POV GALANG.
"Sudahlah, Galang. Kamu jalani saja rumah tangga kamu dengan, Santi. Bukankah ini sudah menjadi pilihanmu? Dulu saat Winda tidak mau dicerai dan rela diduakan, kenapa justru kamu lebih memilih menuruti ucapan, Santi? Kamu yang salah. Tidak usah kamu berkeluh kesah pada kami," ucap Ibu. Kirana mengangguk. Ya, hari ini aku berada di tempat orang tuaku karena semalam aku menginap di sini. Sejak pertengkaran hebat kemarin pagi, aku memutuskan untuk tidak bekerja dan memilih pergi ke rumah orang tuaku.
"Iya, Mas. Kirana saja sebenarnya menyayangkan dulu Mas Galang menceraikan, Mbak Winda. Menganggapnya seperti anjing jalanan yang tidak ada harganya. Mas Galang pun tidak memberi nafkah sama sekali untuk Ayu. Mas Galang fokus dengan Santi dan anaknya. Kami saja sempat merasa Mas Galang sudah melupakan kami saat masa kejayaan dulu. Bahkan Mbak Santi tidak
POV GALANG"Mas! Lihat ini istrimu. Marah-marah gak jelas begitu. Main tuduh Ibu yang suruh kalian cerai. Emang dasar perempuan sinting!" semprot Kiran sesampainya aku di rumah."Ini! Lihat status-statusnya, seakan memojokkan Ibu," imbuhnya."Desti masuk ke kamar, Mbak Ova dulu ya. Ova, bawa Desti ke kamar kamu!" perintahku pada adikku yang bungsu. Seperginya Desti aku langsung gegas ke ruang keluarga menghampiri Ayah dan Ibu. Disusul Kiran yang berjalan di belakangku. Setelah mencium punggung tangan mereka, aku pun duduk dan bergabung. Aku yakin, pasti kali ini mereka akan membahas soal perceraianku dengan Santi."Kenapa, Desti kamu bawa sini?" tanya Ayah."Santi yang menyuruhnya, Yah. Dia enggan mengu
POV RaniHari ini, tiba waktunya aku akan pergi ke acara pernikahan bersama Bang Roel. Uda tampan hitam manis dari kota minang itu, memang mampu mencuri hati dan perhatianku. Siapapun perempuan normal yang melihat wajahnya, pasti akan terkesima. Termasuk aku, dan aku … merasa menjadi manusia paling beruntung dapat menjadi sahabatnya. Syukur-syukur lebih dari itu. Tapi aku sadar diri siapa aku ini, sehingga rasa kagum itu, cukup aku saja yang rasa.Sementara di luar, semua keluarga tengah sibuk mengurus acara pernikahan Mbak Winda dan manager Bank tempatnya bekerja. Namanya, Fahri. Aku kira jodoh Mbak Winda itu Bang Riki, ternyata atasannya sendiri. Setelah menikah, rencana, Mbak Winda dan Ayu akan dibawa pindah oleh Bang Fahri. Sebab, Bang Fahri akan dipindah tugaskan di cabang lain yang berada
Hari ini aku sedikit terkejut melihat Rani sangat cantik datang bersama bosku. Kelihatan sekali Bang Roel menyukai Rani. Seperti mimpi ketika Rani memberikan aku senyum termanisnya. Mungkinkah masih ada sedikit harap untukku?Bang Roel mampu membuatku cemburu, aneh memang ketika melihat keduanya minum dalam satu botol. Sudah sedekat inikah hubungan mereka? Terkadang Bang Roel juga mengusap bibir manis Rani dengan sebelah tangannya ketika ada bekas nasi yang menempel di sudut bibirnya."Sayang, kamu buru-buru?" tanya Bang Roel pada Rani. Aku dan Vina saling melirik. Entah kenapa, perut yang semula lapar menjadi sangat kenyang."Enggak kok. Kan tadi sudah izin sama Mama dan Papa. Yang penting kamu antarin aku pulang," jawab Rani terdengar begitu lembut. Bang Roel tersenyum manis padanya."Vin, tolong ambilin tisu basah di dalam ya!" Bang Roe
POV Anton"Santi, tadi aku tanya kamu kenal dimana sama suami Rani?" tanya Bang Roel yang tengah sibuk mengendarai mobilnya."Dan kamu Anton, tadi kamu belum lanjutkan ucapanmu. Kalian ini sangat pandai membuat orang penasaran," ucap Bang Roel."Em, anu … Bang--." Aku bingung mau jawab apa. Terlebih ketika menatap Vina wajahnya sangat menyeramkan."Kenal lah Bang! Orang mantan suami Rani itu Mas Anton!" jawab Mbak Santi ketus.Cccrriiiitttt!Bang Roel kaget sampai stir yang dikemudikan hampir oleng."Segitunya kamu kaget, Bang. Dekat sama Rani, aku kira sudah tahu!" ucap Santi lagi
POV AntonSudah hampir pukul sembilan pagi toko belum buka juga."Tumben Bang Roel belum datang," ucap Mbak Santi aku diam saja sambil menyeruput kopi."Gimana ya cara mengacaukan hubungan antara Rani dan Bang Roel? Nggak rela banget aku kayaknya," kata Mbak Santi."Iya, nasibnya bagus banget. Nggak kaya aku," keluh Vina. Aku juga belum rela lagi ikhlas melihatnya dimiliki laki-laki lain."Vin, kamu hamil ya?" Pertanyaan Mbak Santi hampir saja membuatku tersedak kopi."Nggak tahu nih, Mbak. Rasanya lapar terus sih, ada rasa mual juga beberapa hari belakangan," desisnya."Coba periksa ke dokter atau bidan
POV Vina"Maaf apa keluhannya hanya itu saja?" tanya Dokter."Iya, Dok. Kadang perut ini mual. Tapi ada rasa lapar," jawabku sedikit khawatir."Ada apa dengan saya, Dokter?" Bersyukur Mas Anton menunggu di luar karena tidak tahan masuk ruangan dokter. Bau obat katanya."Hum!" Dokter menarik nafas sambil berdesis."Kamu jangan suka menunda-nunda makan, lebih baik makan sebelum lapar. Kamu ada asam lambung, itu yang membuat kamu sering merasa mual. Mulai sekarang coba makan yang teratur kalau tidak mau penyakit lambung kamu semakin parah," ujar Dokter. Bahkan sampai hari ini aku belum makan. Habis jalan bertiga sama Mbak Santi, pasti traktir makan segala. Kalau nggak ada Mas Anton sih tidak masalah. Entah, kadang aku
POV Vina…Dua bulan berlalu, usaha untuk mempengaruhi orang tua Bang Roel untuk tidak menikahkan putranya dengan Rani faktanya sia-sia. Mereka sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan menasihati Rani, selama masa idah perempuan yang baru saja cerai tidak boleh keluar rumah sampai batas waktu yang telah ditentukan. Bahkan mengetahui Rani hanya seorang janda tidak ada pengaruh apapun. Sebab, mereka menyerahkan semuanya pada Bang Roel. Sejak saat mendapat nasihat dari orang tua Bang Roel, Rani pun menurutinya. Ia bahkan minta maaf karena ketidaktahuannya.Orang tua Bang Roel dan Adiknya juga hampir setiap hari datang ke toko. Menemani aku yang jaga sendirian. Sebab, Mas Anton tengah terbaring sakit sudah hampir tiga minggu. Sedang
POV VINA"Duduklah dulu Uni," ujar Bang Roel."Vina layani, Uni Rika. Dia selalu borong," titah Bang Roel."Kemarin juga Uni habis belanja di sini. Sama adek ini juga yang ngelayani. Tapi kok mahal, Roel? Naik bahannya? Susah Uni jual kalau dari Roel mahal-mahal," keluhnya. Mati aku mati …."Patang Roel indak ado, Ni," ucap Bang Roel menggunakan bahasa minang."Kama Roel pai?" tanya Uni lagi."Ado urusan saketek, sabanta lai baralek, tibo yoo, Ni?" Entahlah aku tidak mengerti apa yang mereka katakan."Samo sia babini? Bauntuang sangaik urang tu dapek kau, Roel."
POV YUDHASampai di kamar, aku coba untuk kembali menghubungi Cintia. Tak menyerah! Sampai teleponku mendapat jawaban aku terus berusaha menghubunginya."Halo." Tiba-tiba terdengar suara seraknya. Sepertinya dia baru bangun tidur."Halo, kamu dimana? Kenapa bikin aku khawatir?" tanyaku dengan nada suara terdengar panik."Maaf, Mas. Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku ada di hotel bersama Afi," jawab Cintia."Hotel mana? Aku jemput yah sekarang. Aku udah dapat rumahnya. Kita pindah. Aku bukan lagi kontrak rumah, tapi aku beli rumah untuk kamu. Untuk kita. Rumah yang sudah lengkap dengan isinya. Pasti kamu suka. Maafin aku ya kemarin sempat marah sama kam
Sampai di cafe terdekat, aku langsung mengambil meja paling pojok. Setelah itu pelayan datang menghampiri. Langsung aku pun memesan makanan. "Afi mau pesan apa?""Nasi goreng daging dengan telur ceplok setengah matang, Ma. Sama pesan lemon tea," ucapnya."Mbak pesan itu aja dua. Sedang ya jangan terlalu pedas," ujarku pada Pelayan. Mbak Pelayan itu pun mengangguk dan segera beranjak.Sungguh, dalam keadaan seperti ini, aku kembali teringat dengan Mas Reno. Aku kira hatiku sudah mampu menerima Yudha seutuhnya, tapi ternyata tidak. Laki-laku itu sama sekali belum sepenuhnya memenangkan hatiku. Dan yah, mungkin aku menikahinya karena atas dasar rasa kasihan melihat perjuangannya. Atau aku mau menikah dengannya karena Afi? Afi menganggap Yudha Ayahnya.
Pov Rani"Bang aku kok gak bisa tidur ya? Kepikiran nasib Vina," lirihku karena mataku masih terjaga. Bang Roel langsung mengusap rambutku dengan lembut dan mencium pucuk kepalaku."Iya. Abang juga kasihan. Doakan saja yang terbaik. Apa kita coba tengok ke kampung halamannya?""Ide bagus tuh, Bang. Tapi anak-anak kasihan kalau harus dibawa pergi jauh. Pasti mereka kecapekan, Bang," ujarku."Iya juga sih. Besok Abang bicarakan dengan Yudha," ujarnya."Dia lagi malam pertama pasti, Bang.""Abang juga mau malam pertama kita diulang. Boleh?" ijinnya sembari menatap dalam mataku.
POV RANIMalam ini seperti biasa kami berkumpul di ruang tamu. Hujan sedari siang tadi masih belum berhenti. Justru semakin deras. Sudah pukul delapan malam Yudha belum juga pulang. Begitupun dengan Dita. Ponsel mereka tidak aktif sama sekali. Kemana mereka pergi.Ting … nong ….!Terdengar suara bel berbunyi. Segera ART kami berlari membukakan pintu. Mungkin Yudha dan Dita."Assalamualaikum!" ucap Dita."Walaikumsalam!" jawab kami serempak. Segera adik Iparku itu berjalan menghampiri kami."Baru pulang?" tanyaku."Ya, Mbak. Tadi aku mampir dulu di restoran makan. Hujannya bikin male
POV CINTIA"Jangan melamun, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Kenapa seperti hilang konsentrasi?" sapa Ibu mertua saat aku tengah membuat sarapan pagi ini. Aku tersenyum pada mertuaku sambil menggenggam tangannya."Tidak ada, Bu. Setelah berpikir semalaman, memang ada baiknya aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Yudha," ujarku lirih. Tak kusangka ku lontarkan juga kata-kata ini."Alhamdulillah. Memang sebaiknya begitu. Terlebih Afi pun sudah sangat dekat dengan Yudha," ucap Ibu. 'Bukan hanya dekat, Bu. Tapi Afi bilang sosok Ayahnya ada pada Yudha. Aku tidak boleh egois. Tidak menutup kemungkinan jika suatu saat Yudha bisa bersama orang lain, lantas bagaimana dengan Afi. Aku tidak mau itu kembali terjadi."Iya, Bu," ucapku coba tersenyum sambil membawa nasi go
POV RANIHari terus berlalu seiring berjalannya waktu. Setelah beberapa bulan ini, sejak bertemu dengan Vina, aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Terakhir dia mengabari sudah berada di kampung dan sampai saat ini tidak pernah lagi memberi kabar. Nomor yang digunakan untuk menghubungiku juga sudah tidak pernah aktif lagi. Pernah aku coba hubungi untuk menanyakan kabarnya, tapi tidak bisa. Apapun itu, semoga saja keadaan Vina membaik. Diangkat segala penyakitnya supaya bisa menjalani hidup dengan baik.Dalam beberapa bulan ini banyak yang terjadi. Sekarang Damar dan Wulan sudah berusia 7 bulan. Keduanya tumbuh sehat. Mereka sudah bisa mengucapkan kata mama atau papa, juga sudah mulai bisa tengkurap, dan bahkan berguling untuk berpindah dari satu sisi tempat tidur ke sisi lainnya. Pokoknya aku dan Bang Roel benar-benar tidak mau melewati masa lucu
POV VINAAku tak menyangka kembali bertemu dengan Rani dalam keadaan yang sangat memprihatinkan seperti ini. Aku malu … sekarang aku sangat lemah. Hari ini kau merasakan sakit luar biasa terutama di bagian alat vitalku. Dapat kurasakan sesuatu mengalir deras seperti perempuan yang tengah mengalami menstruasi. Tapi bukan darah. Melainkan nanah. Apakah ini balasan atas perbuatan yang kulakukan? Bang Roel, dia terus menjauh sambil menutup hidung. Mungkin bau yang ditimbulkan ini memang sangat menyengat?"Mas bagaimana?" tanya Rani."Bagaimana apanya? Tidak mungkin kita yang antar dia ke rumah sakit. Vina sangat kotor. Dan ya, di dalam juga ada anak-anak. Nggak mungkin kita ajak Vina masuk ke mobil. Kamu kasih duit saja biar dia bisa ke rumah
POV RANIPagi ini kami sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Ini kali pertama aku masak di tempat mertuaku. Ya, mereka juga mertuaku. Karena merekalah Bang Roel terlahir. Cintia pagi ini terlihat sangat manis dan penuh senyum. Wajahnya yang teduh lagi ayu, membuat kedamaian sendiri bagi orang yang menatapnya."Yudha sama Afi mana?" tanya Bang Roel."Mungkin sebentar lagi turun dari kamar," jawab Cintia. Wanita itu mulai menyusun piring di meja makan."Bagaimana keadaan dia?" tanya Bang Roel."Alhamdulillah baik. Semalam sebelum tidur juga mau menghabiskan susunya. Dibujuk oleh Mas Yudha," ujarnya lembut. Tutur suara perempuan itu terdengar halus lagi menenangkan.
POV RANITiga minggu berlalu, kami kembali menjalani kehidupan dengan normal. Namun, entah kenapa, aku teringat akan orang tua kandung suamiku. Tersirat di benakku untuk mengajaknya silaturahmi ke tempat mereka. Meski bagaimanapun, mereka tetaplah orang tua kami. Kami tidak boleh menyimpan dendam. Mungkin mereka ingin singgah kesini tapi ada perasaan segan. Tidak ada dendam sih, waktu itu suamiku juga bilang akan tetap menjaga silaturahmi dengan mereka. Mungkin suamiku lupa dengan janjinya. Ah, dia pun juga manusia biasa yang perlu diingatkan. Atau larut pada kebenaran tentang Dion yang telah meninggal dunia. Ya, semenjak dia tahu karyawannya itu meninggal dalam kecelakaan, ia merasa sangat bersalah."Bang, hari ini kita pergi ke rumah Ibu dan Ayah yuk. Kasihan mereka masih dalam suasana berduka. Kita juga t