"Bisakah kaki Ayahmu disembuhkan?" Paman meneguk es susu pisangnya saat singgah di kafe sepulang dari kantor. "Entahlah, Paman," sahutku pelan. Masih teringat akan adegan haru malam tadi. "Waktu itu, Dokter bilang apa?" Dia terlihat antusias."Aku sama sekali tidak tahu. Ibu semua yang mengurusnya."Napas Paman tertahan. Aku tahu dia juga merasakan perasaan itu. Tidakkah dia juga mengalami nasib yang sama? Terombang-ambing diantara perasaan dan hubungan darah. Mana mungkin aku pilih menyerah dan bosan hanya karena dia bukan Ayah kandungku. Begitu juga dengan Paman. Sudah terbiasa hidup bersama dalam satu rumah dengan satu keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah sama sekali. Tidakkah untuk saat ini dia yang paling mengerti tentang perasaanku? Aku dan Paman lama terdiam. Masing-masing berpikir bagaimana caranya agar Ayah tak lagi terbebani soal kewajibannya mencari nafkah. Serta pikiran-pikiran buruknya tentangku yang mungkin suatu saat akan mengikuti jejak Ibu dan Dara. "Kau i
Aku sampai di rumah tak sampai jam sepuluh malam. Itu karena kebijakan baru Hana agar cafe lebih cepat tutup. Kini pukul sembilan tepat, kami sudah harus selesai berbenah dan menutup pintu. "Kau sudah gilakah, Bos? Dalam waktu dua jam, mungkin kita masih bisa menghasilkan setidaknya dua juta lagi," protesku."Memangnya kau punya saham di sini?" Hana terlihat santai menanggapinya. "Ini bisnismu. Apa kau tidak sayang?""Tentu saja sayang. Tapi aku lebih sayang padamu, keponakanku." Dia memberikan kecupan di udara dengan memajukan bibirnya yang menjungkit karena kawat gigi, menuju ke arahku. Cih. Menjijikkan. Ini pasti ada hubungannya dengan Paman. Ada hubungan apa rupanya diantara mereka, sampai-sampai Hana mengabulkan keinginan Paman."Aku hanya tidak tega melihat Ayah kau tak tidur-tidur menantikan anak gadisnya pulang larut malam.""Benarkah? Kau tidak sedang terpengaruh dengan ucapan Paman Harun, kan?""Entahlah. Dia hanya bilang kalau aku tidur dibawah jam sepuluh malam, maka ak
Hingga kini, keluarga kami harus hidup berantakan seperti ini. Akankah dia bisa hidup dengan tenang setelah melihat akibat dari perbuatannya waktu itu? "Sarah ingin memperkenalkan seseorang pada Ayah. Boleh?" Aku terpaksa mengalihkan pembicaraan. Rasa sesak menyelimuti ketika membicarakan orang itu. "Siapa? Andar?" Wajah Ayah terlihat ceria. "Ayah tidak keberatan?" Aku mencoba mengukir senyum. "Kau menyukai pemuda itu? Ini pertama kali kau mengenalkan seorang pria pada Ayah.""Itu karena Sarah belum menemukan pria yang lebih baik dari Ayah.""Bukannya aku yang pertama, Bang?" Paman tiba-tiba muncul dan menyela pembicaraan kami. Aku dan Ayah saling berpandangan. Kemudian menahan tawa melihat sikap Paman. "Pria, Paman. Pria!" tegasku. "Jadi kau pikir aku apa?" Dia berdiri menyandar di depan pintu sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya. "Seorang pria dikatakan pria tak hanya berdasarkan jenis kelamin dan penampakan, Paman. Tapi soal sikap dan kebiasaan. Benar kan, Ayah?" led
Hari ini aku kembali ke rumah Tante Retno dengan mengendarai motor matic yang dibelikan Paman. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali tanpa pemberitahuan, agar Dara tak bisa lagi mengelak dengan alasan pergi-pergi. Dia memandangi sepeda motor keluaran terbaru berwarna hitam yang kubawa. Entah rasa kagum ataukah heran. Matanya cukup berbinar dengan senyum mengembang di bibir tipisnya. "Wah, keren sekali. Boleh aku pinjam?" Dia menyentuh dan mengelus tunggangan yang bahkan belum kumasukkan ke halaman rumah Tante Retno. "Boleh, antar saja aku pulang. Ayah rindu padamu." Aku mencoba bernegosiasi.Wajahnya kembali murung, dia menarik kembali tangannya dari benda yang masih mulus dan belum ada lecetnya itu. Sesuatu yang dianggapnya sangat keren ketika masih SMP dan belum sempat Ayah belikan. "Aku tidak sudi datang ke rumah kumuh itu. Kau harus mengerti. Aku trauma dengan suasana kamar pengap seperti itu lagi, meski hanya sebentar," ucapnya dengan nada angkuh. Sombong sekali adik peremp
Dara celingak-celinguk melihat tempat tinggal kami yang sekarang. Ada gurat kekaguman di wajahnya melihat rumah yang kami tempati. Rumah milik keluarga Hana ini tak kalah mewah dari rumah Tante Retno. Meski tak bertingkat, namun setiap ruangan memiliki ukuran yang luas, sehingga bangunan ini terlihat besar dan mewah. Ayah terus memperhatikan Dara dengan wajah yang sumringah, berharap gadis yang usianya belum lagi genap dua puluh tahun itu segera berhambur memeluknya.Ayah masih berdiri dengan memegangi kedua penyangganya, mengikuti dengan ekor mata arah langkah kaki Dara yang berjalan kesana-kemari. Aku memang tak bilang soal ancamanku pada Dara. Yang Ayah tahu, Dara datang atas keinginannya sendiri. "Kau punya banyak uang rupanya, bisa menyewa rumah sebagus ini," tuturnya tanpa menyapa Ayah. "Kami hanya menumpang!" sahutku. "Kau menyindirku?" Dara sedikitpun tak melirik Ayah. "Kau sehat-sehat saja, Dara?" Suara lirih Ayah terdengar menyapa. Dara berdecak, seolah-olah malas menya
"Kau masak apa di rumah?" tanya Paman. "Masih yang tadi pagi saja. Masih cukup sampai makan malam. Ibu tak jadi datang, sementara Dara pulang cepat," sahutku."Pasti semua tak berjalan sesuai rencana," pekiknya. Aku mengangguk. "Bungkuskan aku camilan buat Ayahmu.""Ayah sedang tak enak hati. Percuma dibawakan.".Paman segera pulang setelah meneguk habis susu stroberi pesanannya. Andar masih penasaran melihat kami yang saling bersahut-sahutan dari tadi tanpa dia tahu apa yang sedang kami bahas. "Lama sekali menunggu sampai hari Minggu, aku sudah tidak sabar ingin mengenal keluargamu," pintanya sambil menyesap kopi espresso yang sangat pahit menurut lidahku. Aku kembali tertegun. Bayangan kalau Andar akan menjauh setelah tahu keadaan keluargaku semakin membuatku takut. Selama ini aku membiarkan dia mengantarku hanya sampai di depan pagar saja. Selain terlalu cepat mengenalkannya pada Ayah, aku juga harus menghormati Paman Harun selaku pemilik rumah. Dari luar, jelas terlihat rumah
Hari hampir malam, saat kudengar bunyi ponsel berdering. Ada nama Dara di sana. Tumben sekali dia menghubungiku. Aku yang masih kesal malas meladeni dan memilih mengabaikannya. Tak lama bunyi notifikasi pesan whatsapp terdengar. [Ini Ibu]. tertulis di sana. Dara pasti sudah mengadukan apa yang terjadi. Dan Ibu pasti menghubungi hanya untuk memarahiku. Belum sempat kubalas pesannya, ponselku kembali menyala."Ada apa, Bu?" jawabku malas. "Dari mana kau mendapatkan uang untuk membeli motor baru dan tinggal di rumah mewah seperti itu?" desak Ibu tanpa berbasa-basi. "Menurut Ibu?""Jangan main-main, Sarah. Apa Ayahmu menjualmu?""Cukup, Bu. Berhenti ikut campur urusan keluarga kami!" Aku menutup percakapan dan meletakkan ponsel secara asal. Bagaimana mungkin Ibu sampai berpikiran seperti itu. Mungkin Dara hanya iri dan mengatakan yang tidak-tidak kepadanya. Tapi tetap saja dia tidak berhak mengatakan semua itu, setelah sebelumnya memutuskan untuk tak lagi menjadi anak Ayah. Benda pip
Minggu pagi. Aku tersentak kala mendengar suara ribut-ribut dari luar kamar. Ramai suara gaduh yang bersahut-sahutan seperti masyarakat yang hendak memukuli maling. Suara itu sudah tak asing lagi di telinga, dan aku hafal betul nada dan gaya bicara mereka."Ada apalagi, Bu?" Aku mengucek mata dan merapikan sedikit rambutku. Ayah dan Paman seperti dua orang terdakwa yang tersudut karena serangan Ibu. "Siapa laki-laki ini, Sarah? Kenapa kalian bisa berada di sini?" Desak Ibu begitu melihatku. "Kau tidak berhak lagi mencampuri urusan kami, Risma. Segeralah kau angkat kaki dari rumah ini!" Ayah tak lagi terlihat lemah seperti biasanya. "Kenapa kau biarkan mereka masuk, Harun?" Paman Harun diam saja tak menjawab. Mungkin tak berani terlalu mencampuri urusan keluarga kami. "Abang tega menjual anakku, agar supaya bisa hidup enak? Laki-laki seperti apa Abang ini?" Lagi-lagi Ibu melawan. Dara masih memasang wajah angkuhnya, memperhatikan Paman dari atas sampai bawah. Mungkinpun mereka pi
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a