Jenia duduk tersandar di sudut kamarnya. Kedua tangannya memeluk lutut dengan kepala dimiringkan ke samping. Ia menatap ke arah langit luar di mana langit mendung seakan menemaninya.
Tatapannya begitu kosong, sorot mata itu seakan tidak ada kegairahan dalam hidup. Menerawang jauh akan masa depan yang akan ia hadapi saat ini.
Ia semakin mengeratkan tangannya, tangisannya kembali pecah. Namun, ia sembunyikan di balik lipatan tangannya.
Jenia bingung, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi setelah keluarganya mengetahui kehamilannya. Menjadi seorang wanita yang gagal dalam menjaga kehormatan dirinya sendiri dan keluarganya membuat Jenia semakin merasa bersalah.
Bagaikan seorang benalu yang hanya bisa memberikan malu dan aib bagi keluarganya, itulah yang dirasakan oleh Jenia saat ini. Jenia terus menangis penuh penyesalan.
“Jenia, bersiap-siaplah, kita harus ke rumah sakit!” panggil Julia dari luar kamar.
Mendengarkan suara Julia yang memang
Menurut kalian udah benar belum sih, apa yang dilakukan Jenia saat ini dengan mempertahankan kandungannya? berikan jawaban kalian ya, aku tunggu. salam hangat untuk para readers sayang
“Je? Apa kamu bisa mendengarkan aku?” Tanya Jonathan lagi menegaskan pertanyaan sebelumnya.“Apa yang terjadi padamu, Je?”“Maksudmu?”“Apa yang membuat kamu berlari dan bersembunyi dari wanita itu?” Tanya Dave menimpali.“Oh … hm … itu, karena aku tidak suka dengan obat-obatan, apalagi dengan jarum suntik. Itu sebabnya aku bersembunyi dari mamaku!” ucap Jenia berbohong.Jenia terpaksa berbohong kepada Jonathan dan Dave karena Jenia merasa sangat tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya tengah hamil dan hampir saja melakukan tindakan aborsi.“Seperti anak kecil saja, karena takut obat dan jarum suntik harus bersembunyi di ruangan orang lain. Kalau kamu tertangkap satpam karena dianggap sebagai penyusup bagaimana?” goda Jontahan.“Iya, ya, aku tidak terpikirkan hal itu sama sekali. Oh, ya, sepertinya mamaku sudah pergi, jadi aku
Jenia masih menangis di atas lantai, menatap pilu pada Maheza. Jenia berharap mendapatkan sedikit belas kasih dari sang papa.Namun, semua harapan Jenia saat ini sia-sia.“Jika kamu tidak ingin menggugurkan janin itu, sebaiknya kamu kemasi barang-barangmu dan pergilah dari rumah ini!” ucap Maheza dengan suara tercekat.Mendengarkan ucapan Maheza membuat Jenia seakan tidak memiliki harapan lagi untuk mendapatkan maaf dan ampunan dari orang tuanya itu. Bahkan Maheza telah mengusirnya dari rumah tempat ia bernaung dan dibesarkan selama ini.“Erliza, bantu gadis ini mengemasi barang-barangnya, jangan biarkan satu barangpun miliknya berada di rumah ini. Mulai saat ini, aku sudah tidak memiliki hubungan lagi dengannya.” Maheza berbalik badan beranjak meninggalkan Jenia.“Pa!” ucap Jenia dan Erliza bersamaan.Tiada yang menduga dengan apa yang diucapkan Maheza kali ini. Bahkan, Erlina dan Julia yang mendengarkan
Marvin masih sibuk memutar-mutar pena yang ada di tangannya. Ia masih menunggu kabar dari anak buah yang ia kerahkan untuk mencari keberadaan Jenia. Sudah dua bulan, Marvin tidak lagi mendengarkan kabar tentang Jenia, bahkan ia juga sudah meminta Ferdinand menghubungi Cherry.“Mereka berdua pasti sudah bersekongkol untuk mengelabui kita,” ucap Marvin kepada Ferdinand yang masih duduk kaku di atas sofa di dalam ruangan kerja itu.“Aku tidak yakin jika mereka berdua bersekongkol untuk mengelabui kita, karena Cherry sangat membenci gadis itu,”“Apa kamu yakin? Para wanita itu sangat mudah untuk membohongi orang lain dengan mimic wajah mereka,” ucap Marvin.“Ya, aku sangat yakin. Aku rasa, gadis itu masih berada di Bandung, Vin!”“Aku merasa yakin bahwa dia kembali ke Jakarta dan kembali pulang ke keluarganya,” ucap Marvin merasa yakin dengan apa yang terpikir di otaknya.“Itu dia
Mata Jenia seakan sulit untuk berkedip, ia merasa lebih nyaman memandang sesuatu dengan focus, meskipun Dion, rekan satu kerja dengannya tahu bahwa saat ini Jenia tidak hanya sekadar memandang ke arah langit yang indah akan bintang-bintang berkilauan di angkasa, tetapi Jenia sedang melamun.“Je, ada apa denganmu? Sedari tadi kamu hanya melamun saja, bahkan kamu tidak menyantap makan malammu ini.” Kehadiran Dion mengejutkan Jenia yang melamun.“Eh, Dion, kamu bilang apa tadi? Aku tidak mendengarkannya, maafkan aku!” pinta Jenia.“Je, ada apa? Sejak kamu datang, aku perhatikan kamu seperti bukan dirimu saja. Ragamu memang berada di sini, tetapi pikiran dan hatimu seperti berada di tempat lain. Apa kamu sedang patah hati?” terka Dion.“Tidak, Dion, Aku tidak apa-apa. Aku juga sedang tidak patah hati, toh selama ini juga aku tidak pernah jatuh cinta,” sahut Jenia berusaha untuk menunjukkan senyuman terbaiknya.
Seperti biasanya, di dapur toko kue itu, Jenia selalu disandingkan dengan Dion dalam bekerja karena mereka sama-sama juru masak di sana.Dion selalu memberikan cerita-cerita kocak di sela kerjanya karena ia menganggap hal lucu akan membuat pekerjaan terasa ringan dan lebih santai, karena setiap harinya mereka selalu berkelibut dengan tepung dan adonan kue, sehingga akan sangat jarang berjumpa dengan orang lain selama mereka berada di dapur.“Je, kamu tahu, ternyata aku salah, aku pikir dia adalah seorang wanita karena memiliki rambut yang panjang dan indah, tetapi ternyata dia adalah seorang pria,” kekeh Dion sejadinya mengingat ceritanya yang sempat terjeda.Selama Dion menceritakan kisah-kisah kocaknya, Jenia hanya tersenyum simpul dan tidak ikut tertawa. Jenia tidak ingin Lila kembali salah paham jika melihatnya tertawa bersama dengan Dion, pria yang disukai Lila.“Dion, sudahlah jangan bercerita lagi, aku takut jika Bos Justin datang
“Apa kita harus ke rumah sakit?” tanya Jonathan bersiap untuk melajukan kendaraannya.“Seharusnya aku yang mengatakan hal itu kepadamu, kamu terluka dan wajahmu juga memar!” ucap Jenia menunduk merasa bersalah karena telah menjadi penyebab luka di wajah Jonathan.“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku, karena aku begitu khawatir melihat kamu jatuh tersungkur karena pria banci itu,” geram Jonathan mengingat kejadian beberapa menit lalu.“Aku tidak apa-apa, hanya merasa sakit sedikit saja! Sebaiknya kita ke rumah sakit untuk mengobati lukamu ini,” ucap Jenia.“Tidak, aku tidak akan ke rumah sakit hanya karena luka kecil ini.” Jonathan bersikeras untuk tidak ke rumah sakit, “lama sekali temanmu datang membawakan barang-barangmu,”sambung Jonathan.Jenia hanya diam tidak menjawab, karena Jenia sendiri tidak tahu kenapa Dion begitu lama membawakan koper miliknya. Tidak lama mereka men
Jenia kembali mengemasi barang-barangnya dan bersiap-siap untuk pergi meninggalkan tempatnya saat ini. Jonathan hanya bisa memandang tanpa bisa berkata apa-apa lagi.Bukan karena Jonathan tidak berusaha untuk menahan Jenia untuk tetap berada di tempatnya sementara waktu, tetapi Jenia terus bersikeras untuk mencari tempat tinggal lain.“Je, jika kamu bersedia, kamu bisa tinggal di sini,” ucap Jonathan mengulang ucapan yang sudah pernah ia katakan sebelumnya.“Jonathan, bagaimana bisa seorang wanita dan pria yang belum menikah tinggal bersama? Kita ini berada di sebuah Negara yang taat akan hokum,” Jenia beralasan.“Ya, aku tahu, tetapi jika kamu mau untuk tinggal di sini, aku bisa tinggal di tempat yang lain,” ucap Jonathan berusaha untuk membuat Jenia mengerti.“Bagaimana bisa aku tinggal di rumah ini, sedangkan pemiliknya harus terusir karena aku?” tutur Jenia lagi.Bagaimanapun Jonathan sudah
saJenia menyeka air matanya. Penuturan sang kakak membuat dirinya terasa semakin lemah. Hati siapa yang tidak merasa sedih dengan pertanyaan yang ia sodorkan? Jenia beranjak, membelakangi Erlina yang masih duduk menantikan jawabannya. Ia berniat untuk meninggalkan Erlina tanpa memberikan jawaban, tetapi Jenia mengurungkan niatnya. Jenia kembali duduk, menghadap pada kakak yang selama ini selalu ia anggap baik, tetapi sejak saat ini, Jenia merasa ragu dengan sikap yang ia tunjukkan saat ini. “Kak, apa kakak bukan seorang wanita? Kenapa kakak mempertanyakan hal ini kepadaku?” tanya Jenia. Kali ini, gentian Erlina yang terdiam mendengarkan pertanyaan Jenia. Tidak ada kegentaran sama sekali di wajah Jenia. “Bukankah kakak sendiri tahu apa yang benar dan apa yang salah di dunia ini? Selama ini aku selalu kagum pada kakak yang rajin mengikuti kegiatan keagamaan, bahkan dari yang aku lihat, setiap malam kakak selalu membaca kitab,” tutur Jenia.