang tampak begitu serius di depan cermin.Harvey tersenyum kecil, “Iya, Mami. Aku lagi pilih-pilih jas yang cocok. Aku mau memberi semangat buat Josie hari ini,” sahut sang anak.Nyonya Arlyn menepuk bahu putranya dengan bangga, “Mami yakin Josie pasti akan senang kamu datang. Semangat, ya, Nak. Tunjukkan padanya kalau kamu selalu ada untuk mendukungnya.”Harvey mengangguk mantap, “Terima kasih, Mami.”Setelah berpamitan kepada i
Beberapa saat yang lalu,Harvey keluar dari rumah Josie dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya memerah, dan keringat mengucur deras dari dahinya. Tangan kanannya masih terasa pegal setelah menerima hukuman skot jump yang dijatuhkan oleh Tuan Edward, ayah Josie. Pria itu tak henti-hentinya bergumam dalam hati, mengeluh tentang kerasnya sikap Tuan Edward terhadapnya, akan tetapi juga merasa bangga karena bisa menghadapi cobaan itu demi cintanya kepada Josie."Astaga, seperti latihan militer saja ..." gumamnya sambil menyeka keringat dengan saputangan. Pria tampan itu segera masuk ke dalam mobilnya, menutup pintu dengan cepat seolah-olah ingin melupakan semua kejadian barusan.Di dalam mobil, Harvey tersenyum penuh kemenangan. "Setidaknya, aku bisa lolos kali ini," ujarnya sambil tertawa kecil. Kemudian, sang pria membuka kemejanya yang telah basah oleh keringat dan menggantinya dengan kemeja bersih yang sudah dipersiapkan olehnya sebelumnya. Harvey mengambil setelan jas cadangan yang d
Para suatu pagi,Di Bandara Soekarno-Hatta yang ramai pagi itu, Tuan King Elwood dan istrinya, Nyonya Hanny, berdiri bersama putri mereka, Kiran. Meski baru tiga bulan setelah wisudanya, Kiran telah mulai magang di perusahaan sang ayah, memenuhi impian Tuan King yang ingin mewariskan kerajaan bisnisnya kepada sang putri. Namun, hari ini, suasana keluarga mereka sedikit berbeda. Ada perasaan haru yang terasa di antara mereka.Kiran, yang mengenakan pakaian kasual namun tetap anggun, bersiap-siap untuk penerbangannya ke London. Gadis cantik itu tampak bersemangat, terutama setelah mendengar bahwa Opa Roland dan Oma Yesi, yang sudah lama tinggal di London, merindukan cucu mereka. Namun, dibalik semangatnya, ada sedikit kecemasan di wajahnya.“Kiran, kamu sudah siap, kan? Jangan lupa semua dokumen dan paspor kamu, ya!” ucap Tuan King, menatap putrinya dengan tatapan tegas, anN tetapi penuh kasih sayang.Kiran mengangguk sambil tersenyum. “Siap, Dad. Aku sudah cek semuanya. Tenang saja,”
Pagi yang mendebarkan bagi seorang CEO muda yang sedang sibuk mempersiapkan sesuatu.Sinar matahari baru saja menembus tirai kamarnya ketika Fritz buru-buru terbangun dari tidurnya. “Sial! Hampir saja aku telat bangun!” kesalnya sendiri.Pria tampan itu segera bangkit dari tempat tidur dan menuju ke dalam kamar mandi. Waktu begitu terbatas, dan Fritz tak ingin terlambat untuk pertemuannya di bandara dengan sang kekasih, Kiran. Air mengalir deras saat dia membasuh wajahnya, di bawah kucuran shower. Sang pria sedang menyiapkan dirinya dengan hati berdebar. Hari ini adalah hari yang begitu istimewa dengannya. hari di mana Fritz berencana untuk membuat kejutan besar bagi kekasihnya, Kiran.Di dalam kamar sang putra, Nyonya Zemi, ibunda dari Fritz tampak sangat sibuk, memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam koper berwarna hitam. Wajahnya penuh semangat, terlihat jelas bahwa dia mendukung penuh keputusan putranya yang tiba-tiba ini.“Kamu sudah siap, Fritz?” tanya Nyonya Zemi dengan
Beberapa saat yang lalu,Ketika pesawat baru saja lepas landas, Kiran merasa sedikit gelisah. Gadis itu mulai menyadari jika perjalanannya menuju London akan memakan waktu lama, dia pun memutuskan untuk pergi ke toilet di kelas bisnis di mana dirinya berada saat ini. Dengan santai, Kiran berjalan menuju toilet, mencoba mengusir kegelisahan dan rasa bosannya. Setelah masuk ke dalam toilet, Kiran menghela napas panjang dan memandang bayangannya di depan cermin.Saat menatap bayangannya di depan cermin, yang ada di dalam toilet itu, Kiran tiba-tiba merasakan kerinduan yang mendalam terhadap kekasihnya, Fritz. Sebuah senyum lembut menghiasi wajahnya, dan tanpa sadar dia berbisik pelan, “Seandainya saja Fritz ada di sini bersamaku. Pasti akan sangat setuju,” pikirnya dalam hati.Namun Kiran menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum pada dirinya sendiri karena perasaannya yang begitu kuat terhadap Fritz. “Tidak! Itu tidak mungkin terjadi. Fritz pasti sangat sibuk di kantornya. Tentu saja
Kembali ke Jakarta tepatnya, di Kediaman Keluarga Tuan Edward,Langit senja memancarkan warna keemasan yang memantul di jendela kaca besar rumah Keluarga Tuan Edward. Di ruang keluarga yang megah, Josie, putri bungsu pasangan Tuan Edward dan Nyonya Agnes, sedang duduk dengan santai sambil memeriksa ponselnya. Ia baru saja pulang dari kantor, masih mengenakan blazer abu-abu yang tampak rapi.Tiba-tiba, Tuan Edward masuk ke ruang keluarga dengan langkah tegas. Nyonya Agnes mengikutinya, terlihat ragu. Wajah Tuan Edward tampak serius, hampir tanpa senyum, yang membuat Josie segera menyadari jika percakapan kali ini tidak akan biasa."Josie," panggil Tuan Edward, dengan nada tegas. "Daddy ingin bicara serius denganmu."Josie mengangkat pandangannya dari ponsel, bingung dengan nada bicara ayahnya yang terdengar tegas. Tidak seperti biasanya. "Ada apa, Daddy? Kok serius sekali?"Tuan Edward duduk di sofa besar berseberangan dengan putrinya, sementara Nyonya Agnes duduk di dekat putrinya,
Ternyata keputusan Tuan Edward tak terbantahkan.Pagi itu, suasana di kediaman megah Keluarga Tuan Edward dipenuhi ketegangan. Josie duduk di kamarnya dengan mata sembab, sisa tangisannya malam sebelumnya masih jelas terlihat. Di ruang makan, Tuan Edward duduk di meja panjang sambil membaca koran, wajahnya serius, seolah tak peduli dengan suasana yang terjadi di rumahnya. Isaac dan Jacob, dua kakak lelaki Josie, saling bertukar pandang dengan cemas, namun tak satupun dari mereka berani memulai percakapan.Isaac dan Jacob tidak dapat berbuat apa-apa untuk membantu sang adik bungsu, Josie. Maupun Harvey, sahabat mereka. Karena keduanya telah diancam oleh Tuan Edward. Jika Isaac dan Jacob berani membantah keinginan sang ayah maka siap-siap Tuan Edward akan akan mengacaukan hubungan percintaan kedua putranya dengan pacar mereka masing-masing. Tentu saja Isaac dan Jacob tidak mau hal itu terjadi. Mereka berdua sangat bersusah payah untuk meluluhkan hati pacarnya. Jadi keduanya memilih be
Sebuah pertemuan yang tak Terduga.Sejak kepergian Josie ke Amerika, Harvey pun telah berubah. Keceriaan yang dulu selalu menyinari wajahnya kini hilang. Pria tampan itu tenggelam dalam pekerjaannya, menghindari semua percakapan yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya.Di rumah, kedua orang tuanya, Tuan Tiano dan Nyonya Arlyn, sering kali memperhatikan perubahan drastis pada putra mereka yang biasanya ceria itu."Harvey seperti kehilangan hidupnya," ujar Tuan Tiano suatu malam, menatap istrinya yang sedang menyajikan teh baginya."Aku tahu, Papi. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Harvey sangat keras kepala. Dia tidak mau membuka diri pada siapa pun," balas Nyonya Arlyn, nada suaranya penuh kekhawatiran."Kita coba beri waktu untuk Harvey lebih banyak lagi. Kita hanya perlu berada di sampingnya," ujar Tuan Tiano mencoba menenangkan istrinya.“Tapi mau sampai kapan Harvey cuek seperti itu? Aku tidak suka melihatnya!” ketus sang istri.“Kita harus sabar. Biar waktu yang menyembuhkan s
Malam di Ruang Keluarga Pondok Indah Residence,Pada suatu malam suasana di sebuah ruang keluarga terasa hangat dan nyaman. Sebuah lampu gantung kristal memancarkan cahaya lembut yang menerangi ruangan luas dengan sofa empuk, rak buku berisi koleksi mahal, dan lukisan-lukisan klasik yang menghiasi dinding. Di tengah ruangan, Isaac duduk bersama kedua orang tuanya, Tuan Edward dan Nyonya Agnes, semua sedang duduk di sofa besar berwarna hitam kecoklatan.Isaac memulai percakapan dengan raut wajah penuh keseriusan namun bercampur harap."Mom, Dad, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan malam ini," ucap Isaac sambil menatap kedua orang tuanya.Nyonya Agnes tersenyum lembut. "Tentu, Sayang. Apa yang ingin kamu sampaikan? Mommy dan Daddy sungguh tak sabar ingin mendengarnya," tutur sang ibu.Isaac menarik napas dalam-dalam, lalu mencoba mengatur kata-katanya. "Sebenarnya Mom, Dad. Aku sudah lama ingin membicarakan ini. Aku ... aku ingin mempersunting Leticia."Ruangan seketika sunyi. Nyonya
Sebuah pertemuan yang tak Terduga.Sejak kepergian Josie ke Amerika, Harvey pun telah berubah. Keceriaan yang dulu selalu menyinari wajahnya kini hilang. Pria tampan itu tenggelam dalam pekerjaannya, menghindari semua percakapan yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya.Di rumah, kedua orang tuanya, Tuan Tiano dan Nyonya Arlyn, sering kali memperhatikan perubahan drastis pada putra mereka yang biasanya ceria itu."Harvey seperti kehilangan hidupnya," ujar Tuan Tiano suatu malam, menatap istrinya yang sedang menyajikan teh baginya."Aku tahu, Papi. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Harvey sangat keras kepala. Dia tidak mau membuka diri pada siapa pun," balas Nyonya Arlyn, nada suaranya penuh kekhawatiran."Kita coba beri waktu untuk Harvey lebih banyak lagi. Kita hanya perlu berada di sampingnya," ujar Tuan Tiano mencoba menenangkan istrinya.“Tapi mau sampai kapan Harvey cuek seperti itu? Aku tidak suka melihatnya!” ketus sang istri.“Kita harus sabar. Biar waktu yang menyembuhkan s
Ternyata keputusan Tuan Edward tak terbantahkan.Pagi itu, suasana di kediaman megah Keluarga Tuan Edward dipenuhi ketegangan. Josie duduk di kamarnya dengan mata sembab, sisa tangisannya malam sebelumnya masih jelas terlihat. Di ruang makan, Tuan Edward duduk di meja panjang sambil membaca koran, wajahnya serius, seolah tak peduli dengan suasana yang terjadi di rumahnya. Isaac dan Jacob, dua kakak lelaki Josie, saling bertukar pandang dengan cemas, namun tak satupun dari mereka berani memulai percakapan.Isaac dan Jacob tidak dapat berbuat apa-apa untuk membantu sang adik bungsu, Josie. Maupun Harvey, sahabat mereka. Karena keduanya telah diancam oleh Tuan Edward. Jika Isaac dan Jacob berani membantah keinginan sang ayah maka siap-siap Tuan Edward akan akan mengacaukan hubungan percintaan kedua putranya dengan pacar mereka masing-masing. Tentu saja Isaac dan Jacob tidak mau hal itu terjadi. Mereka berdua sangat bersusah payah untuk meluluhkan hati pacarnya. Jadi keduanya memilih be
Kembali ke Jakarta tepatnya, di Kediaman Keluarga Tuan Edward,Langit senja memancarkan warna keemasan yang memantul di jendela kaca besar rumah Keluarga Tuan Edward. Di ruang keluarga yang megah, Josie, putri bungsu pasangan Tuan Edward dan Nyonya Agnes, sedang duduk dengan santai sambil memeriksa ponselnya. Ia baru saja pulang dari kantor, masih mengenakan blazer abu-abu yang tampak rapi.Tiba-tiba, Tuan Edward masuk ke ruang keluarga dengan langkah tegas. Nyonya Agnes mengikutinya, terlihat ragu. Wajah Tuan Edward tampak serius, hampir tanpa senyum, yang membuat Josie segera menyadari jika percakapan kali ini tidak akan biasa."Josie," panggil Tuan Edward, dengan nada tegas. "Daddy ingin bicara serius denganmu."Josie mengangkat pandangannya dari ponsel, bingung dengan nada bicara ayahnya yang terdengar tegas. Tidak seperti biasanya. "Ada apa, Daddy? Kok serius sekali?"Tuan Edward duduk di sofa besar berseberangan dengan putrinya, sementara Nyonya Agnes duduk di dekat putrinya,
Beberapa saat yang lalu,Ketika pesawat baru saja lepas landas, Kiran merasa sedikit gelisah. Gadis itu mulai menyadari jika perjalanannya menuju London akan memakan waktu lama, dia pun memutuskan untuk pergi ke toilet di kelas bisnis di mana dirinya berada saat ini. Dengan santai, Kiran berjalan menuju toilet, mencoba mengusir kegelisahan dan rasa bosannya. Setelah masuk ke dalam toilet, Kiran menghela napas panjang dan memandang bayangannya di depan cermin.Saat menatap bayangannya di depan cermin, yang ada di dalam toilet itu, Kiran tiba-tiba merasakan kerinduan yang mendalam terhadap kekasihnya, Fritz. Sebuah senyum lembut menghiasi wajahnya, dan tanpa sadar dia berbisik pelan, “Seandainya saja Fritz ada di sini bersamaku. Pasti akan sangat setuju,” pikirnya dalam hati.Namun Kiran menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum pada dirinya sendiri karena perasaannya yang begitu kuat terhadap Fritz. “Tidak! Itu tidak mungkin terjadi. Fritz pasti sangat sibuk di kantornya. Tentu saja
Pagi yang mendebarkan bagi seorang CEO muda yang sedang sibuk mempersiapkan sesuatu.Sinar matahari baru saja menembus tirai kamarnya ketika Fritz buru-buru terbangun dari tidurnya. “Sial! Hampir saja aku telat bangun!” kesalnya sendiri.Pria tampan itu segera bangkit dari tempat tidur dan menuju ke dalam kamar mandi. Waktu begitu terbatas, dan Fritz tak ingin terlambat untuk pertemuannya di bandara dengan sang kekasih, Kiran. Air mengalir deras saat dia membasuh wajahnya, di bawah kucuran shower. Sang pria sedang menyiapkan dirinya dengan hati berdebar. Hari ini adalah hari yang begitu istimewa dengannya. hari di mana Fritz berencana untuk membuat kejutan besar bagi kekasihnya, Kiran.Di dalam kamar sang putra, Nyonya Zemi, ibunda dari Fritz tampak sangat sibuk, memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam koper berwarna hitam. Wajahnya penuh semangat, terlihat jelas bahwa dia mendukung penuh keputusan putranya yang tiba-tiba ini.“Kamu sudah siap, Fritz?” tanya Nyonya Zemi dengan
Para suatu pagi,Di Bandara Soekarno-Hatta yang ramai pagi itu, Tuan King Elwood dan istrinya, Nyonya Hanny, berdiri bersama putri mereka, Kiran. Meski baru tiga bulan setelah wisudanya, Kiran telah mulai magang di perusahaan sang ayah, memenuhi impian Tuan King yang ingin mewariskan kerajaan bisnisnya kepada sang putri. Namun, hari ini, suasana keluarga mereka sedikit berbeda. Ada perasaan haru yang terasa di antara mereka.Kiran, yang mengenakan pakaian kasual namun tetap anggun, bersiap-siap untuk penerbangannya ke London. Gadis cantik itu tampak bersemangat, terutama setelah mendengar bahwa Opa Roland dan Oma Yesi, yang sudah lama tinggal di London, merindukan cucu mereka. Namun, dibalik semangatnya, ada sedikit kecemasan di wajahnya.“Kiran, kamu sudah siap, kan? Jangan lupa semua dokumen dan paspor kamu, ya!” ucap Tuan King, menatap putrinya dengan tatapan tegas, anN tetapi penuh kasih sayang.Kiran mengangguk sambil tersenyum. “Siap, Dad. Aku sudah cek semuanya. Tenang saja,”
Beberapa saat yang lalu,Harvey keluar dari rumah Josie dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya memerah, dan keringat mengucur deras dari dahinya. Tangan kanannya masih terasa pegal setelah menerima hukuman skot jump yang dijatuhkan oleh Tuan Edward, ayah Josie. Pria itu tak henti-hentinya bergumam dalam hati, mengeluh tentang kerasnya sikap Tuan Edward terhadapnya, akan tetapi juga merasa bangga karena bisa menghadapi cobaan itu demi cintanya kepada Josie."Astaga, seperti latihan militer saja ..." gumamnya sambil menyeka keringat dengan saputangan. Pria tampan itu segera masuk ke dalam mobilnya, menutup pintu dengan cepat seolah-olah ingin melupakan semua kejadian barusan.Di dalam mobil, Harvey tersenyum penuh kemenangan. "Setidaknya, aku bisa lolos kali ini," ujarnya sambil tertawa kecil. Kemudian, sang pria membuka kemejanya yang telah basah oleh keringat dan menggantinya dengan kemeja bersih yang sudah dipersiapkan olehnya sebelumnya. Harvey mengambil setelan jas cadangan yang d
Di sebuah rumah mewah di kawasan Alam Sutera, Harvey berdiri di depan lemari besar di kamarnya, sibuk memilih setelan jas yang akan dipakai olehnya hari ini. Sesekali, dia merapikan dasinya, memastikan semuanya tampak sempurna. Hari ini, sang pria tampan akan menjemput kekasihnya, Josie, yang akan menghadapi sidang skripsi. Harvey ingin tampil sebaik mungkin sebagai bentuk dukungannya kepada sang pacar.“Harvey, apakah kamu sudah siap?” Suara lembut ibunya, Nyonya Arlyn, terdengar dari balik pintu kamar. Sang ibu lalu masuk dan tersenyum melihat putranya yang tampak begitu serius di depan cermin.Harvey tersenyum kecil, “Iya, Mami. Aku lagi pilih-pilih jas yang cocok. Aku mau memberi semangat buat Josie hari ini,” sahut sang anak.Nyonya Arlyn menepuk bahu putranya dengan bangga, “Mami yakin Josie pasti akan senang kamu datang. Semangat, ya, Nak. Tunjukkan padanya kalau kamu selalu ada untuk mendukungnya.”Harvey mengangguk mantap, “Terima kasih, Mami.”Setelah berpamitan kepada i