POV Vina
"Maaf apa keluhannya hanya itu saja?" tanya Dokter.
"Iya, Dok. Kadang perut ini mual. Tapi ada rasa lapar," jawabku sedikit khawatir.
"Ada apa dengan saya, Dokter?" Bersyukur Mas Anton menunggu di luar karena tidak tahan masuk ruangan dokter. Bau obat katanya.
"Hum!" Dokter menarik nafas sambil berdesis.
"Kamu jangan suka menunda-nunda makan, lebih baik makan sebelum lapar. Kamu ada asam lambung, itu yang membuat kamu sering merasa mual. Mulai sekarang coba makan yang teratur kalau tidak mau penyakit lambung kamu semakin parah," ujar Dokter. Bahkan sampai hari ini aku belum makan. Habis jalan bertiga sama Mbak Santi, pasti traktir makan segala. Kalau nggak ada Mas Anton sih tidak masalah. Entah, kadang aku
POV Vina…Dua bulan berlalu, usaha untuk mempengaruhi orang tua Bang Roel untuk tidak menikahkan putranya dengan Rani faktanya sia-sia. Mereka sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan menasihati Rani, selama masa idah perempuan yang baru saja cerai tidak boleh keluar rumah sampai batas waktu yang telah ditentukan. Bahkan mengetahui Rani hanya seorang janda tidak ada pengaruh apapun. Sebab, mereka menyerahkan semuanya pada Bang Roel. Sejak saat mendapat nasihat dari orang tua Bang Roel, Rani pun menurutinya. Ia bahkan minta maaf karena ketidaktahuannya.Orang tua Bang Roel dan Adiknya juga hampir setiap hari datang ke toko. Menemani aku yang jaga sendirian. Sebab, Mas Anton tengah terbaring sakit sudah hampir tiga minggu. Sedang
POV VINA"Duduklah dulu Uni," ujar Bang Roel."Vina layani, Uni Rika. Dia selalu borong," titah Bang Roel."Kemarin juga Uni habis belanja di sini. Sama adek ini juga yang ngelayani. Tapi kok mahal, Roel? Naik bahannya? Susah Uni jual kalau dari Roel mahal-mahal," keluhnya. Mati aku mati …."Patang Roel indak ado, Ni," ucap Bang Roel menggunakan bahasa minang."Kama Roel pai?" tanya Uni lagi."Ado urusan saketek, sabanta lai baralek, tibo yoo, Ni?" Entahlah aku tidak mengerti apa yang mereka katakan."Samo sia babini? Bauntuang sangaik urang tu dapek kau, Roel."
POV VINA"Mbak, kamu nggak ada masalah 'kan?" tanyaku yang melihat mata Mbak Santi terlihat berkaca-kaca. Matanya terlihat nanar saat melihat mantan suaminya tengah bersama perempuan lain."Sakit banget sebenarnya Mbak melihat pemandangan ini," lirihnya. Baru beberapa bulan Mas Galang bercerai dari Mbak Santi, sudah terlihat sangat rapi dan tampan. Dapat perempuan cantik yang jauh dari Mbak Santi pula. Dan ya, wanita cantik itu juga berhijab. Sedangkan Mbak Santi, cerai dari Mas Galang malah sama saja dan tidak ada perubahan. Malah tampak lebih buruk dari segi penampilan. Badan bengkak tidak beraturan, wajah juga jadi dipenuhi banyak jerawat meski sudah banyak memakai skincare. Dietnya juga gagal dan tidak berhasil. Seluruh badannya kendor. Kasihan juga melihatnya seperti ini. Tapi tidak bisa kupungkiri, Mbak Santi memang kelewatan pada suami. Judes, galak, suka berkata kasar. Padahal Mas Galang mau bekerj
POV Rani"Bang, tidak menyangka rumah tangga kita sekarang sudah berjalan hampir tiga bulan lamanya," lirihku masih dalam posisi bermanja sambil menonton film bersama Bang Roel. Semenjak menikah, kami jarang sekali pergi ke toko. Mas Anton pada akhirnya yang menjadi karyawan tetap Bang Roel. Setiap sore dia akan mentransfer omset toko pada rekening Bang Roel. Begitupun dengan Edy dan Kohar. Mereka akan rutin mentransfer omset toko ke rekening-ku. Paling sesekali aku dan Bang Roel pergi ke tokonya. Intinya semenjak menikah kami lebih banyak pergi liburan ke luar negeri maupun luar kota. Benar-benar travelling keliling dunia. Bersamanya, duniaku benar-benar penuh warna. Tapi ada ketakutan tersendiri dalam diriku. Sampai saat ini, aku masih belum juga hamil. Meskipun Bang Roel tidak pernah menyinggung tentang kehamilan. Jelas saja aku kepikiran ucapan Mas Anton yang mengataiku mandul dulu.Dert
POV RANIMalam ini tiba waktunya untuk pergi ke acara ulang tahun Citra. Selain itu mereka juga mengadakan acara reuni. Aku tidak mau mempermalukan Bang Roel, jadi aku berhias secantik mungkin dan juga berpakaian rapi. Sepaket perhiasan yang super cantik kukenakan. Siang tadi aku juga telah pergi ke salon terlebih dahulu. Pokoknya aku harus tampil secantik mungkin, supaya mengimbangi suamiku yang super tampan."Sayang!" panggil Bang Roel."Iya, Bang," jawabku sambil mengenakan anting."Sudah, Bang. Gimana penampilan aku, Bang? Apa hiasaanku terlalu menor? Jawab jujur ya? Supaya aku tidak mempermalukan kamu. Kalau jelek bilang jelek, aku tidak akan marah.""Siapa bilang kamu jelek? Kamu cantik kok. Cantik banget. Se
POV RANI"Sayang, berhenti menangis. Sekarang kita sudah sampai," ucap Bang Roel. Aku mengangguk dan segera turun dari mobil.Bang Roel menggandeng tanganku untuk masuk ke rumah. Nampak Mas Anton masih bermain catur di sana. Ada juga Juwita yang ikut bergabung. Mungkin dia jenuh di dalam sendirian, keduanya juga sedang PDKT."Loh, kok pulangnya cepet banget Bang?" tanya Mas Anton. Bang Roel diam saja tidak menjawab dan tetap berjalan melewati mereka sambil menggandeng tanganku. Terdengar bisik-bisik dan saling senggol di antara mereka. Mungkin tahu kalau Bosnya sedang marah.Sampai di dalam kamar aku langsung mencuci muka lalu berganti pakaian. Setelah itu menggunakan skincare seperti biasa. Baru setelah rapi aku menghamp
POV RANI"Assalamualaikum," ucapku saat aku dan Bang Roel sudah sampai di rumah. Terlihat mertua dan Iparku itu sedang bersantai di ruang keluarga sambil menikmati jamuan. Segera aku pun tersenyum dan menghampiri mereka untuk bersalaman."Apa kabar, Ma?" sapaku sambil mengecup pipi Mama mertuaku itu. Setelah itu, baru menghampiri Papa untuk mencium punggung tangannya. Begitupun dengan Bang Roel, dia melakukan hal yang sama."Leha!" panggilku pada ART yang bekerja di rumah ini."Iya, Bu!" Terdengar Leha menjawab sambil tergopoh menghampiri kami."Tolong bawa belanjaan ini ke dapur ya?""Siap, Bu." Segera ART-ku itu pun berla
PART 40POV VINAMas Anton lama banget. Sampai aku berada di rumah pesan dariku masih juga belum dibaca olehnya. Tanganku rasanya gatal ingin segera menghubunginya.Tut ….! Terlihat berdering. Berarti panggilan terhubung. Segera aku matikan kembali karena niatku hanya miscall. Sambil berbaring dan mengotak-atik ponsel aku masih setia menunggu pesan darinya.Krekt!Mbak Santi membuka pintu, aku melirik sedikit sinis ke arahnya. Gara-gara mulut dia, keluarga kami jadi terkenal keluarga tidak benar. Tidak ada pemuda dari kampung sini yang melirik janda kami. Disini aku terkenal 'Ada uang Abang kusayang, tak ada uang Abang kutendang.' Aku juga tidak tahu orang-orang itu tahu darimana. Intinya pemuda di perkampungan ini tidak ada yang m
POV YUDHASampai di kamar, aku coba untuk kembali menghubungi Cintia. Tak menyerah! Sampai teleponku mendapat jawaban aku terus berusaha menghubunginya."Halo." Tiba-tiba terdengar suara seraknya. Sepertinya dia baru bangun tidur."Halo, kamu dimana? Kenapa bikin aku khawatir?" tanyaku dengan nada suara terdengar panik."Maaf, Mas. Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku ada di hotel bersama Afi," jawab Cintia."Hotel mana? Aku jemput yah sekarang. Aku udah dapat rumahnya. Kita pindah. Aku bukan lagi kontrak rumah, tapi aku beli rumah untuk kamu. Untuk kita. Rumah yang sudah lengkap dengan isinya. Pasti kamu suka. Maafin aku ya kemarin sempat marah sama kam
Sampai di cafe terdekat, aku langsung mengambil meja paling pojok. Setelah itu pelayan datang menghampiri. Langsung aku pun memesan makanan. "Afi mau pesan apa?""Nasi goreng daging dengan telur ceplok setengah matang, Ma. Sama pesan lemon tea," ucapnya."Mbak pesan itu aja dua. Sedang ya jangan terlalu pedas," ujarku pada Pelayan. Mbak Pelayan itu pun mengangguk dan segera beranjak.Sungguh, dalam keadaan seperti ini, aku kembali teringat dengan Mas Reno. Aku kira hatiku sudah mampu menerima Yudha seutuhnya, tapi ternyata tidak. Laki-laku itu sama sekali belum sepenuhnya memenangkan hatiku. Dan yah, mungkin aku menikahinya karena atas dasar rasa kasihan melihat perjuangannya. Atau aku mau menikah dengannya karena Afi? Afi menganggap Yudha Ayahnya.
Pov Rani"Bang aku kok gak bisa tidur ya? Kepikiran nasib Vina," lirihku karena mataku masih terjaga. Bang Roel langsung mengusap rambutku dengan lembut dan mencium pucuk kepalaku."Iya. Abang juga kasihan. Doakan saja yang terbaik. Apa kita coba tengok ke kampung halamannya?""Ide bagus tuh, Bang. Tapi anak-anak kasihan kalau harus dibawa pergi jauh. Pasti mereka kecapekan, Bang," ujarku."Iya juga sih. Besok Abang bicarakan dengan Yudha," ujarnya."Dia lagi malam pertama pasti, Bang.""Abang juga mau malam pertama kita diulang. Boleh?" ijinnya sembari menatap dalam mataku.
POV RANIMalam ini seperti biasa kami berkumpul di ruang tamu. Hujan sedari siang tadi masih belum berhenti. Justru semakin deras. Sudah pukul delapan malam Yudha belum juga pulang. Begitupun dengan Dita. Ponsel mereka tidak aktif sama sekali. Kemana mereka pergi.Ting … nong ….!Terdengar suara bel berbunyi. Segera ART kami berlari membukakan pintu. Mungkin Yudha dan Dita."Assalamualaikum!" ucap Dita."Walaikumsalam!" jawab kami serempak. Segera adik Iparku itu berjalan menghampiri kami."Baru pulang?" tanyaku."Ya, Mbak. Tadi aku mampir dulu di restoran makan. Hujannya bikin male
POV CINTIA"Jangan melamun, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Kenapa seperti hilang konsentrasi?" sapa Ibu mertua saat aku tengah membuat sarapan pagi ini. Aku tersenyum pada mertuaku sambil menggenggam tangannya."Tidak ada, Bu. Setelah berpikir semalaman, memang ada baiknya aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Yudha," ujarku lirih. Tak kusangka ku lontarkan juga kata-kata ini."Alhamdulillah. Memang sebaiknya begitu. Terlebih Afi pun sudah sangat dekat dengan Yudha," ucap Ibu. 'Bukan hanya dekat, Bu. Tapi Afi bilang sosok Ayahnya ada pada Yudha. Aku tidak boleh egois. Tidak menutup kemungkinan jika suatu saat Yudha bisa bersama orang lain, lantas bagaimana dengan Afi. Aku tidak mau itu kembali terjadi."Iya, Bu," ucapku coba tersenyum sambil membawa nasi go
POV RANIHari terus berlalu seiring berjalannya waktu. Setelah beberapa bulan ini, sejak bertemu dengan Vina, aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Terakhir dia mengabari sudah berada di kampung dan sampai saat ini tidak pernah lagi memberi kabar. Nomor yang digunakan untuk menghubungiku juga sudah tidak pernah aktif lagi. Pernah aku coba hubungi untuk menanyakan kabarnya, tapi tidak bisa. Apapun itu, semoga saja keadaan Vina membaik. Diangkat segala penyakitnya supaya bisa menjalani hidup dengan baik.Dalam beberapa bulan ini banyak yang terjadi. Sekarang Damar dan Wulan sudah berusia 7 bulan. Keduanya tumbuh sehat. Mereka sudah bisa mengucapkan kata mama atau papa, juga sudah mulai bisa tengkurap, dan bahkan berguling untuk berpindah dari satu sisi tempat tidur ke sisi lainnya. Pokoknya aku dan Bang Roel benar-benar tidak mau melewati masa lucu
POV VINAAku tak menyangka kembali bertemu dengan Rani dalam keadaan yang sangat memprihatinkan seperti ini. Aku malu … sekarang aku sangat lemah. Hari ini kau merasakan sakit luar biasa terutama di bagian alat vitalku. Dapat kurasakan sesuatu mengalir deras seperti perempuan yang tengah mengalami menstruasi. Tapi bukan darah. Melainkan nanah. Apakah ini balasan atas perbuatan yang kulakukan? Bang Roel, dia terus menjauh sambil menutup hidung. Mungkin bau yang ditimbulkan ini memang sangat menyengat?"Mas bagaimana?" tanya Rani."Bagaimana apanya? Tidak mungkin kita yang antar dia ke rumah sakit. Vina sangat kotor. Dan ya, di dalam juga ada anak-anak. Nggak mungkin kita ajak Vina masuk ke mobil. Kamu kasih duit saja biar dia bisa ke rumah
POV RANIPagi ini kami sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Ini kali pertama aku masak di tempat mertuaku. Ya, mereka juga mertuaku. Karena merekalah Bang Roel terlahir. Cintia pagi ini terlihat sangat manis dan penuh senyum. Wajahnya yang teduh lagi ayu, membuat kedamaian sendiri bagi orang yang menatapnya."Yudha sama Afi mana?" tanya Bang Roel."Mungkin sebentar lagi turun dari kamar," jawab Cintia. Wanita itu mulai menyusun piring di meja makan."Bagaimana keadaan dia?" tanya Bang Roel."Alhamdulillah baik. Semalam sebelum tidur juga mau menghabiskan susunya. Dibujuk oleh Mas Yudha," ujarnya lembut. Tutur suara perempuan itu terdengar halus lagi menenangkan.
POV RANITiga minggu berlalu, kami kembali menjalani kehidupan dengan normal. Namun, entah kenapa, aku teringat akan orang tua kandung suamiku. Tersirat di benakku untuk mengajaknya silaturahmi ke tempat mereka. Meski bagaimanapun, mereka tetaplah orang tua kami. Kami tidak boleh menyimpan dendam. Mungkin mereka ingin singgah kesini tapi ada perasaan segan. Tidak ada dendam sih, waktu itu suamiku juga bilang akan tetap menjaga silaturahmi dengan mereka. Mungkin suamiku lupa dengan janjinya. Ah, dia pun juga manusia biasa yang perlu diingatkan. Atau larut pada kebenaran tentang Dion yang telah meninggal dunia. Ya, semenjak dia tahu karyawannya itu meninggal dalam kecelakaan, ia merasa sangat bersalah."Bang, hari ini kita pergi ke rumah Ibu dan Ayah yuk. Kasihan mereka masih dalam suasana berduka. Kita juga t