Suara langkah kaki mulai terdengar jelas. Fia menatap cemas ke arah adiknya sedangkan Fiko sudah memasang sikap siaga. Tak berselang lama, sosok mereka mulai terlihat.
“Berani juga lu berdua” ucap salah satu di antara mereka dengan senyum mengejek.
“Lawan banci masa gue takut?!” ucap Fiko memanas-manasi.
“Sialan lu, serang” ucap sang ketua sambil memberi aba-aba dengan tangannya untuk anak buahnya menyerang Fiko bersamaan. Tak berselang lama akhirnya perkelahian tak bisa di hindari. Perkelahian antar mereka benar-benar tak seimbang. Fiko yang sendirian harus melawan sekelompok orang yang di perkirakan ada 10 orang.
‘Tempatnya gak terlalu jauh, seharusnya gak lama bala bantuan dateng’ batin Fiko dengan perasaan sedikit cemas. Bukan dirinya yang dia cemaskan melainkan sang kakak, dia takut akan terjadi hal-hal tak di inginkan terjadi pada kakaknya.
“Gue punya adek kenapa bego banget” ucap Fi
Pagi harinya, saat ini Fia sedang berjalan di sepanjang koridor kelas 10, dengan langkah tenang dia menyusuri koridor. Sekolah masih cukup sepi karena jam masih menunjuk ke pukul 06.21 pagi.Fia terus berjalan hingga terlintas di benaknya tentang kata-kata seseorang kemarin. Dia mulai penasaran akan maksud dari orang itu.“Apa gue ke sana sekarang?” tanya Fia kepada dirinya sendiri. Dengan gerakan tenang Fia menatap jam tangan yang melingkar indah di tangan kirinya.“Gak akan cukup” ucapnya lagi sambil menatap ke arah depan.“Nanti sepulang sekolah aja” lanjutnya dan kembali melangkahkan kakinya ke arah kelas.Sesampainya di kelas, dahi Fia di buat mengerut karena kehadiran satu sosok di kelasnya. Sosok itu duduk di bangkunya dengan posisi kepala menunduk dan tangan di atas paha.“Bodo amat” gumam Fia dan memutar balikkan badannya, dia sedang malas berurusan dengan sosok-sosok tak jelas.
Fia masih menatap ke arah batu tadi dengan raut wajah heran. Dengan gerakan pelan dia mulai berjalan ke arah batu tadi. Saat langkahnya semakin dekat, tiba-tiba ada suara yang mengejutkannya dan membuat langkahnya terhenti di tempat.“Apa yang kau lakukan di sini?” ucap orang tadi dengan nada suara datar. Dengan refleks Fia menatap ke arah sumber suara.“Anda siapa?” tanya Fia dengan heran. Di depannya sekarang ada seorang kakek tua dengan janggut putih cukup panjang serta tongkat kayu yang menompa tubuhnya.“Seharusnya saya yang bertanya, kamu siapa dan bagaimana bisa sampai ke sini?” tanya sang kakek dengan raut wajah datar dan sedikit ke tidak sukaan.“Saya Fia, saya juga tidak tahu apa yang membuat saya sampai di sini yang saya ingat terakhir kali hanya batu di sana” ucap Fia dengan raut wajah bingung sambil menunjuk ke arah batu tadi.“Ceritamu cukup mengejutkan” ucap sang kakek yang
“Dasar ceroboh” ucap Cadramaya dengan raut wajah datar.“Maaf” kata Fia dengan lirih.“Ck, cobalah untuk sedikit waspada” nasihat dari Candramaya sambil berjalan ke arah batu besar tadi.“Aku tak mungkin terus menerus melindungimu Fia” lanjutnya dengan raut wajah serius.“Aku benar-benar, meminta maaf” ucap Fia penuh sesal.“Lupakan” kata Candramaya dan mulai konsentrasi. Dengan lancar dia membacakan mantra yang cukup asing di telinga Fia mantra itu menggunakan bahasa Jawa kuno, jadi cukup sulit jika tak paham akan bahasa Jawa kuno.Setelah mengucapkan mantra tadi Candramaya mulai meletakkan tangannya di atas batu dengan mata terpejam.Beberapa saat kemudian Candramaya membuka matanya dan menatap ke arah Fia.“Letakkan tanganmu di atas Batu dan ucapkan mantra yang aku bisikkan secara perlahan dan benar” ucap Candramaya dengan serius.
Dengan sorot mata bingung Fia menatap ke arah Yuan.“Gue gak tahu kalau leher gue luka dan bukan gue pelakunya” ucap Fia dengan raut wajah serius.Mendengar ucapan Fia barusan membuat Yuan menatap tak percaya ke arah Fia, tapi semuanya pupus saat Yuan melihat raut wajah serius yang Fia tampilkan.“Ck, iya gue percaya” ucap Yuan dengan raut wajah lelah.“Sakit?” tanya Yuan sambil menyentuh luka Fia tadi.“Tadi enggak, sekarang iya” balas Fia sambil menatap ke arah Yuan dengan raut wajah menahan perih.“mau gue obatin?” tanya Yuan dengan sorot mata sedikit khawatir.“Gak usah, entar juga sembuh sendiri” ucap Fia dengan santai.Mendengar jawaban yang di berikan oleh Fia membuat Yuan menatap ke arahnya dengan sorot mata sedikit marah? Atau kesal? Entah lah, yang pasti raut wajah Yuan tak sedap untuk di pandang.“Serah lu” balas Yuan dengan ma
Jam istirahat ke-dua sudah berbunyi dan di sinilah Fia sekarang, di dalam perpustakaan yang lama. Perpustakaan di sekolahnya ada 2, yang satu di gedung depan dengan segala keluasan dan fasilitas sedangkan perpustakaan yang satunya ada di gedung belakang dengan luas lebih kecil dari perpustakaan utama. Di perpustakaan lama hanya ada buku paket dan buku materi tak ada novel atau komik. Di perpustakaan lama juga tak ada penjaga, hanya ada tukang bersih-bersih yang akan datang tiga hari sekali.Saat ini Fia sudah berada di depan pintu perpustakaan. Dengan langkah pelan Fia mulai berjalan masuk. Saat memasuki perpustakaan kesan pertamanya hanya ruangan sepi dan sunyi.Melihat itu Fia hanya memasang wajah bahagia, dalam benaknya inilah suasa yang dia impikan selama ini. Dengan langkah pelan Fia menyusuri setiap rak-rak buku.Saat hendak berjalan ke arah rak yang lainnya, tiba-tiba pandangannya terfokus ke arah sebuah buku. Buku itu cukup menarik perhatiannya. Dengan g
Pulang sekolah Fia memutuskan untuk pulang sendiri, walau dia sudah di paksa oleh Yuan untuk ikut dengannya tapi Fia menolak karena dia tahu Yuan sedang sibuk saat ini.“Firasat gue gak enak” gumam Fia dengan perasaan sedikit tak enak.Dia masih terus berjalan dengan langkah tenang. Entah kenapa dia merasa tak enak dan rasanya ingin lari sekencang-kencangnya.Fia terus berjalan hingga dirinya sampai di sebuah tanah kosong yang luas. Sebentar, tanah kosong? Sejak kapan lingkungan rumahnya ada tanah kosong? Lingkungan di rumahnya sudah di penuhi oleh rumah-rumah dan bangunan. Sedangkan di depannya ada tanah kosong yang cukup luas. Dengan perasaan sedikit cemas Fia menatap ke sekelilingnya.“Gimana bisa gue sampai sini?” tanya Fia pada dirinya sendiri. Fia masih menatap ke sekelilingnya hingga dia merasakan aura yang sedikit mengancam. Dengan perasaan sedikit waswas Fia menatap ke sekeliling, hingga pandangannya tertuju ke arah rumput
Fia terus berjalan ke arah rumahnya berada. Hingga ada mobil yang berhenti di dekatnya.“Fia?” ucap seseorang sambil menatap ke arah Fia dengan raut wajah heran.“Paman!” Kata Fia dengan nada suara semangat dan berjalan ke arah mobil pamannya itu.“Sedang apa kua di sini Fia?” tanya pamannya dengan raut wajah heran.“Itu paman apa namanya...” ucap Fia sambil menatap ke sekelilingnya dengan raut wajah bingung.“Cepat naik, akan paman antar ke rumah” ucap Pamannya dengan raut wajah datar.“Siap” ucap Fia dengan semangat dan mulai berlari ke sisi mobil. Dari dalam mobil sang paman memperhatikan gerak-gerik Fia.“Dasar” ucap paman Fia saat melihat tingkah ceroboh keponakannya itu, dengan cukup keras perut Fia menghantam bagian depan mobil. Sambil menggelengkan pelan kepalannya sang paman tersenyum geli saat membayangkan raut wajah kesal Fia.Ceklek
Pagi harinya Fia berjalan menuju ke arah ruang makan dengan langkah pelan. Semua keluarganya sudah berkumpul di meja makan, bahkan Ayahnya sudah pulang dari luar kota. “Selamat pagi semuanya” ucap Fia menyapa semua keluarganya. “Pagi” balas semua keluarganya secara bersamaan. Fia mulai menuangkan air putih yang ada di atas meja dengan raut wajah tenang. Ayahnya yang sibuk dengan koran di tangan dan sang Bunda yang sedang sibuk menyiapkan makanan sedangkan adiknya sibuk memerhatikan gerak-gerik keluarganya. Biasanya di hari minggu keluarga Fia menghabiskannya dengan berkumpul bersama di ruang keluarga sambil bertukar pikiran atau jalan-jalan keluar bersama. “Kalian ada tugas?” tanya Ayah mereka sambil menatap ke arah anak-anaknya dengan raut wajah bertanya. “Tidak ayah” balas Fiko sambil menatap ke arah ayahnya. “Kamu kak?” tanya ayahnya sambil menatap ke arah Fia dengan raut wajah heran. “Ada beberapa” balas Fia dengan tenang sambil duduk di bangkunya. “Sayang sekali, padahal
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu