Aku memutuskan untuk pulang ke rumah setelah mengantarkan Jessica ke kosannya.Sampai di rumah, aku melihat Elena sedang meminum anggur seorang diri. Matanya lurus ke depan, tak menoleh sama sekali kearahku saat tahu aku baru saja pulang.“Apa kamu masih ingat film romantis yang pernah kita tonton? Sang suami harus membunuh istrinya sendiri yang menderita demensia. Dia merasa seperti bunuh diri dan menderita selama hidupnya.” Aku masih berdiri mendengarkan ucapannya.“Bisakah kamu melakukan itu juga?” lanjutnya, lalu menoleh padaku.“Itu hanya film,” sahutku lalu bergerak hendak ke kamar.“Aku pikir jika ada cinta seperti itu, dalam pernikahan juga patut dicoba, tetap disisinya sampai akhir, juga bisa mempercayakan akhir dari diri sendiri kepadanya. Tidakkah menurutmu itu sangat romantis?” Elena tersenyum, lalu menenggak anggur dalam gelas yang ia pegang.“Maaf aku menolak, aku tidak bisa melakukannya!” ujarku tegas.Tak ingin menghiraukan perkataan Elena lagi, aku segera naik ke lant
Setelah memasuki jalan raya. Akhirnya aku bisa bernapas lega, sepertinya mereka tidak mengejarku.Tiba-tiba terdengar lagi suara sirine polisi, aku mengintip dari kaca spion.“Sial!” aku mengumpat dan memukul setir mobil. Ternyata polisi mengejarku. Perasaan panik mulai datang. Ini terjadi lagi seperti sebelumnya, dimana aku terjebak menjadi penculik Elena, dan sekarang aku terjebak menjadi pembunuh.“Seperti aku yang telah membunuhnya, sebenarnya kenapa Denis bisa mati,” kesalku.“Apakah dia bunuh diri, atau seseorang yang membunuhnya…” aku berpikir keras.Mungkinkah ini semua strategi istriku? Sejak awal dia tahu aku mengejar uang itu dan sengaja membuat perangkap. Apakah Denis rela melakukan ini demi menjabakku? Aku telah membuat orang yang tidak bisa kulawan menjadi musuhku.Aku melajukan mobil dengan kecepatan tinggi sehingga polisi kehilangan jejakku. Aku segera menuju kosan Jessica.“Kamu gila? Kenapa kamu kesini! Kalau ada yang mengikuti kamu sampai kesini gimana?” ucap Jessic
“Selamat datang!” ucap seorang pelayan, menyambut kedatangan detektif Toni dan timnya.“Kamu harus tetap tenang dan diam sampai jam empat!” bisik Elena.“Apa maksudmu..” Aku sudah panik, tapi Elena masih bicara ngelantur, bagaimana bisa aku menunggu sampai jam empat, polisi sudah datang.“Aku akan membuatmu tidak bersalah, percaya saja padaku! Aku akan menyelamatkanmu,” Elena berujar dengan suara pelan.“Selamat siang..” ujar detektif Toni, mereka sudah berdiri di dekat kami duduk.Elena segera menarik pisau tadi dan memasukkannya ke dalam tas.“Chef Bastian.. akhirnya kita bertemu..” ucap detektif Toni seraya duduk dihadapanku.“Suamiku…” lirih Elena, memulai sandiwara.Mereka memboyongku ke kantor polisi, aku tetap diam mengikuti perintah Elena. Ah, kenapa aku mengikuti orang yang kuanggap musuh? Bisakah aku mempercayainya?***Sekarang aku sudah berada di ruang interogasi berdua dengan detektif Toni.“Aku hanya ingin menanyakan satu hal padamu. Kenapa kamu bisa muncul di dekat TKP?
“Detektif Toni, kita hentikan saja disini!” perintah direktur itu.Elena tersenyum, sementara aku masih bingung. Kenapa direktur itu sangat mudah melepaskanku hanya dengan permohonan sederhana dari pengacara yang dibawa Elena.“Chef Bastian, terima kasih anda sudah meluangkan waktu yang lama untuk kami,” direktur itu menoleh padaku.Aku hanya mengangguk, bingung. Ada apa ini? Kemudian mereka semua bersiap untuk bubar.“Detektif Toni…” seseorang masuk ke dalam ruang rapat dengan tergesa-gesa dan membisikkan sesuatu lalu menyerahkan selembar kertas.“Ayo, semuanya kembali bekerja!” seru si direktur.Aku melirik jam lagi, sudah pukul empat tepat.“Tunggu sebentar!” tegas Pak Toni.“Diujung pisau yang ditemukan di TKP, ditemukan darah Bastian,” detektif Toni menoleh padaku dengan tatapan elangnya. Sementara semua orang memeriksa laporan tersebut.Deg!Apa-apan ini, kenapa bisa ada darahku disana? Elena memang tidak bisa dipercaya!“Karena ada sidik jari Denis di pisau, sedangkan diujung p
Pak Toni membuka surat itu perlahan. Semua orang saling melempar pandangan tak sabar menunggu apa isinya. Lalu detektif Toni mulai membacakan surat itu.“Surat ini ditujukan kepada semua personel terkait yang terlibat dalam investigasi. Harap teruskan surat ini ke seniorku, Kak Elena. Aku adalah Denis. Kak Elena… empat tahun lalu, aku melukismu saat itu, kamu selalu menjadi kerinduanku. Aku selalu ingin bersamamu. Jika melempar kejahatan pada suamimu yang selingkuh, kamu seharusnya kembali padaku, kan? Aku selalu percaya, tapi melihat betapa bahagianya dirimu pada saat meninggalkan rumah sakit, mimpiku runtuh begitu saja. Tapi aku tidak bisa menuruti perkataanmu untuk menyerah, aku tidak bisa memilih itu. Karena aku berpikir, selama dua orang itu bisa mati, kamu bisa mendapatkan kembali kebebasan. Tapi aku tahu, kamu dan aku tidak berpikiran sama. Sekarang, segalanya sudah tidak ada lagi artinya. Yang aku inginkan bukanlah uang, jadi aku membakar 10 miliar itu bersamaan dengan hangusn
“Apakah kamu tidak bertanya, tentang catatan bunuh diri yang dikirimkan tepat jam empat?” tanya Elena.“Sekarang tidak perlu, karena aku percaya padamu,” ucapku seraya tersenyum getir. Masih ada rasa takut terhadapnya, sungguh!Elena malah tersenyum remeh dan mengatakan, “sekarang kamu percaya padaku?”Aku menghampirinya dan duduk di dekatnya, “sekarang aku berpikir, ternyata selama ini aku selalu menerima bantuanmu. Secara jujur, aku selalu merasa berterima kasih padamu,” ucapku.“Sebenarnya aku.. bertemu Denis semalam,” kata Elena.“Jangan bicarakan tentang itu,” ujarku.“Kamu harus mendengarkanku dulu sampai selesai. Aku memohon pada Denis untuk satu hal…” ucapannya terjeda, mata istriku mulai berembun. Dari raut wajahnya dia benar-benar sedih.“Aku memohon padanya untuk meninggalkan catatan bunuh diri, cari tempat sejauh mungkin dan bersembunyi seolah dia benar bunuh diri,” suara Elena terdengar lirih.“Apakah kamu benar-benar tidak membunuhnya?” tanyaku sedikit ragu.Elena menat
"Halo sayang.. good morning!" Aku menyapanya dengan ceria saat telepon tersambung."Aku baru saja menerima kartu pos di kotak surat," ucapnya terdengar cemas."Kartu pos?" tanyaku ulang.Namun apa pentingnya kartu pos yang dia temukan di dalam kotak surat itu? Aku pastikan ini adalah panggilannuntuk yang terakhir kalinya antara aku dan Elena, sebagai suami istri."Ini dari Denis," sambung Elena."Oh.. apa?" Aku pura-pura terkejut."Dia mengirimkan informasi kontak terbarunya, dia ingin memberitahuku sesuatu," jelas Elena dari seberang sana.Keningku berkerut sejenak, "maksudmu?" tanyaku."Ini berarti pada awalnya Denis tidak memiliki pikiran untuk bunuh diri," suara Elena terdengar cemas. Sudah pasti dia hanya berpura-pura. Aku tahu Denis tidak bunuh diri, melainkan dibunuh oleh istriku."Haha, iya. Ada lebih dari satu hal yang perlu dicurigai," aku tertawa kecil sambil mengibaskan uang segepok yang kupegang.Seperti pisau yang jatuh di garasi mobilku, kenapa bisa muncul saat Denis te
"Sayang.. suamiku..! Kamu baik-baik saja!" Suara berisik Elena sekaligus tamparan kecil di pipiku, membuatku tersadar."Elena..." aku terduduk kaget, lantas melihat sekeliling, uang itu sudah tidak ada. Sial, Jessica berkhianat. Dia membawa semua uang itu. Dasar wanita licik!"Apa yang terjadi disini, kenapa kacau sekali?" Elena berujar sambil memperhatikan sekitar."Tadi aku sedang menyangrai biji kopi, tiba-tiba ada orang yang.. awww," aku memekik kesakitan sambil memegang leher bagian belakang.Elena meraih alat setrum di belakangku. Matanya menyorot tajam sambil memindai sekeliling. Karung kopi yang terbuka, kantung plastik yang sudah koyak, dan biji kopi yang berserakan, membuat Elena terlihat murka. Wajar saja, uang yang dia sembunyikan dengan rapi diketahui orang dan bahkan dicuri."Siapa orang itu?" desis Elena."Aku gak tau, gak sempat liat siapa orangnya. Karena tiba-tiba leherku langsung disengat listrik oleh alat itu, dan aku pingsan," jelasku.Sepetinya Elena tak begitu y
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Aku ingin membakar rumah ini.." Elena membakar kain gorden rumahnya untuk mengalihkan perhatian sang Ibu pada waktu itu, namun Kak Raffi, guru les privatnya, mencegah dan segera mematikan api sebelum menyebar terlalu besar.Mulai saat itu, Elena merencanakan sandiwara penculikan bersama Raffi dengan imbalan uang untuk berobat pacarnya yang sedang menderita kanker."Apakah kamu bisa melihat kupu-kupu berusaha keras demi bisa terbang?" Elena bertanya sambil melihag kupu-kupu yang hinggap di jendela bus yang mereka tumpangi.Mereka berdua pergi tanpa tujuan, asalkan pergi saja dari rumah dan menghilang."Tapi menurutku, dia berusaha untuk tidak terbang dan kembali pulang.." Elena melihat hewan itu mirip dengannya.Kebebasan tak pernah dia rasakan. Semua tentang hidupnya diatur oleh orang tuanya. Cita-cita, cinta, dan apapun itu. Sehingga saat itu Elena menberontak, terutama dia melihat Ibunya berselingkuh. Hidupnya ibarat terombang ambing diatas ombak lautan."Tidak ada yang tau sebera
"Suamiku... akhirnya kamu datang.." Elena tersenyum dengan sisa tenaganya."Aku... aku datang dengan otak bodohku ini.." Bastian menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan sebuah kode melalui tangannya.Bastian menunjukkan jari manisnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Memberitahu Elena bahwa dia tersadar keberadaan istrinya ketika melihat cincin pernikahan yang dikenakan Elena.Elena tersenyum puas. Wajahnya semakin pucat tak berdaya."Akhirnya aku yang memenangkan taruhan ini, kan?" Elena menatap Melisa dengan senyuman mengejek.Wanuta berambut sebahu itu masih bertahan dengan korek yang menyala di tangannya."Aku rasa.. kalian berdua sangat ingin saling membunuh. Tidak bisakag menjadi lebib jujur? Kalian hanya takut melukai harga diri kalian, kan?" Melisa menyeringai."Maka tidak berani mengakui jika salah pilih. Makanya kalian seperti ini.." sambungnya sambil terus bergantian menatap Elena dan Bastian."Tapi... memangnya kenapa?" Bastian menyela. "Bukankah semua orang seperti
Elena memindai sekitar rumahnya. Matanya menyapu seluruh sudut, mengingat kenangan di tempat ini sebelum Melisa menjatuhkan korek apinya.'Sebenarnya kesalahannya mulai dari mana? Akhirnya, janji di depan A31 tetap tidak bisa ditepati. Aku berharap suamiku masih ingat dengan A31. Janji kita bersama A31, tidak terpenuhi.' Elena bergumam dalam hati.Hatinya hancur. Terutama ketika mengingat pertama kali menjalankan misi sandiwara penculikan, saat itu Bastian menelepon polisi setelah membaca pesan ancaman dari sang penculik A31.Bagaimana bisa dia langsung menelepon polisi dan tersenyum saat mengetahui jika hal itu dilakukan akan membuat nyawa Elena terancam. Kecewa dan marah Elena rasakan, namun tak bisa dilampiaskan pada Bastian. Dia memilih memaafkan karena dia membutuhkan seorang suami."Aku berharap suamiku tidak tersesat, dan segera melihat petunjuk yang kuberikan," ujar Elena saat bersembunyi di suatu tempat dan pura-pura diculik.A31 adalah petunjuk, namun Bastian sama sekali tid
"Pintunya tidak terkunci," gumam Toni saat masuk ke dalam restoran."Apakah ada orang di dalam?!" Toni berteriak sambil terus berjalan masuk ke dalam."Apa ini?" Rian melihat bercak darah di lantai."Cepat!" Toni berseru, berlari naik ke lantai dua."Apa yang terjadi?" Toni menemukan Jessica tergeletak bersimbah darah sambil memegang lengannya yang terluka."Apa yang terjadi?" Rian menghampiri Jessica."Sepuluh miliar sudah dirampas, penjahatnya adalah Andre, pria tetangga Bastian," jelas Jessica sambil meringis kesakitan."Andre? Cepat kejar!" perintah Toni pada juniornya."Sepuluh miliar... uang yang digunakan untuk penebusan kasus penculikan Elena?" desis Toni, matanya menyorot tajam pada Jessica.Wanita itu tak peduli, dia terus meringis sambil nenekan luka di lengannya."Aku pikir uang itu jatuh ke tangan siapa, ternyata kamu orangnya.." kembali Toni mendesis.Jessica tak berani membalas tatapan Toni. Dia terus menunduk."Aww.. sakit banget!" Pekik Jessica saat Toni memberikan sa
“Katanya mereka berkenalan saat bekerja di bar anggur merah. Istrinya itu sangat menyukai anggur merah terutama merek Cinta Abadi.” Rozi bercerita sambil menunjukkan foto Raffi bersama wanita penjaga bar, yaitu mendiang istrinya.Saat Jessica tengah memperhatikan foto tersebut, Rozi mengetuk-ngetuk koper milik Jessica.“Bukankah kamu bilang tidak tertarik?” dengan cepat Jessica menggeser kopernya itu, dan mengalihkan pandangan dari foto ke Rozi dengan tatapan tajamnya.“Toko gue gak akan mengurus barang kotor dan haram seperti ini,”ujarnya.“Tapi aku rasa kamu hanya mengurus barang kotor,” balas Jessica meremehkan.“Sudah gue bilang enggak!” tegasnya.“Kamu tau, diantara barang kotor dalam toko ini, kita lah yang paling punya aroma kotor itu.” Jessica menyeringai. “Lalu, bagaimana istrinya Raffi itu meninggal?” sambung Jessica melanjutkan ke topik pembicaraan.“Karena sudah lama sakit,” jawab Rozi sambil menyilangkan kakinya ke kaki satunya.“Jadi istrinya meninggal karena sakit?”“Ya