Aku menoleh ke arah Ruslan, mencari informasi yang pasti yang akan Ia berikan lagi, tapi lelaki itu hanya memberikan isyarat dengan kepala agar Aku segera mengikutinya. Aku pun mengalah, kembali menoleh ke arah Mama yang masih belum sadarkan diri. Ku genggam lagi tangannya, kuciumi bolak-balik dengan air mata yang masih deras mengalir. "Ma, cepat pulih ya. Nanti Lea ke sini lagi," ucapku seolah tak rela untuk meninggalkannya. Tapi, kupikir nanti Aku bisa kembali menemuinya. Setelah ku letakkan tangan Mama, Aku pun menganggukkan kepala, memberi kode kepada Ruslan agar segera pergi dari ICU. Ruslan mendorongku keluar, melepaskan baju APD yang kupakai, kemudian memintaku untuk mengenakan sebuah masker yang Ia minta dari petugas jaga ICU. Tak banyak tanya, Aku mengenakan masker yang baru saja dia berikan kepadaku. Aku melihat ke sekitar, tak ada yang mencurigakan menurutku. Entahlah, Aku tak tahu apa yang membuat Ruslan menganggap kacau. Apakah memang kacau, atau hanya dia yang lebay.
"Aku enggak tahu kamu bakalan bertahan sampai kapan," ucap Zen membuatku mengerutkan kening. Lelaki yang ada di hadapanku ini bukannya menjawab pertanyaanku, tapi malah membuat prasangka lain. "Maksudnya, bertahan dalam apa?" tanyaku ingin memastikan. Apa pikiranku tepat jika Ia akan menyerah dalam pengobatan Mama. "Tidak... tidak!" gumamku dalam hati seraya menggelengkan kepala. "Kenapa geleng-geleng? Kamu enggak akan bertahan ya?" tanyanya lagi. Aku tak ingin menjawab pertanyaannya tentang gelenganku. Aku hanya ingin memastikan bahwa Ia tak akan menyerah, alias bertahan dalam membantu pengobatan Mama. "Bertahan dalam hal apa?" tanyaku sekali lagi. Zen menarik diri dari senderan kursi. Kini, Ia menegakkan duduknya, kemudian mengatakan hal yang langsung terasa menusuk di otakku. "Bertahan dalam keadaan bebas." Setelah mengatakan hal itu, Ia pun kembali bersender seraya menyunggingkan senyum smirk nya. "Bebas? Tolong perjelas ucapanmu!" pintaku. "Wanita sepertimu, masa enggak ng
"Ada apa?" tanya Zen. Ia pun tak melanjutkan kalimat yang tadi sempat terpotong. Ruslan melirik ke arahku dengan penuh kekhawatiran. Setelah itu, Ia pun berbisik kepada Zen, membuat lelaki yang bergelar suamiku itu ikut panik. "Jadi?" tanya Zen seraya menatap ke arah Ruslan, meminta pendapatnya. Ruslan menganggukkan kepalanya kepada Zen, seolah ada obrolan kata diantara mereka yang tak boleh Aku tahu. "Kamu bisa jalan kan?" tanya Zen membuatku berpikir. Ya, apakah Aku bisa jalan atau enggak pasca kecelakaan semalam. "Tak ada waktu," ucap Ruslan membuat Zen tiba-tiba menarik tanganku. "Awww... sakit," keluhku karena masih merasakan sakit yang cukup besar di area kaki. "Mungkin bisa pakai kursi roda sampai tangga," ucap Ruslan membuat Zen kembali mendudukkanku di atas kursi roda. Aku bingung dengan kelakuan mereka berdua. Entah apa yang sedang terjadi, Aku tak tahu sama sekali karena kedua lelaki ini tak sedikit pun memberitahuku. Yang kurasakan pasti saat ini adalah ketakutan. A
"Ya, kami sudah masuk lewat pintu belakang," ucap salah satu petugas polisi itu, seolah Ia tengah berbicara dengan seseorang yang lain selain mereka berdua. Aku mematung saat dua orang berseragam polisi itu meringsek masuk lewat pintu belakang. Pandangannya tak sedikit pun melihat ke arahku. Mereka hanya mencari sesuatu ke setiap arah seraya terus melangkah masuk. "Upss... Maaf Mbak!" tukas Salah seorang diantara mereka karena tak sengaja menginjak pengki yang sedang ku pegang. "Pak Yanto hati-hati. Kasihan Mbak nya lagi bertugas," kilah petugas yang lain sambil terkekeh, yang sudah berjalan lebih depan. "Sudah, Saya sudah minta maaf." "Kurang tulus," sahut kawannya sedikit berteriak karena sudah berada di ruangan lain. "Saya dimaafkan kan, Mbak? Atau mau Saya bantu buat nyapu dulu?" tanya polisi yang tadi menginjak pengki, seraya kembali mendekatiku yang masih mematung di sana. "Ah, eng... enggak perlu, Pak,
"Udah, tiduran dulu lagi! Di sini masih belum aman, " titah Zen seraya berbalik ke belakang, berusaha menekan kepalaku agar kembali merunduk. Tapi Aku menolak dengan keras. "Enggak," sahutku lantang. Mati-matian Aku bertahan untuk tetap duduk dengan bertumpu pada kaki, meskipun masih di bagasi. "Nunduk! Kamu bisa ketangkep," ulang Zen dengan suara yang terdengar begitu geram. "Enggak," sahutku lagi, meskipun pada akhirnya kepalaku berada di bawah, ditekan oleh Zen. Aku memang bukan tandingan Zen, tenaganya terlalu kuat dibandingkan denganku. "Sudah, kalian ini bagaimana? Lihat tuh, pak Andi terganggu," ucap pak Fandi terdengar begitu bijak. Tapi, sebijak apapun, jika dia berniat mau menyerahkanku kepada polisi, percuma saja. "Enggak bisa, Pak. Ini anak memang harus dikasih tahu pake cara begini. Kalau enggak, ngeyel banget." Zen tetap berpendirian agar Aku tetap bersembunyi di balik kain dan tak mengangkat kepala sama sekali.
Kuhempaskan diriku, menjauh sebisa mungkin dari Zen. Kini, Aku berada di sisi jendela, letak yang berjauhan dengan Zen. Hanya saja, sejauh apapun ketika kami di mobil berada dalam jajaran jok yang sama, maka tetaplah dekat. Aku memalingkan wajah, melihat ke arah jendela. Naluri perempuan jika disebut bau maka akan sangat terluka dan merasa terhina. "Pindah lagi lah, sono ke depan!" titahku tanpa menoleh ke arahnya. "Bau... bau cinta... hahahahahaha... " tawa Zen meledak seketika, seolah meledek sikapku yang mudah terbawa emosi. "Idihhh, gak jelas." Aku memutar bola mata, jengah dengan sikapnya, namun merasa bersemu merah di kedua pipiku. Tuhan, makhluk apa yang kau kirimkan padaku ini? Kadang Ia begitu lembut, kadang menjadi raja tega dan kadang juga menjadi sosok tengil seperti badboy di masa-masa SMA sepertiku. Aku terkekeh sendiri, teringat dengan segala ke-absurd-an yang Ia tampilkan di hadapanku."Ciee...
"Zen, kenapa berhenti di sini?" tanyaku seraya memegang ujung bajunya erat."Nggak apa-apa. Rumah Ibuku ada di belakang sini, " jawabnya seraya menunjuk ke ujung Jalan.Aku celingukan mencari sesuatu yang ditunjuk oleh Zen, karena aku tak melihatnya sama sekali."Ayo, turun dulu!" Ajak Zen. Ia pun segera melangkahkan kakinya keluar, melewati deretan bangku tengah yang telah dilipat oleh Pak Fandi.Pandanganku kutundukkan ke bawah dengan masker yang masih terpasang di wajah. Tangan ini pun tak lepas dari ujung kaos miliknZen. Aku takut, sangat merasa takut sampai-sampai lupa jika Zen adalah orang baru bagiku. Takut jika saja ada orang yang mengenaliku dan melaporkanku kepada polisi."Sebelah mana nak Zen?" tanya Pak Fandi."Ayo, sebelah sini!" Ajak Zen seraya melangkahkan kakinya terlebih dahulu. Aku masih saja mengikuti Zen seraya memegang ujung bajunya. Sedangkan Pak Fandi berada di belakangku. "Pak Andi di sini y
"Ada apa?" tanya Zen seraya mendekati wanita cantik, yang menurut Zen adalah adiknya itu.Dina tak menanggapi pertanyaan Zen. Ia masih melongo seperti kaget mendengar sesuatu."Kamu sakit?" tanya Zen seraya memegangi dahinya Dina. "Ah, enggak Kak."Sikap Dina tidak seperti pas awal tadi, ketika Ia bertemu dengan Zen. Sikapnya lebih dingin dan tak antusias. Dina jongkok dan langsung membersihkan bekas pecahan gelas yang berserakan di mana-mana. Ia mengumpulkan pecahan-pecahan gelas itu dan meletakkannya di atas nampan yang tidak pecah."Sudah, sini sama kakak aja!" pinta Zen seraya membawa sapu ijuk dan pengki dari ruang belakang, meminta Dina yang masih mengumpulkan pecahan-pecahan beling tersebut untuk menyingkir."Nggak usah Kak, nggak apa-apa. Sini sapunya, sama aku aja, " ucap Dina seraya berdiri, kemudian Ia pun melangkah dengan niat untuk mengambil sapu dari tangan Zen. "Auww..."Dina meng