2 SUNYI
Aku sering bertanya apakah hal-hal yang telah aku lakukan itu suatu kebodohan atau apakah memang takdir?
Sebenarnya takdir itu seperti apa? Aku merindukan banyak hal. Namun hal yang kurindukan itu tidak pernah terjadi di masa laluku. Aku hanya mengkhayalkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
Hal itu bukanlah bagian dari masa laluku, masa kini, bahkan masa depanku. Aku mengharapkan sesuatu yang lebih sempurna dari kehidupanku saat ini. Bagaimana aku dapat menghentikan semua ini?
Aku bukanlah orang yang romantis, namun terkadang aku mengharapkan hal-hal yang romantis, sekedar memberikan warna lain dalam hidupku. Bukan berarti aku benar-benar menginginkannya. Memang dulu aku pernah mendapatkan coklat dari seseorang, puisi dari seseorang yang tidak menuliskan namanya, antar jemput dari orang yang lain lagi, surat cinta (yang menakutkan), kalung, ada juga yang membawakanku makanan.
Meskipun aku tidak pernah tahu siapa yang memberikan semua itu. Namun entah mengapa aku tidak pernah peduli akan semua itu.
Mengingat itu membuatku tersenyum. Kemanakah mereka kini?
Sejujurnya saat itu aku mendapatkan semua itu dari orang yang tidak kuharapkan. Lalu bagaimana mungkin saat itu aku merasa senang? Bahkan seseorang pernah menyanyikan sebuah lagu untukku yang membuatku merasa sangat malu.Rasa sakit itu hanya akan dirasakan oleh orang yang terluka, bukan yang melihat atau pun mendengar.Seberapa sering pun mereka melihat aku menangis, mendengar atau mengungkapkan isi hati, mereka tidak akan pernah bisa memahaminya. Aku tahu bagaimana kesunyian itu dapat menyakitkan hati.
Yang menyakitkan itu bukan sunyinya, tapi penyebabnya. Bagaimana waktu yang seharusnya diberikan untukku namun dirampas oleh orang lain.
Ada perasaan dendam dan terzolimi. Aku mencari berbagai cara untuk menghibur diri sendiri. Namun rasa sakit hati itu tidak pernah berhenti.
Kekecewaan yang kurasakan seperti lubang yang membesar. Ketidak pekaan yang mereka miliki pun tak berubah. Aku seperti berada di antara robot bernyawa tak memiliki hati. Pada suatu titik aku merasa ingin menyerah saja.
Aku lelah, benar-benar lelah. Tapi, aku juga penasaran. Penasaran akan akhir kisah hidupku. Seperti sebuah film yang tidak diketahui akhir ceritanya akan seperti apa.
Kenapa aku harus penasaran akan hidupku sendiri? Aku merasa bodoh, dan selalu membodohi diri sendiri. Seharusnya sudah sejak lama aku tutup buku. Tidak ada siapapun yang kutunggu, juga tidak ada seseorang yang menungguku. Jika suatu saat nanti aku memperoleh impianku, aku akan merayakannya seorang diri.
Setiap aku bangun dari tidurku, aku selalu saja merasa takut. Takut akan hari yang harus kujalani detik demi detiknya. Cemas akan kejadian-kejadian tidak terduga yang sering tidak menyenangkan.
Kenapa aku selalu seperti ini? Aku selalu bertanya kenapa? Kenapa? Kenapa?
Hari-hari selalu terasa lebih panjang bagiku. Tapi aku tetap menjalaninya.
Surat yang ditinggalkan oleh ibu sebelum dia meninggal tergenggam erat di tanganku.“Saat usiamu sudah tujuh belas tahun, bacalah surat ini”, katanya saat itu.Ibu meninggal saat usiaku lima tahun, menjadikanku anak yatim-piatu. Sama sepertinya yang besar sebagai yatim-piatu. Sudah enam bulan berlalu sejak usiaku tujuh belas tahun. Namun surat itu masih tertutup rapat. Tidak ada niat untuk mengetahui isinya.
“Ini tentang ayahmu,” ucap ibu dengan penuh air mata.Saat umurku empat tahun ayah pergi. Aku tidak bisa ingat wajahnya dengan jelas, dan aku memang tidak ingin mengingatnya.
Untuk apa aku mengingat seseorang yang menorehkan luka yang teramat dalam padaku dan ibuku. Aku membencinya, sangat membencinya.
Namun entah mengapa aku tidak dapat melupakan kejadian itu, padahal saat itu aku masih terlalu kecil dan itu sudah sangat lama sekali terjadi. Apakah ini trauma?
Dua hari lagi aku akan menjadi mahasiswi. Aku belajar dan bekerja semaksimal mungkin agar aku dapat bertahan hidup. Namun untuk siapa aku bertahan? Aku tidak memiliki orang tua, kakak ataupun adik. Aku benar-benar sebatang kara.Aku membuat kapal-kapalan dari kertas, membayangkan suatu saat nanti aku dapat berlayar di tengah luasnya samudera. Membayangkan, hanya dengan membayangkannya saja aku sudah merasa senang. Saat aku masih SD, setiap kali ada pelajaran menggambar, aku pasti menggambar kapal.Entah mengapa aku sangat menyukainya. Melihat kapal yang semakin lama semakin menjauh, hingga menjadi seperti titik di kejauhan dan akhirnya menghilang, atau sebaliknya, dari sebuah titik yang hampir tak nampak, akhirnya menjadi bentuk kapal yang sempurna, membuatku merasa seolah telah kehilangan seseorang.
Lukisan kapal dengan berbagai ukuran dan model memenuhi meja dan lantai kamarku. Aku tidak tahu akan di kemanakan atau diapakan semua lukisan ini. Aku hanya melukisnya, tanpa mengetahui tujuannya.☆☆☆
Hari ini hari pertama masa orientasi mahasiswa. Bukan hal yang menyenangkan mengikuti kegiatan ini. Aku harus membagi waktuku dengan baik antara belajar dan bekerja. Memang, aku selalu mendapatkan beasiswa. Tapi bukan hanya itu masalahnya. Aku tetap harus mengumpulkan uang agar aku bisa membeli sebuah rumah. Bagi anak yatim-piatu seperti aku, rumah seperti surga yang sangat dirindukan.
“Hai!” kata seseorang menepuk pundakku.“Fakultas ekonomi kan?” tanyanya sambil tersenyum.Aku hanya mengangguk. Kami diarahkan ke lapangan yang lebih besar oleh seorang senior berkacamata. Gadis yang tadi menyapaku bernama Reva.
Saat istirahat, aku dan Reva duduk di bawah pohon rindang yang menyejukkan.“Ayo Ra, sebentar lagi mau mulai,” ucap Reva.Saat aku berbalik, botol air mineral yang belum ditutup rapat membasahi baju seorang senior.
“Maaf!” kataku tanpa melihat kearahnya.“Hati-hati lho, nanti bisa dikerjain sama senior itu,” kata Reva.“Kan cuma air mineral, jadi nggak bikin kotor. Lagian bentar lagi juga kering, emangnya numpahin air seember apa?” kataku cuek.“Sssttt...dia dengar tuh,” kata Reva.***
Hari terakhir masa bimbingan mahasiswa terasa lebih menyenangkan. Besok kuliah pertama akan dimulai. Akan jauh lebih baik bagiku kalau sudah mendapatkan jadwal kuliahnya.Aku bisa mulai kerja sambilan. Aku sudah berhenti dari pekerjaanku yang sebelumnya, karena jam kerjanya tidak sesuai dengan anak yang sedang berkuliah seperti aku.
Aku memejamkan mataku, mencari jalan keluar atas keruwetan pikiran dan hatiku.Aku tidak dapat merasakan rintikan hujan meskipun ia membasahi wajahku. Aku seperti mati rasa. Aku tidak dapat mendengar suara orang-orang yang berbicara, tertawa atau berteriak satu sama lain.
Mereka berlalu lalang di hadapanku, namun aku seperti orang buta. Aku tidak peduli dengan semua itu, dan untuk apa aku peduli? Lagi-lagi ada rasa kesal dan hampa. Aku melangkah seperti layang-layang yang diterbangkan angin.
Aku tidak merindukan kasur empuk di kamarku meskipun saat ini aku sangat lelah. Yang kuinginkan hanya terus melangkah tanpa ada yang menggangguku.Hujan yang tadinya hanya rintikan kecil ini perlahan digantikan cahaya matahari sore. Hujan tak akan terus merajai langit, akan ada waktunya langit bersinar. Seperti juga matahari dengan bulan, malam dengan siang.
Keremangan malam membuatku mengerti bahwa kesendirian adalah sahabat terbaik bagiku. Kubuka jendela kamarku, angin sepoi-sepoi memberi kesejukan di kamar ini. Aku mengetuk-ngetuk jariku di lantai.Aku memandang langit, tidak ada bulan. Meskipun ada malam dimana ia tidak dapat hadir, namun tetap saja malam adalah miliknya, posisinya tidak dapat digantikan oleh matahari.
Aku sering mengulang-ulang pikiran yang sama, hingga aku sendiri merasa bosan pada diriku sendiri. Aku sering merasa kesepian, tapi tidak ada teman yang dapat kuajak bicara. Dalam hati aku selalu saja berkata bahwa semua ini tidak adil. Apa takdir ini diharuskan untukku? Aku tidak pintar dalam mengekspresikan diri seperti orang-orang yang langsung menunjukkan rasa suka terhadap seseorang, jika merasa kesal dapat mengeluarkan kemarahan. Aku tidak seperti itu, dan aku rasa aku tidak dapat seperti itu.
Aku merasa, aku telah kehilangan saat-saat dimana seharusnya aku bisa merasa senang. Kemanakah saat-saat itu? Mengapa aku bisa kehilangan saat-saat itu? Aku tidak pernah mempercayai siapapun di dunia ini sepenuhnya. Aku ragu akan kejujuran mereka. Aku ragu akan kesetiaan mereka. Aku ragu akan pengertian mereka. Entah mengapa aku merasa, mereka tidak mengerti kesedihanku.Aku butuh orang yang dapat dipercaya sampai kapanpun. Aku butuh kesetiaan mereka, butuh kejujuran mereka. Apakah ada? Jika ada yang bertanya mengapa aku bisa seperti ini, tanyakanlah dulu apa dan siapa penyebabnya. Mungkin selamanya tidak akan ada. Benarkah ini?3 PRIA MENYEBALKANHari-hariku yang semakin berlalu, semakin membuatku mengerti akan banyak hal. Ada banyak orang di dunia ini, tapi siapa yang akan menjadi bagian dalam hidupku? Aku tidak yakin dengan apa yang kulihat, dengan apa yang kudengar dan dengan apa yang kurasakan.Aku masih sering tidak yakin dengan apa yang telah terjadi, memang terjadi padaku. Aku berharap, ada yang menemaniku saat ini, dan semakin berlalunya waktu, kini kusadari rasa kesepian itu tak akan pernah hilang dariku, dan kini semakin menyakitkan hati.Menunggu itu tidak menyenangkan dan sangat melelahkan, juga menyakitkan. Aku seperti patah hati berulang-ulang tanpa tahu siapa yang kusukai. Aku mencari kebahagiaan semu, hanya dengan membayangkan. Aku menangisi masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Aku gagal memerankan karakterku. Aku mengharapkan peran lain, yang kupikir dan kurasa lebih sempurna.***“Ra, Lo tahu gak senior yang namanya Reno?&rdq
4 DIA KEMBALIDi ruangan klub fotografi.“Hari Sabtu dan Minggu nanti, Gw mau Kita ambil foto di Taman Mini,” kata Reno.“Bukannya libur?”“Lo kan anak baru, harus banyak berlatih.”“Kenapa di Taman Mini? Kenapa harus sama Lo?”“Karena kalau di Ragunan, nanti bingung ngebedain yang mana Lo, yang mana bukan, dan karena Gw ketuanya, jadi Gw yang nentuin. Udah enggak usah banyak nanya.”Hari Sabtu.“Kita naik kereta gantung dulu. Dari atas sana Lo bisa ambil gambar.”Kami naik kereta gantung. Dari atas sana aku mengambil foto beberapa wahana permainan dan pemandangan yang ada di bawahnya.“Ini gambarnya buram, coba Lo ambil dari arah lain!”“Mata Lo kali yang buram, gambarnya terang begini juga.”“Gw ini senior Lo, kalau soal fotografi Gw
5 SIMPANAN OM-OMHari keempat aku kuliah.“Sakit apa sih Lo? Lo kecapean ya gara-gara pelantikan?” tanya Reva.Di hari keempat ini aku melihat mobilnya di depan gerbang kampus. Mobil mewah yang terparkir di depan kampus tentu saja menarik perhatian banyak orang, apalagi sang pemilik yang memakai barang-barang mewah terus saja memanggil namaku.Dia pun menepati perkataannya untuk datang ke tempat kerjaku, ke salon.Sudah seminggu. Selama seminggu ini juga dia terus saja menungguku di depan kampus dan salon. Satu-satunya tempat yang tidak pernah dia datangi adalah kafe. Mungkin karena sudah malam. Tanpa harus dia datang pun, sudah ada gosip yang beredar katanya aku pacaran sama om-om.“Kenapa, Lo juga mau Gw kenalin sama om-om?” kataku pada seorang gadis.Reva hanya tertawa. Meskipun tidak tahu cerita yang sebenarnya, tapi Reva percaya kalau aku enggak mungkin pacaran sama om-om.
6 SAKITPagi-pagi sekali setelah adzan subuh aku langsung pergi. Aku nyaris tidak tidur semalaman. Aku memanggul tas ranselku menuju kosan. Setiba di kosan aku meletakkan tasku dan bergegas mengantarkan kue-kue. Ini hari Minggu, jadi akan banyak pekerjaan yang harus kulakukan.Di hari Minggu, biasanya setelah mengantarkan kue, aku membantu ibu kos berbelanja bahan-bahan untuk membuat kue. Belanjanya memang seminggu sekali. Ibu kos berbaik hati menggratiskan uang kosan. Sebagai gantinya aku mengantarkan kue-kue dan berbelanja setiap Minggu.Orangnya baik sekali. Dia juga suka memberi anak-anak kosan makanan secara gratis, dan dia tidak pernah bertanya siapa pria berumur yang tiba-tiba datang menemuiku.Setelah selesai berbelanja aku istirahat sebentar, lalu ke salon. Saat libur aku memang datang lebih cepat, akan ada lebih banyak pengunjung. Jam lima aku ke kafe.Reno melihat kedatanganku dan tidak berkata apa-apa. Kami tetap bekerja dalam diam. Mun
7 BERTENGKAR“Oh ya? Lo bilang bokap Lo enggak mau bikin Gw sengsara? Tapi dia udah bikin ibu Gw sengsara sampai akhir hayatnya. Dia ninggalin Gw saat umur Gw empat tahun. Itu yang Lo bilang enggak mau bikin Gw sengsara? Kemana aja dia selama hampir empat belas tahun ini? Lo tau saat ibu Gw meninggal diusia Gw yang baru lima tahun, enggak ada siapa-siapa disisi Gw. Berkali-kali Gw datang ke rumah Gw yang sudah terbakar habis, berharap dia ada disana. Berkali-kali juga Gw ke kuburan ibu Gw, berpikir mungkin dia datang dan menaburkan bunga di kuburan itu. Lo tau gimana rasanya orang-orang memandang Lo dengan penuh rasa kasihan dan berbisik-bisik dibelakang Lo? 'kasihan ya, masih kecil udah ditinggal sama orang tuanya, mana enggak punya keluarga yang lain.’ Lo tau gimana rasanya terlantar di jalanan, kelaparan dan kehausan, sampe-sampe Lo harus nampung air hujan buat minum? Lo tau gimana rasanya pake baju yang kekecilan, sepatu yang udah bolong, dan tas yang udah robek selama
8 RENTENIR “Ra tunggu, Lo mau kemana?” Reno mengejarku namun aku tidak peduli. Untuk apa aku mempedulikan orang seperti itu. “Mau apalagi sih Lo? Mau ikut-ikutan ngehadiahin Gw tamparan di pipi yang sebelah?” “Ini udah malam, ayo pulang!” “Udah deh berhenti pura-pura. Kalau emang enggak suka, kenapa terus-terusan nyuruh Gw pulang. Di sana tuh bukan tempat Gw. Satu perkataan Gw ke nyokap Lo bikin kalian sakit hati. Terus gimana dengan Gw, dengan ibu Gw. Apa karena dia udah enggak ada, terus enggak ada yang peduli. Apa karena bagi Kalian, Gw ini duri dalam daging?” “Bukan gitu,” kata Reno sambil melonggarkan pegangannya. “Bukan gitu, bukan gitu, bukan gitu gimana? Udah deh Lo jangan ikut campur terus urusan Gw.” Hujan sudah sangat deras, tapi aku tidak berniat untuk pulang. Aku terus berjalan tanpa henti dan Reno masih mengikutiku dari belakang. Kemudian aku duduk di halte. Reno pun ikut duduk
9 ANJING GILA DI RUMAH HANTU“Lo tinggal di mana, Lo gak ada di kosan?” tanya Reno.“Bukan urusan Lo.”“Kenapa sih Lo suka kabur kaya anak kecil?”“Kenapa sih Lo enggak bunuh Gw aja sekalian biar Lo puas. Gw benci banget sama Lo, sama orang tua Lo, sama adik-adik Lo. Gw enggak pernah merasa sebenci ini sama orang.”“Lo pikir Gw senang dengan kehadiran Lo di keluarga Gw?”“Ya udah kalau emang Lo benci, Lo enggak usah bersikap sok peduli sama Gw. Gak usah sok jadi anak penurut deh Lo. Gw benci sama sikap Lo, Gw benci dengar suara Lo, Gw benci lihat muka Lo.”“Udah puas Lo maki-maki Gw?”“Belum! Gw benci semua cewek memuja Lo seolah Lo pangeran dari negeri dongeng. Lo bahkan enggak pernah ngerasain setengah dari penderitaan Gw. Kalau Lo perempuan mungkin kita udah saling jambak dan cakar. Kaya a
10 KETIDURAN“Lo enggak apa-apa?”“Lo buta apa, enggak lihat Gw muntah-muntah. Kenapa sih Lo selalu nanya 'Lo enggak apa-apa?' Enggak mungkin lah Gw enggak apa-apa selama masih ada kalian.”“Enggak bisa apa Lo ngomong lebih lembut?”Aku membasuh mukaku dengan air mineral, tidak menghiraukan perkataannya. Memangnya kenapa aku harus berkata lembut padanya? Memangnya dia siapa? Orang penting?Memangnya dia yang memberiku makan? Yang menyekolahkan aku? Dia hanya orang yang tidak aku harapkan yang tiba-tiba hadir dalam kehidupanku ini.Hidup yang tadinya tenang kini menjadi kusam karena mereka. Aku ingin kehidupanku yang kembali normal seperti dulu, sebelum kehadiran mereka.Belajar, kuliah, bekerja ....Menghabiskan waktuku tanpa memikirkan dan memendam rasa kesal.Aku merasa seperti dipermainkan. Takdir sangat tidak adil untukku. Di saat menjalani keadaan ini seorang dir
37 BONUS CHAPTER Aku membesuk Reva yang baru saja melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. “Siapa namanya, Rev?” tanyaku sambil menggendong bayi tampan itu. “Arkana Albian Abizar.” “A semua?” “Hahaha, Albian nama keluargaku, kan. Abizar nama keluarga Dito. Maklumlah lah Ran, aku kan anak satu-satunya, jadi kedua orang tuaku ingin nama Albian tetap dipakai.” “Halo baby Arkana, jadi anak yang soleh ya dan sehat selalu, membanggakan kedua orang tua kamu.” Reno mengusap perutku yang sudah membuncit. Saat ini aku juga sudah mengandung lima bulan. Keluarga Reno sangat bahagia saat pertama kali mengetahui soal kehamilanku. Reno menjadi suami yang siaga. Setiap malam dia selalu menemaniku yang susah tidur dan yang terkadang ingin ini itu. Pagi harinya dia akan membuatkan susu hamil untukku. Banyak hal yang sudah Reno lakukan, bukan hanya saat aku hamil saja. Aku benar-benar ber
36 KEBAHAGIAAN DI LAUT BIRU Reno menggenggam tanganku dengan erat, seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Ren ....” “Sstttt ... sudah tenang saja, kita akan menikah dan kamu tidak boleh pergi lagi tanpa aku.” Ck, percaya diri sekali dia. Entah kenapa aku memang tidak dapat menghilangkan rasa tidak percaya diriku mengenai hubungan dengan laki-laki. “Yang harus kamu pikirkan itu mengenai konsep pernikahan kita nanti. Kamu pasti mau menikah di pantai, kan. Tenang saja, selama ini aku sudah menyiapkan semuanya, kamu tinggal memilihnya saja.” “Yang paling penting itu restu, Ren.” “Ya pasti direstuin lah, Yang!” Yang? Maksudnya, Sayang? Aku menahan senyum, tapi Reno menyadarinya. “Kok kamu senyum-senyum sendiri gitu, sih? Sudah gak sabar ya, nikah sama aku?” Tuh kan, sekarang jadi aku kamu, biasanya juga gue elo. “Dih, percaya diri
35 SESEORANG ITU DIA Awalnya aku merasa kagum, namun tidak pernah kutunjukan. Orang yang selama berbulan-bulan kulihat turun bersamaku di pemberhentian terakhir. Seolah dia menjagaku di keheningan malam dan aku merasa aman dan nyaman dengan itu. Orang yang akhirnya menjadi rekan kerjaku di kafe, dan ternyata dia juga satu kampus denganku. Meskipun kami sering bertengkar di kafe dan bersikap tidak peduli satu sama lain di kampus, namun aku tidak pernah benar-benar membencinya. Entah apa penyebabnya, aku juga tidak tahu. Saat pertama kali ke rumah om Hendro dan bertemu dengannya, seperti ada petir yang menyambarku. Aku merasa kecewa, aku terjebak mimpi buruk dan tidak bisa keluar. Kenapa orang yang aku kagumi harus menjadi saudara yang kubenci. Aku tutupi perasaanku rapat-rapat, dan rasa kagum itu harus aku kubur dalam-dalam. Saat tahu kami tidak bersaudara, ada perasaan lega dan senang. Aku bisa kembali mengaguminya sebagai seorang teman, d
34 TENTANG ISI HATI "Terus waktu seperti diputar ke belakang lagi, saat gw mendengar percakapan itu. Tuhan enggak mungkin ngasih perasaan sayang seperti itu ke adik gw sendiri, dan ternyata memang bukan perasaan gw yang salah.” Reno terdiam sejenak, kemudian melanjutkan kembali. “Awalnya gw merasa penasaran kenapa lo selalu duduk sendiri di kantin sekolah atau di perpustakaan. Lo enggak pernah memperhatikan siapa orang-orang yang ada di sekitar lo, seolah mereka tiang listrik yang bergerak, yang kalau lo dekat-dekat bakalan kesetrum. Berkali-kali kita berpapasan, tetapi lo enggak pernah mandang gw sekali pun. Lo enggak pernah tersenyum atau pun marah. Tetapi saat ada Dito, lo selalu tersenyum dan merasa senang, tapi karena dia juga lo kecewa dan patah hati. Gw pengen bikin lo tersenyum tapi ujung-ujungnya kita selalu berantem. Lo sering mandangin hujan dari kamar lo, seolah lo lagi curhat sama hujan itu. Tadinya, gw kira ayah menyuruh gw ngekos di sit
33 INGIN MEMULAI HIDUP BARU Om Hendro dan tante Ajeng sepertinya masih keberatan, tapi akhirnya mereka setuju juga. Aku memasukkan bajuku ke dalam koper. “Lo pergi karena patah hati?” “Ren, lo pernah nanya pertanyaan yang sama juga kan dulu. Kenapa harus diulang lagi, sih? Gw bosan menjawab pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama juga. Sebagai mantan teman kerja dan senior, seharusnya lo ngedukung gw.” “Gw bukannya enggak ngedukung, tapi ....” “Dah enggak usah tapi-tapian.” “Kan bentar lagi juga gw mau nikah.” “Oya, selamat ya. Entar gw datang deh. Gw doakan semoga dia bahagia.” “Kok cuma dia, gw enggak?” “Ya lo sih udah pasti bahagia lah, kan lo yang mau. Justru dia yang gw cemaskan.” “Ya bahagia juga, lah. Kata orang-orang, gw baik, ganteng, lucu, hmmm ... apa lagi yang belum, ya?” “Tapi kurang waras!” “Coba deh, hati dan pikiran lo
32 PERNIKAHAN Reno yang merancang bangunannya, sedangkan Reva menulis daftar semua kebutuhan. Dito, Vivian, dan Andre juga ikut membantu. Bukan hanya mereka, tante Hartini dan ibu kos juga ikut andil. Tante Hartini menghubungi teman-teman lamanya semasa tinggal di rumah yatim. Mengerjakan semua ini, entah mengapa perasaanku campur aduk. “Kita bisa membuat beberapa kegiatan, untuk melatih kemandirian mereka. Misalnya setiap hari Minggu kita bikin kegiatan membuat kue, nanti hasilnya bisa dijual. Bercocok tanam, kerajinan tangan dan yang lainnya. Masalah tenaga pengajar enggak usah khawatir, teman-teman kampus kita siap bantu. Masing-masing dari mereka bisa ngajarin keahlian mereka. Misalnya, gw bisa ngajarin melukis. Nah karena Reva suka banget sama fashion, dia bisa ngajarin merancang baju, tinggal cari orang yang bisa ngejahit. Pokoknya lo tenang aja Ran, semua udah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya,” kata Dito. Aku tersenyum penuh rasa terima k
31 DIA ADALAH AYAH TERBAIK Aku menuju kamarku dan mengambil buku tabungan dan ATM-nya, lalu kembali ke bawah. “Ini. Ini semua uang yang sudah Om kirimkan kepadanya untuk memenuhi kebutuhanku. Jumlahnya masih sama, tidak ada yang berkurang sedikit pun.” Aku menyerahkan buku tabungan dan ATM itu pada om Hendro. “Rana ... seharusnya ayah yang minta maaf. Ayah enggak ada maksud untuk menyembunyikan kebenarannya dari kamu. Ayah hanya takut, kalau kamu nanti tahu, kamu akan pergi karena merasa tidak berhak ada di rumah ini.” Aku langsung melihatnya. Dia masih menyebut dirinya ayah padaku, dan dia tidak ingin aku pergi kalau aku tahu dia bukan ayahku? Aku semakin merasa malu. Mengapa om Hendro begitu baik padaku? Dia membiarkan anak-anaknya berpikir kalau dia memiliki anak dari perempuan lain, hanya untuk menjagaku, yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya sedikit pun. Apakah orang lain akan melakukan ha
30 MAAFKAN AKU “Rana, ayah mau bicara. Ayo turun!” Aku dan Reno turun dan duduk di ruang keluarga. Aku melihat wajah mereka yang terlihat serius, apa yang akan dibicarakan adalah hal yang sangat penting? “Rana, ada hal serius yang ingin ayah bicarakan.” Om Hendro dan tante Ajeng berpandangan. Apa seperti yang aku pikirkan? “Ini menyangkut masa depan kamu. Begini, kamu kan sudah dewasa dan sudah cukup umur. Ayah bermaksud ingin menjodohkan kamu dengan seseorang, tapi ayah tidak akan memaksa, semua keputusan ada di tangan Kamu.” Nah loh, kok enggak seperti yang aku kira, meskipun agak menjurus dikit. Orang tua Reno berpandangan, menunggu reaksiku. Aku melihat Reno, dia juga kelihatan kaget. Berarti dia juga enggak tau apa-apa. “Iya, nanti aku pikirkan dulu.” Kami berbicara dengan santai, tentang pria yang akan dijodohkan denganku. Pria itu berumur 30 tahun, lulusan luar n
29 INGIN MELAMAR Aku menyiram tanaman. Aroma mawar membuat suasana di taman ini lebih menyenangkan. Aku baru memperhatikan kalau di taman belakang ini ada bunga kesukaan ibu. “Rana, rencana kamu hari ini apa?” tanya tante Ajeng. Reno dan yang lainnya sudah berkumpul dan duduk di pinggir taman. “Aku mau ke tempat Reva.” “Oya Rana, ayah mau kamu kerja di perusahaan ayah. Ayah sudah nyiapin posisi manajer untuk kamu,” kata om Hendro. “Tapi ....” “Tolong bantu ayah, ya. Reno juga kan sekarang sudah kerja di perusahaan. Kalau ada kalian berdua, pasti lebih baik.” Bagaimana nanti om Hendro akan memperkenalkan aku. Anaknya, kah? Keponakan? Atau hanya sebagai manajer biasa? Siang harinya aku bertemu dengan Reva. Dia memelukku. Aku membawakan oleh-oleh untuknya dan Dito. “Dito gimana kabarnya, Rev?” “Baik-baik aja. Pokoknya hari ini khusus untuk kita berdua. Lo ngin