Madin bingung melihat reaksi Alisha yang tiba-tiba menangis ketika melihat Deni.
"Kamu kenapa?" tanya Madin.Alisha menggelengkan kepalanya, tidak ingin menceritakan tentang dirinya dan Deni bertemu beberapa hari yang lalu."Dia teman lama, Pak. Mungkin kangen sama sekolah dulu," kata Deni.Madin tertawa, merasa lucu karena seharusnya reaksi Alisha tidak begitu saat bertemu teman lama. "Kupikir tadi apa?""Kami sempat musuhan dulu, pas ketemu sayanya sukses. Mungkin dia malu." Alisha tertawa sambil mengusap air matanya. "Astaga, cuma itu saja," kata Madin sambil melirik Alisha."Berhubung saya dan dia sudah saling kenal, Bapak nggak perlu khawatir. Dia akan saya beri tempat tinggal."Madin menatap Luna. "Baik-baik bekerjanya, ya?"Luna menganggukkan kepala. "Terima kasih.""Sama-sama. Saya masih ada kerjaan. Permisi." Setelah berkata, Madin segera pergi.Alisha itu kini hanya berdua dengan Deni. Alisha hanya berdiri mematung. Dalam hati ia sangat malu karena telah mengabaikan nasihat Deni dan datang dengan keadaan yang menyedihkan.Deni menghela napas. "Bagaimana kabarmu?"Alisha menahan sekuatnya agar air mata tidak mengalir. Namun, percuma karena semakin ditahan semakin ingin menangis. "Aku baik."Sekali lagi Deni menghela napas. Ia tahu bahwa Alisha kini tengah berbohong."Aku nggak bisa memberikan pekerjaan OB ke kamu, Bu Lisha?"Alisha terkejut. "Kenapa, Pak?" Deni menunjuk perut Alisha. "Karena dia."Alisha menyentuh perutnya. "Saya harus bekerja."Deni berdiri, kemudian menghampiri Alisha. "Aku khawatir dengannya. Lebih baik kau pulang dan beristirahat saja. Biarkan suamimu yang bekerja. Kau boleh datang lagi setelah melahirkan." "Saya bisa bekerja." Alisha menatap Deni.Sejenak Deni terdiam. "Saya nggak mau ikut campur urusanmu, tapi harus ada alasan supaya kamu bisa saya terima di sini." "Dia, bapak dan ibu tiriku...." Alisha menangis. "Mereka mengusirku." "What? Apa yang terjadi?" "Aku difitnah. Mereka mengambil video di hotel dan mengarang kejadian memalukan sehingga ayahku mengira aku sudah tidur dengan banyak lelaki."Deni mengepalkan kedua tangan. Ia marah karena perlakuan mereka. "Aku tidak punya rumah, uang dan tempat bersandar. Aku bingung." Deni menyentuh pundak kanan Alisha, tetapi Alisha malah memeluknya. Ia merasa tidak nyaman, tetapi untuk menolak, ia takut akan membuat Alisha tersinggung. "Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Tolong terima aku bekerja." "Hem, baiklah." Alisha melepaskan pelukannya pada Deni. "Terima kasih, Pak. Terima kasih sekali." "Berhentilah menangis." Deni menyeka air mata Alisha dengan tisu yang baru diambil dari mejanya. Alisha sejenak terdiam. Ia belum pernah diperlakukan romantis oleh lelaki mana pun. Kini perlakuan Deni membuatnya terkesima sampai tak sadar telah menatapnya begitu lama. "Maaf." Alisha segera menjauh, mundur dua langkah dari Deni."Kamu tinggal di rumah saya dulu untuk sementara, ya, Bu." Bima kembali ke mejanya. "Baik, Pak." "Maaf kalau di sini nggak bisa ber-aku. Soalnya kita berada di kantor. Kamu paham, kan?" "Saya paham, Pak." Deni melirik melihat arlojinya. "Kamu tunggu saja di sofa itu. Pas jam makan siang saya antar kamu ke rumah." Alisha menganggukkan kepalanya. Ia berjalan menuju sofa yang berada di sisi ruangan itu, kemudian duduk di sana. Ada televisi di sana, tapi ia tidak berani menghidupkannya.***
12:20, Alisha dan Deni telah berada di rumah. Alisha kebingungan saat melihat rumah itu yang berbeda dari yang waktu di lihatnya."Aku sempat meminta beberapa orang untuk merenovasi tempat ini," kata Deni.Alisha mengangguk-angguk. "Padahal baru beberapa hari.""Kuberi waktu dua hari untuk mengecat dan memerbaiki beberapa." Deni berjalan ke taman belakang. Alisha takjub melihat pemandangan itu. Ada bunga mawar yang berada di ujung pagar. Pohon mangga dan pohon cempedak. "Kalau kau mau, ambillah.""Apa nggak ada yang marah kalau kamu membawaku kemari?" Deni menatap Alisha. "Nggak. Ini rumahku.""Ibumu di mana?" "Dia ada di Balikpapan."Perut Alisha tiba-tiba berbunyi. Perempuan itu malu karena Deni harus mendengarnya. Alisha menyengir sambil berkata, "Sorry. Aku lapar."
Deni tersenyum. "Aku akan memasak untukmu." Deni diikuti oleh Alisha pergi ke dapur. Perempuan itu duduk di depan meja tempat meletakkan makanan dan sayur, sedangkan Deni sibuk memasak."Apa perlu aku membantumu?" Alisha bertanya."Tidak perlu." Deni mengambil sebotol susu putih dan kemudian menuang susu ke gelas, setelah itu diberikan pada Alisha. "Minumlah."Alisha meminum susu itu. Setelah itu ia melirik ke luar pintu dapur. Perempuan ini melihat mangga muda. Deni menoleh ke arah luar. "Apa yang kau lihat?"Alisha menggelengkan kepalanya.Deni tahu bahwa Alisha ingin makan mangga, jadi ia menunda masakannya. Deni pergi ke luar. Alisha melihat Deni mengambil mangga dengan sebatang kayu. Ia membayangkan memiliki Suami seperti itu. "Andai saja, huh, tapi nggak mungkin." Deni datang dengan dua buah mangga muda. Ia mengupas mangga kemudian menyajikan ke piring, lengkap dengan garam. "Makanlah." Setelah itu ia kembali memasak.Alisha tengah asyik memakan mangga. Tiba-tiba ponsel Deni berdering di atas meja. Ia sempat membaca nama orang yang menghubungi Deni. "Aku terima telepon dulu." Deni segera keluar. Ia kini berada di luar dapur."Kapan kamu mau menikah?" tanya ibunya yang berada lewat telepon.Deni memijat keningnya sambil menghela napas berat. "Aku belum memikirkan itu, Ma.""Melinda sudah jamuran nunggu kamu. Cepatlah ambil keputusan." "Aku nggak cinta sama dia, Ma.""Apaan, sih? Pake cinta-cintaan segala. Nikah dulu, cinta belakangan.""Nggak bisa begitu, Ma. Aku nggak mau tinggal bersama orang yang nggak aku sayang. Kalau nanti jadi nikah juga, toh, aku nggak bisa pura-pura terus apalagi nanti kalau ternyata aku suka sama cewek lain, nah, gimana itu?" "Ribet banget, sih, hidupmu. Pokoknya aku nggak mau tahu. Besok dia datang. Kamu harus baik sama dia. Dia juga akan nginap beberapa hari." "Astaga, Ma. Kenapa nggak jujur ke dia? Aku nggak mau sama dia." "Pokonya harus. Awas kalau kamu buat dia marah.""Ma, Mama!" Pembicaraan berakhir membuat Deni prustasi. "Aaah!" Alisha berteriak.Deni terkejut. "Alisha!""Aduh, sakit," rengek Alisha, sambil menutupi lukanya."Apa ini?" Deni melihat jari telunjuk Alisha yang terluka. Ia lalu melihat pisau yang digunakan oleh perempuan itu. "Kamu ngapain, sih? Sini jarimu!""Aku mencoba membantumu." Ia meringis sambil menyerahkan tangannya untuk dirawat oleh Deni."Ayo, duduk dulu!" Deni mengajak Alisha duduk di kursi dekat pintu menuju ruang makan. "Tunggu sebentar." Alisha menyedot darah di jarinya, kemudian ia melihat jarinya yang masih mengeluarkan darah. "Ish..."Deni datang dengan kotak obat. Ia menyeret kursi lalu duduk di hadapan Alisha. "Tahan, rasanya agak perih.""Auh!" Deni menatap Alisha saat perempuan itu menjerit. Ia tersenyum, kemudian berkata, "Kamu cantik bila sedang meringis."Alisha merenggut karena itu artinya Deni tengah mengejeknya. "Kamu suka seperti itu, ya? Suka bila aku sakit.""Maaf-maaf. Aku cuma bercanda." Deni tertawa.Alisha sejenak terpesona menatap wajah bahagia Deni. Deni segera menghentikan tawanya, kemudian menaik
Alisha tidak dapat tidur. Ia mengalami mimpi buruk. Di dalam mimpinya ia mendapatkan perlakuan buruk dari ibunya Deni. Perempuan ini terbangun ketika ibunya Deni akan menampar wajahnya. Keringat mengalir deras dari pelipis kiri hingga ke dagunya. Ia menelan ludah sambil menggosok wajah. Kilatan cahaya petir tanpa suara kini menerobos masuk dari celah ventilasi di atas jendela. Rupanya tengah ada pemadaman listrik bergilir. Ia mencari sesuatu di laci meja. "Alisha," panggil Deni.Alisha menoleh ke arah pintu." Ya.""Aku membawa lilin." Alisha melihat dengan memanfaatkan penerangan dari cahaya kilatan yang memasuki ventilasi. Ia membuka pintu dan melihat wajah Deni yang diterangi oleh lilin. "Ini lilin untukmu." Deni memberikan lilin yang sudah menyala. "Terima kasih. Em, apa kamu ada? "Aku ada. Pakai saja lilin itu." "Hem, oke." Hatinya berdenyut ketika tidak sengaja menyentuh tangan Deni. "Kamu nggak papa, kan?" Deni heran melihat Alisha yang sepertinya salah tingkah padanya.
Plak! Alisha menampar wajah Dani, setelah itu berlari ke kamarnya. "Kamu salah paham!" Dani berseru sambil menyusul Alisha, tapi perempuan itu telah mengunci pintu sehingga ia hanya dapat terdiam di depan pintu sambil berupaya menjelaskan kesalahpahaman mereka."Aku nggak sengaja, Lis? Aku nggak tahu apa-apa."Alisha menutup kedua kupingnya dengan bantal. Ia sangat kecewa dengan Dani.Dani menghela napas sedalam-dalamnya. Mencoba bersabar dengan sikap Alisha yang enggan mendengar penjelasannya. "Maaf, Alisha. Aku nggak pernah bermaksud merendahkanmu."Alisha terdiam mendengar keputusasaan Dani. Perlahan ia meletakkan bantal sambil merenung. ***Semalam Alisha tidak dapat tidur, jadi ia memutuskan untuk memasak. Meski sangat marah pada Dani, tapi ia tidak mungkin melupakan kebaikan lelaki itu.Dani menatap Alisha, tapi tidak berani menyapanya. Ia makan tanpa bicara sepatah kata pun. Begitupun Alisha, bahkan perempuan itu tidak makan. Sampai pada mereka akan berangkat ke kantor. Alis
Alisha terkejut, buru-buru masuk lagi ke kamar Yeni. "Kamu kenapa?" tanya Yeni. Ia begitu heran saat melihat Alisha yang hampir tersandung saat memasuki kamarnya."Aku nggak sengaja ngelihatin orang di depan kamar ini. Dia marah." Ia melirik ke arah pintu untuk memastikan bahwa orang yang baru saja menegurnya tadi tidak mendatanginya."Mungkin kamu melihatnya tengah marahan sama suaminya. Dia sering begitu." "Aku nggak merasa melihat siapa pun. Bahkan perempuan yang marah tadi. Aneh aja dia bisa lihat aku." "Em, mungkin dia melihatmu di tempat yang kau nggak bisa jangkau," terkanya. Ia sempat berhenti mengemas pakaiannya ketika menjawab pertanyaan Alisha.Alisha memperhatikan pakaian Yeni yang berada di tas dan tas itu belum dikunci oleh Yeni. "Menurutmu ... Dani itu bagaimana?"Yeni menutup tasnya, kemudian meletakkan di lantai, siap untuk dibawa ke hotel. "Baik dan tegas. Kenapa kamu bertanya?" "Aku cuma mau tahu aja.""Loh, bukannya kalian saudara tiri, ya? Masa, nggak tahu?""
"Kamu nggak boleh bersikap begitu sama calon istrimu!" bentak ibunya Dani."Mama lebih bela dia daripada aku. Padahal aku juga belum setuju mau sama dia." "Tante, tolong bersabar. Banyak orang yang melihat kita," kata Melinda. "Ini semua karena kamu!" Dani membentak Melinda dan tegas menunjuk wajah perempuan itu sehingga kini banyak orang yang melihat ke arah Melinda. "Jangan bikin malu!" bentak ibunya sambil menepis tangan putranya.Dani menatap marah pada ibu dan calon istrinya. Setelah itu pergi. ***Dani tidak berbicara sama sekali pada ibunya semenjak terakhir kali mereka berdebat di restoran. Mereka telah tiba di rumahnya, tapi Dani sengaja mengabaikan kedua perempuan itu. Ia masih marah dan merasa tidak dianggap oleh ibunya.Lelaki ini termenung sendiri di dekat jendela kamarnya. Biasanya ia mendengar suara Alisha memanggil dirinya, kini justru Melinda yang datang dengan secangkir teh, berusaha untuk ramah padanya. Namun, Dani tidak peduli."Aku minta maaf karena sudah biki
"UPS, udah tersebar." Perempuan kejam ini tersenyum mengejek Alisha."Jahat!" teriaknya. Perempuan ini ingin mencakar wajah ibu tirinya, dan dengan derai air mata ia melupakan segala kekecewaannya."Alisha, tenanglah!" Dani segera memeluk Alisha. Alisha berusaha melepaskan tangan lelaki yang kini memeluknya. "Aku akan menghajar perempuan itu!" "Ingat kondisi bayimu," bisik Dani.Alisha sejenak terdiam, kemudian menangis. Ia membalas pelukan Dani. "Aku belum menyebarkan video itu, Lis," kata perempuan itu dengan nada jumawa. Alisha menatap tajam ibu tirinya. "Apa maumu, hah?" Perempuan penuh muslihat ini menatap lekat Alisha. "Aku ingin uang sebagai tutup mulut." Alisha yang telah dimakan kemarahan kini langsung menampar wajah ibu tirinya. Kini semua perhatian orang tertuju kepada perempuan itu. "Pergi kau!"Dani menatap puas. Ia memang ingin menampar wajah perempuan pembuat onar itu, tapi sebagai lelaki ia harus bisa menahan diri dari bertindak kekerasan terhadap wanita apalagi
Melinda duduk berhadapan dengan Dani di meja makan. Ia sesekali mencuri pandang pada lelaki itu. "Hari ini kamu harus mengajak Melinda berkeliling," kata Ibunya Dani.Dani segera menyudahi makannya. "Nggak bisa. Banyak urusan hari ini.""Kamu, kan bisa tunda dulu. Melinda baru datang dan kamu sudah sibuk dengan urusanmu sendiri."Dani mendesah jengkel. "Apa Mama nggak bisa ngajak dia jalan? Aku beneran sibuk, Ma.""Ish... sibuk apa, sih? Tunda dulu!" "Mama...," rengek Dani."Dia cuma sementara di sini." Ibunya melirik Melinda. Melinda tersenyum, tapi masih menundukkan kepalanya karena tidak ingin Dani menduga bahwa ia senang dengan pembelaan calon ibu mertuanya.Dani mendesah lagi. Kali ini ia juga menghembuskan napas kasar. "Oke. Kutunggu di mobil." Melinda tersenyum sambil memeluk ibu mertuanya. "Terima kasih, Ma.""Iya. Hati-hati di jalan, ya." Melinda menganggukkan kepalanya kemudian mendatangi Dani di mobil."Aku sibuk," kata Dani saat Melinda telah duduk di mobilnya."Oh, o
"D--dengar?" Alisha tergagap, ia mulai menduga-duga. "Tentang kamu dan dia," katanya dengan suara mendesis penuh penekanan."Maaf, saya nggak paham dengan maksudmu." Ia mencoba untuk menghindar, tetapi pundak kirinya segera dicengkeram oleh Melinda. Rasanya sakit sekali hingga perempuan ini merintih. "Tolong biarkan saya pergi, Bu! Masih banyak yang ingin saja lakukan." "Kamu nggak bisa pergi gitu aja. Cepat bilang!""Saya tidak ada hubungan dengannya kecuali di kantor ini--auh, sakit, Bu!" Ia mencoba menepis tangan perempuan itu, tapi Melinda malah menekan pundaknya lebih parah."Kalau nggak ngomong kamu begi terus.""Melinda." Melinda terkejut, ia segera berbalik dan menatap panik Dani yang tadi memanggilnya. Dani telah berada di depan pintu. "Apa yang kalian bicarakan?" tanya Dani.Alisha menggunakan kesempatan itu untuk pergi dari sana, dan sambil menahan sakit di pundaknya.Dani menoleh pada Alisha yang semakin menjauh darinya. "Apa yang terjadi?" Melinda segera tersenyum d
Pintu terkunci ketika Alisha akan masuk ke kamar. Cukup dua ketukan dan sekali dorongan saja, ia sudah sadar diri bahwa dirinya telah membuat malu dan marah Dani. Perempuan ini hanya mampu meneteskan air mata. "Sini kamu!" Tiba-tiba Ibunya Dani menyeret Alisha menjauh dari kamar itu. "Mau ke mana, Ma?" Alisha tak berani melawan."Jangan berisik!" Alisha menatap pintu kamarnya yang telah jauh. Ia berharap Dani keluar dari kamar dan langsung menyelamatkannya dari perempuan itu."Sini!" Ia menempatkan Alisha di depan pintu utama.Alisha terkejut, dan langsung menatap ke luar. "Apa ini, Ma?" "Nggak sudi aku dipanggil mama olehmu. Sekarang keluar dari rumah ini atau aku akan mendorongmu!" Alisha menggeleng sambil mencoba menerobos pertahanan mertuanya. "Eh, mau ke mana? Keluar kataku!" Ia merentang kedua tangan, mencegah Alisha melewatinya."Dani harus tahu!" teriak Alisha. "Diam!" Ia membentak, tapi tidak berani lantang sebab Dani akan mendengar keributan itu. "Pergi kamu!" Ia beru
Segepok uang telah diterima, hanya tinggal menjalankan perintah dari calon mertua idamannya saja. Ya, Delia, perempuan licik penuh muslihat ini tengah memikirkan cara agar Dani tidak mencurigainya sebagai penyebab insiden yang akan terjadi beberapa jam nanti.Sedangkan kini, Dani dan Alisha tengah keluar dari supermaket. Tak sengaja mereka berpapasan langsung dengan pacarnya Anjas. Perempuan itu langsung menatap ke arah perut Alisha. "Kamu yang di... ah, aku lupa." Ia menekan keningnya dengan tangan kanan sambil mengingat-ingat Alisha. "Oh, iya. Kamu yang pernah ada di Rumah sakit itu, kan?" Alisha melirik Dani. Ia tidak ingin berurusan dengan perempuan yang memiliki hubungan dengan Anjas.Dani rupanya mengerti, ia segera menjawab pertanyaan perempuan itu. "Iya, memangnya ada apa, ya?" "Kenal sama yang namanya Anjas?" tanya perempuan itu."Gak." Dani dengan tegas menggelengkan kepala."Oh, maaf. Kukira kalian saling kenal." Ia tertawa malu, kemudian pergi."Kalau dia di sini berart
Deli cemberut sambil memakan makanan yang ia masak tadi siang. Sedikitpun Alisha belum juga memintanya untuk menyajikan makanan. Perempuan itu beralasan bahwa sudah kenyang makan masakan yang dibuatnya sendiri tadi pagi, dan sambil membayangkan betapa mesra dan romantisnya sikap Dani kepada majikan perempuannya itu, ia menggerutu juga. Tak ayal juga nasi terkadang terkeluar dari mulutnya tanpa ia sadari, dan setelah melihat itu semua, ia segera menghentikan makannya, lalu kembali menggerutu."Nungguin dia makan, dan aku makan sisanya, itu bisa bikin aku mati kelaparan. Huh, dasar, perempuan pucat!" Tidak lama terdengar suara seorang perempuan dari ruang tamu, dan dengan tergesa-gesa Delia membersihkan meja makan, lalu mencuci piring bekasnya tadi. Ia segera mendatangi suara perempuan tadi. Ternyata Dani datang bersama ibunya. "Ini ibuku, Delia." Dani memerkenalkan ibunya pada Delia yang sedikit bingung dengan status perempuan itu."Iya, saya Delia, Bu." Delia tersenyum manis, tetapi
Alisha BlmSudah dua hari Alisha tidak berselera makan. Ia hanya terus merenungi nasibnya. Terutama Dani yang masih belum menegurnya sejak kejadian itu (saat menemukan fakta Riski berkhianat). Perempuan itu melirik suaminya yang tengah berjalan di belakangnya. Memang posisinya saat ini alisha tengah berbaring membelakangi Dani dan lelaki itu sedari tadi hanya bolak-balik di kamar itu. Tak berani juga ia menegur kecuali lelaki itu datang untuk menyapa lebih dahulu."Halo, Pak." Terdengar suara Dani tengah menelepon. Alisha jadi penasaran dan menoleh. "Iya, Pak. Saya akan datang besok." Alisha kembali seperti tadi saat tatapan Dani tertuju padanya. Merasa seperti maling yang tertangkap basah, perempuan itu pejamkan mata dan pura-pura tertidur. Dani mendatangi istrinya kemudian menyentuh pundak kirinya. Alisha merasa inilah yang ditunggu sedari tadi. Diperlakukan seperti biasanya. "Iya, ada apa?" "Mama akan bebas."Alisha terkejut, dan segera bangkit. "Tapi kita?" "Tenang dulu." "M
Alisha dipaksa membuat pilihan. Merupakan dilema baginya. Jika dituruti ia akan terhina dan jika menolak, ia akan memermalukan Dani dan dirinya sendiri. "Jangan lama-lama mikirnya," bisik Riski yang tiba-tiba saja membuat Alisha merinding karena lelaki itu hampir menempelkan bibirnya ke pipi kanan perempuan ini. "Jangan dekat-dekat!" "Jangan jauh-jauh!" Ia segera menahan lengan kanan Alisha, sebelum perempuan itu menjauh darinya."Tolong jangan seperti ini," mohonnya, sambil meronta."Sebelum dia pulang, kita masih sempat main." "Aku dijebak oleh mereka. Aku gak salah dan gak pernah mau punya nasib seperti ini. Tolong jangan buat aku memilih." "Aku gak mau tahu!" desisnya sambil menekan lengan Alisha sehingga perempuan itu merintih sakit. "Kamu gak punya pilihan. Ayo!" "Aku gak mau!" Ia diseret ke kamar. Perempuan ini meronta, tetapi ia segera digendong dan mulutnya dibungkam oleh lelaki itu. Pintu kamar langsung dikunci setelah ia melempar Alisha ke ranjang. Alisha segera berl
Alisha terdiam malu ketika Dani membelai rambutnya. Ia pasrah jika Dani memang menginginkan malam pertama dengannya, tetapi Dani justru menghentikan sikap romantis itu ketika mendengar suara dari luar. "Siapa?" tanya Dani. Ia melihat bayangan seseorang dari sela bawah pintu. "Siapa?" bisik Alisha."Biar kulihat," kata Dani yang segera menuju ke luar kamar. Lelaki itu tidak menemukan siapa-siapa di rumahnya. "Ada siapa, Dani?" tanya Alisha yang ingin beranjak keluar kamar juga."Gak tahu siapa itu," kata Dani yang mengejutkan Alisha dengan kedatangannya yang tiba-tiba. "Aku udah memeriksa semuanya, tapi gak ada siapapun. Bahkan semua jendela dan pintu sudah dikunci." "Atau mungkin cuma perasaan kita aja, soalnya Anwar belum ketangkap oleh polisi," kata Alisha. "Hem, mungkin." Dani menggaruk kepalanya. "Oh, ya, aku mau ngambil sesuatu di rambutmu." Dani mengambil benang putih di antara rambut Alisha. Rupanya benang itu tadi yang selalu membuat Dani menaruh perhatian lebih pada Ali
Yeni meradang saat tahu Alisha dan Dani kini tinggal bersama lagi, tetapi ia tidak tahu bahwa Alisha dan Dani hari ini akan menikah. Perempuan cantik ini tidak diberikan kabar bahagia itu karena takut ia akan kecewa pada sahabatnya itu. "Bapak, dari mana saja? Saya sudah menelepon beberapa kali," ungkap kesal Yeni saat ia berhasil menghubungi Dani. "Kamu masih di kantor, kan? Tolong, semua dokumen penting dikirim lewat kurir saja, ya. Saya masih banyak urusan penting." Yeni menghembus napas jengah. Tak tahan rasanya diabaikan begini. Lain ditanyakan lain pula tanggapan Dani terhadapnya, membuatnya makin emosi saja. "Iya, nanti saya ke sana langsung." "Jangan kamu. Kurir saja." "Bapak, gak mau ketemu saya?" "Saya gak di rumah." "Oh, okeh-okeh." Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali sambil menutup rapat bibirnya. Hidungnya membesar karena harus lebih menghirup napas segar untuk menghilangkan kekesalannya. "Saya tutup dulu. Kalau ada yang cari suruh telepon langsung saja." Ye
Alisha berupaya melepaskan dirinya dari Siah, tetapi perempuan itu terlalu kuat darinya. Kini pinggangnya tertekan di pinggiran cincin sumur. Terasa amat sakit ketika perutnya turut tertekuk ke belakang. Kini tubuhnya lebih condong ke arah sumur. "Kamu mau macam-macam sama perempuan mandul, kan? Kamu pikir aku akan pasrah diperlakukan begitu, kan? Kamu salah pilih lawan, Lisha! Hari ini habis kamu!" Alisha berusaha melepaskan cekikan kedua tangan Siah pada lehernya. "Tolong!" teriaknya dengan suara yang serak."Lisha!" Tiba-tiba terdengar suara lelaki di belakang mereka, sekaligus mengejutkan Siah. Suara lelaki itu membuat Alisha senang karena akan ada yang akan menolongnya, tetapi ia malah lengah sehingga terjatuh ke sumur. "Aaaa!" "Alisha!" seru Dani sambil berlari ke arah sumur, sementara Siah yang panik langsung lari dari sana.Alisha membentur dinding sumur, kemudian tenggelam, tetapi untung batas air tidak sampai mencapai dadanya. Ia masih bisa berdiri walaupun hampir pingsa
Alisha terbangun di tengah malam, ia mendengar suara orang berbisik di dekat jendela kamar. Perempuan ini perlahan mendekati jendela, kemudian menempelkan telinganya di daun jendela. "Kamu yakin dia bakal kirim uang itu malam ini? Sudah dua jam kita nunggu, tapi belum ada kiriman juga?" Terdengar suara seorang lelaki yang tidak asing lagi bagi Alisha. "Apa itu dia?" Alisha terkejut, ia segera mencari celah untuk mengintip, tetapi ia tidak melihat siapa pun kecuali pohon belimbing wuluh di luar sana. Pandangannya tidak leluasa untuk melirik ke sekelilingnya, tapi meski begitu Alisha yang penasaran kini mencari cara agar bisa melihat ke luar.Perempuan ini mengambil kursi yang berada di samping lemari kemudian perlahan agar tidak terdengar oleh mereka, ia meletakkan kursi di dekat jendela. Dengan masih menahan nyeri di perutnya, ia paksakan untuk naik ke kursi. Akhirnya ia berhasil mengintip lewat ventilasi jendela itu. Alisha melihat Anwar dan Anjas tengah berdiri sambil mengetik seb