“Denis..! kenapa kamu melakukan ini?” aku mendekatinya perlahan lalu membuang benda yang kupegang untuk memukulnya tadi.“Untuk membebaskanmu, kak. Setidaknya bisa membiarkanmu mencari kebebasan..” ucap Denis dengan suara lirih.“Lagi pula aku sudah tamat, aku gak mau pergi sendirian. Tapi sebelum itu, aku harus menyingkirkan bajingan ini dulu..” Denis bergerak mendekati Mas Bastian lagi, aku pun menghalanginya dengan sigap.Darahku seakan mendidih, meskipun Bastian memang bajingan, aku harus tetap melindunginya, karna yang kubutuhkan adalah seorang suami.“Bukannya sudah kukatakan, jangan bertindak sesukamu, Denis!” aku menghardik, meluapkan emosiku.Kalau sampai suamiku kenapa-napa, tujuan utamaku bisa gagal.“Kak Elena… sadar!” ucap Denis bersikeras.“Denis, aku sudah bilang, aku gak peduli kalau harus tertangkap! Kamu hanya perlu membantuku sesuai yang kuperintahkan saja!”“Tidak, kak. Aku melakukan ini karena kehendakku sendiri!” bentak Denis padaku.Dia merasa putus asa dengan k
“Selamat keluar dari rumah sakit, Tante..” ucap Sheza sambil menyerahkan buket bunga padaku.“Terima kasih, Sheza..” aku mengambil buket bunga yang diberikannya sambil tersenyum manis dan bersikap lembut.Mantan suami Kak Vira juga datang, padahal selama ini yang kutahu dia tak pernah lagi peduli pada keluarganya semenjak dipecat dari kepolisian.Mereka bersorak kembali menyambutku, aku tersipu malu dan ikut senang. Lebih tepatnya menghargai kebaikan mereka.“Cukup..!! cukup..!! apa-apaan ini?” teriak Bastian.Aku menoleh pada suamiku yang berdiri di sampingku, “apakah kamu takut dan terkejut, suamiku?”Aku memberi kode lewat mata pada suamiku, untuk bersikap biasa dan anggap tidak pernah terjadi apa-apa pada kami berdua sebelumnya. Lalu suamiku itu naik ke lantai dua, sementara yang lainnya mengucapkan selamat, termasuk Bang Rozi, mantan suami Kak Vira.“Selamat ya, Elena.. akhirnya kamu bisa melewati semuanya,” ucap Bang Rozi.Aku tersenyum, lantas mengucapkan terima kasih.“Ah, beg
Setelah semua orang pulang, aku pun sudah berberes rumah dan membersihkan dapur. Kemudian ke lantai dua untuk memastikan suamiku sudah tertidur.Saat sudah memastikan Bastian terlelap, aku mengambil tas dan kunci mobil lalu menuju garasi. Kucabut kartu memori dari kamera dashboard mobil suamiku agar tidak ada yang terekam. Aku juga me-nonaktifkan GPS pada mobil ini.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang menuju suatu tempat yang sudah lama ingin kukunjungi. Sekitar setengah jam aku mengemudi, akhirnya sampai pada tempat yang kutuju, aku memarkirkan mobil di tepi jalan, karena tempat itu ada di dalam gang yang tidak bisa di masuki mobil.Saat aku berjalan kaki memasuki gang, aku sadar ada seseorang yang sedang mengikutiku, tapi aku tetap bersikap santai dan terus berjalan.Bar REA, tempat yang banyak menyimpan cerita. Sudah lama aku tidak kesini. Langsung saja aku masuk ke dalam bar untuk menemui seseorang yang selama hidupku sudah banyak berjasa. Namanya Raffi, pria tampan bertubuh
POV BastianSetelah menyaksikan drama antara Elena dan Denis, aku lanjut berdebat dengan istriku itu. Aku mengajaknya untuk mengakhiri pernikahan kami, tapi dia bilang tak ingin menyerah. Aku lelas hidup dengan monster dengannya.Saat masuk ke dalam rumah, aku dibuat terkejut oleh ulah keluargaku, jika jantung ini bukan ciptaan Tuhan, sudah pasti akan copot dari tempatnya.Bang Rozi juga hadir. Kak Vira bilang, karena Sheza memaksanya untuk ikut. Aku yakin dia sangat senang mengambil kesempatan ini.Mereka membuat kejutan untuk merayakan kembalinya Elena dari rumah sakit sekaligus terlepas dari kasus penculikan yang menggemparkan seluruh negeri.Mereka terus bersorak, sementara istriku tampak sangat senang.“Cukup..!! cukup..!! apa-apaan ini?” teriakku kesal.Elena menatapku horor, dia memberi kode lewat matanya agar aku bersikap biasa dan jangan mengacaukan acara yang sudah dibuat oleh keluargaku untuknya.Saat bel rumah berbunyi, Elena segera melihat monitor, membuat semua orang yan
Selesai bersiap, aku turun membawa benda itu dan melemparkannya ke meja makan saat Elena tengah sibuk menyajikan sarapan.Aku menyuruhnya untuk menyerahkan alat penyadap itu kepada polisi, namun dia meminta agar aku saja yang menyerahkan benda ini pada polisi ke arah yang lebih bermanfaat bagiku. Padahal dia sendiri yang menyadap rumah ini, apa yang sebenarnya dia pikirkan?Aku bertanya padanya, apa sebenarnya rencana dia selanjutnya. Karena aku butuh persiapan untuk melawan musuh yang keberadaannya tepat di depan mataku.Dia mengucapkan hal yang membuatku jijik, “aku hanya ingin menjalani hidup yang bahagia bersamamu,” begitu kata Elena.Aku tersenyum miring, “bahagia?”Bagiku itu tidak masuk akal, bagaimana bisa menjalani hidup yang bahagia jika aku hidup bersama monster yang mengerikan seperti dirinya.Elena bilang, ini adalah kesempatan terakhir untukku. Justru aku tak tertarik untuk berubah, atau memanfaatkan kesempatan terakhir yang dia berikan, aku hanya fokus pada uang itu. Ak
Aku memutuskan untuk pulang ke rumah setelah mengantarkan Jessica ke kosannya.Sampai di rumah, aku melihat Elena sedang meminum anggur seorang diri. Matanya lurus ke depan, tak menoleh sama sekali kearahku saat tahu aku baru saja pulang.“Apa kamu masih ingat film romantis yang pernah kita tonton? Sang suami harus membunuh istrinya sendiri yang menderita demensia. Dia merasa seperti bunuh diri dan menderita selama hidupnya.” Aku masih berdiri mendengarkan ucapannya.“Bisakah kamu melakukan itu juga?” lanjutnya, lalu menoleh padaku.“Itu hanya film,” sahutku lalu bergerak hendak ke kamar.“Aku pikir jika ada cinta seperti itu, dalam pernikahan juga patut dicoba, tetap disisinya sampai akhir, juga bisa mempercayakan akhir dari diri sendiri kepadanya. Tidakkah menurutmu itu sangat romantis?” Elena tersenyum, lalu menenggak anggur dalam gelas yang ia pegang.“Maaf aku menolak, aku tidak bisa melakukannya!” ujarku tegas.Tak ingin menghiraukan perkataan Elena lagi, aku segera naik ke lant
Setelah memasuki jalan raya. Akhirnya aku bisa bernapas lega, sepertinya mereka tidak mengejarku.Tiba-tiba terdengar lagi suara sirine polisi, aku mengintip dari kaca spion.“Sial!” aku mengumpat dan memukul setir mobil. Ternyata polisi mengejarku. Perasaan panik mulai datang. Ini terjadi lagi seperti sebelumnya, dimana aku terjebak menjadi penculik Elena, dan sekarang aku terjebak menjadi pembunuh.“Seperti aku yang telah membunuhnya, sebenarnya kenapa Denis bisa mati,” kesalku.“Apakah dia bunuh diri, atau seseorang yang membunuhnya…” aku berpikir keras.Mungkinkah ini semua strategi istriku? Sejak awal dia tahu aku mengejar uang itu dan sengaja membuat perangkap. Apakah Denis rela melakukan ini demi menjabakku? Aku telah membuat orang yang tidak bisa kulawan menjadi musuhku.Aku melajukan mobil dengan kecepatan tinggi sehingga polisi kehilangan jejakku. Aku segera menuju kosan Jessica.“Kamu gila? Kenapa kamu kesini! Kalau ada yang mengikuti kamu sampai kesini gimana?” ucap Jessic
“Selamat datang!” ucap seorang pelayan, menyambut kedatangan detektif Toni dan timnya.“Kamu harus tetap tenang dan diam sampai jam empat!” bisik Elena.“Apa maksudmu..” Aku sudah panik, tapi Elena masih bicara ngelantur, bagaimana bisa aku menunggu sampai jam empat, polisi sudah datang.“Aku akan membuatmu tidak bersalah, percaya saja padaku! Aku akan menyelamatkanmu,” Elena berujar dengan suara pelan.“Selamat siang..” ujar detektif Toni, mereka sudah berdiri di dekat kami duduk.Elena segera menarik pisau tadi dan memasukkannya ke dalam tas.“Chef Bastian.. akhirnya kita bertemu..” ucap detektif Toni seraya duduk dihadapanku.“Suamiku…” lirih Elena, memulai sandiwara.Mereka memboyongku ke kantor polisi, aku tetap diam mengikuti perintah Elena. Ah, kenapa aku mengikuti orang yang kuanggap musuh? Bisakah aku mempercayainya?***Sekarang aku sudah berada di ruang interogasi berdua dengan detektif Toni.“Aku hanya ingin menanyakan satu hal padamu. Kenapa kamu bisa muncul di dekat TKP?
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Aku ingin membakar rumah ini.." Elena membakar kain gorden rumahnya untuk mengalihkan perhatian sang Ibu pada waktu itu, namun Kak Raffi, guru les privatnya, mencegah dan segera mematikan api sebelum menyebar terlalu besar.Mulai saat itu, Elena merencanakan sandiwara penculikan bersama Raffi dengan imbalan uang untuk berobat pacarnya yang sedang menderita kanker."Apakah kamu bisa melihat kupu-kupu berusaha keras demi bisa terbang?" Elena bertanya sambil melihag kupu-kupu yang hinggap di jendela bus yang mereka tumpangi.Mereka berdua pergi tanpa tujuan, asalkan pergi saja dari rumah dan menghilang."Tapi menurutku, dia berusaha untuk tidak terbang dan kembali pulang.." Elena melihat hewan itu mirip dengannya.Kebebasan tak pernah dia rasakan. Semua tentang hidupnya diatur oleh orang tuanya. Cita-cita, cinta, dan apapun itu. Sehingga saat itu Elena menberontak, terutama dia melihat Ibunya berselingkuh. Hidupnya ibarat terombang ambing diatas ombak lautan."Tidak ada yang tau sebera
"Suamiku... akhirnya kamu datang.." Elena tersenyum dengan sisa tenaganya."Aku... aku datang dengan otak bodohku ini.." Bastian menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan sebuah kode melalui tangannya.Bastian menunjukkan jari manisnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Memberitahu Elena bahwa dia tersadar keberadaan istrinya ketika melihat cincin pernikahan yang dikenakan Elena.Elena tersenyum puas. Wajahnya semakin pucat tak berdaya."Akhirnya aku yang memenangkan taruhan ini, kan?" Elena menatap Melisa dengan senyuman mengejek.Wanuta berambut sebahu itu masih bertahan dengan korek yang menyala di tangannya."Aku rasa.. kalian berdua sangat ingin saling membunuh. Tidak bisakag menjadi lebib jujur? Kalian hanya takut melukai harga diri kalian, kan?" Melisa menyeringai."Maka tidak berani mengakui jika salah pilih. Makanya kalian seperti ini.." sambungnya sambil terus bergantian menatap Elena dan Bastian."Tapi... memangnya kenapa?" Bastian menyela. "Bukankah semua orang seperti
Elena memindai sekitar rumahnya. Matanya menyapu seluruh sudut, mengingat kenangan di tempat ini sebelum Melisa menjatuhkan korek apinya.'Sebenarnya kesalahannya mulai dari mana? Akhirnya, janji di depan A31 tetap tidak bisa ditepati. Aku berharap suamiku masih ingat dengan A31. Janji kita bersama A31, tidak terpenuhi.' Elena bergumam dalam hati.Hatinya hancur. Terutama ketika mengingat pertama kali menjalankan misi sandiwara penculikan, saat itu Bastian menelepon polisi setelah membaca pesan ancaman dari sang penculik A31.Bagaimana bisa dia langsung menelepon polisi dan tersenyum saat mengetahui jika hal itu dilakukan akan membuat nyawa Elena terancam. Kecewa dan marah Elena rasakan, namun tak bisa dilampiaskan pada Bastian. Dia memilih memaafkan karena dia membutuhkan seorang suami."Aku berharap suamiku tidak tersesat, dan segera melihat petunjuk yang kuberikan," ujar Elena saat bersembunyi di suatu tempat dan pura-pura diculik.A31 adalah petunjuk, namun Bastian sama sekali tid
"Pintunya tidak terkunci," gumam Toni saat masuk ke dalam restoran."Apakah ada orang di dalam?!" Toni berteriak sambil terus berjalan masuk ke dalam."Apa ini?" Rian melihat bercak darah di lantai."Cepat!" Toni berseru, berlari naik ke lantai dua."Apa yang terjadi?" Toni menemukan Jessica tergeletak bersimbah darah sambil memegang lengannya yang terluka."Apa yang terjadi?" Rian menghampiri Jessica."Sepuluh miliar sudah dirampas, penjahatnya adalah Andre, pria tetangga Bastian," jelas Jessica sambil meringis kesakitan."Andre? Cepat kejar!" perintah Toni pada juniornya."Sepuluh miliar... uang yang digunakan untuk penebusan kasus penculikan Elena?" desis Toni, matanya menyorot tajam pada Jessica.Wanita itu tak peduli, dia terus meringis sambil nenekan luka di lengannya."Aku pikir uang itu jatuh ke tangan siapa, ternyata kamu orangnya.." kembali Toni mendesis.Jessica tak berani membalas tatapan Toni. Dia terus menunduk."Aww.. sakit banget!" Pekik Jessica saat Toni memberikan sa
“Katanya mereka berkenalan saat bekerja di bar anggur merah. Istrinya itu sangat menyukai anggur merah terutama merek Cinta Abadi.” Rozi bercerita sambil menunjukkan foto Raffi bersama wanita penjaga bar, yaitu mendiang istrinya.Saat Jessica tengah memperhatikan foto tersebut, Rozi mengetuk-ngetuk koper milik Jessica.“Bukankah kamu bilang tidak tertarik?” dengan cepat Jessica menggeser kopernya itu, dan mengalihkan pandangan dari foto ke Rozi dengan tatapan tajamnya.“Toko gue gak akan mengurus barang kotor dan haram seperti ini,”ujarnya.“Tapi aku rasa kamu hanya mengurus barang kotor,” balas Jessica meremehkan.“Sudah gue bilang enggak!” tegasnya.“Kamu tau, diantara barang kotor dalam toko ini, kita lah yang paling punya aroma kotor itu.” Jessica menyeringai. “Lalu, bagaimana istrinya Raffi itu meninggal?” sambung Jessica melanjutkan ke topik pembicaraan.“Karena sudah lama sakit,” jawab Rozi sambil menyilangkan kakinya ke kaki satunya.“Jadi istrinya meninggal karena sakit?”“Ya