Sudah beberapa hari ini Paman masih saja mendiamkanku. Berbagai macam cara sudah kulakukan untuk mencoba mengajaknya berbicara. Mulai dari mengantar susu panas setiap malam ke kamarnya, bahkan mengelap debu-debu di motornyapun aku rela. Namun hasilnya tetap sama. Dia tetap saja mengabaikanku. Dia bahkan terus menghindari pertemuan kami. Pernah aku berpikir bahwa dia benar-benar bosan dengan kehadiranku dan Ayah. Namun melihat sikapnya yang masih seperti biasa dan masih perhatian terhadap Ayah, membuatku berpikir bahwa ini adalah murni kesalahanku. Ini mungkin rekor terlamanya sama sekali tak berbicara. Biasanya hanya bertahan satu hari saja, begitu aku merengek dan minta dimaafkan. Dia hanya cemberut dan mengomel layaknya Nenek. Namun kali ini keadaanya berbeda. Paman sama sekali tak ingin melihat wajahku. Aku jadi merindukan tatapan yang biasanya tersenyum atau bahkan cemberut sekalipun. Aku benar-benar merindukannya. Aku mencoba mengulik kembali kejadian-kejadian yang mungkin m
Sejak kejadian itu aku tak pernah lagi berhubungan dengan Dara. Dia pun tak lagi datang untuk menggangguku. Lalu dari mana dia mendapatkan uang yang disebutkan Ibu tadi? Atau jangan-jangan, dia kini berhubungan dengan Andar dan meminta uang darinya sebagai bentuk tanggung jawab? Memalukan. Gadis itu benar-benar membuatku muak. Pantas saja pria yang kini menjadi mantan kekasihku itu terus saja datang dan berharap aku akan kembali. Apakah dia berpikir dengan membayar Dara, dia jadi bisa bersikap sesuka hati terhadapku? Tak lama, terdengar suara klakson mobil dari arah pagar. Ibu segera bangkit dan membukakannya dengan lebar. Pintu kaca depan terbuka setengahnya, wanita paruh baya yang masih tampak awet muda itu memandangku dari balik kacamata hitam besarnya tanpa ekspresi.Aku membalas tatapannya dalam diam, kemudian melihatnya berlalu pergi sambil kembali menurunkan kaca mobil. "Apa dia akan memarahi Ibu jika tahu aku ke sini?" tanyaku melihat Ibu yang dari tadi hanya diam. "Dia ba
Aku kembali melajukan kendaraan setelah berpamitan pada Ibu. Sedikitpun tak ada lagi hasrat tuk menemui, bahkan berbicara lagi pada Dara. Cukup sudah, Ibu benar. Aku juga berhak untuk bahagia.Motor berjalan pelan saat masih di kawasan kompleks perumahan Tante Retno. Aku menghentikan laju kendaraan ketika berada di persimpangan. Tante Retno seperti sedang menungguku. Aku membuka helm perlahan. Menanti apa yang ingin dia sampaikan. Tentu bukan tanpa maksud dan tujuan dia menungguku di sini. Dia keluar dari balik kemudi dan mendekatiku. Dibukanya kacamata hitam yang tadi bertengger di hidung mancungnya. Belum terlihat kerutan di wajahnya, mungkin karena sering perawatan dan selalu teratur menjaga makanan. "Bagaimana kabarmu?" dia bertanya dengan suara lugas nan elegan. Tapi kini tak terkesan sinis dan benci melihatku. "Tante mau apa?" aku enggan menjawab pertanyaan basa-basi tersebut. Dia menarik nafas dalam-dalam, seperti ragu-ragu dalam perkataan. Mungkin menurutnya segala sesuat
"Teman Ayah sebentar lagi akan menjemput. Nanti Ayah kenalkan padanya, agar kau tak lagi khawatir.""Siapa, Yah?" tanyaku penasaran. Tak lama bunyi klakson mobil terdengar. Aku membukakan pintu pagar setelah Ayah memberitahukan bahwa itu adalah teman yang dia maksud. Aku menyalami pria yang mungkin seumuran dengan Ayah. Aku tersenyum setelah tahu bahwa dia dan Ayah dulunya bekerja di perusahaan yang sama. Mereka mungkin hanya ingin pergi sebentar untuk mengobrol dan mengahabiskan waktu karena sudah lama tidak saling bertemu. Baru kuingat, bahwa Om Dimas juga pernah hadir menjenguk Ayah di rumah sakit bersama istri dan juga anak-anaknya. Aku jadi sedikit merasa tenang karena Ayah pergi bukan dengan sembarang orang. Aku masuk ke dalam rumah yang masih terlihat rapi. Ayah benar-benar ikut membantu merawat rumah ini meski dengan keterbatasan fisik. Tak ada tanda-tanda bahwa Paman sudah pulang. Mungkin seperti beberapa hari ini, dia sengaja terlambat lagi untuk mengurangi intensitas p
Sungguhlah takdir memang sulit untuk dihindari. Entah sejak kapan, rasa itu mulai tumbuh dan berkembang tanpa disadari. Benarlah apa yang orang-orang katakan. Cinta bisa hadir dengan seiring berjalannya waktu. Dengan, atau tanpa kita sadari. Aku dan Paman terduduk di sofa, dengan tangan dan kaki yang gemetaran. Aku di ujung sini, sementara dia di ujung sana. Kami duduk bersisian sambil menatap lurus ke depan, dengan pipi bersemu merah di masing-masing wajah.Tak ada yang berani menoleh. Mencoba menstabilkan detak jantung yang dari tadi berdentum-dentum kian keras. Teringat saat adegan mengejutkan yang kami lakukan tadi. Paman menarik wajah setelah selesai melakukan aksinya. Perlahan kubuka mata yang tadi sempat terpejam. Menatap lamat-lamat seorang pria berperawakan yang nyaris seperti orang dewasa baru selesai menciumku. Sempat bertanya di dalam hati. Apakah ini bentuk amarah dan sebuah hukuman yang dia tujukan untukku. Lalu seketika, isi kepalaku mulai normal dan kembali dapat be
Suara mobil terdengar di dari halaman depan. Aku dan Paman saling menoleh dari tempat duduk masing-masing. "Ada apa dengan kalian?" Ayah dan Om Dimas sudah berada di hadapan kami. "Kalian bertengkar lagi?" tuduh Ayah. Mataku berkedip, kemudian bangkit dan menyalami Ayah juga Om Dimas. Aku seperti salah tingkah karena tuduhan Ayah. Paman juga melakukan hal yang sama. Mempersilahkan Ayah, dan tamunya untuk segera duduk. "Bikinkan minum," perintah Paman seraya menoleh ke arahku. Gegas aku menuju ke dapur tanpa menyahut. Kenapa hubungan ini terasa begitu canggung. Aku tak lagi bisa bersikap layaknya keponakan nakal seperti biasanya. Aku memanaskan air di dalam panci bertangkai membentuk seperti gayung. Lalu menuangkan ke dalam dua cangkir berisi kantongan teh dengan aroma melati. Tak lama Paman menyusul ke arahku. Debaran di dada kian bergetar. Langkahnya semakin dekat menuju ke arahku. "Wajah mu memerah," ucapnya sambil memandangku. Aku menepuk-nepuk pelan kedua pipiku. Biasanya
"Benar. Ayah lihat pakaianmu juga sudah ketinggalan jaman," Ayah ikut meledekku. Memang benar keadaannya seperti itu. Mana mungkin aku memikirkan lagi hal-hal tidak penting seperti halnya sebuah pakaian. Biaya kuliahku yang cukup menguras tabungan, sudah membuatku kewalahan dalam mengatur keuangan. Ada baiknya tubuhku tak banyak mengalami perubahan. Pakaian-pakaianku yang dulu masih bisa terpakai dan kugunakan. "Sebelum masuk tahun ajaran baru, belilah beberapa potong pakaian dan sebuah tas, ya. Ayah ingin melihat mahasiswi tingkat lima yang Ayah banggakan ini, tampak modis dan sangat cantik!" seru Ayah semakin bersemangat. "Temani Sarah Ya, Yah? Ayah sudah lebih tahu tentang gaya berbusana anak sekarang," rengekku sambil menyeka bulir bening yang tadi sempat menitik. Seketika aku kembali teringat saat dulu Ayah mengajak kami jalan-jalan ke sebuah mall. Aku dan Dara menggandeng tangan Ayah di kiri dan di kanan. Sedangkan Ibu terlihat merajuk karena tak mendapatkan tempat di sampi
"Paman, tidak apa-apa kah membiarkan Ayah larut dalam pekerjaannya seperti itu?" teriakku saat kami kembali berboncengan di atas motor. Dia tak lagi meninggalkanku seperti kemarin-kemarin. Setidaknya sampai liburan semester berakhir. Dia bahkan membiarkan tanganku melingkari pinggangnya untuk berpegangan. "Biarkan saja. Dia terlihat bersemangat," dia juga ikut berteriak. "Apa nanti tidak akan mengganggu kesehatannya?""Ayahmu tak akan kemana-mana. Dia hanya bekerja online dari rumah. Kurasa aku pernah mendengar profesi seperti itu. Semacam ghostwritter pada penulis. Dia hanya akan bekerja dari balik layar, dan akan dibayar mahal untuk itu.""Benarkah? Paman tidak bohong, kan?""Aku sudah melihat riwayat perusahaan itu. Tak ada celah untuk Ayahmu kembali ke sana, sehebat apapun kemampuannya."Ternyata Ayah dan Paman diam-diam sudah merencanakan ini tanpa sepengetahuanku. Mereka hanya takut aku melarang, sebelum semua itu sempat terjadi. Ayah akan kembali menemukan pekerjaannya melal
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a